2. UJI POTENSI PRODUKSI BIOGAS

menjadi rendah. Sebaliknya jika CN bahan baku rendah, nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia NH 4 yang dapat menyebabkan peningkatan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan mengakibatkan pengaruh yang negatif pada populasi bakteri metanogen, sehingga akan mempengaruhi laju pembentukan biogas dalam reaktor. Misi dan Forster 2001 menyatakan bahwa kriteria untuk menilai keberhasilan perombakan limbah pertanian secara anaerobik adalah penurunan padatan volatil VS, total produksi biogas dan menghasilkan metana. Efek dari umpan yang berbeda pada biogas hasil dari limbah makanan, dedaunan dan campurannya dikaji menggunakan batch reaktor anaerobik. Padatan bahan organik dari hasil analisis sampah menunjukkan nilai yang tinggi berkisar antara 84-95 persen bk dibandingkan dengan jerami yang hanya berkisar 65 persen. Nilai padatan bahan organik ini sangat potensial untuk dikonversi menjadi sejumlah biogas hasil dari proses fermentasi media padat. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam fasa padat dengan kadar air yang diharapkan sebesar 70 persen. Karena kadar air sampah yang sudah cukup maka sampah organik tidak mengalami pengenceran atau penambahan air. Wahyuni 2008 menjelaskan bahan isian harus mengandung bahan kering padatan total sekitar 7-9. Dari hasil analisis yang dilakukan, bahan sampah yang digunakan mengandung 5.95-17.43 padatan total. Untuk mengatur kandungan padatan total bahan, usaha yang biasanya dilakukan adalah dengan penambahan air atau pengenceran. Bahan baku jerami yang memiliki kandungan air yang sedikit perlu ditambahkan air dalam proses fermentasi. Data karakteristik bahan baku disajikan pada Lampiran 2.

4. 2. UJI POTENSI PRODUKSI BIOGAS

Pada tahap ini dilakukan uji potensi biogas dari berbagai limbah menggunakan reaktor berukuran 1.5 l. Pada fermentasi bahan organik tahap pertama tidak dilakukan pengaturan suhu suhu tidak terkendali. Pada uji potensi biogas digunakan bahan baku berupa sampah Pasar Gunung Batu, Pasar Laladon, kulit pisang, kol, kulit nenas dan jerami baru dan busuk. 500 1000 1500 2000 2500 10 20 30 40 Vo lu m e G as m l Hari Ke- Gambar 12. Akumulasi biogas pada penelitian uji potensi biogas  Jerami baru,  Jerami busuk,  Kulit pisang, X kol,  Sampah pasar Gunung Batu,  Sampah Pasar Laladon,  kulit nenas selama 45 hari Dari hasil pengamatan selama 45 hari fermentasi diperoleh jumlah biogas yang terbentuk pada awal proses fermentasi terbentuk dengan laju yang tinggi dan kemudian semakin lama semakin menurun. Hal ini disebabkan karena pada awal fermentasi tersedia lebih banyak bahan organik yang mudah terdegradasi. Pada Gambar 12 terlihat bahwa produksi biogas jerami baru dan jerami busuk menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pada jerami busuk sebagian bahan organik telah terdegradasi sebelum proses fermentasi. Pada jerami baru produksi biogas mulai mengalami kondisi steady pada hari ke-21 dengan jumlah sekitar 800 ml, sedang pada jerami busuk terjadi pada hari ke-41. Sedangkan untuk bahan baku sampah, setelah proses fermentasi selama 45 hari disimpulkan bahwa sampah pasar Gunung Batu menghasilkan jumlah biogas terbanyak di antara jenis bahan lainnya yaitu sebesar 2244.5 ml, sehingga untuk penelitian selanjutnya digunakan bahan baku dari sampah pasar Gunung Batu ini. Sampah pasar Gunung Batu ini memiliki komposisi sebagai berikut : daun pisang 7.5, kulit jagung 24.2, pare 14.8, kol 19.9, saisin 6.2, kangkung 8.0, sawi 8.0, dan wortel 11.5 W:W. Jika dilihat dari komposisi sampah pasar Gunung Batu yang digunakan termasuk ke dalam golongan sampah sayuran. Mikroorganisme sangat menyukai sayuran karena kandungan airnya yang tinggi 68.5-96.1 Dengan demikian media fermentasi sampah pasar Gunung Batu ini merupakan media yang termasuk cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme pengurai. Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 13, menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan bahan sampah pasar Gunung Batu 30.7 lkgVs lebih besar dibandingkan yang lainnya, sedangkan jerami baru menunjukkan nilai produksi biogas spesifik kumulatif yang lebih kecil 7.7 lkgVs. Jika dilihat dari grafik produksi biogas spesifik kumulatif, tampak bahwa kecepatan produksi biogas dari sampah pada sepuluh hari pertama lebih cepat dibandingkan pada jerami. Hal ini dikarenakan jerami sulit terdegradasi dengan adanya komponen selulosa, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan perlakuan pendahuluan. Penanganan pendahuluan yang dapat dilakukan adalah dengan cara menurunkan ukuran partikel, dengan cara penghancuran secara mekanis. Cara lainnya adalah dengan mempercepat proses hidrolisis bahan organik melalui penanganan awal terhadap substrat baik secara biologis maupun fisiko-kimia. 5 10 15 20 25 30 35 10 20 30 40 Pr o d u ksi b io g as sp e si fi k ku m u latif l kg. Vs Hari Ke- Gambar 13. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian uji potensi biogas  Jerami baru,  Jerami busuk,  Kulit pisang, X kol,  Sampah pasar Gunung Batu,  Sampah Pasar Laladon,  kulit nenas selama 45 hari Penanganan awal biologis dapat dilakukan dengan pengayaan enzim dan pengomposan aerobik. Enzim hidrolitik yang penting meliputi protease dan peptidase, yang memecah protein menjadi peptide dan asam- asam amino; lipase untuk memecah lemak menjadi gliserol dan asam-asam lemak rantai panjang; dan campuran enzim endogluconase, cellobiohydrolase dan β-glucosidase yang memecah selulosa menjadi glukosa. Pengayaan enzim dapat dilakukan penambahan langsung enzim- enzim tersebut di atas atau dengan penggunaan mikroorganisme hidrolitik. Bakteri rumen memiliki aktivitas hirolitik yang sangat baik, sehingga pada penilitian ini dilakukan penanganan awal dengan aerasi dan penambahan bakteri rumen dari kotoran hewan. Di dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti temperatur, keasaman dan jumlah material organik yang akan dicerna. Terdapat beberapa spesies metanogenik dengan berbagai karateristik. Bakteri ini mempunyai beberapa sifat fisiologi yang umum, tetapi mempunyai morfologi yang beragam seperti Methanomicrobium, Methanosarcina, Metanococcu, dan Methanothrix Haryati, 2006.

4. 3. KAJIAN PENGARUH SUHU REAKTOR