Parameter Kimia pH. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

27 batu. Kriteria tanah tersebut berpeluang menyebabkan erosi semakin besar apabila terjadi hujan. Tingginya kandungan TSS di daerah hulu disinyalir karena adanya erosi yang berasal dari hulu. Erosi di lokasi pengamatan dapat disebabkan oleh adanya pukulan air hujan yang langsung mengenai permukaan tanah, sehingga partikel tanah yang tererosi ditransportasikan oleh air melalui run-off dan masuk ke badan air. Akibatnya kandungan padatan terlaruttersuspensi di bagian hulu relatif tinggi dibandingkan daerah tengah-hilir.

4.2.2. Parameter Kimia pH.

Hasil pengukuran pH air sungai berkisar 6.3-7.0. Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai pH air sungai dari hulu ke hilir cenderung meningkat. Peningkatan pH dapat disebabkan oleh masuknya bahan-bahan yang bersifat basa, seperti limbah deterjen ke badan sungai. Menurut Sopiah 2004 deterjen memiliki pH sangat basa 9.5-12, bersifat korosif dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Daerah hilir Empang memiliki pH 6.7-7.0, pH tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah hulu-tengah yang memiliki pH 6.3-6.7. Hal ini dapat terjadi karena daerah Empang merupakan daerah hilir yang mendapat masukan limbah domestik dari sekitar sungai maupun limbah yang berasal dari hulu. Limbah tersebut akan mengalami penguraian oleh mikroorganisme dan menghasilkan senyawa karbondioksida CO 2 dari proses respirasi. Semakin tinggi konsentrasi CO 2 yang dihasilkan oleh proses respirasi, maka pH di perairan akan semakin rendah. Menurut Kordi 2000, fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, karena gas karbondioksida yang dihasilkannya. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka akan menyebabkan pH semakin tinggi. Berdasarkan waktu pengamatan, pH saat tidak ada hujan debit rendah dan sesaat sesudah hujan debit tinggi tidak mengalami perbedaan yang signifikan yaitu berkisar 6.3-7.0 yang tergolong pH netral. Hal ini berarti perbedaan waktu pengamatan dalam penelitian ini cenderung tidak mempengaruhi pH. Menurut Siradz 28 2008, pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu 6-7,5. Oleh karena itu, nilai pH di lokasi penelitian masih tergolong normal. Gambar 7 . Nilai pH pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Kebutuhan oksigen biokimiawi Biochemical oxygen demand. Hasil pengukuran BOD disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan BOD dari arah huluSrogol 5.04-7.87 mgl menuju arah hilirEmpang 10.17-23.61 mgl. Pada pengukuran BOD saat tidak ada hujan debit rendah tampak bahwa kandungannya relatif lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan debit tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh perbedaan kecepatan aliran sungai. Aliran sungai saat tidak ada hujan debit rendah relatif lambat, sehingga berpeluang memperbesar viskositas atau kekentalan bahan organik, sehingga konsentrasi BOD meningkat. Akibatnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air meningkat. Kadar oksigen terlarut diperairan memiliki jumlah yang terbatas, apabila oksigen digunakan secara terus menerus tanpa adanya suplai oksigen ke perairan maka proses penguraian bahan organik akan terhambat. Akibatnya perairan akan mengalami pencemaran karena proses penguraian terganggu. Menurut Siradz 2008, nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan 6,5 6,5 6,7 6,6 6,7 6,3 6,5 6,6 6,7 7,0 3 6 9 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan pH Hulu Hilir 29 secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan. Gambar 8. Nilai BOD pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Hasil pengukuran BOD sesaat sesudah hujan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kandungan BOD saat tidak ada hujan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari proses pengenceran karena terjadinya hujan. Dengan adanya hujan, oksigen yang berada di atmosfer akan terlarut dan terbawa oleh air hujan menuju ke permukaan bumi seperti sungai. Air hujan yang jatuh ke sungai akan menghasilkan suplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air akan meningkat. Akibatnya aktivitas mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik maupun anorganik yang tersuspensikan di badan sungai menjadi rendah, sehingga kandungan BOD sesaat sesudah hujan relatif rendah dibandingkan saat tidak ada hujan. Disamping itu, rendahnya kandungan BOD sesaat sesudah hujan dapat mengindikasikan kualitas air yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas air saat tidak ada hujan. Nitrat NO 3 . Hasil pengukuran nitrat pada Gambar 9 tidak menunjukkan adanya kecenderungan tertentu pada lokasi penelitian dari hulu ke hilir. Kandungan nitrat dari hulu ke hilir yang diperoleh dari hasil penelitian ini berfluktuasi beragam. Berdasarkan pengaruh perbedaan waktu pengamatan terlihat bahwa kandungan nitrat sesaat sesudah hujan debit tinggi dari lokasi pengamatan Srogol 7,87 15,74 7,87 19,67 23,61 5,04 7,68 6,88 8,92 10,17 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan B OD m g L Hulu Hilir 30 hingga Pamoyanan cenderung lebih tinggi daripada pengamatan pada saat tidak ada hujan debit rendah. Daerah Srogol hingga Pamoyanan yang terletak di daerah hulu, memiliki daerah pertanian yang cenderung lebih besar dibandingkan daerah sekitar hilir Mulyaharja, Empang. Hal tersebut disinyalir bahwa jatuhnya hujan di lokasi tersebut meningkatkan akumulasi limbah pertanian nitrat dari aktifitas pertanian melalui proses pencucian, sehingga konsentrasi nitrat yang terlarut dan terbawa oleh run-off masuk ke badan sungai menyebabkan tingginya konsentrasi nitrat di bagian hulu. Menurut Effendi 2003, sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan, maupun dari kegiatan domestik. Gambar 9. Nilai nitrat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Berbanding terbalik dengan ketiga lokasi pengamatan sebelumnya Srogol, Cibalung, dan Pamoyanan, di lokasi Mulyaharja dan Empang pada saat tidak ada hujan menunjukkan kandungan nitrat yang lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan. Besarnya kandungan nitrat ini lebih dominan dipengaruhi oleh besarnya limbah dari kegiatan industri dan rumah tangga. Luas area pertanian dengan segala aktivitas pertaniannya pupuk, pestisida yang rendah tidak menjadi faktor utama sumber nitrat di badan sungai pada lokasi tersebut. Cemaran hasil industri dan kotoran manusia yang dominan menyebabkan akumulasi nitrat di lokasi tersebut 6,2 12,4 6,2 12,4 18,6 37,2 24,8 12,4 6,2 6,2 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan NO 3 m g L Hulu Hilir 31 Mulyaharja, Empang, disebabkan oleh pemukiman dan industri yang lebih luas dibandingkan area pertanian. Buangan pemukiman penduduk limbah domestik yang masuk ke badan air, melalui pembusukan oleh organisme, menghasilkan amoniak dan senyawa amonium. Amoniak dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Proses ini dimediasi oleh bakteri nitrosomonas dan nitrobakter yang secara essensial menghasilkan energi dari proses oksidasi tersebut. Nitrosomonas berfungsi sebagai mediator oksidasi amonia menjadi nitrit sedangkan nitrobakter berfungsi sebagai mediator oksidasi nitrit menjadi nitrat Sasongko, 2006. Melalui proses tersebut, limbah domestik di Mulyaharja dan Empang yang banyak akan menyebabkan kandungan nitrat yang tinggi di sungai. Fosfat PO 4 . Hasil pengamatan kandungan fosfat yang ditunjukkan pada Gambar 10 berkisar 0.010-0.070 mgl. Kandungan fosfat dari hulu ke hilir terlihat tidak memiliki pola peningkatan atau penurunan yang linear. Hal ini berarti pengaruh dari perbedaan lokasi pengamatan tidak signifikan terhadap kandungan fosfat. Namun terlihat bahwa sungai di daerah hulu Srogol memiliki kandungan fosfat lebih rendah 0.01-0.02 mgl dibandingkan di daerah hilir Empang yaitu 0.03-0.07 mgl. Gambar 10. Nilai fosfat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Pengaruh waktu pengamatan yaitu saat tidak ada hujan debit rendah dan sesaat sesudah hujan debit tinggi juga tidak menunjukkan adanya pola, tetapi 0,02 0,04 0,02 0,02 0,03 0,01 0,02 0,03 0,02 0,07 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan PO 4 m g L Hulu Hilir 32 terlihat adanya kecenderungan peningkatan fosfat pada hasil interaksi waktu pengamatan dengan lokasi pengamatan. Berdasarkan waktu pengamatan sesaat sesudah hujan kandungan fosfat cenderung meningkat dari hulu ke hilir. Peningkatan fosfat yang terkandung dalam badan air di lokasi pengamatan diduga berasal dari limbah air buangan penduduk seperti deterjen. Hal ini ditinjau berdasarkan hasil pengamatan di lapang yang menunjukkan adanya aktifitas penduduk seperti mandi dan mencuci pakaian dengan menggunakan deterjen. Deterjen merupakan bahan yang digunakan sebagai media pembersih karena dapat mengangkat kotoran dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Penggunaan deterjen yang tidak diiringi oleh proses pendegradasian yang baik akan menimbulkan pendangkalan perairan atau munculnya eutrofikasi pengkayaan hara, sehingga transfer oksigen menjadi terhambat dan mengakibatkan terganggunya proses penguraian limbah di perairan. Dampak pencemaran tersebut menyebabkan kualitas air di perairan menjadi menurun seperti munculnya bau yang tidak sedap di sekitar perairan. Semakin ke hilir jumlah dan aktivitas penduduk semakin tinggi, sehingga memungkinkan akumulasi bahan-bahan dari limbah penduduk seperti deterjen semakin tinggi. Oleh karena itu, lokasi pengamatan yang semakin ke hilir dengan adanya hujan memiliki kandungan fosfat yang semakin besar. Sebagaimana hasil penelitian Lee dan Jones dalam Suyarso 2008, mendapatkan 50 - 60 fosfat yang terdapat dalam air buangan rumah tangga di perairan Amerika berasal dari deterjen. Timbal Pb. Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan timbal Sungai Cisadane berkisar 0.0185-0.1343 mgl Gambar 11. Hasil pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan timbal dari arah hulu menuju ke hilir. Peningkatan kandungan timbal dapat diakibatkan oleh adanya akumulasi timbal secara alami maupun aktivitas manusia yang menjadi sumber pencemar timbal di perairan. Daerah hulu Srogol memiliki kandungan timbal yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir. Hal ini dapat terjadi karena daerah hulu memiliki sumber pencemar timbal seperti pemukiman maupun daerah industri yang tergolong rendah. Selain itu, keberadaan senyawa timbal di perairan hulu lebih 33 disebabkan oleh proses alamiah seperti timbal yang berasal dari batuan yang mengalami pengikisan. Batuan yang berada di lokasi hulu terbentuk dari tuf dan abu volkan intermedier. Menurut Aubert dan Pinta 1997, kandungan timbal batuan intermedier seperti andesit, relatif sama dengan batuan eruptif masam yang memiliki kandungan timbal sebesar 20 ppm. Sumber pencemar timbal alami lainnya yaitu timbal di udara yang mengalami pengkristalan oleh air hujan dan masuk ke badan air. Gambar 11. Nilai timbal pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Berdasarkan waktu pengamatan saat tidak ada hujan debit rendah dan sesaat sesudah hujan debit tinggi, kandungan timbal di sungai tidak memiliki kecenderungan peningkatan atau penurunan. Namun, kandungan timbal di Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang saat tidak ada hujan cenderung lebih tinggi dibandingkan di Srogol dan Cibalung. Besarnya kandungan timbal di lokasi tersebut lebih didominasi oleh tingginya aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan peninjauan di lapang, lokasi penelitian Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang berada di dekat jalan raya yang sering dilalui kendaraan bermotor, sehingga asap kendaraan bermotor sebagai sumber pencemar timbal cenderung tinggi. Asap kendaraan motor akan mengapung di udara dan terbawa angin, sehingga memungkinkan senyawa timbal masuk dan terbawa oleh arus air. Akibatnya kandungan timbal di sekitar pengamatan menjadi tinggi. Menurut 0,0317 0,0438 0,1108 0,1048 0,1108 0,0474 0,0648 0,0185 0,0532 0,1343 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan Hulu Hilir P b m g L 34 Sastrawijaya 1991, pembakaran bensin sebagai sumber pencemar lebih dari separuh polusi udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70 dari total zat pencemar. Hasil pengamatan timbal di Empang seperti yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan kandungan yang paling tinggi dibandingkan dengan di Srogol, Cibalung, Pamoyanan dan Mulyaharja. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat pencemaran timbal di Empang. Berdasarkan pengamatan di lapang Empang, sumber utama pencemar timbal diduga berasal dari asap kendaraan bermotor, sampah yang ditemukan menumpuk di pinggir sungai, serta limbah cair yang mengandung timbal seperti cat, oli, dan tinta yang dibuang melalui saluran drainase kemudian masuk ke badan sungai. Akibatnya kandungan timbal menjadi tinggi karena adanya akumulasi senyawa timbal yang berasal dari berbagai sumber.

4.3. Baku Mutu Air