23 mengatur berbagai kegiatan produksi dan penjualan barang atau jasa, public
goods dan quasi public goods, meskipun sudah diprivatisasi atau dikelola oleh
swasta. Peran sektor publik dalam hal ini adalah ikut serta mengendalikan dan mengawasi dengan sejumlah regulasi yang tidak merugikan publik.
2.4.2. Pengukuran kinerja sektor publik
Sektor publik tidak bisa lepas dari kepentingan umum sehingga pengukuran
kinerja mutlak diperlukan untuk mengetahui seberapa berhasil misi sektor publik tersebut dapat dicapai penyedia jasa dan barang-barang publik. Kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian suatu kegiatanprogramkebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi sektor publik yang
tertuang dalam rencana strategisnya. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan
sebelumnya, termasuk informasi atas: 1 efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa; 2 kualitas barang dan jasa atau seberapa baik
barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan; 3 hasil kegiatan dibandingkan dengan tujuan yang
diinginkan; dan 4 efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan Robertson, 2002 dalam Mahsun, 2006.
Selanjutnya, Mahsun 2006 menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer suatu organisasi
di sektor publik, diantaranya instansi pemerintah, menilai pencapaian suatu strategi. Sistem pengukuran kinerja dirancang untuk bisa memberikan manfaat
jangka panjang. Sebelum proses pengukuran kinerja dilakukan, berbagai aktivitas manajemen strategi harus sudah didesain dan dilaksanakan, yaitu perencanaan
strategis, penyusunan program, penyusunan anggaran dan implementasi. Dalam suatu manajemen strategi, pengukuran kinerja berfungsi sebagai alat penilai
apakah strategi yang sudah ditetapkan telah berhasil dicapai. Dari hasil pengukuran kinerja dilakukan evaluasi untuk menghasilkan suatu umpan balik
feedback yang memberikan informasi yang berguna untuk memperbaiki kinerja organisasi secara berkelanjutan.
24
2.4.3. Evaluasi kebijakan publik
Pada tataran manajemen strategis dan pengukuran kinerja, kebijakan
memiliki pengertian pedoman untuk melaksanakan falsafah, nilai-nilai etis yang ditanamkan di organisasi sektor publik untuk menanamkan perilaku anggota dan
organisasi itu sendiri dalam membentuk budaya organisasi. Menurut Wibawa et al 1993, evaluasi kebijakan publik memiliki empat
fungsi yaitu: 1 Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan
dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat
mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2 Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar
dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. 3 Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke
tangan kelompok sasaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4 Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya
mngenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Evaluasi kebijakan lebih berkenaan
pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik. Di pihak lain, evaluasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah kebijakan
dilaksanakan. Keduanya disebut evaluasi summatif dan formatif. Selain berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena kebijakan, evaluator
mempunyai maksud lain: memberikan rekomendasi kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan tentang tindakan apa yang perlu diambil terhadap kebijakan
yang dievaluasinya Dunn 2000.
25 Menurut Wibawa, et al., 1994, dari berbagai persoalan tersebut, evaluasi
kebijakan kiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek, yaitu 1 proses pembuatan kebijakan; 2 proses implementasi; 3 konsekuensi kebijakan dan
4 efektivitas dampak kebijakan. Seorang evaluator kebijakan harus mengetahui secara jelas aspek-aspek apa
yang perlu dikaji. Disamping itu ia harus mengetahui sumber-sumber informasi yang perlu dikejarnya untuk memperoleh data yang valid, selain mengetahui
teknik analisis yang tepat untuk melakukan evaluasi. Kemampuan evaluator sangat menentukan apakah evaluasinya dijadikan oleh pembuat kebijakan sebagai
bahan pertimbangan untuk menentukan apakah kebijakannya akan diteruskan, diubah atau dihentikan Wibawa, et al., 1994.
Rustiadi 2001 mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan program, kinerja program perlu dievaluasi. Evaluasi terhadap kinerja harus dilakukan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian sampai dampak yang dihasilkan. Evaluasi merupakan suatu proses untuk melihat kebelakang apa yang telah
dikerjakan. Evaluasi merupakan tindakan korektif untuk perbaikan kinerja menuju yang lebih baik, sehingga tercapai lingkaran yang semakin membesar kearah yang
lebih baik. Evaluasi akan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Hal ini akan membantu pengambilan kebijakan pada
tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan Dunn, 2000. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah
telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan
perumusan kembali masalah. Menurut Nugroho 2003, evaluasi kebijakan biasanya ditujukan untuk
menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai serta untuk melihat
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Evaluasi kebijakan publik tidak hanya berkenaan dengan implementasinya, melainkan berkenaan dengan perumusan,
implementasi dan lingkungan kebijakan.
26 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat empat “tepat” yang perlu dipenuhi
dalam hal efektivitas implementasi yaitu :
1 Apakah kebijakan tersebut sudah tepat yang dinilai dari sejauhmana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang
hendak dipecahkan. Apakah kebijakan sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Apakah kebijakan dibuat oleh
lembaga yang mempunyai kewenangan yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
2 Tepat pelaksananya. Ada tiga pelaksana yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat swasta dan implementasi yang diswastakan.
3 Tepat target. Berkenaan dengan tiga hal yaitu : 1 apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan?, 2 apakah tidak ada tumpang
tindih dengan intervensi lain, atau 3 apakah tidak bertentangan dengan kebijakan lain?.
4 Tepat lingkungan. Terdapat dua lingkungan yang mempengaruhi yaitu lingkungan kebijakan dan lingkungan eksternal kebijakan. Lingkungan yang
pertama yaitu interaksi antara perumus kebijakan dan pelaksana dengan lembaga lain yang terkait.
Menurut Edward III dalam Nugroho 2003, menyatakan agar implementasi kebijakan dapat efektif maka harus ada komunikasi, ketersediaan sumberdaya
untuk melaksanakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
2.5. Evaluasi Program di Sektor Perikanan