41
B. Hubungan antara Pencahayaan Alami Rumah dengan Kejadian ISPA
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo,
didapatkan nilai p 0,001 lebih kecil dari nilai α 0,05, dengan demikian
terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA. Hasil ini mendukung hasil penelitian Nindya dan Sulistyorini
2005, di Desa Sidomulyo Sidoarjo, yang menyimpulkan bahwa pencahayaan alami pada rumah di pengaruhi oleh ventilasi atau jendela rumah yang tidak di
buka pada siang hari. Responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan alami rumah yang baik sebanyak 10 rumah 16,1 dan pencahayaan alami
rumah yang tidak baik sebanyak 27 rumah 43,5, sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai pencahayaan alami rumah yang baik
sebanyak 17 rumah 27,4 dan pencahayaan alami rumah yang tidak baik sebanyak 8 rumah 12,9. Hal ini disebabkan karena jendela kurang luas dan
jarang dibuka pada siang hari, tidak memiliki ventilasi rumah, dan kebanyakan rumah menghadap ke arah barat dan utara. Cahaya matahari penting, karena
selain dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah juga mengurangi kelembaban ruangan dalam rumah Azwar, 1990.
C. Hubungan Kelembaban Rumah dengan Kejadian ISPA
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo,
didapatkan nilai p 0,883 lebih kecil dari nilai α 0,05, dengan demikian
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban rumah dengan
42
kejadian ISPA. Responden yang terkena ISPA mempunyai kelembaban rumah yang baik sebanyak 26 rumah 41,9 dan kelembaban rumah yang tidak baik
sebanyak 11 rumah 17,7, sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai kelembaban rumah yang baik sebanyak 18 rumah 29 dan
kelembaban rumah yang tidak baik sebanyak 7 rumah 11,3. Hal ini kelembaban rumah dipengaruhi oleh ventilasi rumah yang tidak baik sebanyak
43,5, lantai yang tidak kedap air dan menghasilkan debu, sebanyak 38,7. Rumah yang lembab memungkinkan tikus dan kecoa membawa
bakteri dan virus yang semuanya dapat berperan dalam memicu terjadinya penyakit pernafasan dan dapat berkembang biak dalam rumah Krieger dan
Higgins, 2002. Menurut Notoatmodjo 2003, kelembaban udara dalam rumah menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab
ISPA. D.
Hubungan lantai rumah dengan kejadian ISPA
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan
nilai p 0,025 lebih kecil dari nilai α 0,05, dengan demikian terdapat
hubungan yang signifikan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA. Hasil ini mendukung hasil penelitian Toanabun 2003 yang mengadakan penelitian di
Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, hasil penelitian menunjukkan bahwa lantai rumah rata-rata di Desa Tual memakai
jenis lantai semen dan tanah. Responden yang terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 13 rumah 21 dan lantai rumah
43
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 24 rumah 38,7, sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi
syarat sebanyak 16 rumah 25,8 dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 9 rumah 14,5. Hal ini disebabkan karena lantai rumah
responden rata-rata berupa lantai semen dan tanah, sehingga pada saat musim kemarau akan menghasilkan debu. Lantai yang terbuat dari semen rata-rata
sudah rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai menjadi berdebu dan lembab. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab, bahan lantai mudah
dibersihkan dan dalam keadaan kering dan tidak menghasilkan debu Ditjen PPM dan PL, 2002.
E. Hubungan dinding rumah dengan kejadian ISPA