Evaluasi Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

(1)

EVALUASI

PROGRAM RASIONALISASI PERIKANAN TANGKAP

DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Oleh:

YAYAN HIKMAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

EVALUASI

PROGRAM RASIONALISASI PERIKANAN TANGKAP

DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Oleh:

YAYAN HIKMAYANI

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program

Magister Sains

pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : EVALUASI PROGRAM RASIONALISASI

PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN INDRAMAYU

Nama Mahasiswa : Yayan Hikmayani

Nomor Pokok : C 551030264

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Darmawan, MAMA Anggota

Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan

Ketua,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 14 Agustus 2007 Tanggal Lulus:


(4)

ABSTRACT

YAYAN HIKMAYANI. Evaluation of Capture Fisheries Rationalization Program at Indramayu District - West Java Province. Under the supervision of ARI PURBAYANTO and DARMAWAN.

One of marine resource and fisheries management policy was conducted through the capture fisheries rationalization program in Indramayu District. The objectives of this research were: (1) to identify potency and problems of capture fisheries in Indramayu District, (2) to analize the palnning process of program rationalization capture fisheries, (3) to analize the potentcy and problems capture fisheries in Indramayu, (4) to analize the preparedness of rationalization capture fisheries program. The research was held in two village, Karangsong and Eretan Wetan, Indramayu Subdistrict. The research used survey methods. Data analysis was done descriptively with approach on every stage of program, that is on planning and implementation of the program. Analysis approach was done by comparing the ideal and factual condition on every stage of programe. The tresult of analysis showed that on the planning stage, the catching fisheries rationalization program was not optimum since there were some weakness on the preparation of the program and program schedule was not well prepared. The similar situation was occurred on the implementation of the program, including the implementing person, target set up, and policy maker relation. However, based on the potency and problem analysis, the rationalization program has been made suitable with the real situation on the decreased of fishery resources and ecosystem damage. The program achievement up to this research is relatively low since the weakness of planning and the implementation of the program.


(5)

ABSTRAK

YAYAN HIKMAYANI. Evaluasi Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan DARMAWAN.

Salah satu kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan melalui program rasionalisasi perikanan tangkap yang dilaksanakan di Kabupaten Indramayu. Tujuan penelitian ini yaitu: 1) Mengidentifikasi potensi dan permasalahan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu; 2) Menganalisis proses perencanaan program rasionalisasi perikanan tangkap; 3) Menganalisis kesesuaian program rasionalisasi dengan potensi dan permasalahan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu; dan 4) Menganalisis kesiapan pelaksanaan program rasionalisasi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilakukan di dua desa yaitu Desa Karangsong Kecamatan Indramayu dan Desa Eretan Wetan Kecamatan Kandanghaur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan pada setiap tahapan program yaitu tahapan perencanaan dan kesiapan pelaksanaan program. Pendekatan analisis digunakan dengan mengadakan perbandingan antara kondisi ideal dan kondisi faktual dari setiap tahapan.

Dari hasil analisis diketahui bahwa pada tahap perencanaan program, program rasionalisasi perikanan tangkap masih belum optimal karena masih terdapat kekurangan dalam hal: (1) langkah-langkah yang harusnya dipersiapkan dalam perencanaan program; (2) penjadualan program belum dibuat. Pada tahap kesipaan pelaksanaan program masih belum siap. Beberapa hal yang harus disiapkan tersebut seperti penentuan pelaksana, penentuan target dan pelibatan lingkungan kebijakan. Namun demikian dari hasil analisis potensi dan permasalahan program rasionalisasi tersebut telah dibuat sesuai dengan kondisi rill yang ada terkait dengan sumberdaya ikan yang semakin berkurang dan kerusakan ekosistem perairan. Dari capaian kegiatan program sampai dengan penelitian ini dilaksanakan terlihat bahwa kinerja program masih rendah. Hal ini disebabkan oleh perencanaan dan kesiapan pelaksanaan yang belum matang.


(6)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

EVALUASI PROGRAM RASIONALISASI PERIKANAN TANGKAP

DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi ©yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Oktober 2007

YAYAN HIKMAYANI NRP : C 551030264/TKL


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang, Jawa Barat pada tanggal 4 Oktober 1967 dari ayah H. UU Hasanudin (Alm.) dan Ibu Hj. Siti Nuraeni. Penulis merupakan putri pertama dari tujuh bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Gempol II pada tahun 1975 sampai dengan tahun 1981. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri I Cilamaya hingga lulus tahun 1984. Pada tahun 1984 – 1987 penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 3 Karawang.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1987 melalui jalur PMDK IPB. Tahun 1993 lulus dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan. Pada Tahun 1994 penulis bekerja di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Sukamandi Departemen Pertanian dan pada Tahun 2000 penulis bergabung dengan Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, DKP. Saat ini penulis bekerja pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jakarta, DKP. Tahun 2003 mengikuti Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Teknologi Kelautan.


(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007-10-07 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 9

1.3.1. Tujuan penelitian ... 9

1.3.2. Manfaat penelitian ... 9

1.4. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 9

2. TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1. Urgensi Paradigma dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan... 12

2.1.1. Urgensi paradigma pembangunan berkelanjutan... 12

2.1.2. Konsep pembangunan berkelanjutan ... 13

2.2. Konsep dan Aspek-Aspek Pembangunan Perikanan Berkelanjutan... 14

2.3. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 19

2.4. Kinerja Sektor Publik... 21

2.4.1. Pengertian sektor publik ... 21

2.4.2. Pengukuran kinerja sektor publik ... 23

2.4.3. Evaluasi kebijakan publik... 23

2.5. Evaluasi Program di Sektor Perikanan... 26

3. METODOLOGI... 30

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 30

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 30

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.4. Metode Analisis Data... 34

3.4.1 Analisis perencanaan program... 35

3.4.2 Analisis kesiapan dalam rangka implementasi program... 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Kondisi Umum Kabupaten Indramayu ... 40

4.1.1. Keragaan lingkungan ... 40


(10)

iii

4.1.1.2. Kedudukan Kabupaten Indramayu dalam kebijakan

pengembangan tata ruang... 42

4.1.2. Keragaan sosial masyarakat... 43

4.1.2.1. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk... 43

4.1.2.2. Komposisi penduduk berdasarkan laju migrasi dan jenis kelamin ... 44

4.1.2.3. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan 45 4.1.2.4 Pelapisan sosial masyarakat nelayan... 46

4.1.3. Keragaan ekonomi masyarakat... 48

4.1.3.1. Perekonomian daerah... 48

4.1.3.2. Tingkat kesejahteraan masyarakat ... 50

4.1.3.3. Keragaan ekonomi masyarakat perikanan ... 51

4.1.3.3.1. Perikanan tangkap ... 51

4.1.3.3.2. Perikanan budidaya ... 57

4.2. Program Rasionalisasi Perikanan... 57

4.3. Evaluasi Program ... 62

4.3.1. Evaluasi tahap perencanaan ... 62

4.3.2. Evaluasi kesiapan pelaksanaan program... ... 80

4.4. Capaian Program Sampai dengan Tahun 2007... 92

4.5. Strategi Perbaikan Kinerja Program ... 98

4.5.1. Titik-titik krusial program ... 98

4.5.2. Strategi perbaikan kinerja program... 100

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

5.1. Kesimpulan... 101

5.2. Saran... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik ... 28 2. Dimensi (Kelompok Indikator), Fokus Kajian serta Faktor yang

Digunakan dalam Penelitian... 31 3. Daftar Stakeholders dan Responden Penelitian Yang Mewakili... 34 4. Kondisi Ideal dan Faktual dalam Perencanaan Program Rasionalisasi

Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu ... 37 5. Kondisi Ideal dan Faktual dalam Kesiapan Pelaksanaan Program

Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu ... 39 6. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten

Indramayu, 2000 – 2004... 44 7. Jumlah Penduduk Datang-Pindah dan Sex Ratio menurut Kecamatan di

Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu, 2003. ... 45 8. Banyaknya Penduduk yang Putus Sekolah dan Buta Huruf menurut

Tingkat Pendidikan dan Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu, 2003... 46 9. Persentase PDRB dan Laju Pertumbuhan dari Setiap Jenis Lapangan

Usaha di Kabupaten Indramayu, 2003 ... 49 10. Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan (Pra Sejahtera,

Sejahtera dan Miskin) dan Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu, 2003. ... 50 11. Jumlah Nelayan menurut Status Nelayan dan Kecamatan di Wilayah

Pesisir di Kabupaten Indramayu, 2001-2005 ... 52 12. Keragaan Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu,

2002-2005 (Unit) ... 53 13. Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan Ikan di Indramayu,

2001-2005 (Buah)... 53

14. Keragaan Produksi Hasil Tangkapan Laut di Kabupaten Indramayu, 1997-2005... 54 15. Jenis Ikan menurut Keragaan Potensi dan Ideal Pemanfaatan di

Kabupaten Indramayu, 2004 ... 55 16. Prasarana Pendukung Kegiatan Penangkapan Ikan di Laut di

Kabupaten Indramayu Tahun 2004 ... 56 17. Data Potensi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Indramayu, 2004.... 57 18. Rencana Pengurangan Jumlah Armada pada Program Rasionalisasi di

Kabupaten Indramayu ... 60 19. Jumlah Biaya yang Dibutuhkan dalam Kegiatan Rasionalisasi Perikanan

Tangkap di Kabupaten Indramayu ... 61 20. Kondisi Ideal dan Faktual dalam Perencanaan Program Rasionalisasi

Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu ... 63 21. Program, Kegiatan, Tujuan Serta Sasaran Setiap Kegiatan Pada Program

Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupten Indramayu ... 65 22. Identifikasi Program Berdasarkan Kegiatan, Jenis Kegiatan, Sub Jenis


(12)

v

23. Proses Penyusunan Program Rasionalisasi Perikanan Kabupaten

Indramayu... 76 24. Hasil Analisis Kondisi Ideal dan Faktual Untuk Kesiapan Implementasi

Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu ... 81 25. Pengaruh Jangka Panjang dari Program Pengembangan pada Perikanan yang

Diusahakan Secara Berlebihan ... 87 26. Identifikasi Kesesuaian Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap

Dengan Perumusan Masalahnya ... 89 27. Analisa Usaha Menggunakan Alat Tangkap Bantuan... 96 28. Capaian Program Rasionalisasi Sampai dengan Tahun 2007 di Kabupaten


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 10


(14)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lokasi Penelitian ... 107

2. Spesifikasi Teknis Jaring Gillnet/Jaring Grandong (Millenium) ... 108

3. Desain Alat Tangkap Jaring Grandong ... 109


(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Data resmi pemerintah (DKP, 2005) menyatakan bahwa sumber daya ikan (SDI) Indonesia diperkirakan bernilai sekitar US$ 31,9 milyar. Keberadaan SDI yang demikian besar merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Khusus untuk perikanan tangkap laut, potensi lestari SDI laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), serta terbagi dalam sembilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dari seluruh potensi SDI tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari.

Peningkatan pemanfaatan potensi SDI tampaknya masih dimungkinkan namun dengan pengelolaan yang spesifik sesuai dengan kondisi masing-masing WPP. Pada tahun 2004 tercatat bahwa tingkat pemanfaatan SDI adalah sebesar 4,7 juta ton atau baru sekitar 91,8% dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (DKP, 2005).

Sementara itu, yang perlu mendapat perhatian adalah tingkat pemanfaatan SDI di dua WPP, yaitu WPP Selat Malaka (141,03%) dan WPP Laut Jawa (137,20%), sudah jauh melebihi potensi lestari SDI (Balai Besar Riset Sosial Ekonomi, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa di WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa telah terjadi gejala tangkap berlebih (over fishing).

Perencanaan strategis pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2005 – 2009 menyiratkan kebijakan dan program yang dikembangkan dan dilaksanakan berdasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan (DKP, 2005). Artinya, setiap pembangunan yang dijalankan di sektor kelautan dan perikanan telah berlandaskan pada pertimbangan pengelolaan terpadu dari tiga aspek, yaitu aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek ekonomi (Dahuri et al., 1996; DKP, 2005).


(16)

2 Departemen Kelautan dan Perikanan c.q. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap berupaya melaksanakan beberapa kebijakan, yaitu (Barani, 2005):

(1) Menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan nasional;

(2) Rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada nelayan lokal dan perusahaan nasional;

(3) Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan;

(4) Mendorong pemerintah daerah untuk pro aktif mengoptimalkan seluruh potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkesinambungan;

(5) Rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena bencana alam. Berdasarkan poin-poin kebijakan yang diprioritaskan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tersebut, pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap diarahkan kepada usaha pengelolaan yang bertanggungjawab agar dapat menjadi mata pencaharian yang berkesinambungan. Untuk itu diperlukan usaha yang tepat dalam pengelolaannya dan sejalan dengan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan bentuk pengelolaannya.

Harapan yang terekam adalah pemerintah masih cukup mengandalkan perikanan tangkap menjadi salah satu andalan perekonomian nasional untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukkan masih tingginya nilai strategis pembangunan perikanan tangkap di Indonesia. Harapan terpenuhinya kebijakan tersebut tampaknya didukung oleh penetapan kebijakan tentang rasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada nelayan lokal. Kebijakan lain yang mendukung pembangunan perikanan tangkap yang juga ditetapkan adalah penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap yang berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan.

Harapan didalam penanganan isu pembangunan perikanan tangkap lainnya adalah adanya upaya lanjutan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan tersebut melalui langkah-langkah strategis berupa pelaksanaan beberapa program


(17)

pembangunan perikanan tangkap antara lain adalah sebagai berikut (Barani, 2005):

(1) Optimasi pemanfaatan sumber daya ikan secara bertanggung jawab; (2) Peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan;

(3) Restrukturisasi armada perikanan;

(4) Peningkatan SDM dan penyerapan teknologi.

Program optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab di satu sisi dapat diinterpretasikan sebagai bukti bahwa pemerintah telah menetapkan bahwa pelaksanaan program pembangunan perikanan tangkap dilandasi pada konsep pembangunan berkelanjutan. Daya dukung lingkungan sebagai penyedia sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai penopang kehidupan manusia dan selanjutnya kesejahteraan manusia dari generasi ke generasi sangat diperhatikan.

Secara sistematik, tingginya perhatian pemerintah pada pencapaian keberhasilan program utama pembangunan perikanan tangkap di Indonesia ini ditunjukkan melalui kebijakan pendukung yang mengarah pada pelaksanaan upaya-upaya yang bertujuan meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan yang berimplikasi pada perlunya upaya-upaya untuk merestrukturisasi armada perikanan. Pada akhirnya, agar tujuan-tujuan dimaksud dalam kebijakan-kebijakan tersebut dapat dicapai maka pemerintah juga telah melengkapinya dengan kebijakan yang mengarah pada pelaksanaan upaya-upaya peningkatan SDM dan penyerapan teknologi.

Beberapa penelitian sebelumnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Selat Malaka dan WPP Laut Jawa (Bapedalda DKI Jakarta, 2003; Bapedalda Sumatera Utara, 2002; Taryono, 2003) menunjukkan bahwa gejala tangkap berlebih sebagian disebabkan oleh adanya tekanan aktivitas manusia di perairan laut yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan yang terkait dengan ekosistem kedua WPP dimaksud. Tingginya aktivitas penangkapan ikan yang tidak seimbang dengan potensi SDI karena penggunaan armada dan alat tangkap tradisional yang tidak efisien dari sisi biaya serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (penggunaan potasium, bom ikan, alat tangkap pukat harimau dan sejenisnya) merupakan beberapa contoh dari aktivitas manusia yang


(18)

4 menjadi penyebab menurunnya atau terganggunya fungsi lingkungan atau WPP sebagai penyedia SDI bagi kepentingan manusia itu sendiri.

Penelitian terdahulu (Taryono, 2003) menunjukkan bahwa memburuknya kualitas lingkungan di WPP Laut Jawa pada gilirannya berakibat buruk terhadap kehidupan masyarakat nelayan yang beroperasi di WPP tersebut baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Secara ekonomis, menurunnya biomass stok ikan di WPP Laut Jawa telah meningkatkan biaya penangkapan ikan bagi nelayan. Kelangkaan SDI telah mengharuskan nelayan untuk mengeluarkan biaya operasional lebih tinggi dikarenakan mereka harus “mencari” ikan ke wilayah yang lebih jauh dengan waktu yang lama.

Meningkatnya biaya operasional yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dari hasil tangkapan pada gilirannya telah menyebabkan menurunnya tingkat pendapatan masyarakat nelayan tersebut.

Selanjutnya, dampak buruk dari fenomena tangkap berlebih di WPP Laut Jawa berdampak pada kehidupan sosial masyarakat nelayan yang tinggal di wilayah pantai utara Jawa yang merupakan masyarakat nelayan yang dominan kegiatan penangkapan ikannya di WPP Laut Jawa. Dampak buruk sosial tersebut adalah berupa meningkatnya konflik antar nelayan. Kelangkaan SDI telah berakibat pada meningkatnya konflik perebutan wilayah penangkapan, baik yang bersifat aktual maupun potensial.

Mengacu pada data statistik tahun 2004, rumah tangga perikanan yang berdomisili di pantai utara Jawa dan sebagian besar beroperasi di WPP Laut Jawa yang berjumlah sekitar 84.105 rumah tangga perikanan (RTP) atau sekitar 336.420 orang dan merupakan sekitar 14% dari populasi nelayan di seluruh Indonesia (Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2006). Ketidakmampuan untuk merespon dan mengatasi permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi sektor perikanan di WPP Laut Jawa akan berujung pada menurunnya secara signifikan tingkat kesejahteraan masyarakat sektor perikanan pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Evaluasi terhadap kebijakan pemerintah di sektor perikanan khususnya pada program rasionalisasi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu yang akan akan dilakukan pada tahapan perencanaan dan kesiapan implementasinya. Hal ini


(19)

dilakukan karena program tersebut baru dilaksanakan 2 tahun dan masih terus dilaksanakan untuk tahun-tahun berikutnya. Evaluasi terhadap tahapan tersebut sangat penting untuk mendapatkan informasi apakah desain program yang telah dibuat telah mengacu pada kebutuhan masyarakat dan bagaiman kesiapan implementasi yang sudah ada apakah sudah sesuai dengan seluruh persyaratan bagi implementasi program. Informasi tersebut akan bermanfaat bagi keberhasilan implementasi selanjutnya sehingga mendapatkan manfaat sebesar-besarnya.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Indramayu terkait dengan bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan perikanan didasarkan pada permasalahan serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup tersebut. Kebijakan yang telah dibuat adalah:

(1) Mengelola sumberdaya lama melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan;

(2) Memberikan hak-hak dan kewenangan kepada masyarakat lokal secara bertahap untuk pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya alam secara berkeadilan;

(3) Memberdayakan lembaga pemerintah daerah didalam pengelolaan sumberdaya alam secara efektif;

(4) Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi lokal didalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; dan

(5) Memelihara kawasan-kawasan konservasi, khususnya dalam mempertahankan keanekaragaman sumberdaya hayati di daerah pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Biawak, Pulau Rakit dan Pulau Gosong serta pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan arah kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan, sebagai cerminan dari prioritas kegiatan yang akan dilakukan dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Kabupaten Indramayu, dijabarkan ke dalam beberapa program pembangunan sebagai berikut:

(1) Penataan dan pemberdayaan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup;


(20)

6 (2) Peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam

dan pelestarian lingkungan hidup;

(3) Pengembangan sistem informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

(4) Penataan efektivitas pengelolaan, konservasi/reklamasi dan pemulihan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

(5) Pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup; (6) Pembinaan daerah pesisir dan pantai;

(7) Peningkatan koordinasi lintas sektoral.

Bentuk kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan diantaranya dengan merestrukturisasi armada penangkapan ikan. Kebijakan restrukturisasi armada dilakukan oleh pemerintah pusat yang akan dilakukan terutama untuk perairan yang sudah tangkap lebih seperti contohnya di pantai utara Jawa.

Kebijakan restrukturisasi armada dilakukan di Kabupaten Indramayu melalui program rasionalisasi perikanan tangkap. Program tersebut merupakan kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam jangka panjang khususnya untuk lokasi di Pantai Utara Jawa.

Program rasionalisasi dilakukan melalui kegiatan-kegiatan terkait dengan usaha perikanan tangkap yaitu:

(1) Penguatan armada penangkapan;

(2) Alih usaha pemanfaatan sumberdaya hayati laut; (3) Rehabilitasi ekosistem biota laut;

(4) Pengembangan sarana dan prasarana pendukung.

Keempat kelompok ini sepintas berlandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan dimana pelaksanaan pengelolaan aspek sosial ekonomi (kelompok kegiatan 1 dan 2) diupayakan keterpaduannya dengan pelaksanaan pengelolaan lingkungan (kelompok kegiatan 3) serta didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai (kelompok kegiatan 4) untuk dapat menjalankan kelompok-kelompok kegiatan di kedua aspek tersebut.

Program rasionalisasi perikanan tangkap yang dilakukan oleh Kabupaten Indramayu, dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu merupakan program dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Tujuan akhir pelaksanaan program


(21)

rasionalisasi yaitu mengurangi jumlah nelayan dengan armada kecil dan mengalihkan profesi nelayan menjadi petani ikan. Beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya program tersebut seperti yang dikemukakan oleh narasumber dari Dinas Perikanan dan Kelautan yaitu adanya kecenderungan semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan, hampir 70% nelayan Indramayu adalah nelayan kecil sehingga armada yang dimiliki tidak mampu menjangkau wilayah tangkap yang lebih jauh, sedangkan sumberdaya di pesisir sudah semakin berkurang.

Kata Rasionalisasi didefinisikan oleh Fauzi (2002) diantaranya sebagai usaha mengurangi ekses effort dapat dilakukan dengan membatasi kapal dan pemberlakuan pajak. Sebagai langkah awal program rasionalisasi perikanan tangkap merupakan suatu terobosan yang baik, dengan harapan dalam jangka waktu tertentu akan terjadi pemulihan sumberdaya ikan khususnya di Zona padat tangkap dengan perubahan armada dan pengurangan jumlah nelayan. Namun demikian sebagai program jangka panjang yang akan dilaksanakan, sebaiknya diperlukan perencanaan yang matang, dan kesiapan dalam pelaksanaannya sehingga tujuannya dapat tercapai dengan baik. Dari sisi penyusunan program tersebut seharusnya dilakukan secara hati-hati karena akan berdampak pada alokasi sumberdaya baik dana maupun pelaksana program yang harus disiapkan. Dua hal tersebut akan menjadi kunci apakah program tersebut akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.

Hal lain yang harus mendapat perhatian penting adalah dampak dari pelaksanaan program kepada masyarakat. Perubahan armada dan matapencaharaian nelayan tentunya akan berpengaruh besar terhadap struktur sosial dan budaya masyarakat dan hal ini bukan hal yang mudah.

Kajian tentang evaluasi program rasionalisasi perikanan tangkap dengan studi kasus di Kabupaten Indramayu perlu dilakukan. Sebagai tahap awal, sebelum pelaksanaan program perlu dilihat tahap perencanaan program tersebut apakah sudah dibuat dengan baik, atau apa saja yang harus disiapkan dalam pelaksanaannya. Hasil evaluasi tersebut akan membantu memberikan masukan kepada pemerintah daerah dan melihat kembali kemungkinan beberapa kelemahan


(22)

8 yang ada baik dalam perencanaan maupun dalam kesiapan peleksanaannya sehingga dapat memperbaiki pelaksanaan program nantinya.

Pengukuran dan evaluasi kesiapan implementasi pelaksanaan program pemerintah saat ini telah menjadi suatu tuntutan yang tidak dapat dihindari. Melalui pengukuran dan evaluasi kesiapan implementasinya terhadap program pembangunan tersebut akan dapat diperoleh suatu gambaran tentang kemungkinan tingkat pencapaian keberhasilan yang diharapkan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam tujuan dan sasaran program itu sendiri. Di sisi lain, hasil pengukuran kesiapan implementasi tersebut, dapat memberikan gambaran tentang kendala-kendala yang muncul, diantaranya berupa:

(1) ketidaksesuaian antara kondisi yang ada dengan perumusan tujuan dan sasaran program maupun kegiatan-kegiatannya;

(2) ketidaktepatan pelaksanaan; dan

(3) ketidaksesuaian antara sasaran dengan pencapaian program/kegiatan.

Dari kondisi-kondisi tersebut maka untuk dapat mengetahui tingkat pencapaian keberhasilan maupun potensi kegagalan dari program rasionalisasi perikanan sebagaimana dimaksud sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan suatu strategi perbaikan atau peningkatan kinerja program dalam rangka pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Adapun isu-isu yang telah dikemukakan dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

(1) Apakah tujuan, sasaran dan kegiatan-kegiatan didalam program rasionalisasi perikanan yang dilaksanakan oleh Kabupaten Indramayu telah berlandaskan pada dan sesuai dengan potensi dan permasalahan perikanan tangkap di wilayah yang bersangkutan?

(2) Apabila sesuai dengan kondisi permasalahan pertama teridentifikasi, maka perlu dilihat bagaimana proses perencanaan program tersebut ?

(3) Sesuai dengan kondisi permasalahan pertama teridentifikasi, maka perlu dilihat sejauhmana kesiapan yang telah dimiliki untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam program rasionalisasi perikanan?

(4) Sesuai dengan kondisi permasalahan kedua yang teridentifikasi, apakah strategi yang diperlukan untuk meningkatkan atau memperbaiki kesiapan yang


(23)

dibutuhkan dalam program rasionalisasi agar mampu mencapai tujuan dan sasaran dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Indramayu?

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(1) Mengidentifikasi potensi dan permasalahan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu.

(2) Menganalisis kesesuaian program rasionalisasi dengan potensi dan permasalahan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu.

(3) Menganalisis proses perencanaan program rasionalisasi perikanan tangkap. (4) Menganalisis kesiapan pelaksanaan program rasionalisasi perikanan tangkap

di Kabupaten Indramayu.

1.3.2. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai:

(1) Sumbangan pemikiran bagi penentu kebijakan dan semua pihak yang berkepentingan untuk merencanakan program yang lebih baik

(2) Sumbangan pemikiran, arahan, dan bahan evaluasi bagi penentu kebijakan untuk menyiapkan pelaksanaan program agar mendapatkan hasil yang lebih baik

(3) Sumbangan pemikiran dan bahan referensi dalam pengembangan ilmu dan kaji tindak di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya perikanan.

1.4. Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam kerangka manajemen strategis suatu institusi, terdapat bagian perencanaan strategis yang meliputi penentuan visi, misi, tujuan dan sasaran yang meliputi kebijakan, program dan kegiatan. Dari rencana strategis tersebut, pengukuran dan evaluasi kinerja terhadap kebijakan, program dan kegiatan dilakukan terlebih dahulu melalui pengembangan indikator kinerja yang terbagi kedalam lima kelompok indikator kinerja yaitu indikator masukan (inputs),


(24)

10 indikator keluaran (outputs), indikator hasil (outcomes), indikator manfaat (benefits) dan indikator dampak (impacts).

Dalam menyusun indikator kinerja diperlukan pemahaman yang baik terhadap kebijakan, program atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dan yang akan diukur dan dievaluasi kinerjanya. Program adalah suatu kumpulan kegiatan-kegiatan nyata, sistematis dan terpadu yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi pemerintah ataupun dalam rangka kerjasama dengan masyarakat atau yang merupakan partisipasi aktif masyarakat guna mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu, pemahaman yang baik sebagaimana dimaksud dalam paragraf di atas meliputi pemahaman terhadap tujuan dan sasaran program dan kegiatan-kegiatannya, sumberdaya yang tersedia, ruang lingkup program dan keterkaitan antar berbagai kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk memperoleh hasil, manfaat dan dampak yang diharapkan sangat diperlukan. Pemahaman dan pencapaian kesepakatan terhadap keterkaitan antar indikator kinerja yang disusun dapat ditempuh melalui pendekatan kerangka kerja logis yang mencakup indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat dan dampak.

Berdasarkan periode kinerja suatu program (LAN, 1999), maka penelitian ini hanya melakukan evaluasi terhadap indikator masukan dan proses. Indikator hasil, manfaat dan dampak belum dapat diukur karena program rasonalisasi perikanan di Kabupaten Indramayu yang dimulai pada tahun 2004 belum selesai pelaksanaannya hingga tahap pengumpulan data dalam penelitian ini selesai dilakukan.

Indikator masukan dalam program rasionalisasi yaitu meliputi potensi wilayah yang akan mendukung keberhasilan program yaitu potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sumberdaya alam meliputi kondisi topografi, letak geografis, strategis wilayah dll. Disamping itu potensi sumberdaya manusia yaitu pelaku usaha yang dicirikan dengan kondisi sosial,ekonomi dan budaya yang dapat dimanfaatkan bagi modal pembangunan. Indikator proses meliputi proses pembuatan kebijakan dan kesiapan implementasinya yang meliputi sumberdaya manusia, hukum, kelembagaan dan keuangan untuk pembiayaan program. Dalam


(25)

penelitian ini, ruang lingkup kegiatan membatasi pengukuran dan evaluasi hingga indikator kesiapan implementasi dari program rasionalisasi perikanan.

Adapun alur pemikiran penelitian sebagaimana diuraikan di atas disajikan dalam bagan kerangka pemikiran (Gambar 1).

Sesuai

Keterangan: Batas ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Pemahaman

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Identifikasi Potensi dan Permasalahan

Lokal di Sektor Perikanan

Program Rasionalisasi

Perikanan Tangkap

Kesiapan Implementasi

Kegiatan-Kegiatan

Pencapaian Sasaran Kegiatan

Pengelolaan WPP Laut Jawa Berkelanjutan INPUT

PROSES

OUTPUT


(26)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Urgensi Paradigma dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan 2.1.1. Urgensi paradigma pembangunan berkelanjutan

Isu pembangunan berkelanjutan semakin memiliki posisi yang strategis seiring dengan semakin meningkatnya pertukaran barang, jasa, informasi, dan pergerakan manusia yang saat ini sering disebut sebagai era globalisasi. Pergerakan barang dan jasa termasuk modal semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Pada masa lalu, suatu sumberdaya alam (termasuk sumberdaya kelautan dan perikanan) hanya dimanfaatkan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan suatu masyarakat tertentu atau komunitas setempat seperti misalnya komunitas desa, komunitas kota, atau suatu negara.

Dengan datangnya era globalisasi, maka kebutuhan suatu komunitas akan sumberdaya alam dan lingkungan dari suatu tempat atau suatu desa, suatu kota, atau bahkan suatu negara lain dapat saja turut mempengaruhi tingkat pemanfaatan sumberdaya tersebut. Indonesia sendiri sebagai negara yang mempunyai keragaman dan kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup tidak dapat lepas dari pengaruh globalisasi dan isu-isu pembangunan berkelanjutan. Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi yang terkait dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Namun demikian, seiring dengan perubahan dalam tata laksana kehidupan politik dan penyelenggaraan bernegara serta kerusakan ekosistem dalam pelaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan pada masa lalu, isu pembangunan berkelanjutan tersebut akhir-akhir ini kembali menjadi perhatian semua pihak.

Upaya mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran sesungguhnya telah dilaksanakan oleh berbagai negara sejak seratus tahun yang lalu. Tetapi kesadaran akan konsep dan pemikiran tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang mendasarinya berbeda-beda. Para pakar Barat menganggap bahwa apa yang dilakukan dewasa ini oleh berbagai negara terutama di Barat, didasarkan pada kesadaran dan konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup generasi keempat. Timbulnya keserasian terhadap alam di awal abad delapan belas dianggap sebagai generasi pertama dalam hal kesadaran lingkungan,


(27)

sedangkan generasi kedua adalah kesadaran bahwa alam adalah wujud yang dapat ditaklukan dan diubah menjadi barang ekonomi dan estetik. Konsep ini mulai meningkat di awal abad kedua puluh dan mulai mendapat tantangan di awal tahun enam puluhan. Kesadaran lingkungan generasi ketiga mulai mencoba mengerem laju eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara menganjurkan perubahan gaya hidup dan membangun institusi pengelolaan. Era ini juga disebut sebagai era krisis partisipasi, karena ketidakmerataan dan tidak adilnya penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Krisis daya untuk hidup yaitu pandangan pesimistik oleh pertumbuhan konsumsi dan terbatasnya sumberdaya alam, seperti yang dilaporkan oleh Klub Roma dianggap ikut memberi warna pada kesadaran lingkungan generasi ketiga. Undang-undang kebijaksanaan lingkungan hidup Amerika Serikat tahun 1970 dan deklarasi Stockholm tahun 1972 antara lain merupakan wujud nyata pernyataan akan adanya kesadaran lingkungan generasi ketiga. Walaupun demikian generasi ketiga sering dianggap sebagai era perkembangan pengertian ilmiah, sedangkan pengaruhnya terhadap kehidupan nyata masih sangat terbatas. Generasi keempat adalah kesadaran lingkungan yang timbul sebagai reaksi terhadap krisis budaya dan karakter lokal. Pada era ini permasalahan lingkungan yang berlangsung mulai menyentuh dunia politik, serta mulai mengusik kehidupan bernegara dan hubungan antar negara. Desentralisasi, otonomi, demokrasi dan budaya lokal dalam kaitannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup mulai secara mendalam dikaji dan menjadi isu politik dunia karena masalah tersebut telah terbukti bukan merupakan masalah lokal saja. Dalam hal ini, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission for Eenvironment and Development, WCED) memaparkan segala permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dan mengusulkan suatu bentuk kepranataan (kelembagaan) yang baru. WCED mengusulkan beberapa azas hukum yang baru, yang menyangkut soal perlindungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta konsep pembangunan berkelanjutan.

2.1.2. Konsep pembangunan berkelanjutan

Terlepas dari berbagai paham yang telah dikemukakan, pada prinsipnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep yang dapat dan seyogyanya digunakan sebagai dasar pembangunan secara umum. Secara


(28)

14 mendasar arti dari pembangunan berkelanjutan adalah: (1) Pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya; dan (2) Memadukan antara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta pembangunan. Dengan kata lain, dua hal yang menjadi kandungan dari konsep pembangunan berkelanjutan menjelaskan bahwa segala kemajuan dan perkembangan yang terjadi (pembangunan) akan terhambat dan bahkan musnah apabila lingkungan hidup tidak menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan pembangunan.

Terkait lebih mendalam dengan pembangunan, permasalahan lingkungan dalam lingkup global telah masuk dalam proses dan keputusan politik. Artinya, permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah permasalahan yang menyangkut semua anggota masyarakat dan masa depan yang panjang. Hal ini terlihat pula bahwa produk hijau (green product) dan ekolabel antara lain adalah keputusan politik global yang turut mempengaruhi perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia. Implikasinya adalah semua orang dalam masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam mengubah perilakunya agar sesuai dan dapat mencapai pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan tidak berarti tidak ada pembangunan atau pertumbuhan. Meskipun tidak setiap pendekatan pembangunan berkelanjutan perlu untuk memiliki kesamaan asumsi-asumsi, perlu beberapa prinsip dasar yang dapat mengarahkan dan membimbing kepada pencapaian pembangunan yang benar-benar berkelanjutan. Penggunaan sumberdaya alam harus semakin efisien dan dengan demikian semua kegiatan sosial ekonomi harus diukur dampak jangka panjangnya bagi lingkungan hidup dan bukan sekedar pencapaian-pencapaian masa kini semata.

2.2. Konsep dan Aspek-aspek Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Dalam sejarahnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu


(29)

melindungi Sumber Daya Perikanan dari kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan manusia dalam melakukan kegiatan perikanan tersebut. (Adrianto, 2005).

Kemudian pada tahun 1950-an, dominasi paradigma konservasi ini mendapat tantangan dari paradigma lain yang disebut sebagai paradigma rasionalitas (rationalization paradigm). Paradigma ini memfokuskan pada keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi (economically rational or efficient fishery) dan mendasarkan argumentasinya pada konsep pencapaian keuntungan maksimal dari Sumberdaya Perikanan bagi pemilik sumberdaya (Adrianto, 2005).

Charles (2001) menambahkan wacana baru dalam konsep keberlanjutan disamping konsep keberlanjutan secara biologi-ekologi yang dilihat dari nilai MSY (maximum sustainable yield) yang merupakan paradigma konservasi dan keberlanjutan ekonomi yang dilihat dari nilai MEY (maximum economic yield) dan OSY (optimum sustainable yield) cerminan dari paradigma rasionalitas juga harus berlanjut maka diperlukan paradigma sosial dan komunitas. Dalam paradigma baru ini, keberlanjutan perikanan dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan”. Artinya, keberlanjutan perikanan diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas.

Konsep-konsep perikanan tradisional yang terbukti mampu melakukan kontrol terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya

traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka jangka panjang (long-term resilience) menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini. Dengan demikian, perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung


(30)

16 tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan (Adrianto, 2005).

Konsep pembangunan berkelanjutan dalam bidang perikanan atau konsep pembangunan perikanan berkelanjutan memerlukan pemahaman terlebih dahulu pembangunan perikanan itu sendiri. Pembangunan perikanan dapat diartikan sebagai pembangunan atau suatu proses yang disengaja untuk mengarahkan sektor perikanan menuju lebih maju jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Pemahaman bidang perikanan memerlukan pemahaman terhadap struktur perikanan sehingga nantinya dapat dipahami konsep pembangunan perikanan berkelanjutan yang sesungguhnya. Berdasarkan jenis kegiatannya, perikanan dapat dapat dibagi menjadi perikanan tangkap (capture fishery) dan perikanan budidaya (culture fishery). Perikanan tangkap adalah aktivitas atau usaha dibidang perikanan yang dilakukan dengan cara memanen ikan dari alam (ekosistem). Di lain pihak perikanan budidaya adalah proses pemanenan ikan melalui suatu kegiatan yang terlebih dahulu dimulai dengan pemeliharaan ikan pada suatu wadah dan tempat yang terkontrol pada suatu ekosistem tertentu. Ekosistem yang menjadi wadah atau lahan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya dapat dikelompokkan menjadi lahan perairan laut, lahan pantai dan lahan air tawar (dalam hal ini termasuk sungai, rawa, waduk, danau, kolam dan genangan air lainnya).

Konsep pembangunan perikanan berkelanjutan secara teknis didefinisikan sebagai suatu upaya pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan laut dan pantai untuk kesejahteraan manusia, terutama pemanfaat-pemanfaat terkait dengan tingkat pemanfaatannya yang tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) wilayah perairan tersebut untuk menyediakannya. Dalam hal ini terdapat tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam kerangka pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Dahuri, 2004). Masing-masing aspek tersebut mempunyai persyaratan-persyaratan agar pembangunan suatu wilayah atau suatu sektor dapat berlangsung secara berkelanjutan. Integrasi seyogyanya terjadi antar aspek dan menjadikan pembangunan sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian


(31)

diharapkan generasi mendatang masih dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana generasi saat ini memenuhi kebutuhannya.

Menurut Dahuri (2004), Secara ekologi ada 5 persyaratan agar pembangunan suatu wilayah, termasuk pembangunan perikanan pada semua tingkatan wilayah administratif, baik pada tingkat kabupaten/kota, propinsi, negara atau dunia, agar dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Pertama adalah perlu adanya keharmonisan ruang (spatial harmony) untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan yang dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah hendaknya dipilah menjadi 3 zona yaitu zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan. Masing-masing zona tersebut memiliki fungsi yang berbeda baik dari segi pemanfaatannya meskipun satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dengan demikian, terganggu atau rusaknya suatu zona akan mengakibatkan terganggunya fungsi zona yang lainnya. Oleh karena itu, ketiga zona tersebut harus dikelola secara bijaksana sesuai dengan fungsinya termasuk zona pemanfaatan. Dengan kata lain, zona pemanfaatan juga seyogyanya digunakan seabagai sumber ekonomi yang memperhatikan fungsi-fungsi ekologi ekosistem alam tersebut.

Kedua adalah bahwa tingkat atau laju (rate) pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya kelautan dan perikanan atau hutan mangrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam terminologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, kemampuan pulih yang dimaksudkan dikenal dengan istilah hasil tangkapan maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY). Nilai MSY ini diperhitungkan berdasarkan perkiraan jumlah populasi ikan yang terdapat pada suatu wilayah atau ekosistem dibagi dengan jumlah upaya (baik dalam bentuk jumlah alat tangkap atau jumlah kapal yang digunakan untuk melaksanakan penangkapan ikan) di wilayah tersebut. Pada perikanan budidaya prinsip pemanfaatan yang sesuai dengan kapasitas dukung lingkungan ini dapat dikemukakan dalam bentuk angka jumlah keramba yang maksimum dapat ditampung dalam luasan kawasan budidaya di suatu ekosistem tertentu. Perhitungan kapasitas dukungnya didasarkan kepada kemampuan lingkungan budidaya tersebut untuk dapat menampung limbah kegiatan budidaya tersebut. Pemanfaatan yang melebuhi kapasitasnya dapat mengakibatkan terjadinya suatu gangguan terhadap lingkungan budidaya yang ada, yang pada akhirnya juga akan dapat mengganggu kegiatan budidayanya.


(32)

18

Ketiga, jika kita mengeksploitasi sumberdaya kelautan misalnya bahan tambang dan mineral (sumberdaya tidak dapat pulih) harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan agar tidak mematikan kelayakan usaha (viability) sektor pembangunan (ekonomi) lainnya. Sebagai contoh misalnya penambangan terhadap pasir laut telah diketahui dapat mengakibatkan adanya pulau yang hilang. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penambangan pasir laut tersebut dilaksanakan tanpa menggunakan kaidah pembangunan berkelanjutan karena merusak lingkungan hidup lainnya. Dalam hal ini, seyogyanya penambangan pasir laut tersebut memperhatikan kaidah ekologi seperti kondisi arus, kondisi fisik dasar laut dan kondisi ekologis lainnya sehingga tidak mengakibatkan rusaknya ekosistem laut lainnya. Kemudian, sebagian keuntungan (economic rent) dari usaha pertambangan tersebut sudah sepantasnya diinvestasikan untuk mengembangkan bahan (sumberdaya) substitusinya dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic activities). Dalam hal ini misalnya dapat saja berupa penyediaan mata pencaharian alternatif bagi penduduk disekitar sumberdaya kelautan yang dimanfaatkan tersebut. Masyarakat sekitar merasakan manfaat dari pemanfaatan sumberdaya kelautan tersebut. dan tidak hanya menerima akibat pemanfaatan sumberdaya saja. Contoh lainnya misalnya dapat saja digunakan untuk mengembangkan sub-sektor pariwisata, industri pengolahan produk perikanan, serta industri rumah tangga (home industries) yang berbasis sumberdaya dapat pulih di sekitar lokasi tersebut.

Keempat, membuang limbah ke suatu lingkungan ekosistem harus disesuaikan dengan kapasitas asimilasi lingkungannya baik berupa limbah organik maupun unsur hara yang sifatnya dapat teruraikan oleh alam (biodegradable). Juga, jika membuang limbah ke lingkungan laut dan lingkungan perikanan lainnya, maka jenis limbah yang dibuang bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya Beracun), tetapi jenis limbah yang dapat diuraikan di alam (biodegradable). Jumlah limbah non- B3 yang dibuang ke laut tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan laut. Bahkan, semua limbah B3 tidak diperkenankan dibuang ke lingkungan alam (termasuk pesisir dan lautan), tetapi harus diolah di fasilitas Pengolahan Limbah B3. Dampaknya, lingkungan hidup dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan fungsinya dalam keterkaitan suatu ekosistem baik secara alami maupun buatan. Terganggunya suatu fungsi lingkungan ekosistem akan mengakibatkan terganggunya fungsi alami bagian ekosistem lainnya, sehingga fungsi ekosistem tersebut menjadi tidak optimal.


(33)

Kelima, dalam merancang dan membangun kawasan yang terkait dengan sumberdaya kelautan dan perikanan, misalnya wilayah pesisir dan laut harus sesuai dengan kaidah-kaidah alam atau kaidah yang tidak merusak secara ekologis (design and construction with nature). Sebagai contoh misalnya dalam membangun dermaga (jetty), pemecah gelombang (breakwaters), pelabuhan laut, hotel, anjungan minyak (oil rigs), marina, dan infrastruktur lainnya, maka dalam pelaksanaan pembangunannya harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir dan lautan tersebut, seperti pola arus, pasang surut, sifat geologi dan geomorfologi (sediment budget), serta sifat biologis dan kimiawi. Apabila pembangunan yang dilakukan mengacu pada hal di atas maka pembangunan yang dilakukan tidak mengganggu atau merusak keseimbangan ekologi.

Selanjutnya Dahuri (2004) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosial-ekonomi adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola permintaan total (agregate demand) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan agar tidak melampaui kemampuan suatu wilayah misalnya pesisir dan lautan untuk menyediakannya dalam suatu kurun waktu tertentu. Sebagai contoh misalnya jumlah ikan yang dipanen pada suatu wilayah perairan tertentu haruslah mempertimbangkan daya dukung perairan tersebut untuk menyediakan ikan tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu, sehingga panen ikan berikutnya dilakukan setelah datang saatnya. Panen ikan pada suatu perairan tertentu harus diatur berdasarkan jangka waktu pemanennya sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihannya.

2.3. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Menurut Anderson (1977), tujuan dari fishery management ialah menangkap ikan tertentu dalam jumlah dan ukuran dengan biaya yang semurah-murahnya dan berlangsung secara berkelanjutan. Untuk mencapai maksud tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: (1) memungkinkan adanya inovasi dan riset untuk mendapatkan cara baru yang lebih baik, (2) harus fleksibel untuk merespon perubahan ekonomi dan biologi, (3) harus mendapatkan dukungan dari nelayan, (4) biaya yang lebih kecil dari manfaatnya dan (5) harus seimbang antara kepentingan distribusi kesejahteraan dengan kepentingan penyediaan lapangan kerja.


(34)

20 Soemokaryo (2001) mengatakan bahwa regulasi tersebut diperlukan dengan dua alasan yaitu melindungi kerusakan sumberdaya ikan atau melindungi kepentingan kelompok nelayan dan dalam operasionalnya diklasifikasikan suatu regulasi dengan maksud membatasi ukuran ikan yang ditangkap. Regulasi yang membatasi ukuran ikan yang ditangkap aplikasinya dapat berupa: pelarangan penangkapan pada daerah tertentu, larangan penangkapan pada musim tertentu, membatasi ukuran alat dan larangan penggunaan alat tertentu. Regulasi untuk membatasi upaya penangkapan dilakukan dalam bentuk pembatasan jumlah kapal, pelarangan alat tangkap, larangan menangkap pada daerah serta musim tertentu, pemberian kuota serta pemberlakuan pajak dan lisensi.

FAO (1996), memformulasikan empat management issue, yaitu: (1) bagaimana mengurangi over fishing dan kapasitas penangkapan; (2) bagaimana mengurangi hasil tangkapan sampingan;

(3) bagaimana mengurangi kerusakan lingkungan; dan (4) masalah ketidakpastian dan resiko.

Selanjutnya Hanna (1999) mengemukakan bahwa pengelolaan perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional .

Menurut Adrianto (2005), terdapat tiga faktor yang diharapkan dapat menjadi landasan bagi platform penguatan dan dekonstruksi bagi pengelolaan perikanan dan kelautan saat ini dan masa depan, yaitu: (1) jangkauan pengelolaan (scope), (2) struktur pengelolaan; (3) persoalan biaya transaksi. Dalam konteks jangkauan pengelolaan perikanan terkait dengan kenyataan bahwa perikanan memiliki multi-fungsi mulai dari fungsi ekologi, ekonomi, sosial hingga kelembagaan. Hal ini tentu menimbulkan tantangan apakah jangkauan pengelolaan perikanan hanya mencakup satu atau dua fungsi tersebut, atau secara komprehensif mencakup seluruh fungsi yang ada. Walaupun secara teoritis pengelolaan perikanan mampu dilakukan dengan jangkauan komprehensif, namun dalam tataran empiris diperlukan kerja keras dengan visi keberlanjutan perikanan yang kuat dalam penyusunan strategi pengelolaan perikanan di segala level.


(35)

Selanjutnya dikatakan oleh Adrianto (2005) bahwa dalam konteks biaya transaksi, penguatan pengelolaan perikanan perlu memperhatikan ex-ante and ex-post cost dillema. Setiap pengelolaan memerlukan biaya transaksi untuk menjalankan pengelolaan tersebut. Tantangan setiap kebijakan publik adalah bagaimana meminimumkan biaya transaksi ini. Dalam rejim yang menempatkan otoritas sebagai kendaraan utama, ex-ante cost bisa jadi rendah namun tinggi di

ex-post cost-nya. Demikian juga sebaliknya. Sistem perikanan yang kompleks dengan interaksi sistem alam dan manusia yang dinamis memerlukan kebijakan pengelolaan yang mampu mengoptimalkan biaya transaksi yaitu mengurangi besaran biaya transaksi dan pada saat yang sama mampu menjaga keadilan dalam distribusi biaya.

Soemokaryo, 2001 menyatakan bahwa pembangunan perikanan harus diarahkan menjadi perikanan maju, efisiensi dan tangguh yakni mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Mampu menyesuaikan pola dan struktur produksi dan mampu berperan positif dalam pembangunan wilayah serta mempertahankan pelestarian sumberdaya dan lingkungan hidup.

Beberapa alternatif pengelolaan telah diusulkan oleh para ahli, mulai dari pembatasan penangkapan ikan sampai penutupan area penangkapan ikan. Pilihan terhadap alternatif manajemen sangat bergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan. Namun demikian pilihan-pilihan tersebut menurut Nikijuluw (2002), sebaiknya harus mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut:

(1) diterima nelayan;

(2) diimplementasi secara gradual; (3) fleksibilitas;

(4) implementasinya didorong efisiensi dan inovasi;

(5) pengetahuan yang sempurna tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti peraturan tersebut; dan

(6) ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan.

2.4. Kinerja Sektor Publik 2.4.1. Pengertian sektor publik


(36)

22 Menurut Mahsun (2006), sektor publik seringkali dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan barang atau jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara lain yang diatur hukum. Oleh karena area sektor publik sangat luas cakupannya, maka dalam penyelenggaraannya sering diserahkan kepada pasar, namun pemerintah tetap mengawasinya dengan sejumlah regulasi. Bahkan beberapa bidang sektor publik dikelola dengan menggunakan sumber pendanaan dari sumbangan atau dana amal (charities)

Selanjutnya, Mahusn (2006) menyatakan bahwa sektor publik eksis karena dibutuhkan. Keberadaan sektor publik di tengah masyarakat tidak bisa dihindarkan. Masyarakat membutuhkan regulasi yang mengatur pemakaian barang-barang publik. Dalam perkembangannya, sektor publik sangat berperan dalam pengaturan public goods tersebut sehingga dapat didistribusikan kepada segenap masyarakat secara adil dan merata.

Menurut Jones (1993) diacu Mahsun (2006), peran utama sektor publik mencakup tiga hal, yaitu:

(1) Regulatory Rule. Regulasi-regulasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka secara bersama-sama bisa mengasumsi dan menggunakan barang-barang publik. Sektor publik sangat berperan dalam menciptakan segala aturan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Tanpa ada aturan oleh organisasi-organisasi di lingkungan sektor publik maka ketimpangan akan terjadi di masyarakat. Sebagian masyarakat pasti akan dirugikan karena tidak mampu memperoleh barang atau layanan yang sebetulnya untuk umum.

(2) Enabling Rule. Tujuan akhir dari sebagian besar regulasi adalah memungkinkannya segala aktivitas masyarakat berjalan secara aman, tertib dan lancar. Sektor publik mempunyai peran yang cukup besar dalam memperlancar aktivitas masyarakat yang beraneka ragam tersebut.

(3) Direct Provision of Goods and Service. Makna barang publik murni atau pure public goods sulit untuk dipisahkan secara tegas dengan quasi public goods. Selain semakin kompleks dan meluasnya area sektor publik maka sebagian sebagian sektor publik mulai dilakukan privatisasi. Privatisasi mengharuskan sektor publik masuk dalam mekanisme pasar. Sektor publik berperan dalam


(37)

mengatur berbagai kegiatan produksi dan penjualan barang atau jasa, public goods dan quasi public goods, meskipun sudah diprivatisasi atau dikelola oleh swasta. Peran sektor publik dalam hal ini adalah ikut serta mengendalikan dan mengawasi dengan sejumlah regulasi yang tidak merugikan publik.

2.4.2. Pengukuran kinerja sektor publik

Sektor publik tidak bisa lepas dari kepentingan umum sehingga pengukuran kinerja mutlak diperlukan untuk mengetahui seberapa berhasil misi sektor publik tersebut dapat dicapai penyedia jasa dan barang-barang publik. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (sektor publik) yang tertuang dalam rencana strategisnya. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: (1) efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa; (2) kualitas barang dan jasa atau seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan; (3) hasil kegiatan dibandingkan dengan tujuan yang diinginkan; dan (4) efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson, 2002 dalam Mahsun, 2006).

Selanjutnya, Mahsun (2006) menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer suatu organisasi di sektor publik, diantaranya instansi pemerintah, menilai pencapaian suatu strategi. Sistem pengukuran kinerja dirancang untuk bisa memberikan manfaat jangka panjang. Sebelum proses pengukuran kinerja dilakukan, berbagai aktivitas manajemen strategi harus sudah didesain dan dilaksanakan, yaitu perencanaan strategis, penyusunan program, penyusunan anggaran dan implementasi. Dalam suatu manajemen strategi, pengukuran kinerja berfungsi sebagai alat penilai apakah strategi yang sudah ditetapkan telah berhasil dicapai. Dari hasil pengukuran kinerja dilakukan evaluasi untuk menghasilkan suatu umpan balik (feedback) yang memberikan informasi yang berguna untuk memperbaiki kinerja organisasi secara berkelanjutan.


(38)

24 2.4.3. Evaluasi kebijakan publik

Pada tataran manajemen strategis dan pengukuran kinerja, kebijakan memiliki pengertian pedoman untuk melaksanakan falsafah, nilai-nilai etis yang ditanamkan di organisasi sektor publik untuk menanamkan perilaku anggota dan organisasi itu sendiri dalam membentuk budaya organisasi.

Menurut Wibawa et al (1993), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi yaitu:

(1) Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

(2) Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

(3) Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

(4) Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mngenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik.

Di pihak lain, evaluasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah kebijakan dilaksanakan. Keduanya disebut evaluasi summatif dan formatif. Selain berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena kebijakan, evaluator mempunyai maksud lain: memberikan rekomendasi kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan tentang tindakan apa yang perlu diambil terhadap kebijakan yang dievaluasinya Dunn (2000).


(39)

Menurut Wibawa, et al., 1994, dari berbagai persoalan tersebut, evaluasi kebijakan kiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek, yaitu (1) proses pembuatan kebijakan; (2) proses implementasi; (3) konsekuensi kebijakan dan (4) efektivitas dampak kebijakan.

Seorang evaluator kebijakan harus mengetahui secara jelas aspek-aspek apa yang perlu dikaji. Disamping itu ia harus mengetahui sumber-sumber informasi yang perlu dikejarnya untuk memperoleh data yang valid, selain mengetahui teknik analisis yang tepat untuk melakukan evaluasi. Kemampuan evaluator sangat menentukan apakah evaluasinya dijadikan oleh pembuat kebijakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan apakah kebijakannya akan diteruskan, diubah atau dihentikan (Wibawa, et al., 1994).

Rustiadi (2001) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan program, kinerja program perlu dievaluasi. Evaluasi terhadap kinerja harus dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian sampai dampak yang dihasilkan. Evaluasi merupakan suatu proses untuk melihat kebelakang apa yang telah dikerjakan. Evaluasi merupakan tindakan korektif untuk perbaikan kinerja menuju yang lebih baik, sehingga tercapai lingkaran yang semakin membesar kearah yang lebih baik.

Evaluasi akan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Hal ini akan membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2000). Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.

Menurut Nugroho (2003), evaluasi kebijakan biasanya ditujukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai serta untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Evaluasi kebijakan publik tidak hanya berkenaan dengan implementasinya, melainkan berkenaan dengan perumusan, implementasi dan lingkungan kebijakan.


(40)

26 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat empat “tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal efektivitas implementasi yaitu :

(1) Apakah kebijakan tersebut sudah tepat yang dinilai dari sejauhmana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Apakah kebijakan sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan yang sesuai dengan karakter kebijakannya.

(2) Tepat pelaksananya. Ada tiga pelaksana yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat/ swasta dan implementasi yang diswastakan. (3) Tepat target. Berkenaan dengan tiga hal yaitu : 1) apakah target yang

diintervensi sesuai dengan yang direncanakan?, 2) apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau 3) apakah tidak bertentangan dengan kebijakan lain?.

(4) Tepat lingkungan. Terdapat dua lingkungan yang mempengaruhi yaitu lingkungan kebijakan dan lingkungan eksternal kebijakan. Lingkungan yang pertama yaitu interaksi antara perumus kebijakan dan pelaksana dengan lembaga lain yang terkait.

Menurut Edward III dalam Nugroho (2003), menyatakan agar implementasi kebijakan dapat efektif maka harus ada komunikasi, ketersediaan sumberdaya untuk melaksanakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

2.5. Evaluasi Program di Sektor Perikanan

Kebijakan pemerintah diimplementasikan ke dalam bentuk program/ kegiatan yang terkait langsung dengan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang dipakai untuk melihat efektivitas program tersebut menurut Gysen (2002) diacu Suseno (2004) yaitu dengan mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan efektivitas suatu kebijakan dalam tiga kategori yaitu:

(1) Pertanyaan yang berbentuk deskriptif. Pertanyaan ini berkenaan dengan apa yang terjadi;


(41)

(2) Pertanyaan yang terkait dengan asal muasal. Pada kategori ini, pertanyaannya tidak hanya terkait dengan apa yang terjadi, tetapi juga berusaha untuk memahami latar belakang terjadinya, perubahan-perubahan yang muncul dan lain-lain sebagai akibat dari munculnya suatu kebijakan; Pertanyaan dapat berbentuk normatif.

(3) Pertanyaan dalam kategori ini berkutat di sekitar kepuasan terhadap suatu kebijakan, seperti apakah implementasi kebijakan memberikan hasil yang memuaskan.

Penyusunan suatu program menurut Mazmanian dan Sabatier (1983) diacu Wibawa et al (1994) hendaklah mengacu pada tiga langkah mencakup: (1) mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi; (2) menegaskan tujuan yang hendak dicapai; dan (3) merancang struktur proses implementasi.

Tahapan program berikutnya adalah implementasi. Pada tahap implementasi tersebut, langkah-langkah yang akan dilakukan harus di buat secara rinci. Menurut Casley dan Kumar (1987) diacu Wibawa et al (1994), langkah-langkah tersebut meliputi :

(1) Mengidentifikasi masalah;

(2) menentukan faktor penyebab masalah;

(3) Mengkaji hambatan dalam pembuatan keputusan; (4) Mengembangkan solusi alternatiif; dan

(5) Memperkirakan solusi yang paling layak.

Finsterbusch and Moatz (1980) diacu Wibawa et al. (1994) mengatakan bahwa riset evaluasi berguna untuk memperbaiki program, riset ini tidak hanya mengukur hasil melainkan juga karakteristik program dan lingkungannya. Menurut Dunn (2000), evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Selanjutnya Dunn (2000) juga menyatakan tiga pendekatan Evaluasi terbagi menjadi tiga tipe kriteria yaitu efektivitas, efisiensi dan kecukupan. Perbedaan antar ketiga pendekatan tersebut dijelaskan melalui pertanyaan dan ilustrasi yang disajikan pada Tabel 1 berikut:


(42)

28 Tabel 1. Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik

Tipe Kriteria Pertanyaan Illustrasi Efektivitas Apakah hasil yang

diinginkan telah dicapai

Unit Pelayanan

Efisiensi Seberapa banyak usaha

diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan

Unit biaya, manfaat bersih, rasio cost benefit

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah

Biaya tetap efektivitas tetap

Pemerataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda

Kriteria Pareto, Kriteria Kaldor Hicks, Kriteria rawis

Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu

Konsistensi dengan survei warga negara

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai

Program publik harus merata dan efisien

Sumber : Dunn, 1994

Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menangani isu tangkap berlebih di WPP Laut Jawa adalah dengan mencanangkan rasionalisasi perikanan. Menurut Fauzi (2005), rasionalisasi didefinisikan sebagai usaha mengurangi ekses effort dan mengukuhkan hak pemilikan sebagian (partial property right. Rasionalisasi dilakukan dengan membatasi kapal (limited entry) dan memberlakukan pajak. Pengukuhan hak pemilikan sebagian dilakukan dengan memberlakukan sistem kuota dan hak pengelolaan terbatas (limited term right).

Kebijakan yang umum lainnya dalam rangka rasionalisasi menurut Adrianto (2003) dapat dilakukan melalui transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan


(43)

atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan.

Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya bersifat artisanal sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satu-satunya pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Perubahan mata pencaharian nelayan yang masih masuk dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi gejolak sosial ekonomi yang timbul. Sama dengan dalam konteks relokasi nelayan, faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransformasi harus diperhatikan sehingga keberlanjutan masyarakat ini tetap dapat dijaga. (Adrianto, 2003)


(44)

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai bulan September 2006 hingga Februari 2007. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada daerah yang melaksanakan program rasionalisasi perikanan tangkap laut di Indramayu yaitu di Desa Karangsong dan Desa Eretan Wetan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah berbagai data dan informasi yang diperoleh langsung di Desa Karangsong dan Desa Eretan Wetan. Data primer adalah berbagai data dan informasi yang diperoleh langsung dari informan maupun responden di lapangan yang merupakan

stakeholders yang terkait dengan program rasionalisasi perikanan di Kabupaten Indramayu.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang diacu dari Singarimbun (1989). Pengambilan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling method) yang meliputi seluruh pihak terkait (stakeholders ).

Data sekunder didapatkan dari laporan dan penelitian terdahulu yang terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan khususnya pada wilayah pengelolaan perikanan yang sudah dalam kondisi tangkap berlebih (over exploitation). Data sekunder didapat dari sejumlah dinas dan instansi pemerintah setempat seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Rakyat Indonesia, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah maupun instansi-instansi penelitian.

Secara rinci, data berdasarkan jenis dan sumber datanya yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2 berikut:


(45)

Tabel 2. Dimensi (Kelompok Indikator), Fokus Kajian serta Faktor yang Digunakan dalam Penelitian.

No. Kelompok

Indikator Fokus Kajian Faktor

Responden • Identifikasi Potensi dan permasalahan sektor perikanan lokal (aspek sosial, ekonomi dan lingkungan)

• Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam • Komposisi penduduk

menurut jenis mata pencaharian di sektor perikanan

• Pelapisan sosial masyarakat • Jumlah dan jenis

armada

• Jumlah dan jenis alat tangkap

• Potensi perikanan budidaya menurut jenis • Sarana-prasarana

pendukung aktivitas ekonomi di sektor perikanan

• Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu

• Bappeda, BPS • Dinas Perikanan dan

Kelautan Provinsi Jawa Barat

• Dinas Pemukiman dan

Prasarana Wilayah

• Dinas Perkebunan dan

Kebutanan Kabupaten Indramayu

1. Masukan (Inputs)

• Identifikasi program/ kegiatan terkait dengan rasionalisasi perikanan • Kebijakan/program/ kegiatan terkait dengan rasionalisasi perikanan (aspek lingkungan, sosial dan ekonomi) • Proses penyusunan

program dan kegiatan rasionalisasi

Kabupaten Indramayu dan produknya.

• Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu

• Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat

• Bappeda

• Dinas Perkebunan dan

Kebutanan Kabupaten Indramayu

2. Proses (Process)

• Penyusunan rancangan program rasionalisasi perikanan tangkap • Identifikasi Kesiapan pelaksanaan program

• Sumberdaya manusia • Waktu pelaksanaan

kegiatan/program • Biaya/anggaran

tersedia dan atau terserap

• Partisipasi atau masyarakat penerima manfaat program (beneficiaries) • Kelembagaan

pelaksanaan program • Hukum atau legalisasi

untuk pelaksanaan program

• Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu

• Pemerintah Kecamatan Indramayu • Pemerintah Desa

Karangsong dan Eretan Wetan • Nelayan penerima


(46)

32 3.3. Metode Pengumpulan Data

Data dan informasi yang dibutuhkan yaitu seluruh informasi terkait dengan program rasionalisasi perikanan tangkap, mulai dari perencanaan sampai kepada kesiapan dalam rangka pelaksanaannya yang dilakukan di Kabupaten Indramayu

Data yang diperoleh terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan informan yang dipandu dengan daftar pertanyaan. Data sekunder merupakan hasil penggalian pustaka dan referensi terutama laporan-laporan resmi dari pelaksanaan program dan rencana pelaksanaannya.

Pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) melalui analisis pihak terkait (stakeholder) dari program rasionalisasi yang dilakukan di Kabupaten Indramayu. Responden adalah pejabat dari Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Indramayu dan Dinas Lingkup Kabupaten Indramayu yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan program rasionalisasi, Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, Badan perencanaan dan pembangunan daerah (Bappeda) Kabupaten Indramayu. Responden tersebut dipilih berdasarkan kriteria dengan pertimbangan orang yang paham serta mengetahui tentang perencanaan serta pelaksanaan program pembangunan yang ada di Institusinya

Adapun yang dimaksud dengan pihak terkait (stakeholder) dalam penelitian ini yaitu:

• Pihak terkait primer adalah pihak-pihak yang mendapat manfaat atau yang dirugikan oleh kegiatan. Istilah ini menggambarkan orang-orang yang sepenuhnya tergantung pada sebuah sumberdaya atau wilayah demi kelangsungan hidupnya. Biasanya mereka hidup di dalam atau di dekat sumberdaya yang dimaksud. Ketika dihadapkan pada perubahan, seringkali pilihan mereka sangat terbatas, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam beradaptasi.


(47)

• Pihak terkait sekunder termasuk semua orang lain dan lembaga lain yang memegang peranan atau minat atau menjadi perantara di dalam sumberdaya atau wilayah yang sedang dipertimbangkan.

• Pihak terkait tersier yaitu semua orang lain dan atau lembaga lain yang mempunyai sedikit peranan namun mempunyai minat untuk ikut dalam pelaksanaan program.

Analisis stakeholder dilakukan melalui pengamatan dan identifikasi di lapangan sesuai dengan keterlibatannya dalam program. Hasil analisis

stakeholder kemudian digolongkan menjadi stakeholder primer, sekunder dan tersier. Stakeholder primer terdiri dari nelayan, Pemerintah Daerah Kabupaten, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten. Stakeholder sekunder yaitu Badan perencaan pembangunan daerah (Bappeda) Kabupaten Indramayu, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Indramayu, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Stakeholder tersier yaitu Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Indramayu, Bank Rakyat Indonesia, Pemerintah Kecamatan Indramayu, Pemerintah Desa Karangsong dan Desa Eretan Wetan.

Pemilihan responden dari lembaga pemerintah atau lembaga kemasyarakatan dilakukan kepada orang yang dianggap menguasai dan mengetahui tentang program rasionalisasi. Pemerintah Kabupaten sebanyak 1 orang yaitu dari Sekretaris daerah atau yang mewakili, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten sebanyak 4 orang (Kepala Dinas, Kepala Bidang Perikanan, Kepala Seksi Program dan Kepala Cabang Dinas). Stakeholder sekunder terdiri dari Bappeda (1 orang), Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten (1 orang), Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat (2 orang). Stakeholder

tersier terdiri dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten (1 orang), BRI Unit (1 orang), Pemerintahan sasaran program (Kecamatan: 1 orang; Desa: 1 orang). Wawancara dengan responden menggunakan kuesioner menggunakan kuesioner terstruktur terkait dengan program rasionalisasi. Daftar responden dan jumlahnya secara ringkas dituangkan dalam Tabel 3.

Pemilihan responden nelayan/petani ikan berdasarkan keterlibatan langsung dengan program. Responden nelayan yang diambil yaitu seluruh nelayan


(48)

34 penerima program rasionalisasi untuk kegiatan penguatan armada yaitu sebanyak 8 orang. Hal ini disebabkan pelaksanaan kegiatan penguatan armada baru dilakukan terhadap satu kelompok nelayan yang ada di Desa Karangsong. Pemilihan responden petani ikan dilakukan dengan memilih 2 orang dari satu kelompok petani ikan yang mewakili. Responden tersebut telah mendapat bantuan dari program rasionalisasi dengan kegiatan pengalihusahaan matapencaharian dari nelayan ke petani budidaya.

Adapun data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur baik dari instansi terkait maupun literatur lain terkait dengan program rasionalisasi perikanan tangkap.

Tabel 3. Daftar Stakeholders dan Responden Penelitian Yang Mewakili.

No Stakeholders Responden Jumlah (orang)

• Nelayan penerima program:

- Nelayan penguatan armada 8

- Pembudidaya 2

• Pemerintah Kabupaten 1

1 Stakeholder primer

• Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

4

• Bappeda 1

• Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten

1 2 Stakeholder sekunder

• Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat

2 • Dinas Perkebunan dan Kehutanan

Kabupaten

1

• BRI Unit 1

• Pemerintahan sasaran program :

- Pemerintah kecamatan 1 3 Stakeholder tersier

- Pemerintah desa 1

Total 23

3.4. Metode Analisis Data

Seluruh data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif dengan merujuk pada pedoman penyusunan dan pelaksanaan program yang baik. Dalam hal ini analisis akan dilakukan pada setiap tahapan yaitu pada tahapan proses perencanaan serta kesiapan pelaksanaannya. Rujukan


(49)

tersebut digunakan sebagai bahan perbandingan apakah program rasionalisasi yang sedang dan akan dilaksanakan sudah baik atau masih kurang.

Setiap item baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap kesiapan pelaksanaan akan dibandingkan antara kondisi ideal dengan kondisi faktual yang sudah dilakukan pada program rasionalisasi. Apabila kondisi ideal sama dengn kondisi faktualnya maka untuk item tersebut akan diberi skor 1. Sebaliknya apabila kondisi yang faktua tidak sesuai dengan kondisi yang idealnya maka item tersebutdiberi skor 0.

Nilai yang diperoleh dari analisis deskripsi ini adalah diperoleh dari menjumlahkan semua angka 1 kemudian dibagi keseluruhan jawaban yang bernilai 1 maupun yang bernilai 0. Hasilnya berupa persentase terhadap keinginan dalam pedoman atau rujukan. Secara rinci, analisis data dilakukan dengan tahapan analisis diuraikan sebagai berikut:

3.4.1. Analisis perencanaan program

Analisis perencanaan program akan dilakukan melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Nasution .H (2007) bahwa suatu perencanaan program terdiri dari kegiatan yang meliputi:

( 1) Proses pembuatan program (2) Identifikasi program

(3) Langkah-langkah dalam penyusunan rencana program (4) Penjadwalan Rencana Program

Analisis pada tahap perencanaan ditujukan untuk memahami apakah perencanaan yang dibuat telah dilakukan dengan baik untuk setiap langkah utama yang harus disiapkan.

(1) Proses Pembuatan Program

Penyusunan suatu program akan mengacu pada apa yang disebutkan oleh Mazmanian dan Sabatier dalam Wibawa et al (1994) yang menyatakan bahwa penyusunan program harus mengacu pada tiga langkah yaitu 1) identifikasi masalah yang harus di intervensi 2) menegaskan tujuan yang hendak dicapai dan 3) merancang suatu proses implementasi.


(50)

36 Berdasarkan hal tersebut maka proses penyusunan program rasionalisasi akan dianalisis dengan membuat uraian secara deskriptif sehingga dapat diketahui bahwa:

1) Apakah program yang dibuat sudah berdasarkan atas fakta yang objektif, rasional dan pertimbangan-pertimbangan terhadap perkembangan kegiatan. 2) Apakah sasaran yang ingin dicapai sudah jelas.

3) 5W + H : What (Apa), Why (Kenapa), Who (Siapa), Where (Dimana), When (Kapan) dan How (Bagaimana).

4) Apakah kebijaksanaan organisasi sudah menjadi pertimbangan. 5) Apakah antara satu kegiatan dengan kegiatan yang saling mengisi dan

berkaitan.

6) Apakah program yang dibuat tidak kaku dalam batas-batas tertentu sesuai dengan perkembangan.

7) Apakah program yang dibuat mudah dipahami dan penafsiran oleh pelaksana kegiatan sudah sama

(2) Identifikasi Program

identifikasi program akan dilakukan melalui:: 1) Bidang kegiatan

2) Jenis kegiatan 3) Sub.jenis kegiatan 4) Bentuk kegiatan

(3) Langkah-Langkah Dalam Penyusunan Rencana Program

Dalam merencanakan suatu rencana program beberapa langkah yang harus kita perhatikan, yaitu :

1) Sasaran yang ingin dicapai harus diketahui dan ditetapkan. 2) Kumpulkan data atau informasi yang diperlukan.

3) Analisa data dan informasi terhadap sasaran atau permasalahan yang terjadi.

4) Identifikasi faktor-faktor apa saja yang akan menjadi penghambat dan penunjang.

5) Buat alternatif rencana program, dari masing-masing alternatif tersebut tetapkan yang terbaik.


(51)

6) Rencana program harus terperinci, yaitu terdiri dari waktu, pendanaan, pelaksanaan dan lain-lain.

(4) Penjadwalan Rencana Program

Penjadwalan program merupakan aspek penting dari suatu perencanaan program, karena dalam suatu penjadwalan tersebut lebih memfokuskan kepada identifikasi terhadap sesuatu yang harus atau ingin dilakukan, kapan untuk dimulai dan kapan harus selesai. Penjadwalan ini sangat membantu dalam hal pelaksanaan, monitoring kegiatan, dan evaluasi suatu program.

Tabel 4. Analisis Kondisi Ideal Dan Faktual Dalam Perencanaan Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap Di Kabupaten Indramayu

Kondisi Ideal Kondisi

Faktual

Skoring (0-1) (1) Proses Pembuatan Program

1) apakah program sesuai fakta 2) apakah sasaran sudah jelas 3) 5W +H sudah jelas?

4) apakah kebijakan organisasi sudah jadi pertimbangan

5) keterkaitan kegiatan satu sama lain

6) apakah program fleksibel dengan perubahan (2) Idenifikasi Program

1) Bidang kegiatan 2) Jenis kegiatan 3) Sub jenis kegiatan 4) Bentuk kegiatan

(3) Langkah-langkah dalam penyusunan program 1) penentuan sasaran yang ingin diketahui dan

ditetapkan

2) mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan

3) analisa data terhadap sasaran atau permasalahan yang terjadi

4) Identifikasi factor penghambat dan penunjang 5) Membuat alternatif program

6) Perincian program yaitu waktu, pendanaan, pelaksanaan

(4) Penjadwalan Rencana Program 1) kapan mulai


(1)

(2)

Lampiran 2. Spesifikasi Teknis Jaring Gillnet/ Jaring Grandong (Millenium)

Jenis Bahan : Pe, 10 plai Panjang 1 pis bahan : 200 m

Panjang 1 pis jadi : 60 depa (90 m)

Lebar : 210 mata

Lebar mata jaring : 4 inchi

Kebutuhan bahan 1 pis jaring grandong

Nama bagian jaring Bahan Volume keterangan

Badan jaring/Webing Poliethylene (Pe) 43 kg Tambang:

1. Pengumbar 2. Ris atas

3. tali kolor 4. Tali pelampung 5. Tali Cancangan 6. Tali Bandul

Balu Pelampung Pemberat Pengikat ris Upah webing

Peø 14 mm Pe, 3 lapis Ø 12 mm Ø 10 mm Ø 10 mm Pe, ø 12 mm Pe, ø 4 mm Pe, ø 22 mm Pe, ø 2 mm Y – 8 Stereoform Cor semen 1 kg Benang Nylon D-20 Tenaga kerja

11 kg 8 kg 6 kg 6 kg 4 kg 4 kg 26 kg 1 pc 66 bh 6 bh 11 bh 5 pc 5 OH

30 x 20 x 10 cm Bulat pipih 40.000/hr


(3)

(4)

(5)

(6)