12 sempit dengan belajar, menemukan sudut pandang baru, dan perenungan pribadi; 4 menyulut
inspirasi dari permainan dan humor, termasuk olah raga; 5 mengembangkan daya pikir dengan membaca kreatif, menjelajahi toko buku dan dunia maya; 6 menggemari kesenian
dan memaknai musik dalam jiwa kreatif; 7 menggeluti teknologi; 8 menghadapi tantangan dengan teknik berpikir ampuh; 9 membebaskan alam kesadaran lain dengan
memvisualisasikan tantangan kreatif; dan 10 menyatu dengan jiwa kreatif, termasuk di dalam berdo‘a dan bermeditasi.
27
D. Strategi Aplikasi CCTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Berdasarkan ulasan teoritik tersebut, setidaknya ada 10 strategi atau langkah CCTL yang perlu dipenuhi ketika diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa Arab. Kesepuluh syarat
dan rukun dimaksud adalah 1 perumusan visi, misi, dan orientasi pembelajaran bahasa Arab; 2 desain rencana dan kontrak pembelajaran bahasa Arab; 3 pendekatan dan strategi
pembelajaran kontekstual dan kreatif; 4 penciptaan suasana pembelajaran yang religius, nyaman, menyenangkan, dan partisipatoris; 5 pengembangan sikap positif dan berpikir
kreatif; 6 optimalisasi multi-intelegensi dalam proses pembelajaran bahasa Arab; 7 pengembangan minat dan tradisi membaca, meneliti dan menulis dengan bahasa Arab; 8
kontekstualisasi substansi pembelajaran dengan masalah-masalah sosial yang aktual dalam kehidupan siswamahasiswa; 9 optimalisasi pendayagunaan media dan teknologi pendidikan,
dan 10 penciptaan sistem evaluasi pembelajaran yang kreatif dan efektif.
28
Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual dan kreatif dapat diorientasikan kepada sebuah visi, misi, dan orientasi pembelajaran itu sendiri, yaitu: misalnya, mendayagunakan
bahasa Arab secara optimal dalam pemahaman sumber-sumber ajaran Islam. Dapat juga dirumuskan: ―Belajar bahasa Arab komunikatif sebagai media untuk pengembangan ilmu
pengetahuan
dan teknologi.‖ Karenanya, pembelajar yang kreatif akan berpikir: bagaimana memahami dan menguasai bahasa Arab
–minimal pasif— dengan baik? Bagaimana bahasa Arab yang sudah dipahami itu dapat diaplikasikan dalam pemahaman literatur keislaman yang
berbahasa Arab dan juga menulis karya dalam bahasa Arab? Bagaimana wujud pemahaman itu dapat diaktualisasikan dalam bentuk produk pemikiran? Bagaimana produk pemikiran itu
dapat dikembangkan dan dimasyarakatkan? dan seterusnya. Jadi, pembelajaran kontekstual
27
Muhammad Fauzî Abd al-Maqshûd, al-Ibdâ fi al-Tarbiyah al-Arabiyyah: Muawwiqât wa Âliyât al-Muwâjahah
, Kairo: Dâr al-Tsaqâfah, 2004, h.
28
Kesepuluh ―syarat dan rukun‖ tersebut diabstraksikan dari pemaduan model pembelajaran kontekstual dan kreatif, dan juga diperkuat dengan teori-teori linguistik dan psikologi belajar.
Mengenai teori- teori dimaksud lihat ‗Abd al-‗Az
î
z ibn Ibrâhîm al- ‗Ushailî, al-Nazhariyyât al-
Lughawiyyah wa al- Nafsiyyah wa Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah, Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd
al-Wathaniyyah, 1999.
13 dan kreatif menghendaki adanya sense of creativity and making contextuality, kedalaman dan
kontekstualitas dalam berpikir dan berkarya, sehingga suatu persoalan dapat dipecahkan secara tuntas dan kreatif.
Strategi aplikasi model CCTL dalam pembelajaran bahasa Arab dapat dilakukan melalui tiga tahap
–meminjam teori Tammâm Hassân, yaitu: tahap ta’ârruf pengenalan, tahap
istî’âb pemahaman, dan istimtâ’ apresiasi dan penikmatan.
29
Pada tahap pertama, pembelajaran bahasa Arab baru merupakan pengenalan unsur-unsur bahasa Arab, seperti:
simbol bunyi, morfem, kosa kata, frase, dan struktur dasar bahasa Arab. Pada tahap kedua, pembelajaran bahasa Arab diorientasikan kepada pemahaman terhadap hubungan antara
berbagai unsur bahasa Arab, perbedaan penggunaan unsur-unsur itu dalam struktur kalimat, sehingga pembelajar bahasa Arab dapat membedakan berbagai bentuk kalimat. Sedangkan
tahap ketiga, pembelajaran bahasa Arab diarahkan untuk bisa mengapresiasi dan menikmati struktur dan sistem bahasa Arab.
Pembelajaran bahasa Arab tidak berada dalam ruang, konteks, dan orientasi yang kering. Bahasa Arab sebagai media komunikasi aktif maupun alat untuk memahami teks perlu
ditunjukkan fungsi-fungsinya secara optimal, sehingga nilai dan signifikansi belajara bahasa Arab itu tidak sia-sia belaka. Jadi, pada tahap awal diperlukan upaya-upaya pencitraan dan
pemberian kesan positif mengenai belajar bahasa Arab kepada para peserta didik. Pencitraan dan pengesanan positif ini menjadi titik tolak yang dapat menentukan perjalanan pembelajaran
bahasa Arab berikut. Pengalaman menunjukkan bahwa sebelum belajar bahasa Arab sebagian besar peserta didik sudah memiliki kesan dan citra kurang positif terhadap bahasa Arab,
sehingga ―sugesti negatif‖ ini menjadi hambatan psikologis awal yang dapat mengurangi motivasi mereka dalam belajar bahasa Arab.
30
Pada tahap berikutnya, penguatan motivasi dan orientasi belajar bahasa Arab perlu dilakukan. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa para pembelajar bahasa Arab kebanyakan
posisinya seperti ―muallaf miskin‖, bukan ―muallaf kaya‖. Sebagai ―muallaf miskin‖, dalam belajar bahasa Arab ia perlu dibimbing, dikuatkan hati, keimanan, dan kesabarannya. Belajar
bahasa Arab perlu dikaitkan dengan kebutuhan dan tuntutan nyata peserta.
Selain itu, model CCTL dapat diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran bahasa Arab yang berbasis fungsi dan karakteristik bahasa Arab itu sendiri. Misalnya saja, fungsi bahasa
Arab sebagai instrumental function al-wazhîfah al- naf’iyyah dan interactional function al-
29
Tammâm Hassân, al-Tamhîd f
î
Iktisâb al-Lughah al-Arabiyyah l
î
Ghair al-Nâthiqîna Bihâ, Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qurâ, 1984, h. 7-8.
30
Hasil dari berbagai diskusi di lingkungan dosen PBA FITK UIN Jakarta meneguhkan bahwa belajar bahasa Arab tidak cukup hanya dengan motivasi religius bahwa bahasa Arab itu bahasa
Alquran, hadis Nabi, bahasa salat, doa, dan sebagainya, tetapi juga motivasi praktis-pragmatis dan akademis misalnya, banyak pakar bahasa Arab yang mampu memanfaatkan berbagai peluang
ekonomi, memiliki kehidupan sosial ekonomi yang sejahtera, dan sebagainya.
14 wazhîfah al-
tafâ’uliyyah
31
dalam kehidupan sehari-hari siswamahasiswa. Dalam hal ini, guru bahasa Arab perlu mendesain materi pembelajarannya, membuat para siswa dapat
menggunakan bahasa itu untuk memenuhi kebutuhannya seperti: berkenalan, menanyakan alamat, membeli sesuatu, sehingga proses pembelajaran harus komunikatif. Selain dituntut
memiliki kompetensi berbahasa aktif, gurudosen juga proaktif dalam memfasilitasi dan memotivasi siswamahasiswa untuk mau berkomunikasi, menggunakan bahasa Arab secara
aktif, betapun masih terjadi kesalahan berbahasa. Dengan kata lain, proses pembelajaran bahasa Arab yang berorientasi komunikatif perlu memperhatikan konteks kebutuhan dan
lingkungan siswa, sehingga dalam diri siswa tumbuh ―komitmen‖ dan ―perasaan memerlukan‖ untuk berkomunikasi dalam bahasa Arab.
Bahasa Arab memiliki banyak karakteristik yang –boleh jadi— tidak dimiliki oleh
bahasa lain. Misalnya saja, bahasa Arab itu lughat al-i ’râb wa al-isytiqâq bahasa i’râb dan
derivasi
32
. Jika guru memiliki visi bahwa pembelajaran bahasa Arab itu tidak identik dengan pembelajaran nahwu, lebih-lebih i
’râb, maka bahasa Arab yang diajarkan semestinya tidak sekedar membaca dan
mengi’rab. I’râb hanyalah salah satu fenomena kebahasaan yang harus dikaitkan dengan proses pemaknaan struktur kalimat. Jadi, konteks pembelajaran nahwu bukan
untuk menjelaskan mawâqi’ i’râb itu sendiri, melainkan untuk memahami dan memaknai
struktur kalimat. Bahasa Arab sebagai bahasa yang sangat kaya derivasi menuntut guru untuk kreatif
dalam memperkenalkan bentuk-bentuk dan perubahan kata berikut implikasi semantiknya. Tentu saja, pengenalan tashrîf itu tidak harus melalui hafalan seperti yang dilakukan di
beberapa pesantren, tetapi lebih produktif dan konstruktif jika dilakukan melalui intensifikasi tadrîbat
latihan-latihan, terutama latihan berpola, terstruktur, dan kontekstual diletakkan dalam konteksnya yang tepat. Misalnya saja, ketika gurudosen memperkenalkan bentuk
mashdar yang berwazan
mufâ’alah dan fi’âl, maka sebaiknya dikenalkan bentuk kata lain yang familiar dan fungsional dalam kalimat yang tepat, misalnya:
1 .
ي او لا با تجاو رماوأا لاثتماب سف لا ةد اجمب نومئاصلا موقي و
.تاهبشلا
2.
.ةعيشلا د ع ةتسلا ماسإا ناكرأ نم نكر ها ليبس يف داهجلا
ٍSelain itu, strategi lain yang dapat diaplikasikan adalah mendekatkan siswa atau mahasiswa dengan penggunaan bahasa Arab yang riil lengkap dengan konteksnya, tidak
31
Setidaknya ada tujuh fungsi utama bahasa, yaitu: instrumental function, regulatory function, interactional function, personal function, heuristic function
al-wazh
î
fah al-iktisyâfiyyah ,
imafinative function, dan representational function al-wazh
î
fah al-bayâniyyah . Lihat Rusydî Ahmad
Thu‘aimah, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah l
î
Ghair al-Nâthiqîna bihâ: Manâhijuhû wa Asâlîbuhû, Rabâth: Isisco, 1989, h. 119-120.
32
Nâyif Mahmûd Ma‘rûf, Khashâ’ish al-‘Arabiyyah wa Tharâ’iq Tadrîsihâ, Beirut: Dâr al- Nafâ‘is, 1998, Cet. V, h. 43-45.
15 berupa realitas bahasa Arab buatan. Hal ini dimaksudkan agar siswamahasiswa langsung
dapat memahami penggunaan bahasa Arab itu sebagaimana mestinya dan sekaligus dapat mengetahui konteksnya. Sebagai contoh ketika mengajarkan ungkapan-ungkapan tertentu
dalam menulis insyâ
’, guru perlu langsung merujuk kepada apa yang familiar digunakan oleh orang Arab. Dalam hal ini, koran, majalah, dan buku-buku bahasa Arab standar fushhâ dapat
dijadikan sebagai sumber dan media pembelajaran. Misalnya saja, tenaga pendidik gurudosen membelajarkan informasi dan istilah tentang keadaan cuaca, maka gambar
berikut dapat langsung menjadi sumber belajar yang kontekstual:
CCTL dalam proses pembelajaran juga menghendaki adanya proses dan produk belajar yang baik dan berguna bagi semua, baik dalam bentuk kompetensi berbahasa Arab aktif
maupun karya- karya mulai dari ―kamus mini‖, kumpulan ungkapan, surat-surat dalam bahasa
Arab, dan sebagainya. Karena itu, porsi praktik dan latihan dalam proses pembelajaran bahasa Arab harus lebih ditingkatkan. Latihan yang dikembangkan juga sebaiknya variatif dan
mengandung unsur ―games‖ atau al’âb lughawiyyah. Desain latihan, media, dan games ini masih menjadi tantangan dan PR bagi kita semua.
Selain itu, sejak dini tenaga pendidik harus mulai mengasah kepekaannya terhadap masalah-masalah yang dihadapi peserta didik dalam mempelajari bahasa Arab.
33
Penentuan masalah sebagai basis proses pembelajaran bahasa Arab, misalnya adanya kesulitan
membedakan antara jumlah fi’liyyah dan jumlah ismiyyah yang khabarnya berupa fi’l, perlu
mendapat perhatian tersendiri dari tenaga pendidik dalam mengaplikasikan CCTL. Jika tenaga pendidik dapat mengetahui akar masalahnya, misalnya mubtada
’ subyek yang berupa jamak khabar yang berupa
fi’l itu harus jamak, sementara pada jumlah fi’liyyah tidak jamak, maka yang diperlukan adalah tadrîbât penggunaan dua jenis kalimat itu secara bergradasi, sambil
memperkenalkan kaedahnya secara sederhana. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana
33
Lihat Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006, Cet. I, h. 34.
16 pada akhirnya peserta didik memiliki kompetensi: kapan harus menggunakan
jumlah fi’liyyah dan jumlah ismiyyah dalam konteks yang tepat. Karena itu, contoh-contoh yang diberikan
dalam memperjelas penggunaan kedua kalimat itu diambilkan langsung dari koran atau majalah berbahasa Arab dari Timur Tengah.
E. Faktor-Faktor Aplikasi CCTL