19
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Menurut Cochrane 2002, pengelolaan sumberdaya perikanan didefinisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi, dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas
perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Dalam Code of Conduct for Responsible
Fisheries FAO 1995 dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah suatu
kebutuhan besar dan menjadi kebutuhan dunia. Hal ini terjadi karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata
pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu penting mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan
pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu : 1.
Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus
diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.
2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh
perkembangan teknologi yang cepat terutama pemanfaatan Geographical Positioning System
GPS, radar, echo sounder, mesin kapal yang lebih kuat dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan.
3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah
resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan fisheries governance yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli
perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga. Menurut Mees 1996, tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan harus
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan biologi. Oleh karenanya, pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah difokuskan untuk menjaga
keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Pada dasarnya, pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk
memastikan berapa banyak ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah upaya penangkapan agar sumberdaya tersebut tetap lestari. Model pengelolaan ini lebih
20 dikenal sebagai model pengelolaan konvensional Hoggart et al. 2006.
Selanjutnya Hoggart et al. 2006 menyatakan bahwa model pengelolaan konvensional dapat dilakukan melalui pengaturan jumlah dan ukuran alat tangkap
input control dan pengaturan jumlah dan ukuran hasil tangkapan output control
. Model pengelolaan non konvensional lebih diarahkan pada upaya konservasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan kehati-hatian atau
precautionary approach Garcia dan Cochrane 2005.
Menurut Mees 1996, pengelolaan secara biologis dari sumberdaya perikanan tangkap biasanya bertujuan untuk mencegah terjadinya tangkap
berlebihan overfishing dan mengoptimalisasikan produksi. Overfishing merupakan kondisi dimana level atau laju mortalitas telah menurunkan kapasitas
suatu populasi dalam jangka panjang untuk dapat mencapai MSY Dayton et al., 2002. Overfishing dapat dikategorikan menjadi 4 yakni:
1. Growth overfishing
adalah kondisi di mana yang tertangkap berada di bawah ukuran pertumbuhan optimum Mees 1996; Israel et al. 1997; Hall 2002;
Holland 2003. 2.
Recruitment overfishing adalah kondisi di mana ikan-ikan dewasa tertangkap
dalam jumlah yang besar sehingga proses reproduksi menurun dan dengan sendirinya rekruitmen juga menurun Israel et al. 1997; Dayton et al. 2002;
Kilduff et al. 2009. 3.
Ecosystem overfishing adalah kondisi di mana kegiatan penangkapan ikan
berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem, termasuk penurunan kelimpahan dan perubahan komposisi spesies, variasi yang luas dari
kelimpahan, biomasa dan produksi beberapa spesies, serta perubahan atau kerusakan yang signifikan dari habitat Israel et al. 1997; Murawski 2000;
Dayton et al. 2002. 4.
Economic overfishing adalah kondisi di mana peningkatan jumlah upaya
penangkapan tidak memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan nelayan Israel et al. 1997.
Hinman 1998 menyatakan bahwa permasalahan perikanan dalam konteks ekosistem adalah eksploitasi yang berlebihan, kurangnya perhatian terhadap
interaksi predator-mangsa dan hasil tangkapan sampingan yang disebabkan oleh
21 penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Oleh karenanya, Hinman 1998
memberikan 3 rangkaian rekomendasi berkenaan dengan permasalahan perikanan tersebut yaitu :
1. Rangkaian rekomendasi pertama :
a. Memberikan prioritas pada pemulihan populasi yang mengalami tangkap
lebih pada tingkat yang lebih tinggi dibanding level yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi maksimum lestari.
b. Memperbaiki struktur umur yang stabil dan rasio sex dari populasi.
c. Mengadopsi dan mengimplementasikan pendekatan kehati-hatian dalam
segala hal, termasuk memperkenalkan model perikanan baru atau ekspansi model perikanan yang telah ada.
d. Menentukan level penangkapan untuk spesies target yang dilestarikan
2. Rangkaian rekomendasi kedua :
a. Memperbaharui seluruh rencana pengelolaan sumberdaya perikanan untuk
dapat mengidentifikasi interaksi spesies penting. b.
Membuat batasan-batasan dengan mempertimbangkan interaksi tersebut. c.
Jika tujuan pengelolaan menghasilkan konflik antar pengguna sumberdaya, maka penyusunan rencana pengelolaan harus didasarkan
pada aspek ekologis untuk dapat mengharmonisasikan tujuan tersebut. 3.
Rangkaian rekomendasi ketiga : a.
Menentukan zona larangan penangkapan untuk daerah-daerah yang telah mengalami tangkap berlebih.
b. Menetapkan
pembatasan alat
tangkap untuk
meningkatkan keberlangsungan hidup spesies yang akan dilindungi.
Model pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem diadopsi oleh FAO pada FAO Technical Consultation on Ecosystem-based Fisheries
Management yang dilangsungkan di Reykjavik Finlandia dari 16 sampai 19
September 2002 FAO 2003. EAF didefinisikan oleh Ward et al. 2002 sebagai perluasan dari model pengelolaan perikanan konvensional dengan secara
eksplisit mengenali adanya hubungan saling ketergantungan antara kesejahteraan manusia dan kesehatan ekosistem dan kebutuhan untuk memelihara produktifitas
ekosistem bagi generasi sekarang dan yang akan datang seperti konservasi habitat
22 yang kritis, mengurangi polusi dan bungan sampah serta melindungi spesies-
spesies yang terancam. Dalam konsultasi para ahli di Reykjavik FAO 2003 disetujui bahwa tujuan dari pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola perikanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan menjamin generasi yang akan
datang masih memperoleh manfaat dari ekosistem laut. Oleh karenanya, pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan ditujukan untuk menjaga
keseimbangan dari berbagai kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian antara komponen biotik, abiotik dan manusia dari
ekosistem dan interaksinya serta mengaplikasikan pendekatan yang terintegrasi pada pengelolaan perikanan dengan batasan-batasan ekologis.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 13 Mei sampai dengan 19 Agustus 2007di perairan Teluk Lasongko, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Lokasi
ini dipilih dengan pertimbangan bahwa perairan ini merupakan salah satu sentra penangkapan ikan kerapu di Kabupaten Buton. Luas perairan Teluk Lasongko
mencapai 13. 6 km
2
dan luas areal terumbu karang 279.8 ha atau 20 dari luas total perairannya. Di perairan ini terdapat 7 areal terumbu karang yang oleh
masyarakat lokal disebut pasi yaitu Pasi Lasori, Pasi Bawona, Pasi Bone Marangi, Pasi Bunta, Pasi Madongka, Pasi Lasoring Balano dan Pasi Katembe. Kondisi
penutupan karang dari masing-masing areal terumbu karang tersebut berbeda- beda mulai dari 35 hingga 75,7 Tabel 3.
Tabel 3. Areal terumbu karang di Teluk Lasongko, luas dan presentase penutupan karangnya
No Lokasi Karang
Luas Karang Ha
Presentase Karang
I
Zona I
1 Pasi Lasori 9,20
35,00 2 Pasi Bawona
122,00 36,00 - 73,70
3 Pasi Bone Marangi 3,60
36,00 II
Zona II
4 Pasi Bunta 5,00
72,34 5 Pasi Madongka
90,90 64,90 – 73,70
6 Pasi’ Bunging Balano 4,40
64,90 – 73,70 7 Pasi’ Katembe
40,20 64,90 – 73,70
Sumber : Supardan 2006
Untuk lebih memudahkan penelitian ini, dipilih 4 lokasi pengumpulan data yaitu Madongka dan Lasori yang mewakili zona I serta Boneoge dan Lolibu yang
mewakili zona II. Keempat lokasi tersebut merupakan pusat pendaratan hasil tangkapan ikan kerapu di Teluk Lasongko. Pengumpulan data dilakukan setiap
dua minggu sekali selama penelitian yakni pada tanggal 13 dan 27 Mei 2007, 10 dan 24 Juni 2007, 8 dan 22 Juli 2007 serta 5 dan 19 Agustus 2007 untuk masing-
masing lokasi di atas.