Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat

GAMBARAN SEL DARAH MERAH AYAM BROILER YANG
DIBERI TESTOSTERON DOSIS BERTINGKAT

VINDA MULYETTI D.

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Sel Darah
Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat adalah benar
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Vinda Mulyetti D.
NIM B04090170

ABSTRAK
VINDA MULYETTI D. Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi
Testosteron Dosis Bertingkat. Dibimbing oleh ARYANI S SATYANINGTIJAS
dan ANDRIYANTO.
Tingkat produktivitas ayam berhubungan erat dengan kondisi
hematologisnya. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji pemberian
testosteron terhadap karakteristik sel darah merah (jumlah eritrosit, kadar
hemoglobin, dan nilai hematokrit ayam broiler). Penelitian ini menggunakan 12
ayam broiler berumur 15 hari yang dibagi dalam 4 kelompok (K, T1, T2, dan T3).
K adalah kelompok kontrol, T1, T2, dan T3 adalah ayam broiler yang dilakukan
pemberian 1, 2, dan 4 mg testosteron. Rancangan percobaan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Analisis data
dilakukan dengan ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa testosteron berpengaruh nyata (p0.05) terhadap kadar
hemoglobin dan hematokrit. Dosis testosteron yang efektif untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah adalah 1 mg per ekor.

Kata kunci: ayam broiler, hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, testosteron

ABSTRACT
VINDA MULYETTI D. Profile of Broiler Chickens’ Red Blood Cells which
Given by Multilevel Dose of Testosterone. Supervised by ARYANI S
SATYANINGTIJAS and ANDRIYANTO.
Productivity is closely related to chicken’s hematological conditions. The
research was conducted to study the effect of testosterone given on the
characteristics of red blood cells (erythrocytes number, haemoglobin level, and
hematocrit values) of broiler chicken. 15 days of 12 broiler chickens were used in
this study, with 4 groups (K, T1, T2, and T3). K was control groups, T1, T2, and
T3 were broiler chicken which given 1, 2, and 4 mg testosteron respectively. The
design of experiment using completely randomized design with 4 treatments and 3
replications. Data analysis was using ANOVA Duncan test. Our results showed
that testosterone had significant effect (p 0.05) to the amount of hemoglobin and
hematocrit levels. Testosteron effective dose to increase erythrocytes number is 1
mg per 2 days (T1).
Keywords: broiler chicken, hematocrit, hemoglobin, number of erythrocytes,
testosterone


GAMBARAN SEL DARAH MERAH AYAM BROILER YANG
DIBERI TESTOSTERON DOSIS BERTINGKAT

VINDA MULYETTI D.

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Gambaran Sel Darah Merah Ayam Broiler yang Diberi Testosteron
Dosis Bertingkat
Nama

: Vinda Mulyetti D.
NIM
: B04090170

Disetujui oleh

Dr drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc
Pembimbing I

drh Andriyanto, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Gambaran Sel Darah Merah Ayam
Broiler yang Diberi Testosteron Dosis Bertingkat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
1.
Ibu Dr drh Aryani S Satyaningtijas, MSc dan Bapak drh Andriyanto, MSi
selaku pembimbing skripsi, yang telah banyak memberi saran,
2.
Bapak drh Chaerul Basri, MEpid selaku pembimbing akademik, yang telah
banyak memberi saran,
3.
Bapak Dr drh Agus Setiadi dan Ibu drh Okti Nadia Putri, MSi selaku dosen
penguji dalam ujian akhir sarjana kedokteran hewan, yang telah banyak
memberikan saran,
4.
Staf Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, yang telah
membantu selama pengumpulan data,
5.
Ayah, Umak, Nenek, Ni Devi, Da Nofri, Kak Vivi, Putra, Putri, Hadi, Tante

Nien, Pak Etek Azhar, Cik Eli, Tante Oka, Syeh, Raya, De Tanya, FKH 46
terutama Regina, Kak Yufi, Santa, Febi, Nadine, Amal, Fifin, Diah, Rahmat,
dan Rini, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Vinda Mulyetti D.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Ayam Pedaging

2


Hormon Testosteron

2

Sel Darah Merah

3

Hemoglobin

3

Hematokrit

4

MATERI DAN METODE

4


Waktu dan Tempat Penelitian

4

Alat dan Bahan

4

Metode Penelitian

4

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6


Sel Darah Merah

6

Hemoglobin

9

Hematokrit

10

SIMPULAN DAN SARAN

12

Simpulan

12


Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR TABEL
1 Konsumsi daging menurut jenis daging per kapita di Indonesia tahun
2006–2010

1

DAFTAR GAMBAR
1 Waktu pemberian testosteron dan pengambilan sampel
2 Rataan jumlah sel darah merah ayam yang diberi testosteron dosis
bertingkat
3 Rataan kadar hemoglobin ayam yang diberi testosteron dosis bertingkat
4 Rataan nilai hematokrit ayam yang diberi testosteron dosis bertingkat

5
7
9
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani semakin
meningkat. Dalam pemenuhan protein hewani ini, masyarakat banyak memilih
ayam ras pedaging, diduga karena harga daging ayam broiler lebih terjangkau
dibandingkan jenis daging lain. Data yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa konsumsi daging ayam broiler per kapita di Indonesia adalah yang paling
tinggi setiap tahunnya, dibandingkan jenis-jenis daging lainnya. Oleh karena itu,
industri peternakan ayam harus meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi
ternak dapat dilakukan dengan penggunaan bibit unggul yang membutuhkan
waktu relatif lama. Alternatif lain untuk meningkatkan produksi ternak adalah
dengan penggunaan hormon growth promotor steroid (HGPs). Lima jenis
hormon steroid yang paling banyak digunakan dalam produksi daging adalah
estradiol 17, testosteron, progesteron, trenbolone, dan zeranol (Passantino 2012).

Tabel 1 Konsumsi daging menurut jenis daging per kapita di Indonesia tahun
2006–2010
Jumlah konsumsi per tahun (kg/kapita)
No Jenis daging
2006
2007
2008
2009
2010
1 Sapi
0,313
0,417
0,365
0,313
0,365
2 Kerbau
0,052
0,000
0,000
0,000
0,000
3 Kambing
0,052
0,052
0,052
0,000
0,000
4 Babi
0,261
0,261
0,209
0,209
0,000
5 Ayam
3,024
4,119
3,806
3,598
4,171
6 Unggas lainnya
0,052
0,052
0,052
0,052
0,000
7 Daging lainnya
0,052
0,052
0,052
0,052
0,000
Sumber : Susenas Badan Pusat Statistik (2011)

Produktivitas ayam broiler berhubungan erat dengan kondisi
hematologisnya, sebab darah merupakan komponen penting untuk berbagai fungsi
tubuh, misalnya: transpor nutrisi, karbon dioksida, dan oksigen (Frandson 1992;
Rizkiawati 2012; Triana dan Nurhidayat 2006). Oleh karena itu, status fisiologis
dapat diukur melalui status darah, sehingga perlu dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan gambaran darah ayam (jumlah sel darah merah,
kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit). Penelitian ini menggunakan testosteron
sebagai solusinya, yang diharapkan mampu meningkatkan fungsi hematologis.
Sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (1997) bahwa penyuntikan testosteron
dengan dosis normal akan meningkatkan jumlah sel-sel darah merah 15–20%.

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran darah ayam broiler
yang diberi testosteron dosis bertingkat dengan cara mengukur jumlah sel darah
merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.

Manfaat Penelitian
Data dari gambaran sel darah merah ayam yang diberi berbagai dosis
testosteron dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengetahui efek pada
sistem sirkulasi dengan menggunakan herbal yang mengandung senyawa mirip
testosteron dan perbaikan pola pemeliharaan dan pengembangan ayam hias.
Selain itu, data ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan penelitian
selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Pedaging
Di Indonesia ayam pedaging atau ayam potong biasa disebut ayam broiler.
Ayam broiler adalah istilah untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi yang
memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhannya cepat sebagai
penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada usia relatif muda, serta
menghasilkan daging yang bersifat lunak (Suhaeni 2005). Strain ayam ras
pedaging banyak beredar di pasaran. Adapun jenis strain ayam ras pedaging yang
banyak beredar di pasaran adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman
202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto, Arbor
arcres, Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma, Langshans, Hypeco-Broiler,
Ross, Euribrid, AA 70, HN, Sussex, Bromo, dan CP 707 (Dishutbunnak 2012).
Diantara bibit ayam ras pedaging terdapat perbedaan yang turut ditentukan oleh
peternak atau lembaga yang mengembangkannya. Perbedaan itu umumnya
terdapat pada pertumbuhan ayam, konsumsi ransum, atau konversi ransumnya.
Pertumbuhan yang cepat berkorelasi dengan konsumsi ransum yang lebih banyak,
tingkat mortalitas yang tinggi, atau penumpukan lemak yang meningkat dimasa
akhir pemeliharaan (Rasyaf 2008).

Hormon Testosteron
Testosteron adalah hormon steroid tipe androgen yang paling poten
(Granner 2009). Androgen disintesis oleh testis, ovarium, dan korteks adrenal
jantan dan betina (Granner 2009; Pramayadi et al. 2008). Testosteron terbentuk
dari reduksi androstenedion di posisi C17 (Granner 2009). Menurut Guyton dan
Hall (1997), testosteron memiliki banyak pengaruh di dalam tubuh, salah satunya
adalah memengaruhi eritropoiesis. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
penyuntikan testosteron dengan dosis normal pada manusia yang dikastrasi akan

3

meningkatkan jumlah sel-sel darah merah 15–20%. Dosis yang biasa diberikan
adalah 100 mg per minggu, atau 200 sampai 300 mg per 2 sampai 3 minggu
(Rhoden dan Morgentaler 2004).

Sel Darah Merah
Karakteristik morfologi sel darah merah dewasa unggas adalah oval, ukuran
sedang, dan inti oval. Inti dari sel darah merah dewasa terkondensasi dan ungu
tua. Inti sel darah merah bervariasi sesuai dengan usia, semakin tua sel darah
merah akan menjadi lebih kental dan lebih gelap (Ritchie et al. 1994). Menurut
Samour (2008), jumlah sel darah merah ayam normal adalah 2,2–3,3x106/mL.
Seluruh sel darah pada hewan dewasa berasal dari sumber yang sama, yaitu sel-sel
batang primordia yang terdapat pada sumsum tulang (Frandson 1992). Dalam
minggu-minggu pertama kehidupan embrio, sel-sel darah merah primitif yang
berinti diproduksi dalam kantong kuning telur. Selama pertengahan trimester
masa gestasi, sel darah merah diproduksi di hati, limpa dan limfonodus.
Sedangkan sesudah lahir, sel-sel darah merah diproduksi oleh sumsum tulang
(Frandson 1992). Jangka hidup sel darah merah pada ayam adalah 28 hari. Sel
darah merah mati pada jumlah yang besar setiap harinya. Oleh karena itu, sel-sel
sumsum tulang merupakan sel yang tumbuh dan bereproduksi paling cepat
diseluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah
(Swenson 1984). Kecepatan produksi dan pematangan dipengaruhi oleh keadaan
nutrisi. Nutrisi yang harus ada untuk eritropoiesis normal adalah asam amino,
asam lemak essensial, mineral, dan vitamin (Meyer dan Harvey 2004). Gambaran
hematologi (jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan
diferensiasi leukosit) pada ayam juga dipengaruhi oleh umur ayam (Talebi et al.
2005).

Hemoglobin
Hemoglobin merupakan ikatan dari empat molekul protein (rantai
hemoglobin) yang terhubung bersama-sama secara longgar (Guyton dan Hall
1997). Hemoglobin embrional terdiri dari β rantai α dan β rantai ϵ. Hemoglobin
embrional dikomposisikan ke dalam sebuah tetramer rantai ϵ yang akan
menghilang setelah hidup selama 3 bulan di intrauterus (Rapaport 1987).
Hemoglobin fetus (Hgb F) terdiri dari β rantai α dan β rantai . Produksi rantai α
dimulai sejak awal kehidupan fetus dan terus berlanjut, sedangkan produksi rantai
akan terus menurun sebelum kelahiran dan digantikan oleh peningkatan rantai .
Hemoglobin dewasa (Hgb A) terdiri dari empat rantai polipeptida, yaitu: 2 rantai
α dan β rantai (Rapaport 1987).
Setiap tetramer terikat dengan gugus heme yang mengandung besi (Fawcett
2002). Masing-masing polipeptida dapat berikatan dengan satu molekul oksigen.
Afinitas hemoglobin terhadap oksigen membentuk oksihemoglobin di dalam sel
darah merah (Soma et al. 2013). Oksigen akan memengaruhi kadar hemoglobin
(Olver et al. 2010). Kadar hemoglobin juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Jantan
memiliki kadar hemoglobin lebih tinggi dibandingkan kadar hemoglobin betina

4

karena jumlah sel darah merah jantan lebih tinggi (Frandson 1992). Kadar
hemoglobin bervariasi pada setiap spesies. Kadar normal hemoglobin ayam yaitu
6.5–9 g/dL (Swenson 1984). Banyak faktor yang berperan dalam sintesis
hemoglobin, yaitu protein (Pratiwi 2012), Fe (Arifin 2008; Listyawati 2003;
Wahyuni et al. 2012), dan Cu (Setiyawan dan Piliang 2011).

Hematokrit
Hematokrit atau PCV (packed cell volume) adalah proporsi sel darah
dengan total volume darah, dan sering dianggap sebagai indikator agregat
kesehatan secara keseluruhan. Rendahnya nilai PCV dapat disebabkan oleh
kehilangan darah, kerusakan sel darah merah, atau turunnya produksi sel darah
merah. Sedangkan tingginya nilai PCV dapat disebabkan karena dehidrasi atau
permintaan energi meningkat sehingga perlu untuk meningkatkan kapasitas
pembawa oksigen (Milenkaya et al 2013).

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan Mei sampai Juni 2012. Penelitian ini dilakukan di
Kandang Hewan Coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi
Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah gelas ukur, spuid 1 mL, vacutainer, cooling
box, pipet eritrosit, hemositometer, kamar hitung neubauer, mikroskop cahaya,
alat hitung, tabung sahli, pipet sahli, alat baca mikrohematokrit, alat pemusing
(mikrosentrifuse), pipet mikrokapiler yang bertanda merah, dan crestaseal. Bahan
yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler sebanyak 12 ekor,
disinfektan, sekam, vitamin, vaksin Newcastle Disease (ND), kapas, alkohol 70%,
testosteron, NaCl 0.9%, etilen diamino tetraacetic acid (EDTA), pelarut Rees dan
Ecker, dan HCl 0.1 N.

Metode Penelitian
Persiapan kandang
Sebelum pelaksanaan penelitian, kandang ayam terlebih dahulu dibersihkan,
diberi kapur, kemudian disemprot dengan disinfektan. Untuk menjaga
kenyamanan hewan coba, kandang diberi 2 buah lampu untuk pencahayaan dan
penghangat suhu ruangan. Selain itu, lantai kandang juga dilapisi sekam kering.

5

Kandang dibagi menjadi 4 bagian dengan tiap bagiannya diisi 3 ekor ayam.
Masing-masing bagian adalah bagian kontrol (K), perlakuan 1 (T1), perlakuan 2
(T2), dan perlakuan 3 (T3).
Persiapan Hewan
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam berumur 1 hari
(DOC). Hari pertama, DOC diberi minum dengan campuran air gula dan
multivitamin. Pemberian multivitamin dilakukan selama 3 hari dengan dosis 0.5 g
per L. Sebelum perlakuan, pakan dan minum diberikan ad libitum. Vaksinasi ND
diberikan pada saat ayam berumur 5 hari dengan cara tetes mata. Masa adaptasi
dilakukan selama 14 hari. Sebanyak 12 ekor ayam dengan bobot badan yang sama
dibagi dalam 4 kelompok perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut ialah K
(kelompok ayam yang diberikan perlakuan NaCl fisiologis sebanyak 0.1 mL) dan
kelompok ayam yang diberi testosteron dengan dosis bertingkat, yaitu T1
(perlakuan 1 dengan dosis 1 mg per ekor yang disuntikkan sebanyak 0.05 mL), T2
(perlakuan 2 dengan dosis 2 mg per ekor yang disuntikkan sebanyak 0.1 mL), dan
T3 (perlakuan 3 dengan dosis 4 mg per ekor yang disuntikkan sebanyak 0.2 mL).
Pemberian perlakuan dilakukan sebanyak 7 kali dengan cara injeksi intramuskular
(IM) yang dilakukan saat ayam berumur 15 hari sampai 27 hari (Gambar 1).
Pengambilan sampel darah
Pengambilan sampel darah ayam dilakukan 3 kali yaitu pada ayam berumur
18, 23, dan 28 hari (Gambar 1). Pengambilan darah dilakukan melalui vena
axillaris sebanyak 0.5–1 mL. Sampel darah ditampung dalam tabung reaksi yang
diberi EDTA (1 mg per tabung). Tabung dikocok secara perlahan dan dimasukkan
ke dalam cooling box. Hal ini dilakukan agar darah tidak menggumpal atau
memecah sewaktu diperiksa di laboratorium. Waktu pemberian testosteron dan
pengambilan sampel darah disajikan pada Gambar 1.
pemberian testosteron
0

15

18

23

27

28

umur
ayam
(hari)

pengambilan sampel
Gambar 1 Waktu pemberian testosteron dan pengambilan sampel darah (hari)
Penghitungan jumlah sel darah merah
Darah dihisap dengan pipet eritrosit sampai batas tera 0.5. Darah tersebut
dicampur dengan pelarut Rees dan Ecker sampai dengan batas 101. Isi pipet
dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8. Cairan dimasukkan ke kamar
hitung, kemudian dilakukan penghitungan di bawah mikroskop (Staf Unit
Fisiologi FKH-IPB 2012).

6

Penghitungan kadar hemoglobin
Pemeriksaan dilakukan dengan metode Sahli. Tabung sahli diisi dengan
larutan HCl 0.1 N sampai dengan angka 10 tertera pada pipet. Darah dihisap
menggunakan pipet sahli sampai batas angka 20 secara perlahan-lahan. Ujung
pipet dibersihkan dan darah yang ada di dalamnya segera dikeluarkan ke dalam
tabung sahli. Tabung sahli diletakkan di antara kedua bagian standar warna dalam
hemoglobinometer. Pencampuran antara darah dan HCl 0.1 N dibiarkan selama 3
menit sampai terbentuk asam hematin yang berwarna cokelat. Kemudian aquades
ditambahkan tetes demi tetes ke dalam tabung sambil diaduk sampai warnanya
sama dengan warna standar. Nilai hemoglobin ditentukan dengan melihat skala
g% tinggi permukaan cairan pada tabung sahli (Staf Unit Fisiologi FKH-IPB
2012).
Penghitungan nilai hematokrit
Darah dimasukkan ke dalam mikrokapiler yang bertanda merah sampai 4/5
bagian pipa mikrokapiler. Ujung mikrokapiler disumbat dengan crestaseal. Pipapipa kapiler ditempatkan dalam alat pemusing (mikrosentrifuse), kemudian
diputar dengan kecepatan 2500–4000 rpm selama 15 menit. Nilai hematokrit
ditentukan dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (Staf Unit Fisiologi
FKH-IPB 2012).

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh, yaitu: jumlah sel darah merah,
kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dianalisis dengan analisis ragam
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sel Darah Merah
Sel darah hewan dewasa berasal dari sumber yang sama, yaitu sel-sel batang
primordia yang terdapat pada sumsum tulang (Frandson 1992). Hal ini didukung
oleh Kang et al. (2005) yang menyatakan bahwa di dalam sumsum tulang terdapat
dua jenis sel stem, yaitu: sel stem hematopoietik dan sel stem mesenkim. Sel stem
hematopoietik pluripoten merupakan asal dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi. Selsel stem berdiferensiasi membentuk sel stem yang committed untuk satu jenis sel
darah (Suega 2010). Pada eritropoiesis sel stem berdiferensiasi menjadi burst
forming units-erytroid (BFU-E). BFU-E berdiferensiasi menjadi colony-forming
unit-erytroid (CFU-E) atau unit pembentuk koloni sel darah merah (Rapaport
1987). Rangsangan yang sesuai pada CFU-E akan membentuk proeritroblast yang
banyak. Proeritroblast akan membelah dan membentuk basofil eritroblast, dan
menjadi retikulosit saat retikulum endoplasma direabsorbsi. Retikulosit akan
keluar dari sumsum tulang dan masuk ke dalam kapiler darah dengan cara
diapedesis (Guyton dan Hall 1997).

7

Karakteristik morfologi sel darah merah dewasa unggas adalah oval, ukuran
sedang, dan inti oval (Ritchie et al. 1994). Bentuk oval atau bikonkaf
meningkatkan rasio permukaan terhadap volume sel darah merah sehingga
mempermudah pertukaran gas. Inti dari sel darah merah dewasa terkondensasi dan
berwarna ungu tua. Inti sel darah merah bervariasi sesuai dengan usia, semakin
tua sel darah merah akan menjadi lebih kental dan lebih gelap (Ritchie et al.
1994).
Pematangan dan kecepatan produksi dipengaruhi oleh keadaan nutrisi.
Nutrisi yang harus ada untuk eritropoiesis normal adalah asam amino, asam lemak
essensial, mineral, dan vitamin (Meyer dan Harvey 2004). Vitamin yang
dibutuhkan dalam eritripoiesis adalah vitamin B12, B6, B2, B3, B5, B1, B7, dan
C. Mineral yang dibutuhkan dalam eritropoiesis adalah besi, kobalt, dan tembaga
(Swenson 1984). Jumlah sel darah merah ayam yang diberi testosteron disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 2

Rataan jumlah sel darah merah ayam (juta/mm3) umur 18, 23, dan
28 hari yang diberi testosteron dosis bertingkat

Pada Gambar 2 jumlah sel darah merah pada pengambilan darah umur 18,
23, dan 28 hari tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga perbandingan
pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan yaitu antarperlakuan K, T1, T2,
dan T3. Jumlah sel darah merah ayam normal adalah 2.2–3.3x106/mL (Samour
2008). Pemberian testosteron berpengaruh dalam meningkatkan jumlah sel darah
merah ayam (p0.05) terhadap karakteristik darah domba Priangan.
Karakteristik darah yang diperiksa adalah jumlah sel darah merah, kadar
hemoglobin, dan hematokrit. Hal ini dapat terjadi karena domba Priangan yang
diteliti sudah sanggup memproduksi hormon testosteron endogenous secara
maksimal. Oleh sebab itu, penambahan testosteron propionat dari luar tubuh tidak
memberikan makna terhadap proses eritropoiesis (Isroli 2001).
Jumlah sel darah merah dapat menurun yang disebabkan oleh kekurangan
gizi, misalnya kekurangan Fe, asam folat, dan vitamin B12. Kekurangan vitamin
B12 dan asam folat menyebabkan kegagalan pematangan sel darah merah.
Vitamin B12 dan asam fosfat dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat
yang merupakan blok pembangun penting dari DNA (Guyton dan Hall 1997).
Bullock et al. (2010) menyebutkan bahwa jika kekurangan Fe, committed
erythroid progenitors kehilangan tanggap terhadap eritropoietin. Eritropoietin
dibutuhkan untuk diferensiasi sel darah merah pada sel progenitor committed

9

(Bullock et al. 2010). Fe terutama digunakan oleh sumsum tulang, dimana besi
diikat oleh transferin reseptor (TfR) pada sel prekursor sel darah merah dan
digunakan untuk sintesis heme (Suega 2012). Penurunan jumlah sel darah merah
juga dapat disebabkan penyakit ginjal kronis dan/atau gangguan kronis lainnya
(artritis, diabetes, peningkatan serum protein C-reaktif, atau faktor reumatoid
positif) dan sindrom myelodysplastic (macrocytosis, trombositopenia, dan
neutropenia) (Price dan Schrier 2013).

Hemoglobin
Hemoglobin merupakan protein yang terdiri dari empat rantai polipeptida,
yaitu: β rantai α-identik dan β rantai -identik. Setiap tetramer terikat dengan
gugus heme yang mengandung besi (Fawcett 2002). Masing-masing polipeptida
dapat berikatan dengan satu molekul oksigen. Polipeptida dapat mengikat O2
ketika besi dalam bentuk ferrous (Fe++) (Powell 2000).
Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblast dan dilanjutkan sedikit
dalam stadium retikulosit. Pembentukan hemoglobin dimulai dengan suksinilKoA yang dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk
molekul pirol. Empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX dan
bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Setiap molekul heme
bergabung dengan rantai polipeptida yang disebut dengan globin dan membentuk
suatu subunit hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin. Empat dari molekul
akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul
hemoglobin yang lengkap. Setiap rantai mempunyai sekelompok prostetik heme
sehingga terdapat empat atom besi dalam setiap molekul hemoglobin. Masingmasing dapat berikatan dengan satu molekul oksigen, setiap molekul hemoglobin
dapat mengangkut empat molekul oksigen (Guyton dan Hall 1997).
Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 mL darah. Kadar
hemoglobin ayam yang diberi testosteron disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3

Rataan kadar hemoglobin ayam (g%) umur 18, 23, dan 28 hari
yang diberi testosteron dosis bertingkat

10

Pada Gambar 3 kadar hemoglobin pada pengambilan darah umur 18, 23,
dan 28 hari tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga perbandingan
pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan yaitu antarperlakuan K, T1, T2,
dan T3. Kadar normal hemoglobin ayam yaitu 6.5–9 g/dL (Swenson 1984).
Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar hemoglobin ayam pada penelitian ini sedikit
di bawah normal. Faktor yang mungkin dapat menyebabkan hal tersebut adalah
fisiologis ayam (umur ayam relatif muda dan strain ayam), dan lingkungan (suhu
dan kelembapan), serta pakan.
Analisis statistik menunjukkan pemberian testosteron tidak memengaruhi
kadar hemoglobin ayam (p>0.05). Tidak adanya perbedaan (p>0.05)
antarperlakuan diduga karena testosteron tidak memengaruhi sintesis hemoglobin.
Hal ini diduga efek androgen dalam eritropoiesis yang langsung terhadap eritron
dan secara tidak langsung terhadap pembentukan eritropoietin di ginjal.
Eritropoietin hanya berinteraksi dengan BFU-E dan CFU-E (Murray 2009),
sedangkan sintesis hemoglobin dimulai pada tahap selanjutnya, yaitu dalam
proeritroblast dan sedikit dalam stadium retikulosit (Guyton dan Hall 1997).
Tidak adanya perbedaan (p>0.05) antarperlakuan disebabkan juga oleh
singkatnya waktu penelitian. Penelitian ini hanya mengukur gambaran sel darah
merah ayam yang diberi testosteron kurang dari 2 minggu, padahal dalam
penelitian Saad et al. (2011) induksi testosteron pada laki-laki yang menderita
hipogonad menunjukkan peningkatan terhadap kadar hemoglobin setelah 3 bulan
pemberian dan mencapai maksimum setelah 9–12 bulan. Penelitian yang
dilakukan Kenny et al.(2000) juga mendapatkan hasil bahwa pemberian
testosteron jangka pendek secara transdermal atau intramuskular tidak
memengaruhi hemoglobin pria berumur diatas 70 tahun.
Rendahnya kadar hemoglobin di dalam darah dapat disebabkan oleh
sitoplasma sel darah merah berinti tidak berhasil mengikat Fe untuk pembentukan
Hb, yang dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Rendahnya
kadar Fe dalam darah dapat disebabkan kekurangan gizi, gangguan absorbsi Fe
(terutama dalam lambung), dan kebutuhan tubuh yang meningkat akan besi
(perdarahan). Penyebab ketidakberhasilan sel darah merah berinti untuk mengikat
besi juga dapat disebabkan oleh rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini
dikarenakan sel darah merah berinti maupun retikulosit hanya memiliki reseptor
transferin bukan reseptor Fe (Guyton dan Hall 1997).
Penurunan kadar hemoglobin juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan
sintesis asam amino, terutama glisin sehingga sintesis hemoglobin terganggu
(Guyton dan Hall 1997). Hal ini didukung oleh Yanti et al. (2013) yang
menyatakan bahwa dalam sintesis hemoglobin diperlukan 3 bagian utama, yaitu:
protoporfirin, globin, dan mineral Fe.

Hematokrit
Nilai hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah suatu istilah yang
artinya persentase zat padat (berdasar volume) dari darah (Frandson 1992).
Peningkatan jumlah sel darah merah akan membuat nilai hematokrit ikut
meningkat pula (Sukenda et al 2008). Nilai hematokrit bervariasi pada setiap
spesies. Menurut Samour (2008), nilai normal hematokrit ayam 24–43%.

11

Penyimpangan nilai hematokrit berpengaruh terhadap kemampuan darah dalam
membawa oksigen (Cunningham 2002). Nilai hematokrit ayam yang diberi
testosteron disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4

Rataan nilai hematokrit ayam (%) umur 18, 23, dan 28 hari yang
diberi testosteron dosis bertingkat

Pada Gambar 4 nilai hematokrit pada pengambilan darah umur 18, 23, dan
28 hari tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga perbandingan
pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan yaitu antarperlakuan K, T1, T2,
dan T3. Analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian testosteron tidak
memengaruhi (p>0.05) nilai hematokrit ayam. Hal ini berbeda dengan jumlah sel
darah merah ayam yang meningkat signifikan (p