43
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 24 rumah 38,7, sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang memenuhi
syarat sebanyak 16 rumah 25,8 dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 9 rumah 14,5. Hal ini disebabkan karena lantai rumah
responden rata-rata berupa lantai semen dan tanah, sehingga pada saat musim kemarau akan menghasilkan debu. Lantai yang terbuat dari semen rata-rata
sudah rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai menjadi berdebu dan lembab. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab, bahan lantai mudah
dibersihkan dan dalam keadaan kering dan tidak menghasilkan debu Ditjen PPM dan PL, 2002.
E. Hubungan dinding rumah dengan kejadian ISPA
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan
nilai p 0,00 lebih kecil dari nilai α 0,05, dengan demikian terdapat
hubungan yang signifikan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA. Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di Desa
Cepogo masih banyak yang berdinding bambu, papan atau kayu yaitu sebanyak 4176 rumah Dinas Kesehatan dan Sosial Boyolali, 2007.
Responden yang terkena ISPA mempunyai dinding rumah yang memenuhi syarat sebanyak 5 rumah 8,1 dan dinding rumah yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 32 rumah 51,6, sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai dinding rumah yang memenuhi syarat sebanyak 23 rumah
44
37,1 dan dinding rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 2 rumah 3,2. Hal ini disebabkan karena penghasilan keluarga yang kurang.
Rumah yang berdinding tidak rapat seperti bambu, papan atau kayu dapat menyebabkan ISPA, karena angin malam langsung masuk ke dalam
rumah. Jenis dinding yang mempengaruhi terjadinya ISPA disebabkan karena dinding yang sulit dibersihkan dan menyebabkan penumpukan debu pada
dinding, sehingga dinding akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Suryanto, 2003.
F. Hubungan atap rumah dengan kejadian ISPA
Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan
nilai p 0,026 lebih kecil dari nilai α 0,05, dengan demikian terdapat
hubungan yang signifikan antara atap rumah dengan kejadian ISPA. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Toanabun 2003, yang mengadakan penelitian
di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, hasil penelitian menunjukkan bahwa atap rumah rata-rata di Desa Tual memakai
atap genting dan tidak diberi langit-langit, sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah mengganggu saluran pernafasan pada balita yang ada
di desa tersebut. Responden yang terkena ISPA mempunyai atap rumah yang memenuhi syarat sebanyak 16 rumah 25,8 dan atap rumah yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 21 rumah 33,9, sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai atap rumah yang memenuhi syarat sebanyak
18 rumah 29 dan atap rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 7
45
rumah 11,3. Hal ini disebabkan karena atap rumah umumnya menggunakan genting dan tidak memakai langit-langit karena keterbatasan
biaya pada keluarga responden. Atap rumah yang baik menggunakan genting dan diberi langit-langit atau plafon agar debu tidak langsung masuk ke dalam
rumah Nurhidayah, 2007.
G. Keterbatasan Penelitian