Berkaitan dengan hal diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti faktor- faktor apa yang menyebabkan terjadinya konversi lahan karet menjadi lahan
kelapa sawit di Kabupaten Labuhan Batu studi kasus Kecamatan Bilah Hulu Desa Kampung Dalam.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu:
1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan karet
menjadi kelapa sawit di Kabupaten Labuhan Batu studi kasus Kecamatan Bilah Hulu Desa Kampung Dalam?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan karet
menjadi kelapa sawit di Kabupaten Labuhan Batu studi kasus Kecamatan Bilah Hulu Desa Kampung Dalam.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan bagi para petani karet yang mengkonversi lahannya ke
kelapa sawit. 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi pihak-pihak
yang terkait, terutama pemerintah dalam masalah konversi lahan karet ke kelapa sawit.
3. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka Definisi Konversi
Lestari 2009 dalam Irsalina 2009 mendefinisikan bahwa alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau
seluruh lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif masalah terhadap lingkungan dan potensi
lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Prospek Konversi Lahan Karet menjadi Lahan Kelapa Sawit
Upaya pemerintah dalam mengembalikan dominasi perkaretan Indonesia dimata dunia ke-era awal abad XX sebelum perang dunia kedua seakan
memudar karna adanya konversi lahan dari tanaman karet ke tanaman kelapa sawit. Hal tersebut seiring dengan pernyataan dari Ketua Gabungan Perusahaan
Karet Indonesia Gapkindo yang memperkirakan produksi karet alam nasional pada tahun-tahun mendatang akan turun terus, menyusul berkurangnya luas lahan
pohon karet, dimana banyak kebun karet berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit karena dengan menanam kelapa sawit lebih menguntungkan dibanding
menanam tanaman karet Anonim, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Perkebunan kelapa sawit telah menjadi andalan sejumlah daerah di Indonesia saat ini, khususnya di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Kehadiran perkebunan
sawit pula yang telah mengeliminasi jenis perkebunan dan pertanian lainnya, lewat konversi lahan Siregar, 2012.
Menurut Kompas 2008 dalam Hasibuan 2011, maraknya penanaman kelapa sawit di Indonesia dikarenakan tanaman ini merupakan bibit minyak paling
produktif di dunia. Tanaman kelapa sawit yang setiap harinya membutuhkan 4 liter air untuk tumbuh dengan baik, dapat diolah menjadi sumber energi alternatif
seperti biofuel. Selain itu, kelapa sawit mempunyai banyak kegunaan lain yaitu sebagai bahan kosmetik, bahan makanan seperti mentega, minyak goreng dan
biskuit. Kelapa sawit juga merupakan bahan baku sabun dan deterjen. Nilai ekonomis kelapa sawit yang tinggi membuat permintaan bibit tanaman ini terus
meningkat. Indonesia adalah produsen dan konsumen benih kelapa sawit terbesar di dunia dengan total konsumsi 170 juta benih dari total 280 juta bibit. Indonesia
bersama Malaysia menjadi pemasok utama kebutuhan kelapa sawit dunia dengan pasokan sebesar 85 dari total kebutuhan kelapa sawit dunia. Menurut catatan
greenpeace, seluas 28 juta hektar hutan Indonesia sejak tahun 1990 telah beralihfungsi menjadi kebun kelapa sawit. Permintaan akan tanaman ini,
diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dan tiga kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan tahun 2000.
Pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak fakor, baik faktor dari luar maupun dari dalam tanaman itu sendiri. Faktor-faktor tersbut
pada dasarnya dibedakan menjadi faktor lingkungan, genetis dan agronomis. Dalam menunjang pertumbuhan dan proses produksi kelapa sawit, faktor-faktor
Universitas Sumatera Utara
terseburt saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Untuk mencapai produksi kelapa sawit yang maksimal, diharapkan ketiga faktor tersebut harus
selalu ada dalam keadaan optimal Lubis, 1992. Apabila dibandingkan aspek-aspek teknis agronomis usahatani karet dengan
kelapa sawit, ditemui beberapa kemudahan-kemudahan dalam membudidayakan kelapa sawit seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Usahatani Karet dengan Kelapa Sawit Ditinjau dari Aspek Teknis Budidaya
No Komponen
Aspek Teknis
Karet Kelapa Sawit
Keterangan
1 Panen
Perdana 4-6 tahun
3 tahun Lebih cepat Kelapa
Sawit 2
Periode Panen
3-6 hari minggu 1x 7-10 hari
Lebih rutin pada Karet
3 Penyakit
menular dan fatal
Cendawan Akar Putih CAP
Relatif tidak ada penyakit
yang fatal Dapat menyebabkan
tanaman karet mati
4 Waktu jam
panen jam 6-9 pagi
Pagi-sore Penyadapan karet
pada siang hari menyebabkan hasil
turun
5 Tanaman
muda TBM Perlu penunasan
Tidak perlu Tunas yang
dibiarkan tumbuh hanya dari mata
okulasi
6 Bibit yang
umum digunakan
Stump mata tidur Polibeg
Bibit stump mata tidur lebih rentan
terhadap kematian
Universitas Sumatera Utara
7 Lubang
tanaman 400-600 lubang
143 lubang Lebih banyak
membutuhkan biaya
8 Cuaca saat
panen Tidak dapat
dipanen jika turun hujan sebelum dan
saat penyadapan Tidak
tergantung cuaca
Lateks akan curah jika panen dilakukan
saat turun hujan
9 Tenaga
panen Perlu tenaga yang
terampil Tidak mutlak
terampil Penyadapan yang
salah dapat merusak kulit tanaman karet
Sumber: Setyamidjaya D. 1991. ; Nazaruddin dan Paimin B. 1992 Siswanto dan Mudji A. 1999 ; Syukur S. 1999 dalam Daulay 2003
Analisis Usahatani
Analisis usahatani merupakan salah satu kegiatan mengurikan usahatani atas bagian-bagiannya, sehingga jelas bagian dan sifatnya serta hubungan antara salah
satu faktor produksi dengan faktor produksi yang lainnya dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi sehingga dapat
diperbaiki pada masa akan datang untuk mencapai haisl yang lebih baik dan
menguntungkan FE- UI, 1988.
Konsep dasar analisis usahatani adalah dengan membandingkan penerimaan dengan biaya dan memilih alternatif. Nilai RC ratio tidak memiliki satuan dan
memberi arti bahwa untuk setiap rupiah yang diinvestasikan akan memebrikan penerimaan sebesar RC ratio tersebut. Ukuran ekonomis menjadi penting karena
dapat dijadikan penilaian terhadap keputusan petani dan kemungkinan pengembangan komoditi tertentu Hernanto, 1993.
Biaya produksi adalah nilai dari semua korbanan input ekonomis yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produksi. Biaya produksi ini dapat dibagi
menjadi sarana produksi yang habis dipakai saprodi, tenaga kerja, penyusutan,
Universitas Sumatera Utara
bunga, modal dan sewa tanah. Pada umumnya, sebagian besar komponen biaya produksi pada pertanian rakyat terdiri dari biaya tenaga kerja dan sarana produksi
Mubyarto, 1989. Biaya dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
a. Biaya tetap, biaya yang harus dikeluarkan oleh petani yang penggunaannya
tidak habis dalam masa satu kali produksi seperti gaji karyawan, penyusutan alat dan bangunan.
b. Biaya variabel, biaya yang besar dan kecilnya tergantung jumlah produksi
seperti biaya pupuk, herbisida, alat-alat pertanian. c.
Biaya semi variabel, biaya yang sifatnya bisa dianggap tetap namun bisa juga dianggap variabel seperti biaya pemeliharaan dan perawatan.
Soekartawi, 1995
2.2. Landasan Teori