Studi Aspek Kenyamanan Ruang Pedestrian dalam Rangka Peningkatan Efektivitas Penggunaannya pada Kawasan Jalan M H Thamrin Jend Sudirman Jakarta

(1)

STUDI ASPEK KENYAMANAN RUANG PEDESTRIAN

DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIVITAS

PENGGUNAANNYA PADA KAWASAN JALAN

M.H. THAMRIN-JEND. SUDIRMAN JAKARTA

MIMI RAHMIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 9


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul STUDI ASPEK KENYAMANAN RUANG PEDESTRIAN DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIVITAS PENGGUNAANNYA PADA KAWASAN JALAN M.H. THAMRIN-JEND. SUDIRMAN JAKARTA, merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis Saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Mimi Rahmiati NRP A.352040021


(3)

ABSTRACT

MIMI RAHMIATI. The Study of The Comfortness Aspects at Pedestrian Space in order to Increase Its Use Effectiveness on M.H. Thamrin-Jend. Sudirman Street Jakarta. Under the direction of BAMBANG SULISTYANTARA and NURHAYATI H.S. ARIFIN.

The aim of this study were to analyze the three major factors which built the comfortness at pedestrian space on M.H. Thamrin-Jend. Sudirman street of Jakarta and to propose some recommendations for enhancing the effectiveness function of it. There were three methods used, Temperature Humidity Index (THI) criteria to represent climatic aspect, Scenic Beauty Estimation (SBE) value to represent visual aspect, and Chi-square to analyze perception-preference of user to the site. Based on the field study, the THI of the site was beyond the comfort zone (THI >26). The SBE value resulted the highest score was 98,8 and the lowest score was -76,2, and 20% of the scenery were considered as good view (the scores above 75,0) and 26% considered as lower scores (bad views, the scores under and/or equal 25). The Chi-square was showed that user jobs were the most influence factor to describe their appreciation to the site. The job background was related with 41,18% of the perception and 36,67% of the preference user. Those facts showed that the user job was related with comfortness conditions of the site especially for mobilizations to and from their office surroundings it. This study proposed the physical and functional comfortness can be reached by a better planning and design that considering materials, structures, dimensions, and placing of the street furniture. To enhance the climatic comfortness, it can be reached by providing shade of structures and plants canopy, monitoring and controlling the volume and gas emission of the vehicle, and planting plants that absorb pollution. And to enhance visual quality, it can be done by designing the site that combine hard materials and plants such of flowering plants and good maintenance of the site.

Keywords: pedestrian space, climatic comfortness, visual quality, physical comfortness


(4)

RINGKASAN

MIMI RAHMIATI. Studi Aspek Kenyamanan Ruang Pedestrian Dalam Rangka

Peningkatan Efektivitas Penggunaannya Pada Kawasan Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman Jakarta. Dibimbing oleh BAMBANG SULISTYANTARA dan NURHAYATI H.S. ARIFIN.

Kawasan jalan M.H. Thamrin–Jend. Sudirman Jakarta, merupakan kawasan jalan yang banyak dilalui oleh pengguna jalan, termasuk pejalan kaki. Sejak awal tahun 1980 hingga awal tahun 2000, penyediaan fasilitas jalur sirkulasi di kawasan ini yaitu berupa ruang pedestrian, kurang memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Pemikiran untuk memanusiakan lingkungan jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, secara konseptual muncul pada tahun 1981 dengan rencana penataan kawasan oleh Dinas Pertamanan. Namun baru pada tahun 2002, setelah kondisi sosial, politik dan ekonomi mulai stabil, ide untuk mengembangkan pedestrian jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman kembali dimunculkan oleh Gubernur Sutiyoso hingga sekarang.

Meskipun kondisi saat ini telah lebih baik daripada sebelumnya, masih terdapat permasalahan mengenai apresiasi pengguna ruang terhadap jalur pedestrian tersebut. Terutama dalam menunjang kenyamanan pengguna ruang, seperti kondisi fisik dan iklim mikro yang terbentuk pada ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman ini. Oleh karena itu, pada studi ini akan dianilisis aspek-aspek penunjang kenyamanan ruang, yaitu kenyamanan fisik/fungsi, klimatik dan visual yang dihubungkan dengan apresiasi pengguna mengenai persepsi dan preferensinya terhadap kenyamanan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis kondisi faktual ruang pedestrian kaitannya dengan faktor klimatik dan fisik; (2) Menganalisis persepsi dan preferensi pengguna ruang; (3) Menganalisis kualitas visual/keindahan; (4) Menganalisis hubungan persepsi dan preferensi dengan faktor-faktor kenyamanan klimatik, fisik dan visual/keindahan; dan (5) Menyusun rekomendasi terkait dengan kebijakan, pengelolaan dan perbaikan fisik untuk meningkatkan kenyamanan yang diharapkan oleh pengguna.

Penelitian ini dilaksanakan di jalur pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta dengan total panjang ± 6200 meter. Penelitian dilaksanakan


(5)

mulai bulan Mei 2007 sampai dengan Oktober 2007. Metode penelitian terdiri atas beberapa analisis data yang meliputi: Analisis Klimatik, Analisis Kondisi Fisik, Analisis Visual/Scenic Beauty Estimation (SBE), Analisis Chi-Square

(Persepsi dan Preferensi ), dan Analisis Kebijakan dan Pengelolaan.

Secara umum, kondisi ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta saat ini sudah lebih baik melalui penataan pedestrian yang dituangkan dalam kebijakan peraturan daerah. Meskipun demikian, lanskap yang telah telanjur terbangun ini menyebabkan banyak menemui kendala dalam rangka mengoptimalisasi fungsi pedestrian yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kondisi fisik tapak yang masih mengganggu mobilisasi pengguna untuk mengakses ruang-ruang pada tapak. Kondisi ruang yang terbangun tersebut belum sepenuhnya mendukung kenyamanan klimatik, hal ini terlihat terutama pada kondisi puncak panas harian (antara pukul 11.00-14.00 WIB), nilai THI lebih dari 26. Kondisi klimatik tersebut menyebabkan pengguna ruang masih memilih menggunakan kendaraan didalam mobilisasinya untuk berpindah titik atau lokasi di sepanjang jalur pedestrian ini, daripada berjalan kaki menggunakan jalur pedestrian. Hal ini mengindikasikan bahwa kenyamanan di dalam ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman belum sepenuhnya memenuhi keinginan pengguna ruang.

Berdasarkan persepsi responden, kategori uji jenis pekerjaan sangat mempengaruhi latar belakang responden dalam mengapresiasikan persepsinya terhadap kondisi pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman (41,18%). Hal ini sangat lazim apabila melihat pentingnya pedestrian sebagai tempat mobilisasi pengguna tapak dalam rangka mencapai titik-titik atau ruang-ruang di dalamnya. Sedangkan preferensi responden menunjukkan bahwa kategori uji tingkat pendidikan (40%), jenis pekerjaan (36,67%) dan umur (33,33%) mempe-ngaruhi apresiasi keinginannya terhadap kondisi pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman. Kenyataan ini memberikan kecenderungan yang lebih baik, artinya bahwa masyarakat sudah lebih sadar terhadap lingkungan terutama hubungannya dengan kebijakan-kebijakan publik.

Menurut persepsi dan preferensi responden tersebut, kondisi fisik pedestrian merupakan faktor yang lebih dominan sebagai penunjang kenyamanan


(6)

beraktivitas pada ruang pedestrian. Sedangkan kenyamanan visual bukan merupakan faktor dominan sebagai penunjang kenyamanan. Meskipun demikian, untuk membentuk sebuah fasilitas publik yang baik maka hendaknya selain kenyamanan fisik fasilitas itu sendiri, kenyamanan visual harus juga diperhatikan.

Kenyamanan visual pada tapak dapat dibentuk melalui kualitas visual yang tinggi. Kualitas visual tinggi, yang diinginkan oleh pengguna tapak adalah pemandangan yang memiliki karakteristik tatanan yang rapi dari pohon serta konfigurasi tanaman pada pedestrian dan di sekelilingnya, badan pedestrian yang cukup lebar sehingga memberikan kesan luas terhadap ruang tersebut. Selain itu, kesan nyaman dan teduh yang ditimbulkan bayangan gedung-gedung memberikan stimulus kepada pengguna ruang untuk bergerak leluasa dan pandangan yang luas serta menyeluruh.

Kombinasi kenyamanan fisik/fungsi, klimatik dan visual tersebut merupakan unit yang menyatu di dalam sebuah lanskap pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta. Untuk ke depannya, kebijakan peren-canaan mengenai penataan pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman seharusnya mampu mengakomodasikan faktor-faktor kenyamanan tersebut. Melalui perencanaan yang lebih baik, hendaknya lanskap yang terbangun tidak hanya memiliki keberpihakan pada pemilik bangunan dan pengguna jalan, tetapi juga pada pejalan kaki.

Peningkatan kenyamanan lebih diarahkan pada kenyamanan fisik/klimatik pedestrian, hubungannya dengan kemudahan pergerakan pengguna. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi iklim mikro (suhu, kelembaban, angin dan sinar matahari), peningkatan kualitas fisik pedestrian, dari bahan dan material serta disain serta penempatan dan kesesuaian kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture). Sedangkan kenyamanan visual, sebagai faktor pendukung kenyamanan dapat dicapai melalui penataan yang rapi antara elemen-elemen lunak (softscape) seperti tanaman dan elemen keras (hardscape) yaitu perlengkapan (misalnya peralatan pengatur lalu-lintas, bangunan pelengkap jalan, aksesoris jalan dan penerangan) dan kelengkapan (marka jalan, patok penuntun/deliniator, patok kilometer, keping penggoncang, jembatan, ponton, patung, jam, papan iklan, dan lainnya) jalan.


(7)

@

Hak cipta milik

Institut Pertanian Bogor

, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(8)

STUDI ASPEK KENYAMANAN RUANG PEDESTRIAN

DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIVITAS

PENGGUNAANNYA PADA KAWASAN JALAN

M.H. THAMRIN-JEND. SUDIRMAN JAKARTA

MIMI RAHMIATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 9


(9)

(10)

Judul Tesis : STUDI ASPEK KENYAMANAN RUANG PEDESTRIAN DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIVITAS

PENGGUNAANNYA PADA KAWASAN JALAN M.H.

THAMRIN-JEND. SUDIRMAN JAKARTA

Nama : Mimi Rahmiati

NRP : A.352040021

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. NIP 19591106 198501 1 001 NIP 19560404 198011 1 002


(11)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan kasih, karunia, rahmat dan tuntunanNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tulisan tesis ini. Seiring dengan pembangunan perkotaan, hendaknya diiringi dengan kebijakan perencanaan fasilitas publik yang lebih baik dan menjamin kenyamanan bagi penggunanya. Tesis ini mengangkat apresiasi pengguna dalam bentuk persepsi dan preferensi pada ruang pedestrian jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta. Alasan pemilihan ruang pedestrian adalah masih kurangnya perhatian dari pemerintah daerah dalam merencanakan ruang pedestrian yang baik dan nyaman, padahal fasilitas ini memegang peranan penting terutama bagi para pejalan kaki bermobilisasi. Selain apresiasi pengguna, Tesis ini juga menganalisis kondisi fisik, mikro-klimatik, visual dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan ruang pedestrian.

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor fisik memegang peranan terbesar dalam membentuk ruang pedestrian yang baik dan nyaman. Menurut pengguna, ruang pedestrian yang nyaman dicirikan dengan kondisi fisik pedestrian yang terawat baik, lebar dan didukung dengan kualitas pemandangan sekitar yang indah serta mampu memberikan keteduhan. Sedangkan pedestrian yang tidak terawat, sempit, pemandangan yang tidak baik dan panas, merupakan karakteristik yang tidak dikehendaki oleh pengguna. Oleh karena itu, dalam perencanaan di masa depan, diharapkan faktor fisik mendapat perhatian lebih besar dengan tetap mempertimbangkan aspek visual dan mikro-klimatik yang akan dibangun nantinya.

Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak sebagai berikut:

1. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan-bimbingannya didalam penyusunan tesis ini. 2. Suami dan kedua putri tercinta, yang memberikan dorongan moral yang luar

biasa, doa dan motivasi sehingga menjadi inspirator bagi Penulis untuk menyelesaikan tesis ini.


(12)

ii

3. Bapak Drs. Yayat dan Ibu Dra. Sri Rahayu dari Dinas BPLHD Provinsi DKI Jakarta, Bapak Ir. Budhiyakto dan Bapak Drs. Dodo Supendi dari Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, yang telah membantu didalam menyediakan data-data sekunder dan pendukung selama proses penelitian.

4. Mahasiswa Program Studi Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor dan Universitas Trisakti Angkatan Tahun 2003 dan 2004, selaku responden didalam penilaian aspek estetika tapak.

5. Responden studi persepsi dan preferensi, yaitu pengguna ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin–Jend. Sudirman, Jakarta.

6. Teman, kolega, sahabat dan semua pihak yang telah membantu, baik melalui dorongan moral dan spiritual selama proses penelitian, penyusunan dan penulisan tesis ini.

Kritik dan saran sangat diperlukan Penulis untuk memberikan wawasan berpikir yang lebih baik bagi kemajuan tulisan-tulisan selanjutnya. Atas perhatian semua pihak, Penulis mengucapkan terimakasih.

Bogor, Agustus 2009


(13)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 16 Nopember 1961 di Jakarta, sebagai putri terakhir dari enam bersaudara pasangan Bapak Thabroni ZA (Alm) dan Ibu Khomsyah (Alm). Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Trisakti Jakarta Fakultas Arsitektur Lanskap, lulus pada bulan Mei tahun 1991. Pada bulan Juli tahun 2004, Penulis diterima di Program Studi Arsitektur Lanskap Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada tahun 1994 Penulis diterima bekerja di Pemda Provinsi DKI Jakarta pada Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2000 Penulis cuti untuk mengikuti tugas suami ke Amerika Serikat dan pada Juli tahun 2001 kembali ke Jakarta. Penulis pernah menduduki jabatan Kepala Seksi Bina Peran Serta Masyarakat sampai tahun 2002, kemudian ditugaskan sebagai Kepala Seksi Perencanaan pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2006 ditugaskan ke Suku Dinas Pertamanan Kotamadya Jakarta Utara pada Seksi Pengembangan Kawasan. Kemudian pada tahun 2009 Penulis dipindah kembali ke Seksi Perencanaan Suku Dinas Pertamanan Kotamadya Jakarta Pusat hingga sekarang.


(14)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Permasalahan ... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 4

1.4. Batasan Penelitian ... 4

1.5. Kerangka Pikir Penelitian ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Perkotaan dan Ruang Terbuka ... 7

2.2. Lanskap Pedestrian ... 9

2.2.1. Pengertian... 9

2.2.2. Kriteria Teknis Ruang Pedestrian ... 9

2.2.3. Vegetasi pada Jalur Pedestrian ... 11

2.2.4. Kelengkapan dan Perlengkapan Jalan (Street Furniture) ... 12

2.2.4.1. Rambu-rambu lalu lintas ... 12

2.2.4.2. Lampu jalan... 12

2.2.4.3. Halte ... 13

2.2.4.4. Utilitas ... 13

2.2.4.5. Papan reklame ... 13

2.2.4.6. Tempat duduk ... 14

2.2.4.7. Telepon, kotak pos dan tempat sampah ... 14

2.2.5. Sistem Sirkulasi dan Sistem Pedestrian ... 14

2.3.6. Jenis Pedestrian ... 17

2.3.7. Bahan Permukaan Pedestrian ... 18

2.3. Persepsi dan Preferensi ... 21

2.4. Kenyamanan Lanskap ... 22

2.4.1. Kenyamanan Klimatik ... 23

2.4.2. Kebyamanan Fisik... 24

2.4.3. Kenyamanan Visual ... 26

2.5. Pendugaan Keindahan Pemandangan ... 27

III METODOLOGI ... 29

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.2. Metode Penelitian ... 30

3.2.1. Tahap Pengumpulan Data ... 30

3.2.2. Tahap Analisis... 32

3.2.2.1. Analisis Klimatik ... 32


(15)

v

3.2.2.3. Analisis Visual/Scenic Beauty Estimation (SBE) ... 33

3.2.2.4. Analisis Chi-Square (Persepsi dan Preferensi ) ... 35

3.2.2.5. Analisis Kebijakan dan Pengelolaan ... 36

3.3. Perumusan Rekomendasi ... 36

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1. Kondisi Lanskap Pedestrian ... 38

4.2. Kebijakan dan Pengelolaan ... 41

4.3. Persepsi dan Preferensi ... 43

4.3.1 Analisis Persepsi Pengguna ... 44

4.3.2 Analisis Preferensi Pengguna... 51

4.4. Analisis Aspek Kenyamanan ... 59

4.4.1. Kenyamanan Klimatik ... 59

4.4.2. Kenyamanan Fisik/Fungsi... 65

4.4.3. Kenyamanan Visual ... 67

4.5. Analisis Integratif dan Rekomendasi ... 72

V SIMPULAN DAN SARAN ... 78

5.1. Simpulan ... 78

5.2. Saran... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(16)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lebar trotoar berdasarkan lokasi dan jumlah pejalan kaki ... 16

2. Aspek, jenis, bentuk dan sumber pengambilan data ... 31

3. Karakteristik responden analisis persepsi dan preferensi ... 44

4. Hasil uji Chi-Square persepsi responden ... 47

5. Karakter hasil uji Chi-Square terhadap persepsi responden, pada materi kuisioner yang memiliki nilai α < 0,05 ... 49

6. Hasil uji Chi-Square preferensi responden ... 53

7. Karakter hasil uji Chi-Square terhadap preferensi responden, pada materi kuisioner yang memiliki nilai α < 0,05 ... 55

8. Kondisi klimatik di wilayah Jakarta Pusat, bulan Januari-Oktober 2008 ... 60

9. Indeks suhu dan kelembaban (THI) wilayah Jakarta Pusat Tahun 2008 ... 60

10.Perbandingan hasil pengamatan suhu dan kelembaban relatif ... 62

11.Hasil pengelompokkan nilai SBE berdasarkan kualitas estetika ... 72

12.Hubungan antara aspek kenyamanan fisik/fungsi, klimatik, visual dengan persepsi dan preferensi pengguna ruang ... 75


(17)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pikir penilitian ... 6

2. Jarak ruang yang dibutuhkan antar pejalan kaki di depannya ... 10

3. Proses persepsi ... 22

4. Peta lokasi penelitian ... 29

5. Proses studi ... 30

6. Elemen-elemen penyusun jalan (street furniture) ... 38

7. Konfigurasi dan struktur bangunan di sepanjang lanskap Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman ... 39

8. Konfigurasi blok dan grid lanskap Jalan M.H. Thamrin ... 40

9. Konfigurasi blok dan grid lanskap Jalan Jend. Sudirman ... 40

10. Beragam aktivitas pengguna lanskap ... 41

11. Pedestrian yang sempit... 42

12. Persentase karakteristik responden yang saling terkait atau dependent dengan materi kuisioner persepsi ... 46

13. Persentase karakteristik responden yang saling terkait atau dependent dengan materi kuisioner preferensi ... 52

14. Pemandangan pedestrian di depan Gedung BPPT, Jalan M.H. Thamrin ... 64

15. Kondisi fisik ruang pedestrian yang tidak nyaman bagi pejalan kaki ... 66

16. Pendugaan nilai keindahan pemandangan (SBE) pada lanskap pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta ... 68

17. Pemandangan-pemandangan lanskap pedestrian yang memiliki nilai SBE tertinggi ... 69

18. Pemandangan-pemandangan lanskap pedestrian yang memiliki nilai SBE terendah ... 71

19. Pembagian hasil pengelompokkan nilai SBE berdasarkan kualitas estetika . 72 20. Beberapa titik yang perlu segera mendapat perhatian dalam perbaikan fungsi pedestrian ... 77


(18)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Format Kuesioner Studi Persepsi dan Preferensi ... 84

2. Format Kuesioner Penilaian Pendugaan Keindahan ... 91

3. Tabel 1 Nilai⎯Z dan SBE masing-masing lanskap ... 92

4. Gambar 1 Foto-foto lanskap yang memiliki nilai SBE tertinggi ... 93

5. Gambar 2 Foto-foto lanskap yang memiliki nilai SBE terendah ... 94

6. Gambar 3 Foto-foto hasil mountage untuk meningkatkan kualitas kenyamanan lanskap pedestrian ... 95


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat perbankan dan pusat perindustrian menuntut adanya kemajuan teknologi melalui pembangunan di berbagai aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, kota secara dinamis akan terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang menunjang bagi kehidupan dan aktivitas warganya.

Fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi pejalan kaki adalah ruang pedestrian. Karakteristik pedestrian yang baik, menurut Simonds (1983) adalah diibaratkan sebagai anak sungai, mengalir mengikuti alur dengan mempunyai sedikit hambatan. Menurut Brooks (1988), fungsi sistem pedestrian paling sedikit mempunyai dua aturan yang umum, yaitu ruang untuk berjalan kaki dan tempat untuk duduk. Sebagai tempat untuk berjalan, kondisinya beragam sesuai dengan penggunaan lahan yang disediakan dan kualitas lingkungannya.

Kawasan jalan M.H. Thamrin–Jend. Sudirman Jakarta, merupakan kawasan jalan yang banyak dilalui oleh pengguna jalan, termasuk pejalan kaki. Sejak awal tahun 1980 hingga awal tahun 2000, penyediaan fasilitas jalur sirkulasi di kawasan ini berupa ruang pedestrian, kurang memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh keterbatasan lahan yang digunakan untuk ruang pedestrian, kurangnya peneduh karena kurangnya vegetasi pohon dan kehadiran tiang jembatan penyeberangan orang (JPO) yang semakin mempersempit lebar badan jalur pedestrian. Hal lain yang menyebabkan kurang nyamannya ruang pedestrian di kawasan tersebut adalah ruang pedestrian mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai ruang bagi penempatan struktur-struktur lain (seperti papan iklan, perlengkapan dan kelengkapan jalan, dan lainnya) dan bagian layanan pejalan kaki tanpa didukung oleh lebar ruang pedestrian yang cukup.

Pemikiran untuk memanusiakan lingkungan jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, secara konseptual muncul pada tahun 1981 dengan rencana penataan


(20)

kawasan oleh Dinas Pertamanan. Namun saat itu pekerjaan fisik khususnya prasarana dan utilitas kota masih tumpang tindih sehingga pembuatan jalur pedestrian sulit dilaksanakan. Gagasan penataan tersebut muncul kembali di tahun 1996-1997, tetapi karena munculnya gejolak kondisi ekonomi, politik dan sosial tahun 1997, menyebabkan perencanaan yang sudah disosialisasikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta tertunda pelaksanaannya. Baru pada tahun 2002, setelah kondisi sosial, politik dan ekonomi mulai stabil, ide untuk mengembangkan pedestrian jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman kembali dimunculkan oleh Gubernur Sutiyoso hingga sekarang.

Sejak tahun 2003 hingga sekarang, pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berupaya membangun fasilitas ruang publik berupa ruang pedestrian di jalan M.H. Thamrin -Jend. Sudirman, Jakarta. Saat ini pembangunan jalur pedestrian di Jalan M.H. Thamrin- Jend. Sudirman, Jakarta telah selesai dengan panjang keseluruhan ± 6200 meter, lebar pedestrian bervariasi tergantung kesepakatan antara pemilik kavling dengan pemda DKI Jakarta (rata-rata ± 3 meter). Meskipun kondisi saat ini telah lebih baik daripada sebelumnya, masih terdapat permasalahan mengenai apresiasi pengguna ruang terutama dalam menunjang kenyamanan pengguna ruang, seperti kondisi fisik dan iklim mikro.

Sebagai salah satu jalur jalan utama di ibukota negara, maka seharusnya jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, termasuk ruang pedestriannya, mampu merefleksikan sebuah ruang lanskap yang fungsional sebagai area mobilisasi, elemen estetika kota dan menunjang kenyamanan pengguna ruang. Sebagai se-buah sarana publik, seharusnya mampu mengakomodasikan keinginan pengguna ruang sehingga menciptakan kenyamanan yang optimal bagi pengguna ruang itu sendiri.

Oleh karena itu, salah satu hal penting yang harus dikaji adalah aspek kenyamanan ruang pedestrian tersebut. Menurut Marsh (1991), kenyamanan dapat dibentuk melalui 2 hal, yaitu kenyamanan klimatik dan kenyamanan visual. Kenyamanan klimatik dihubungkan dengan kesesuaian faktor-faktor iklim mikro dalam mempengaruhi temperatur kulit dan persepsi manusia terhadap panas dan dingin, yaitu meliputi radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Kenyamanan visual berhubungkan dengan aspek kesesuaian pemandangan yang


(21)

3

ditangkap oleh mata pengamat dengan lingkungannya melalui persepsi dan preferensi.

Faktor lain yang sering ditambahkan sebagai penunjang kenyamanan yaitu kenyamanan fisik. Kenyamanan fisik berkaitan erat dengan aspek kesesuaian bentuk dan disain objek atau elemen-elemen yang dibangun terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya kesesuaian bangku taman, lampu-lampu taman, pedestrian, papan reklame dan infrastruktur lainnya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti kebutuhan gerak tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

Oleh karena itu, untuk membentuk sebuah ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman sebagai ruang publik yang nyaman, maka diperlukan studi mengenai faktor-faktor yang meliputi kenyamanan klimatik, kenyamanan visual dan kenyamanan fisik. Hasil ini memberikan rekomendasi bentuk-bentuk perbaikan pada tapak sebagai bahan pertimbangan perencanaan lebih lanjut ruang pedestrian yang selain mendukung keindahan kota, juga memberikan kenyamanan bagi penggunanya.

1.2. Rumusan Permasalahan

Ruang pedestrian yang telah dibangun di sepanjang Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman saat ini, kurang berfungsi efektif. Hal ini dapat terlihat dari pengguna ruang masih memilih menggunakan kendaraan untuk berpindah tempat ke tempat lainnya, daripada menggunakan ruang pedestrian. Faktor kenyamanan diduga menjadi penyebab masih rendahnya apresiasi pengguna ruang. Kondisi iklim mikro yang tidak nyaman dan kualitas visual tapak yang rendah diduga merupakan faktor-faktor ketidak-nyamanan yang dominan ditemui di sepanjang Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai kondisi-kondisi yang terkait dengan aspek kenyamanan untuk membangun sebuah perencanaan ruang pedestrian yang efektif, fungsional dan nyaman bagi pengguna dan masyarakat di sekitarnya.


(22)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kondisi faktual ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta kaitannya dengan faktor klimatik dan fisik.

2. Menganalisis persepsi dan preferensi pengguna ruang terhadap kenyamanan ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta. 3. Menganalisis kualitas visual/keindahan sebagai faktor pendukung kenyamanan

pada ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta. 4. Menganalisis hubungan persepsi dan preferensi dengan faktor-faktor

kenyamanan klimatik, fisik dan visual/keindahan.

5. Menyusun rekomendasi terkait dengan kebijakan, pengelolaan dan perbaikan fisik untuk meningkatkan kenyamanan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas penggunaan ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin –Jend. Sudirman, Jakarta dan juga diharapkan dapat diterapkan pada lanskap pedestrian lainnya.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam perencanaan ruang pedestrian secara umum dan perencanaan atau pengembangan ruang pedestrian jalan M.H. Thamrin –Jend. Sudirman, Jakarta Pusat yang berfungsi secara efektif karena memenuhi kebutuhan pengguna, baik dari faktor kenyamanan klimatik, fisik/fungsi maupun visual/keindahan.

1.4. Batasan Penelitian

Aspek kenyamanan lanskap dianalisis berdasarkan faktor-faktor klimatik, fisik/fungsi dan visual/keindahan pada ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin –Jend. Sudirman, Jakarta Pusat sepanjang ± 6200 meter (tahun 2008).

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta khususnya pada ruang pedestrian dapat berfungsi secara


(23)

5

efektif jika dirancang, dibangun serta dikelola dengan tujuan memenuhi kebutuhan kenyamanan penggunanya. Faktor kenyamanan mencakup faktor klimatik (iklim mikro), faktor fisik dan fungsinya serta faktor keindahan (visual). Evaluasi terhadap kondisi faktual faktor-faktor tersebut dan melihat hubungannya dengan persepsi dan preferensi pengguna serta dengan menganalisis kebijakan Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kota ataupun sistem pengelolaannya, akan dapat disusun suatu usulan/rekomendasi perbaikan, baik secara fisik maupun dari aspek kebijakan atau pengelolaan. Perbaikan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif oleh pengguna ruang.


(24)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. RUANG PEDESTRIAN YANG DIRANCANG DAN DIKELOLA UNTUK

MEMENUHI KEBUTUHAN KENYAMANAN PENGGUNA

ASPEK PENGELOLAAN/

KEBIJAKAN

KAWASAN JALAN M.H. THAMRIN - JEND. SUDIRMAN, JAKARTA

RUANG PEDESTRIAN

ANALISIS SECARA KOMPREHENSIF

ASPEK PENGGUNA

PERSEPSI DAN PREFERENSI

ANALISIS

CHI-SQUARE

KEBIJAKAN& PENGELOLAAN

YANG DIPERLUKAN

ASPEK LANSKAP/RUANG

IKLIM MIKRO :

- SUHU - KELEMBABAN - CURAH HUJAN - INTENSITAS CAHAYA - ANGIN

VIEW LANSKAP

ELEMEN FISIK RUANG :

- LOKASI - AKSESSIBILITAS - FASILITAS&

INFRASTRUKTUR - POHON/TANAMAN - KELENGKAPAN&

KUALITAS DISAIN

ANALISIS VISUAL SBE ANALISIS

KENYAMANAN FISIK ANALISIS

KENYAMANAN IKLIM

RUANG PEDESTRIAN SEBAGAI FASILITAS PUBLIK KOTA YANG

DIMANFAATKAN SECARA LEBIH EFEKTIF


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkotaan dan Ruang Terbuka

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Menurut Simonds (1983), kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia yang yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya, sedang kota adalah sebuah pusat populasi yang besar dan padat dengan aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan.

Pertambahan penduduk, perkembangan kawasan permukiman dan industri serta pembangunan sarana dan prasarana transportasi menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian dan vegetasi lain sebagai suatu konsekuensi yang logis, karena tuntutan kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian, keputusan mengenai perubahan penggunaan lahan atau konversi lahan areal bervegetasi menjadi lahan terbangun memerlukan perencanaan yang logis pula, agar tidak terjadi dampak negatif, misalnya berkurangnya lahan pertanian produktif, erosi, kenaikan suhu permukaan dan udara, penurunan kualitas lingkungan dan degradrasi lahan, ketidaknyamanan hunian dan polusi akibat kegiatan industri.

Berdasarkan masalah-masalah tersebut maka berkembang kepedulian masyarakat di daerah perkotaan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, terutama dalam hal keleluasaan berinteraksi, baik sesama individu, kelompok maupun antar keduanya. Kemudian disusun perencanaan-perencanaan mengenai tata guna ruang dan pemanfaatannya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kelangsungan lingkungan di sekitarnya. Melalui pengembangan ruang-ruang binaan di lingkungan perkotaan tersebut, maka muncul konsep-konsep perencanaan ruang terbuka dan/ruang terbuka hijau yang ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat perkotaan dalam hal interaksi dan sebagai penunjang kenyamanan di dalam ruang perkotaan.

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1988, ruang terbuka adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk


(26)

area atau kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur tanpa bangunan diatasnya. Menurut Rob Rimer dalam Hakim dan Utomo (2003), bentuk ruang terbuka secara garis besar ada dua jenis, yaitu memanjang (koridor) dan membulat. Bentuk memanjang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, seperti pada jalan dan sungai, sedangkan bentuk membulat pada umumnya mempunyai batas di sekelilingnya, seperti pada lapangan upacara, area rekreasi dan lapangan olah raga.

Menurut Simonds (1983), ruang terbuka berhubungan langsung dengan penggunaan struktur sehingga dapat mendukung fungsi struktur tersebut. Sebagian besar masalah perkotaan merupakan masalah sosial. Penguasaan ruang kota oleh manusia merupakan salah satu bentuk perilaku utama manusia modern. Fungsi ruang terbuka menurut Hakim (1991) adalah sarana penghubung antara satu tempat dengan tempat yang lain, pembatas jarak antara massa bangunan dan pelembut arsitektur bangunan. Lebih lanjut Simonds (1983) menjelaskan bahwa, karakteristik dan kelangsungan hidup suatu kota sebagian besar ditentukan oleh pengaturan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005, disebutkan bahwa RTH mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Proteksi lingkungan

Fungsi pengamanan ruang terbuka hijau adalah (i) mencegah pengikisan air laut dan kemungkinan meluasnya abrasi pantai (ii) mencegah meluapnya air sungai, waduk dan kanal.

2. Pemanfaatan

Aspek pemanfaatan ruang terbuka hijau sangat luas, diantaranya ruang terbuka hijau diperuntukkan sebagai sarana penelitian, sarana olahraga dan rekreasi, kawasan untuk resapan air, sarana pengungsian pada saat bencana alam, sarana penampung luapan air di sepanjang sungai dan kesegaran kota serta halaman yang dinikmati setiap penghuninya.

3. Produksi

Fungsi produksi ini berkaitan dengan penggunaan ruang terbuka hijau oleh pengelolanya, diantaranya sebagai daerah pertanian, perikanan, peternakan


(27)

9

atau kehutanan dan kegiatan jasa yang berkaitan dengan aktivitas rekreasi dan wisata.

4. Kelestarian

Fungsi kelestarian ruang terbuka hijau mencakup dua aspek, yaitu (i) nilai-nilai alam dan sosial-budaya seperti lingkungan bersejarah, cagar budaya dan sumberdaya langka, dan (ii) lingkungan yang dilestarikan dan dipertahankan sebagai areal terbuka dengan kehidupan asli.

2.2. Lanskap Pedestrian

2.2.1. Pengertian

Lanskap merupakan ruang di sekeliling manusia, mencakup segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan (Eckbo, 1964). Simonds (1983) menyatakan bahwa lanskap apabila dipandang dari setiap tempat ternyata mempunyai karakter-karakter lanskap tertentu yang terbentuk secara alami. Karakter ini terbentuk karena adanya kesan harmoni dan kesatuan dari elemen yang ada di alam, seperti bentuk suatu lahan, formasi batuan, vegetasi dan binatang. Derajat harmoni atau kesatuan dari elemen-elemen lanskap tidak hanya diukur dari kesan yang menyenangkan yang ditimbulkan, tetapi juga dari segi keindahan.

Menurut Simonds (1983), pedestrian adalah yang diibaratkan sebagai anak sungai, mengalir mengikuti alur dengan mempunyai sedikit hambatan. Dalam kaitannya dengan pedestrian, yang perlu diperhatikan adalah jalur pedestrian. Menurut Nurisjah dan Qodarian (1995), pada umumnya jalur pedestrian direncanakan hanya sebagai jalur pejalan kaki, dan jalur ini dapat dikembangkan menjadi suatu sistem sirkulasi pedestrian yang indah, menyenangkan, nyaman dan tak terasa panjangnya bila berjalan diatasnya. Caranya yaitu dengan meman-faatkan topografi dan pemandangan alami serta pemandangan yang menarik lainnya sehingga membentuk suatu visualisasi bentuk perjalanan yang menarik.

2.2.2. Kriteria Teknis Ruang Pedestrian

Terkait dengan ruang pedestrian, Harris dan Dines (1988) menjelaskan tentang kriteria fisik dalam pembuatan sirkulasi pedestrian, diantaranya adalah : 1. Kriteria dimensional


(28)

1,8 m A (Tempat umum)

2,8 – 3,6 m B (Tempat belanja)

4,6 – 5,5 m C (Berjalan Normal)

> 10,6 m D (Jalan santai)

Gambar 2 Jarak ruang yang dibutuhkan antar pejalan kaki di depannya sesuai lokasi (Harris dan Dines, 1988).

2. Kriteria pergerakan

Faktor kecepatan pergerakan akan menurun bila jumlah pejalan kaki meningkat, ada persimpangan dan naik atau turun tangga.

3. Kriteria visual

Kriteria atau persyaratan visual (pemandangan) disesuaikan dengan tinggi mata dan sudut pandang pejalan kaki dan nyaman untuk melihat pada pandangan normal setinggi mata (misalnya untuk penempatan rambu-rambu lalu-lintas).

Harris dan Dines (1988) juga menjelaskan tentang standar ruang untuk pedestrian, yaitu :

1. Lebar

a. Lebar jalur pedestrian tergantung pada tujuan dan intensitas pemakaian b. 1 orang = 24 inchi (60 cm) dengan lebar minimum jalan setapak = 4 ft (120

cm).

c. Memperhatikan kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture). 2. Kemiringan

a. Longitudinal, dengan dasar pertimbangan kebiasaan atau kemudahan bergerak dan tujuan desain.

1) Ideal : 0-3%

2) Maksimum : 5% 3) Tergantung iklim : 5-10%


(29)

11

4) Untuk ramp : 1,5-8% b. Transversal

1) Minimum tergantung material : 1%

2) Ideal rata-rata : 3%

3) Maksimum untuk drainase baik : 3% 3. Perhitungan dimensi untuk lebar pedestrian

Lebar jalan (W) =

S VxM

Keterangan : V = Volume (orang/menit) M = Modul ruang (ft2/orang) S = Kecepatan berjalan (ft/menit)

2.2.3. Vegetasi pada Jalur Pedestrian

Carpenter et. al. (1975), mengemukakan bahwa kehadiran tanaman di lingkungan perkotaan memberikan suasana alami. Tanaman mempengaruhi penampakan visual yang kita lihat. Secara umum di dalam lanskap, pohon merupakan sebuah elemen utama. Secara individual maupun berkelompok, pohon-pohon dapat memberikan kesan yang berbeda-beda jika dilihat dari jarak yang berbeda-beda pula. Pada jarak dekat, daun, batang pohon dan cabang-cabang dapat dilihat secara jelas. Jika dilihat dari jarak menengah puncak-puncak pohon terlihat membentuk seperti garis. Jarak ini merupakan bagian yang penting dalam lanskap karena memberkan kesan kedalaman yang kuat, perubahan secara halus dalam pencahayaan dan perspektif. Bila dilihat dari jarak jauh, perbedaan ketinggian dari puncak-puncak pohon tidak dapat dinikmati, biasanya dari jarak ini pohon digunakan sebagai latar belakang.

Tujuan dari penanaman vegetasi tepi jalan adalah untuk memisahkan pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan keselamatan dan kenyamanan (Lynch, 1981). Dalam usaha mencapai kesatuan atau unity didalam pengaturan penanamannya perlu diperhatikan pemilihan jenis tanamannya terutama untuk jalur pedestrian. Menurut Department of Transport of British (1986), vegetasi tidak seharusnya menghalangi jalan dan harus dipangkas secara teratur. Ditegaskan menurut Chaniago (1980) dalam Widjayanti (1993) pemilihan pohon harus memperhatikan karakteristiknya seperti :


(30)

1. Akar, harus cukup kuat untuk menahan vibrasi yang disebabkan oleh kendaraan yang lewat. Jenis yang digunakan sebaiknya tidak mempunyai akar yang menembus aspal dan beton sehingga kerusakan utilitas dapat dihindari. 2. Batang dan cabang, cukup elastis dan kuat untuk mencegah roboh dan

rusaknya pohon akibat tiupan yang kencang.

3. Naungan, yang sangat berhubungan dengan penetrasi radiasi matahari sehingga temperatur udara di sekitar jalur pedestrian menurun.

Dalam pemilihan jenis pohon menurut Arnold (1980), tinggi dan diameter tajuk merupakan hal yang paling penting diperhatikan oleh arsitek lanskap. Pada beberapa tempat, ketinggian percabangan pohon yang nyaman berjalan di bawahnya berkisar dari 2,4 – 4,5 meter. Pergerakan kendaraan membutuhkan kejelasan pandangan sehingga diperlukan pohon peneduh jalan dengan ketinggian percabangan minimum 4,5 meter. Pohon berukuran kecil (5,5 – 10,5 meter) dapat digunakan sebagai tirai (screening) dan seringkali tepat digunakan sebagai pohon tingkat bawah untuk menambah tekstur dan warna.

2.2.4. Kelengkapan dan Perlengkapan Jalan (Street Furniture)

Harris dan Dines (1988) mengartikan kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture) secara kolektif sebagai elemen-elemen yang ditempatkan dalam suatu lanskap jalan atau streetscape untuk kenyamanan, kesenangan, informasi, kontrol sirkulasi dan perlindungan bagi pengguna jalan. Elemen-elemen ini harus merefleksikan karakter dari lingkungan setempat dan menyatu dengan sekitarnya.

2.2.4.1. Rambu-rambu lalu lintas

Ketinggian penempatan rambu lalu lintas pada sisi jalan minimum 1,75 meter dan maksimum 2,65 meter, sedangkan untuk lokasi fasilitas pedestrian minimum 2 meter dan maksimum 2,65 meter (Keputusan Menteri Perhubungan No. 63 tahun 1993).

2.2.4.2. Lampu jalan

Menurut Harris dan Dinnes (1988), penerangan jalan bertujuan untuk mengakomodasikan pergerakan yang aman bagi pejalan kaki dan kendaraan. Dalam pergerakan, pemakai jalan dapat dibantu orientasinya untuk mengenal zona yang berbeda dari penggunaan suatu tapak melalui hirarki efek penerangan yang


(31)

13

tepat. Hirarki penerangan terlihat dari perbedaan jarak, ketinggian dan warna cahaya lampu yang digunakan. Penerangan juga harus cocok secara fungsional dan dalam skala yang sesuai baik bagi pejalan kaki maupun jalur kendaraan. Untuk penerangan jalur pejalan kaki dapat digunakan lampu dengan ketinggian relatif agar memberikan skala manusia dan menerangi kanopi bawah dari pohon tepi jalan. Sifat penerangan untuk jalur pedestrian sebaiknya tidak seragam sepanjang jalan dan distribusi pencahayaan harus mencapai 2 meter agar penglihatan ke arah pejalan kaki lain tetap jelas.

2.2.4.3. Halte

Harris dan Dinnes (1988) mengemukakan bahwa persyaratan untuk halte bus adalah memiliki kebebasan pandangan ke arah kedatangan kendaraan baik dalam posisi berdiri maupun duduk di halte dan zona perhentian bus harus merupakan bagian dari jaringan akses pejalan kaki. Didalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 tahun 1993 juga disebutkan bahwa fasilitas halte harus dibangun sedekat mungkin dengan fasilitas penyeberangan pejalan kaki. Halte dapat ditempatkan di atas trotoar atau bahu jalan dengan jarak bagian paling depan dari halte sekurang-kurangnya 1 meter dari tepi jalur lalu lintas. Persyaratan struktur bangunan memiliki lebar minimal 2 meter, panjang 4 meter dan tinggi bagian atap paling bawah minimal 2,5 meter dari lantai.

2.2.4.4. Utilitas

Elemen yang termasuk dalam utilitas meliputi hidran, boks kabel telepon, listrik, penutup saluran bawah gril penutup pohon dan lain-lain. Secara ideal, tempat pejalan kaki seharusnya relatif bebas dari penutupan utilitas. Jika tidak memungkinkan, penutup utilitas dapat dimasukkan sebagai bagian dari pola lantai keseluruhan (Harris dan Dinnes, 1988).

2.2.4.5. Papan reklame

Papan reklame merupakan elemen informasi, dalam peletakannya memerlukan pengaturan yang sesuai. Menurut Simonds (1978), pengontrolan peletakan papan reklame diperlukan untuk melindungi pemandangan menarik (vista) dan pemandangan yang ada serta mempertahankan kualitas jalan dan lingkungan sekitarnya. Salah satu cara untuk mengontrol adalah dengan


(32)

mengelompokkan berbagai informasi dan ditempatkan pada titik lain yang mudah terlihat. Standar jarak dalam Harris dan Dinnes (1988) untuk letak papan informasi ini dimasukkan sebagai zona penglihatan yang dibedakan untuk jarak tangkap setinggi mata. Dalam kondisi berdiri, jarak pandangan setinggi mata berkisar 1,4 – 1,8 meter dan dalam kondisi duduk dalam kendaraan berkisar 1 – 1,2 meter.

2.2.4.6. Tempat duduk

Prinsip disain tempat duduk harus menekankan kenyamanan, bentuk dan detail yang sederhana, mudah dipelihara, tahan lama dan mencegah kemungkinan perusakan (vandalisme). Peletakan tempat duduk sebaiknya terlindung dari gangguan angin kencang, menempati lokasi yang memiliki pemandangan (view) yang bagus, terletak di luar jalan sirkulasi serta memberikan pilihan kepada pengguna jalan seperti terbuka di bawah cahaya matahari, teduh, tempat yang tenang, tempat beraktivitas, formal dan informal. Pemilihan dan peletakan elemen tempat yang tenang, tempat yang tenang, tempat beraktivas, formal dan informal. Pemilihan dan peletakan elemen tempat duduk harus disesuaikan dengan elemen lainnya agar menyatu dengan lingkungan sekitarnya (Harris dan Dinnes, 1988).

2.2.4.7. Telepon, kotak pos dan tempat sampah

Elemen-elemen ini harus ditempatkan pada lokasi yang mudah terlihat dan mudah dicapai. Telepon dapat ditempatkan pada halte bus atau tempat tertentu untuk memudahkan pemakaian, demikan juga dengan kotak pos dapat diletakkan pada lokasi yang memudahkan pengangkutan. Tempat sampah untuk menjaga kebersihan setiap jalan atau ruang terbuka umum dan dapat diletakkan pada tempat yang ramai dilalui orang (Harris dan Dinnes, 1988).

2.2.5. Sistem Sirkulasi dan Sistem Pedestrian

Harris dan Dines (1988) memberikan pembagian secara umum sistem sirkulasi menjadi dua kategori, yaitu sistem yang telah memiliki struktur dasar dan yang tidak ada sirkulasi sebelumnya. Pada sistem yang telah ada, proyek terutama berhubungan dengan peningkatan estetik dari sistem sirkulasi yang telah diperlengkapi berbagai kenyamanan (amenity). Untuk sistem yang baru, pertama kali harus direncanakan sesuai dengan usulan titik awal dan titik tujuan jalan serta


(33)

15

memiliki lebar yang cukup untuk diakomodasikan bagi beban lalu lintas pejalan kaki (pedestrian) terutama pada periode puncak penggunaan.

Sebagai bagian dari proses perencanaan, aspek estetik dari sistem yang diusulkan harus dipelajari dan diintegrasikan dengan aspek fungsionalnya. Aspek fungsional yang penting dalam sistem pedestrian adalah kenyamanan yang diberikan kepada pejalan kaki. Dalam Kodariyah (2004) dijelaskan bahwa sistem pedestrian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kelongggaran, sistem ini memberikan kebebasan perancangan yang tinggi karena sistem ini memanfaatkan kemampuan manusia/pejalan dalam membelok pada sudut-sudut tajam, berubah arah dan berhenti.

2. Fleksibilitas, perancang harus dapat memberikan arah aliran/pergerakan menuju lokasi-lokasi yang diinginkan.

3. Berkecepatan rendah, terdapat hierarki intensitas penggunaan, misalnya melebar pada lokasi yang padat dan menyempit pada lokasi lalu lintas yang ringan.

4. Skala kecil, luas ukuran dari sirkulasi berskala manusia.

Semua pengguna jalan menggunakan kegiatan berjalan untuk satu atau lebih tahap dari setiap perjalanannya, untuk jarak yang relatif dekat lebih disesuaikan untuk menggunakan kakinya dan lebih dari 60% perjalanan dengan jarak kurang dari 1,5 km menggunakan kaki. Tetapi jarang sekali pejalan kaki di daerah urban yang melakukan kegiatan berjalan kaki lebih dari 3 km (Departemen of Transport of British, 1986). Selanjutnya aktivitas pejalan kaki dapat dibedakan antara pejalan kaki yang hanya mempunyai kepentingan mencapai dari satu titik ke titik lain dan pejalan kaki yang mempunyai kepentingan lain atau mempunyai karakter rekreasi. Pada beberapa tempat footway juga digunakan sebagai tempat bermain, berkumpul ataupun bercakap-cakap. Semua aspek ini harus dipertimbangkan dalam mendesain fasilitas pedestrian. Pada beberapa tempat, panjang jalan yang khusus, aktivitas pejalan kaki yang memberikan tingkat pengalaman yang tinggi merupakan hal yang diutamakan dalam skema membuat pedestrian. Skema ini biasanya digunakan pada daerah perbelanjaan, dapat pula menguntungkan pada daerah perkantoran dan daerah konservasi atau daerah lain yang keadaan lingkungannya sangat berharga.


(34)

Menurut Brooks (1988), fungsi sistem pedestrian paling sedikit mempunyai dua aturan yang umum, yaitu ruang untuk berjalan kaki dan tempat untuk duduk. Sebagai tempat untuk berjalan, kondisinya beragam sesuai dengan penggunaan lahan yang disediakan dan kualitas lingkungannya. Tujuan perencanaan sistem pedestrian sebaiknya menfokuskan pada :

1. Pengembangan dari sistem pedestrian yang fungsinya sebagai penghubung dan memberikan pengalaman yang menyenangkan.

2. Desain dari sistem pedestrian yang disesuaikan dengan konteks lingkungan sekitarnya yang telah ada.

3. Desain dari sistem pedestrian yang ada sesuai secara skala.

4. Desain dari jalur yang dapat meningkatkan sense of place dari tapak tersebut. Persyaratan ukuran lebar trotoar atau jalur pejalan kaki berdasarkan lokasi dan jumlah pejalan kaki (Departemen Perhubungan, 1993), dapat dilihat dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Lebar trotoar berdasarkan lokasi dan jumlah pejalan kaki

No Lokasi Trotoar Lebar Trotoar Minimum

(m)

1. 2. 3.

4.

Jalan di daerah perkantoran atau kaki lima Daerah perkantoran utama

Daerah industri : a. Jalan primer b. Jalan akses Di wilayah pemukiman

a. Jalan primer b. Jalan akses

4 3

3 4

2,75 2

Jumlah Pejalan Kaki/Detik/Meter

1. 2. 3. 4.

6 orang 3 orang 2 orang 1 orang

2,3 – 5,0 1,5 – 2,3 0,9 – 1,5 0,6 – 0,9 Sumber : Departemen Perhubungan (1993)

Hal-hal yang harus dipertimbangkan di dalam rancangan atau modifikasi sistem pedestrian adalah (Kodariyah, 2004) :

1. Permukaan, permukaan pedestrian harus stabil dan kuat dan tekstur relatif rata tetapi tidak licin dan sambungan harus dibuat sekecil mungkin.


(35)

17

2. Tempat istirahat, terdapat pada tempat-tempat tertentu sangat menyenangkan dan membantu para pejalan kaki, terutama bagi para cacat fisik sehingga membuat perjalanan kaki yang jauh menjadi terasa lebih ringan.

3. Kemiringan, untuk pedestrian kemiringan maksimal 5% sedangkan ukuran idealnya dalah 0-3%.

4. Penerangan, sangat dibutuhkan untuk keamanan, kenyamanan dan estetika. 5. Pemeliharaan.

6. Ramp, perubahan permukaan pedestrian dari suatu ketinggian menuju ketinggian yang berbeda dapat menimbulkan persoalan bagi orang cacat fisik. Untuk memudahkan pergerakan dibuat suatu ramp dengan permukaan yang tidak boleh licin. Kemiringan ramp ini maksimal adalah 17%.

7. Struktur drainase, faktor drainase air perlu diperhatikan agar pedestrian tidak tergenang air pada saat hujan.

8. Ukuran, lebar trotoar berbeda menurut jumlah dan jenis lalu lintas yang melaluinya. Lebar minimum adalah 4 kaki (1,2 meter).

2.2.6. Jenis Pedestrian

Harris dan Dines (1988) membedakan pedestrian menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Pedestrianisasi penuh (Full pedestrianitation)

Dengan menghilangkan/melarang semua kendaraan bermotor untuk sepanjang waktu, terkecuali untuk pemeliharaan tapak, full pedestrianitation biasanya menghilangkan badan jalan untuk kendaraan dan menjadikan jalan secara kontinyu ditutupi oleh paving dengan tekstur permukaan yang konsisten. Pedestrian ini membutuhkan jalan terdekat sebagai akses lokal jalur bus/angkutan umum. Dengan ditiadakannya kendaraan bermotor maka dibutuhkan sekali suatu desain yang sangat baik, untuk mencapai daerah pedestrian ini harus menberikan kesan yang jelas bahwa kendaraan akan memberikan gangguan terhadap lingkungan pejalan kaki. Contohnya adalah

pedestrian street dan pedestrian mall yang biasanya terdapat di daerah komersial dan ditujukan untuk kenyamanan berbelanja.

2. Pedestrianisasi sebagian (Partial pedestrianitation)

Dengan mengurangi jenis kendaraan bermotor, terutama kendaraan pribadi, daerah ini diprioritaskan untuk kepentingan pejalan kaki. Jalur pejalan kaki


(36)

diperbesar dan jalur kendaraan bermotor diperkecil maksimum dua jalur. Kendaraan pribadi biasanya dilarang masuk terkecuali angkutan umum, taksi dan bus. Laju kendaraan dibatasi pada kecepatan tertentu.

3. Pedestrian distrik

Dibuat dengan menghilangkan lalu lintas kendaraan dari sebagian daerah perkotaan, dengan mempertimbangkan alasan adanya unit arsitektural, komersial maupun sejarah. Kota-kota di Eropa seringkali menggunakan jenis ini karena sesuai dengan kondisi daerah pusat kota yang bersejarah.

2.2.7. Bahan Permukaan Pedestrian

Bahan permukaan pedestrian yang biasa digunakan menurut McDowel (1975) dalam Kodariyah (2004) adalah batu, bata, cetakan beton dan batu kerikil. Setiap bahan-bahan ini mempunyai karakter yang membuatnya sesuai untuk suatu situasi.

Hampir semua batu dengan bagian atas datar, dapat digunakan untuk perkerasan pedestrian. Batu merupakan bahan alami yang paling disukai, karena salah satu sifatnya yang mempunyai daya tahan lama. Beberapa jenis yang biasa digunakan adalah sebagai berikut (Kodariyah, 2004):

1. Jenis sedimen seperti batu pasir, batu coklat, batu biru dan batu kapur. Jenis tersebut merupakan jenis yang lunak, sehingga mudah dipotong dan dibentuk, tetapi mudah berubah warnanya dan terpengaruh oleh perubahan cuaca karena karakternya yang berpori.

2. Bentuk metamorfik dari batu kapur adalah keramik, yang lebih keras, kuat, mudah dipahat dan diasah, dan sangat sering digunakan karena pola dan keindahannya.

3. Bentuk metamorfik dari batu tulis (shale) adalah tipis, keras, dan merupakan batu yang kuat serta bervariasi mulai dari warna abu-abu hingga hitam, disamping beberapa jenis yang berwarna merah.

4. Bentuk batu karang api adalah granit, yang keras dan jelas sangat kuat. Warnanya berkisar mulai dari keputihan sampai abu-abu tua, dengan beberapa jenis yang memiliki warna agak merah muda. Batu jenis ini dapat dipahat dan dipotong dalam banyak bentuk dan ukuran. Jenis ini tahan terhadap goresan dan cuaca.


(37)

19

5. Batu vulkanik memiliki karakter warna gelap dan terbatas dalam penggunaan dengan ukuran terpecah-pecah. Hal ini menjadikannya tidak praktis untuk dipahat. Batu ini digunakan seperti jenis batuan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Jenis batu ini tidak berbentuk, tajam dan berbahaya untuk kulit. 6. Batuan jenis kecil, jenis batu keras seperti trap rock. Batuan ini mudah

dibentuk dan sangat berguna sebagai bahan dasar beton, lapisan dasar perkerasan, alas untuk kandang, dan sebagainya.

Bata dapat memberikan kontribusi yang menarik antara barat dan timur. Bata ini bersifat hangat, bernuansa tanah, cenderung berwarna coklat, permukaannya kasar dan bentuknya tidak rata. Bata dengan warna tua, yang berbunyi apabila saling berbenturan, biasanya lebih kuat, merupakan unit yang terbakar dengan baik, dan dapat dipastikan lebih tahan pecah. Bata dapat digunakan untuk semua tipe untuk membentuk perkerasan yang baik atau bisa dikombinasikan dengan batu alami. Batas standar yang dirancang untuk sambungan 3/8 inci adalah bata dengan tebal 2-1/4 inci, lebar 3-5/8 inci dan panjang 7-5/8 inci.

Cetakan beton tidak mempunyai penampilan yang alami dari batu, tetapi bisa dikombinasikan dengan bata untuk membentuk pedestrian yang bagus, sebagai perkerasan. Batu kerikil memiliki beberapa keuntungan di luar bahan-bahan permukaan untuk pedestrian. Batu kerikil untuk pedestrian relatif murah, sederhana untuk dipasang, dan mudah untuk dipelihara. Batu kerikil mengering dengan cepat. Baik pada waktu hujan atau ada siraman air akan menggenang, dengan kata lain, batu kerikil mempunyai permukaan yang tidak nyaman dan lambat.

Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi pemilihan perkerasan, yaitu (Steven, 1991 dalam Kodariyah, 2004) :

1. Kegunaan

Hal yang pertama dipikirkan adalah kegunaan dari dibuatnya perkerasan baik untuk jalan kendaraan, pedestrian ataupun patio. Ketiga hal ini dapat diakomodasi sesuai dengan kondisinya, dapat dilihat sebagai tiga hal yang terpisah dari teknik konstruksi dan bahan permukaan yang berbeda. Permukaan dari bahan perkerasan juga berpengaruh pada tujuan penggunaan


(38)

area, tekstur perkerasan penting untuk pejalan kaki, juga mempunyai dampak pada kecepatan pergerakan. Perkerasan dengan tekstur yang tidak licin, lebih digemari karena dapat menjamin keamanan pejalan kaki, biasanya dipakai di area sekitar display elemen air, atau tempat berbahaya. Perkerasan dengan tekstur yang lebih kasar dipakai di tepian sungai atau pada jalur dengan kemiringan cukup tajam.

2. Estetika

Pedestrian yang dibuat dengan mengikuti tema yang sangat sederhana atau sebaliknya dapat dibuat dengan sangat rumit dengan tujuan untuk menarik perhatian. Kombinasi yang dirancang secara cermat terutama menyangkut perubahan warna dan tekstur sangat membantu dalam menciptakan kesan kontras, variasi dan juga skala yang diinginkan. Mengenali keragaman jenis material berikut variasi tekstur dan warnanya sangat perlu mengingat untuk area yang luas, agar tidak terkesan monoton, dapat pula dipilih tema yang berbeda untuk masing-masing bagian tapak.

3. Biaya

Pemilihan material juga tergantung pada biaya yang akan dikeluarkan, jumlah tenaga manusia yang tinggi dibutuhkan dalam pemasangan bata, batu dan perkerasan pracetak, mengakibatkan biaya untuk jenis perkerasan ini menjadi tinggi. Penggunaan pola yang sulit dan keterbatasan tenaga kerja terlatih bisa menambah rumit masalah pembiayaan selanjutnya.

Menurut Reisig (1995) dalam Kodariyah (2004), area perkerasan dapat mempunyai dampak lingkungan yang berarti, karena perkerasan dapat mengganggu keseimbangan dari sistem air. Untuk tapak-tapak dimana banyak menggunakan tanaman, maka pemilihan perkerasan dianjurkan agar memper-timbangkan tingkat porositasnya, agar air dapat merembes masuk mencapai ke akar tanaman. Apabila dipilih perkerasan yang tidak poros, maka dianjurkan agar di sekeliling tanaman diberi ruang 1 m2 untuk menjamin perolehan air dari tapak sekitarnya.


(39)

21

2.3. Persepsi dan Preferensi

Persepsi adalah suatu gambaran, pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu objek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi ini dengan dirinya dan lingkungan dimana ia berada (Porteous, 1977). Menurut Allport (1962), persepsi seseorang terhadap lingkungan tergantung kepada seberapa jauh suatu objek membuat arti terhadap dirinya. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti, atau suatu penghargaan terhadap objek tersebut. Menurut Lime dan Stanley (1971) persepsi berhubungan dengan suatu proses dimana individu menerima informasi dari lingkungan sosial ataupun fisik, kemudian menafsirkan dalam pengalaman dan sikapnya. Persepsi bukanlah proses yang pasif tetapi proses yang aktif dari suatu interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, dan merupakan suatu pencapaian (Hilgard, 1978).

Persepsi masyarakat menurut Porteous (1977) dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah nilai-nilai dari dalam diri dipadukan dengan hal-hal yang ditangkap panca indera pada proses melihat, merasakan, mencium aroma, mendengar, dan meraba. Faktor-faktor tersebut kemudian dikombinasikan dengan faktor eksternal, yaitu keadaan lingkungan fisik dan sosial, yang kemudian menjadi suatu respon dalam bentuk tindakan. Menurut Brockman dan Merriem (1973), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah jenis kelamin dan umur, latar belakang kebudayaan, pendidikan, pekerjaan, asal/tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, dan kemampuan fisik dan intelektual. Menurut Grilick dalam Porteous (1977), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka persepsinya akan semakin baik. Sedang menurut Tood (1987), persepsi seseorang akan ruang tergantung pada ukuran usia dan latar belakang budaya, suasana pikiran, pengalaman-pengalaman masa lalu dan pengharapan-pengharapannya.

Proses yang melandasi persepsi menurut Boedojo, et al. (1986) berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Tidak semua informasi diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi (Gambar 3). Kekurangan yang melekat pada informasi, begitupun bagian-bagian yang kabur, dilengkapi sendiri oleh individu,


(40)

INFORMASI

ORIENTASI NILAI BUDAYA DAN PENGALAMAN

PERSEPSI

SELEKSI INTERPRETASI

PENGUKUHAN PEMBULATAN SUBYEKTIF

baik melalui imajinasi maupun pikiran dan nalar untuk memperoleh suatu keutuhan dan kebulatan yang bermakna. Keseluruhan informasi yang telah membulat menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi, makna) antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. Keluaran keseluruhan proses ini ialah penghayatan. Antara seleksi, pembulatan dan tafsiran terjadi hubungan ketergantungan, namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.

Preferensi adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang lebih disukai daripada yang lain. Menurut Porteous (1977), studi perilaku individu dapat digunakan oleh ahli lingkungan dan para desainer untuk menilai keinginan pengguna (user) terhadap suatu objek yang akan direncanakan. Dengan melihat preferensi dapat memberikan masukan bagi bentuk partisipasi dalam proses perencanaan.

Gambar 3 Proses persepsi (Boedojo, et al., 1986).

Porteous (1977) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara preferensi dan sikap. Sikap selalu melibatkan preferensi yang merupakan komponen yang mempengaruhi sikap. Preferensi juga dihubungkan dengan kepuasan akibat dari penilaian persepsi yang berulang-ulang.

2.4. Kenyamanan Lanskap

Menurut Marsh (1991), kenyamanan dapat dibentuk melalui 2 hal, yaitu kenyamanan klimatik dan kenyamanan visual. Kenyamanan klimatik dihubungkan dengan kesesuaian faktor-faktor iklim mikro dalam mempengaruhi temperatur kulit dan persepsi manusia terhadap panas dan dingin, yaitu radiasi


(41)

23

matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Sedangkan kenyamanan visual dihubungkan dengan kesesuaian pemandangan yang ditangkap oleh mata pengamat terhadap lingkungannya melalui persepsi dan preferensi. Kedua bentuk kenyamanan di atas pada suatu lingkungan tidak dapat terbentuk secara spontan, melainkan merupakan interaksi antara objek-objek dalam lanskap dan elemen klimatik. Apabila terbentuk keselarasan dan keseimbangan antara-antara faktor-faktor tersebut, maka kenyamanan lingkungan dapat terciptakan.

Faktor lain yang sering ditambahkan sebagai penunjang kenyamanan yaitu kenyamanan fisik. Kenyamanan fisik berkaitan erat dengan kesesuaian bentuk dan disain objek atau elemen-elemen yang dibangun terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya kesesuaian bangku taman, lampu-lampu taman, pedestrian, papan reklame dan infrastruktur lainnya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

2.4.1. Kenyamanan Klimatik

Faktor-faktor iklim mikro yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi matahari, kelembaban nisbi dan angin. Kenyamanan menurut Albert

dalam Hakim (1991) adalah kenikmatan atau kepuasan di dalam melaksanakan aktivitasnya. Menurut Tood (1987), seseorang yang terbiasa dengan iklim tropis akan merasa nyaman pada suatu zona yang beberapa derajat lebih hangat dari suhu efektif maksimum yang secara nyaman dialami seseorang dari Inggris. Menurut Laurie (1986), standar kelembaban bagi kenyamanan manusia dalam beraktivitas berkisar antara 40% - 70%, dengan temperatur antara 150C – 270C. Sehingga pada kisaran itu disebut sebagai comfort zone atau zona kenyamanan, yaitu zona atau kisaran dimana temperatur/suhu dan kombinasinya dengan kelembaban, seusai dengan kenyamanan manusia.

Kenyamanan manusia bergantung pada faktor yang berdampak pada temperatur kulit dan persepsi terhadap panas dan dingin. Temperatur optimal bagi tubuh manusia yaitu 37 0C. Perpindahan energi ini pada saat kondisi ekstrim dapat


(42)

menciptakan sengatan radiasi atau hipotermia. Tubuh menetralkan panas lewat metabolisme, oleh karena itu panas harus dieliminasi.

Panas dieleiminasi tubuh melalui: radiasi, konveksi dan evaporasi. Energi panas diradiasikan oleh manusia ke lingkungannya. Terdapat dua cara perubahan radiasi, yaitu jika lingkungan lebih dingin daripada tubuh, radiasi akan hilang dari tubuh dan kondisi dingin akan tercipta. Kedua, jika lingkungan lebih panas maka radiasi akan menuju pada tubuh. Panas juga berpindah melalui konveksi, jika udara lebih dingin daripada kulit atau pakaian, transport konvektif panas akan menuju udara. Pendinginan evaporatif yaitu hilangnya panas melalui proses pernafasan dan kontak dengan udara. Penurunan kelembaban dan meningkatnya kecepatan angin akan meningkatakan pendinginan evaporatif.

Pepohonan, semak dan rumput menyamankan temperatur udara pada lingkungan perkotaan melalui kontrol radiasi. Dedauanan menerima, memantulkan, menyerap dan mentransimisikan radiasi. Efektifitasnya bergantung pada kerapatan dan bentuk daun serta pola percabangan. Pepohonan dan vegetasi lainnya juga berfungsi memberikan kenyamanan melalui proses evapo-transpirasi.

Alasan utama mempertimbangkan iklim mikro di dalam disain lanskap adalah untuk menciptakan habitat yang nyaman bagi manusia. Terutamanya, sebuah lanskap tidak akan dipakai oleh manusia apabila tidak mendukung sebuah lingkungan yang nyaman secara termal (Brown and Gillespie, 1995). Aliran energi yang menuju dan keluar dari seseorang dapat dinilai dan keseimbangan yang dihasilkan dapat diestimasi bagaimana kenyamanan seseorang dalam sebuah iklim mikro tertentu. Tujuan dari perencanaan yaitu menciptakan lanskap yang berinteraksi dengan atmosfer menghasilkan iklim mikro, dimana manusia memiliki keseimbangan budget energi mendekati nol (tidak kepanasan dan kedinginan).

2.4.2. Kenyamanan Fisik

Kenyamanan pengguna dalam beraktivitas di ruang lanskap tidak terlepas oleh kenyamanan fisik ruang itu sendiri. Kenyamanan fisik muncul karena fasilitas-fasilitas atau struktur yang dibangun di dalam ruang tersebut, termasuk faktor tanaman. Kelengkapan fasilitas atau struktur tersebut tergantung ruang lanskapnya, misalnya pada lanskap jalan, fasilitas yang melengkapinya antara


(43)

25

lain: jalur pedestrian, halte dan tempat tunggu, rambu-rambu jalan, papan iklan dan street furniture lainnya. Sedangkan pada lanskap taman, fasilitas penunjang kenyamanan fisik antara lain: jogging track, bangku dan meja taman, lampu taman, badan-badan air buatan (seperti air mancur, kolam, danau atau situ buatan),

shelter, playground untuk anak-anak dan lainnya.

Fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat tersebut harus mengikuti standar-standar dimensi manusia penggunanya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

Sebagai contoh pada lanskap jalan, fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat harus sesuai dengan dimensi manusia penggunanya, seperti lebar jalur pedestrian disesuaikan volume pengguna (rendah, sedang, tinggi) dan karakter penggunaannya (berjalan di tempat umum, berjalan di tempat belanja, berjalan normal atau berjalan santai). Selain dimensi/ukuran pedestrian juga perlu diperhatikan mengenai bahan perkerasannya, disain dan pola, sudut kemiringan dan lainnya. Sehingga fasilitas atau struktur jalur pedestrian tersebut secara fungsional mampu mengakomodasikan pergerakan pengguna secara nyaman. Hal ini juga berlaku pada fasilitas/struktur atau street furniture lainnya pada lanskap jalan tersebut, halte dibangun berdasarkan potensi volume pengguna yang akan menggunakannya, standar ergonomi manusia yang nyaman untuk duduk, kesesuaian peletakan pada konsentrasi pengguna. Rambu-rambu jalan, papan petunjuk, papan iklan dibuat sesuai dengan sudut ketinggian dan jarak pandang mata, dimensi dan disainnya tidak mengganggu pemandangan dan standar teknis lainnya.

Salah satu objek lanskap lain yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk kenyamanan fisk melalui modifikasi iklim mikro, yaitu vegetasi. Vegetasi memiliki peranan besar dalam memodifikasi elemen-elemen iklim mikro dalam lingkungan, baik radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Vegetasi baik secara individu atau soliter maupun dalam suatu konfigurasi memiliki nilai penting di dalam menciptakan kenyamanan.


(44)

Konfigurasi pohon-pohon menciptakan naungan, keindahan dan keuntungan-keuntungan lainnya.

2.4.3. Kenyamanan Visual

Kenyamanan visual dihubungkan dengan kesesuaian pemandangan yang ditangkap oleh mata pengamat terhadap lingkungannya melalui persepsi dan preferensi. Pohon dan semak baik secara individu maupun kelompok dapat membentuk keindahan pada seluruh susunan. Keindahan dapat muncul dari garis, bentuk, warna dan tekstur yang tampak. Pepohonan dan semak membingkai pemandangan, memperhalus garis-garis arsitektural, meningkatkan dan meleng-kapi elemen-elemen arsitektural, menyatukan elemen-elemen yang beragam dan menciptakan suasana alami.

Sedang keindahan menurut Hakim (1991) merupakan hal yang perlu diperhatikan sekali dalam hal penciptaan kenyamanan karena hal tersebut dapat mencakup masalah kepuasan batin dan panca indera. Pemandangan sebagian besar didasarkan pada estetika (buatan manusia), tetapi pada beberapa hal juga berhubungan dengan konservasi dan preservasi. Pemandangan yang merupakan suatu karya seni dalam lanskap (karya seni alam) lebih bersifat artifisial, yang memandang alam bukan sebagai suatu totalitas tetapi hanya memandang sebagian atau relatif jarang memperhatikan. Bentuk pengartikulasian lingkungan oleh seseorang dilakukan melalui hubungan langsung dengan alam dan selalu mengobservasinya.

Persepsi kita merupakan dasar utama bagi fungsi penglihatan. Perwujudan ruang atau spasial dicapai melalui jarak pada elemen yang terhalang oleh pandangan. Perwujudan ruang dicapai melalui tekstur dan naungan. Pepohonan dan semak membentuk dinding dan kanopi pada lanskap dan bersama dengan komponen arsitektural lainnya dapat digunakan untuk mendekatkan, mengisi, membingkai, mengubungkan, memperluas, mengurangi dan mengartikulasi ruang eksterior.

Perilaku estetika manusia tergantung pada tingkat ketidaktertarikan dan jarak konsepsi yang diartikan dalam asumsi-asumsi terhadap objek. Tindakan ini dibagi menjadi model objek, model lanskap atau pemandangan, dan model lingkungan. Bentuk dari tindakan tersebut akan mempengaruhi penilaian


(45)

27

seseorang terhadap karya seni hubungannya dengan lanskap, sejauh mana orang tersebut mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan gaya-gaya alam yang diterimanya termasuk model atau objek (baik artifisial atau alami). Manusia membuat objek menjadi sebuah karya seni (alam), yang merupakan wujud metafora alam, objek atau model lanskap, unit, totalitas terbatas atau karya spasial, dimana seseorang bergerak.

Daniel dan Booster (1976) mengungkapkan bahwa, sentimen dan pernyataan-pernyataan publik yang memerlukan pertimbangan estetika dan konsekuensi tak terukur lainnya terhadap tata guna lahan publik harus dipertimbangkan. Keindahan pemandangan lanskap adalah salah satu sumberdaya alami yang paling penting. Dari beberapa sumberdaya yang kita pakai, dipreservasi dan dicoba untuk dikembangkan, keindahan pemandangan (scenic beauty) telah terbukti merupakan sumberdaya yang paling sulit untuk dihitung dengan objektif secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keindahan hanya secara parsial didefinisikan oleh karakteristik lingkungan dan tergantung pada penilaian manusia.

2.5. Pendugaan Keindahan Pemandangan

Menurut Daniel dan Booster (1976), keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur. Namun pendekatan yang bisa mendukungnya bahwa keindahan pemandangan lanskap tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan kekayaan lanskapnya saja namun sebagian besar ditentukan oleh penilaian manusia.

Lebih lanjut Daniel dan Booster (1976) juga mengemukakan, bahwa pendugaan keindahan dapat menggunakan metode pengukuran keindahan pemandangan (scenic beauty) yang ditentukan oleh penilaian responden sebagai persepsi manusia terhadap suatu lanskap. Menurut Dharmawandhani (1997), penilaian responden sebagai pengguna tapak merupakan partisipasi dari masyarakat umum untuk memberikan tanggapan kepada perencana (planner), karena pendapat dari responden sebagai masyarakat umum digunakan dalam pembentukan kebijaksanaan atau keputusan dalam perencanaan suatu lingkungan.


(46)

Scenic Beauty Estimation (SBE) merupakan metode yang menyediakan ukuran secara kuantitatif dari suatu hal yang disukai keindahannya terhadap alternatif sistem manajemen lanskap alam. SBE menunjukkan arti keefektifan dan keobjektifan dari keputusan scenic beauty dari lanskap alam secara umum dan juga menduga konsekuensi keindahan dari alternatif tata guna lahan. Scenic beauty diartikan sebagai keindahan alami, estetik lanskap atau sumber pemandangan untuk memecahkan kemonotonan (Daniel dan Booster, 1976).


(47)

III. METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di jalur pedestrian kawasan Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta (Gambar 4). Jalur pedestrian pada Jalan M.H. Thamrin yang diamati adalah sisi Timur (T) dan Barat (B) dari Air Mancur Bank Indonesia sampai dengan Jembatan Dukuh Atas, sedangkan pada Jalan Jenderal Sudirman yang diamati adalah sisi Timur (T) dan Barat (B) dari Jembatan Dukuh Atas sampai Tugu Api Nan Tak Kunjung Padam, dengan total panjang ± 6200 meter. Pengamatan dan pengukuran dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan Oktober 2007. Analisis dan penyelesaian studi dilakukan hingga Juli 2009.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

100

300 500

900

PETA DKI JAKARTA

A

B

C

D

E

F

KETERA NG A N :

A : A ir Ma nc ur BI B : Bund e ra n HI C : Je m b a ta n Dukuh A ta s D : Fly - Ove r Se m a ng g i E : Ko m p le ks G e lo ra

Bung Ka rno F : Tug u Ap i Na n Ta k

Kunjung Pa d a m

: Lo ka si Stud i A – C : Jl. M.H. Tha m rin C – F : Jl. Je nd . Sud irm a n


(48)

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey lapang, studi dokumentasi/pustaka dan wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi data mengenai aspek fisik ruang, aspek kepuasan pengguna dan aspek kebijakan dan pengelolaan, baik berupa data primer yang diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara ataupun data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka.

Gambar 5 Proses studi.

Data mengenai aspek fisik ruang terdiri atas data iklim (umum dan mikro), elemen fisik (aksessibilitas, lebar pedestrian, disain paving, bahan perkerasan,

street furniture, vegetasi dan elemen fisik lainnya), serta data mengenai visual, Pendalaman teori sesuai tujuan dan ruang lingkup studi.

Penetapan lokasi studi:

-Jalur pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta Pusat.

-Panjang area studi ± 6200 meter, melintang Selatan-Utara, dengan area studi di sisi Barat-Timur.

Pengambilan data primer dan sekunder mengenai kondisi tapak.

Aspek Kebijakan dan Pengelolaan

Aspek Kepuasan Pengguna Aspek Fisik Ruang

Elemen Fisik : -Aksessibilitas; -Lebar pedestrian; -Disain paving; -Bahan perkerasan; -Street furniture; -Vegetasi; -Elemen lainnya.

Kondisi Fisik/Fungsi Iklim : -Umum; -Mikro: ƒSuhu; ƒKelembaban. Kondisi Klimatik

Kualitas Visual :

View di dalam ruang pedestrian.

Kualitas Visual (SBE)

Data mengenai Persepsi dan Preferensi

Chi Square : Persepsi dan Preferensi

-Kebijakan-kebijakan terkait penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian. -Pengelola dan pengelolaan

ruang pedestrian.

Deskriptif : -Dukungan; -Kendala.

Analisis keterkaitan antara aspek fisik dan aspek kenyamanan pengguna (kenyamanan klimatik, fisik dan visual).

Saran kebijakan dan pengelolaan

Rekomendasi perencanaan dan pengelolaan ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta Pusat.

Tahap Pra-Survey Tahap Survey/ Pengumpulan Data Analisis dan Sintesis


(49)

31

yaitu pemandangan (view dalam ruang pedestrian). Aspek kepuasan pengguna diperoleh melalui data persepsi dan preferensi pengguna ruang dengan cara membagikan kuisioner mengenai faktor-faktor kenyamanan dalam ruang pedestrian. Sedangkan aspek kebijakan dan pengelolaan terdiri atas kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian, serta hal-hal yang terkait dengan pengelola dan usaha-usaha pengelolaannya. Untuk lebih jelasnya, proses dan langkah-langkap metode yang dipergunakan pada studi ini dapat dilihat pada Gambar 5 di atas.

Adapun jenis data, bentuk data dan sumber pengambilan data pada masing-masing aspek dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Aspek, jenis, bentuk dan sumber pengambilan data

Aspek Jenis Data Bentuk Data Sumber Pengambilan Data

Kondisi Umum

Lokasi tapak Aksessibilitas

Letak, luas dan batas-batas

Bappeda dan lapang Bappeda dan lapang

Fisik Ruang Iklim ƒUmum ƒMikro Elemen Fisik ƒAksessibiltas

ƒLebar pedestrian

ƒDisain paving

ƒBahan perkerasan

ƒ Street furniture

ƒVegetasi

ƒElemen lainnya

Visual

View dalam ruang

Data iklim Data suhu dan kelembaban bulanan, tahun 2007-2008 Akses dan jaringan jalan Lebar pedestrian Detail disain/site plan

Bahan perkerasan Inventarisasi perlengkapan dan kelengkapan jalan (lampu penerangan jalan, tempat sampah, pagar, jembatan penyeberangan, sarana komunikasi, kios, shelter, bangku, dan lainnya) Jenis dan pola penanaman Inventarisasi lapang dan data sekunder

Dokumentasi foto

BMKG, Bappedalda dan lapang BMKG, Bappedalda dan lapang

Bappeda dan lapang

Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Lapang

Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Bappeda, BMKG, Dinas Pertamanan dan Lapang Lapang Kepuasan Pengguna Karakteristik, persepsi dan preferensi Karakteristik, persepsi dan preferensi terhadap kenyamanan ruang

Lapang (kuisioner dan wawancara)

Kebijakan dan Pengelolaan

Peraturan yang berlaku

Keputusan, aturan dan RUTR Jakarta Pusat


(50)

3.2.2. Tahap Analisis 3.2.2.1. Analisis Klimatik

Menurut Brown and Gillespie (1995), iklim mikro berkaitan erat dengan rasa nyaman, suhu yang nyaman. Suhu yang nyaman dapat diwujudkan dengan memahami (1) unsur-unsur iklim mikro (angin, temperatur udara) yang dapat mempengaruhi kenyamanan suhu pada manusia; (2) unsur-unsur lanskap (tanaman, air) yang mempengaruhi iklim mikro. Kelembaban udara adalah ba-nyaknya kandungan air di udara. Pada kelembaban udara yang cukup tinggi, NO2 di udara dapat bereaksi dengan massa air membentuk HNO3, dan unsur S bereaksi dengan O2 membentuk SO4, yang akhirnya SO3 bereaksi dengan massa air membentuk H2SO4 (Purnomohadi, 1995).

Temperature Humidity Index (THI) merupakan suatu indeks untuk menetapkan kenyamanan secara kuantitatif dengan mengkombinasikan suhu dan kelembaban relatif udara (Nieuwolt, 1977), dengan rumus:

THI = 0,8 Ta + (RH x Ta ) / 500

Keterangan:

THI = indeks kenyamanan Ta = suhu udara (OC)

RH = kelembaban relatif udara (%)

3.2.2.2. Analisis Kondisi Fisik

Kondisi fisik area studi yang terdiri atas aksessibilitas, lebar pedestrian, disain paving, bahan perkerasan, street furniture, vegetasi dan elemen fisik lainnya dianalisis secara deskriptif dengan menjelaskan secara faktual kondisi-kondisi yang ada pada saat ini. Kondisi faktual yang ditemukan di lapang akan dibandingkan kesesuaiannya dengan standar-standar dimensi ruang dan ilmu Arsitektur Lanskap.

Hal ini sangat penting, untuk melihat sejauh mana kondisi fisik yang telah terbangun saat ini memberikan dampak dan kesan yang nyaman bagi penggunanya. Fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat tersebut harus mengikuti standar-standar dimensi manusia penggunanya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia


(51)

33

penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

3.2.2.3. Analisis Visual/Scenic Beauty Estimation (SBE)

Aspek bio-fisik yaitu visual, dianalisis dengan SBE. Metode SBE terdiri dari tiga langkah utama, yaitu penentuan titik pemotretan, presentasi foto dan analisis data hasil survey (Daniel dan Booster, 1976). Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Penentuan Titik dan Pemotretan

Proses menentukan titik dan pemotretan dimulai dengan survey lapang terlebih dahulu. Penentuan titik ini dilakukan di sepanjang jalur pedestrian pada Jalan M. H. Thamrin (sisi timur dan barat sejak Air Mancur Bank Indonesia hingga Jembatan Dukuh Atas) dan Jalan Jenderal Sudirman (sisi timur dan barat sejak Jembatan Dukuh Atas hingga Tugu Api Tak Kunjung Padam). Jarak antara titik satu dengan yang lain adalah 200 meter. Menurut Dharmawadhani (1997), titik pandang 200 meter merupakan jangkauan relatif mata normal untuk melihat pemandangan hingga batas titik maksimum (tidak terlihat) terhadap objek dalam lanskap. Setelah penentuan titik pemotretan selesai baru dilakukan pemotretan. Tujuan pemotretan adalah untuk mendokumentasikan pemandangan lanskap pedestrian kawasan jalan M. H. Thamrin-Jend. Sudirman yang nantinya akan dinilai oleh publik.

Pada tiap titik dilakukan pemotretan sebanyak dua kali, yaitu arah Utara dan Selatan dengan pengambilan foto dalam bentuk panorama. Tinggi pemotretan adalah setinggi mata manusia (150 cm) dan sejajar dengan arah pandangan normal. Foto lanskap hasil dokumentasi lapang sebanyak 128 foto, yang kemudian dilakukan seleksi oleh pakar (komisi pembimbing) dihasilkan sebanyak 50 foto. Foto-foto ini yang kemudian dijadikan sebagai bahan presentasi kuesioner kualitas visual. Dalam tahap ini alat dan bahan yang digunakan adalah kamera digital, kompas dan tripod kamera.

2. Presentasi Foto

Terhadap foto yang terseleksi terlebih dahulu dilakukan editing untuk mengurangi bias akibat pengaruh cuaca, sehingga diharapkan foto yang


(1)

 

10 

semakin tidak indah semakin indah

sangat tidak indah  sedang sangat indah 

NILAI 

Lampiran 2

Format Kuesioner Penilaian Pendugaan Keindahan

PENILAIAN PENDUGAAN KEINDAHAN

LANSKAP PEDESTRIAN JL. MH. THAMRIN – JEND. SUDIRMAN JAKARTA

Responden

Nama : ... .... Pekerjaan : Mahasiswa / Non – Mahasiswa *)

Semester : ... Intensitas ke Tapak : Sering / Jarang / Tidak Pernah *)

SKOR S B E (Scenic Beauty Estimation)

LANSKAP

1 ... 11 ... 21 ... 31 ... 41 ...

2 ... 12 ... 22 ... 32 ... 42 ...

3 ... 13 ... 23 ... 33 ... 43 ...

4 ... 14 ... 24 ... 34 ... 44 ...

5 ... 15 ... 25 ... 35 ... 45 ...

6 ... 16 ... 26 ... 36 ... 46 ...

7 ... 17 ... 27 ... 37 ... 47 ...

8 ... 18 ... 28 ... 38 ... 48 ...

9 ... 19 ... 29 ... 39 ... 49 ...

10 ... 20 ... 30 ... 40 ... 50 ...

Penilaian secara umum kondisi estetika tapak: sangat baik / baik / sedang / buruk / sangat buruk *)


(2)

Lampiran 3

Tabel 1 Nilai⎯Z dan SBE masing-masing lanskap

Lanskap ke- NilaiZ Nilai SBE Lanskap ke- NilaiZ Nilai SBE

1 -0.7239 -62.3 26 0.3875 48.8

2 -0.2433 -14.2 27 -0.2874 -18.7

3 0.2267 32.8 28 0.2998 40.1

4 0.7405 84.1 29 0.8837 98.5

5 0.1916 29.2 30 0.1958 29.7

6 0.5891 69.0 31 0.7271 82.8

7 -0.2880 -18.7 32 0.3614 46.2

8 0.5644 66.5 33 0.8218 92.3

9 0.4590 56.0 34 0.2318 33.3

10 0.5093 61.0 35 -0.1023 -0.1

11 -0.5320 -43.1 36 -0.3534 -25.3

12 -0.8631 -76.2 37 0.4155 51.6

13 -0.3673 -26.6 38 0.7672 86.8

14 0.8867 98.8 39 0.0883 18.9

15 0.5517 65.3 40 0.1562 25.7

16 0.2382 33.9 41 0.5410 64.2

17 0.6396 74.0 42 0.6722 77.3

18 -0.5067 -40.6 43 0.4049 50.6

19 0.6932 79.4 44 0.4097 51.1

20 0.3069 40.8 45 0.6797 78.1

21 0.3350 43.6 46 0.4061 50.7

22 0.3671 46.8 47 -0.1008 0.0

23 0.2764 37.7 48 -0.1859 -8.5

24 0.8424 94.3 49 0.3484 44.9


(3)

Lampiran 4

Lanskap 14 Lanskap 29

Lanskap 24 Lanskap 33

Lanskap 38 Lanskap 4 Gambar 1 Foto-foto lanskap yang memiliki nilai SBE tertinggi.


(4)

Lampiran 5

Lanskap 12 Lanskap 1

Lanskap 11 Lanskap 18

Lanskap 13 Lanskap 36 Gambar 2 Foto-foto lanskap yang memiliki nilai SBE terendah.


(5)

Lampiran 6

Sebelum Sesudah Lanskap 12

Sebelum Sesudah Lanskap 1

Sebelum Sesudah Lanskap 18

Gambar 3 Foto-foto hasil mountage untuk meningkatkan kualitas kenyamanan lanskap pedestrian Jl. M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta.


(6)

L a n j u t a n

Sebelum Sesudah

Sebelum Sesudah