Sejarah Tionghoa di Surakarta

commit to user kata-kata orang tua si hollands spreken. Kalau kawin dengan peranakan, nanti kamu makan pakai tangan. Sedangkan orang totok biasa menghalangi anaknya kawin dengan hollands spreken dengan kata-kata, Kamu nanti jadi orang yang tidak tahu adat. Atau, tidak mau lagi menghormati leluhur. Yang hollands spreken umumnya menyekolahkan anaknya di sekolah berbahasa Belanda. Atau mengirim anak mereka ke Holland atau Jerman. Yang peranakan mengirim anaknya ke sekolah terdekat, termasuk tidak masalah kalau harus ke sekolah negeri. Yang totok menyekolahkan anaknya ke sekolah berbahasa Tionghoa. http:ratualit.blogspot.com200901menengok-sejarah-etnis-tionghoa- di.html,selasa,27 Januari 2009, sumber:Jawapos.co.id

C. Sejarah Tionghoa di Surakarta

Orang-orang Tionghoa diperkirakan sudah ada di Surakarta pada tahun 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan sebagai Ibu Kota Kerajaan Dinasti Mataram atau Keraton Surakarta oleh Paku Buwono II.’’ Rustopo:Menjadi Jawa Jika benar rencana konservasi kampung pecinan untuk menggali nilai heritage, lalu apa yang bisa digali dari kampung pecinan di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta? Inilah mungkin pertanyaan yang menarik dan harus diperhatikan benar sebelum Pemkot Surakarta merealisasikan rencana tersebut. Dari berbagai kemungkinan yang akan muncul kemudian, rasanya konservasi tidak akan pernah bisa dipisahkan dari tinjauan sejarah. commit to user Entah itu konservasi heritage yang menyangkut dengan persoalan tangible atau pun juga untuk yang intangible. Pertanyaannya, dari mana sejarah itu harus dilacak sedangkan untuk kehidupan kampung yang sekarang sudah sedemikian berubah? Sejarawan Sudarmono SU dari Universitas Sebelas Maret Surakarta UNS pernah mengatakan, sejarah bisa terjejakkan dari mana saja. Bahkan ia pernah merasa terkejut, ketika menemukan sejarah justru muncul lewat pendekatan seni pertunjukan. Itu dia ketahui saat menyaksikan sebuah pertunjukan tari di sebuah kampung pinggiran Bengawan Solo wilayah Kabupaten Karanganyar beberapa waktu lalu. ’’Itu luar biasa. Karena dari pendekatan tari ternyata bisa memunculkan sejarah yang sudah terpendam ratusan tahun lamanya,’’ ujarnya, ketika itu. Berkaca dari kasus tersebut, bisakah hal itu juga terjadi dalam rencana konservasi kampung pecinan di wilayah Kelurahan Sudiroprajan? Mungkin saja demikian. Namun mungkin juga tidaklah akan terlalu sulit. Sebab untuk melacak sejarah masyarakat etnis Tionghoa di Kota Solo sudah ada beberapa referensi yang layak untuk dijadikan pijakan. Salah satunya adalah buku ’’Menjadi Jawa’’ karya Prof Dr Rustopo, Guru Besar Institut Seni Indonesia ISI Surakarta. 1. Pembauran Pada mulanya, ketika hadir di Surakarta pada 1746 dalam perkembangannya masyarakat etnis Tionghoa harus tunduk kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat etnis tersebut ruang geraknya dibatasi dengan sistem surat jalan passenstelsel. commit to user Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU Agraria 1870, bahkan tempat tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Balong. ’’Baru pada sekitar 1911, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang etnis Tionghoa, pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel dan passenstelsel ,’’ tulis Rustopo. Sejak itu permukiman masyarakat etnis Tionghoa tidak lagi mengelompok, tapi menyebar ke lokasi yang lain. Namun dalam perkembangannya juga, menariknya Kampung Balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan pecinan. Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana, adalah masyarakat keturunan Tionghoa. Sampai di sini, sudahkah persoalan sejarah itu akan mudah untuk dicari jejaknya. Belum ternyata. Sebab ketika zaman terus berputar, terjadi fenomena yang menarik. Dalam perkembangannya yang bertahan hingga sekarang, terjadi pembauran antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Di antaranya dengan kawin silang. Menurut Rustopo, hal itu terjadi lantaran masyarakat yang tinggal di Kampung Balong kebanyakan adalah kalangan bawah. Sehingga mereka mudah berbaur, tanpa lagi mempertentangkan tentang persoalan etnis-nya. Kondisi inilah yang ada dalam keadaan masa kini Balong dan juga kampung-kampung pecinan lain di Kelurahan Sudiroprajan. Lantas dengan kondisi yang demikian, bagaimana dengan nilai heritage yang akan digali? Atau mungkinkah budaya pembauran itu justru akan menjadi daya tarik commit to user yang lain, karena dengan perpaduan antara budaya Jawa dan Tionghoa itu akan memunculkan kampung pecinan yang berbeda? Boleh jadi memang demikian. Anie R Rosyida, Langgeng Widodo, Wisnu Kisawa-50 http:suaramerdeka.comv1index.phpreadcetak2009012348613-Melacak- Sejarah-Masyarakat-Tionghoa-di-Solo, 23 Januari 2009 commit to user 30

BAB III IDENTIFIKASI DATA

A. Objek Karya

1. XS. TJHIE TJAY ING

Nama : Tjhie Tjay Ing TempatTgl Lahir : Jepon, Blora, 26 Maret 1935 Alamat : Jl. Jagalan no. 15. Jebres, Solo 57128 Istri : almh. Tjiong Giok Hwa Anak : a. Tjhie Sian Hwe atau Willy Pramudita Djiwatman b. Tjhie Sian Gie atau Mursid Djiwatman Pendidikan : a. SD, di sebuah SD Tionghoa b. SMP, di sebuah SMP Kristen c. SGA, di sebuah sekolah guru Kristen di Solo Profesi : a. Tahun 1957, Guru SD Tripusaka, dulu:Confucius b. Tahun 1959, Kepala Sekolah SD Tripusaka c. Tahun 1963, Haksu, sampai sekarang Sejarah : Haksu Tjhie Tjay Ing merupakan seorang tokoh agama Kong Hu Chu yang aktif dan gigih berjuang untuk menyamakan hak dan kedudukan agama leluhur bangsa Tionghoa di Negara Indonesia khususnya saat pemerintahan Orde Baru yang sangat menekan dan mendiskriminasikan kaum minoritas Tionghoa dan tentunya sangat dirasakan bagi para pemeluk agama Kong Hu Chu. Beberapa karier beliau antara lain : Guru agama Kong Hu Chu di SD, SMP, SMA Warga tahun 1960-