Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa

(1)

PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN

BAGI WARGA NEGARA INDONESIA

KETURUNAN TIONGHOA

TESIS

Oleh VINCENT 087011013/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN

BAGI WARGA NEGARA INDONESIA

KETURUNAN TIONGHOA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh VINCENT 087011013/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA

Nama Mahasiswa : Vincent Nomor Pokok : 087011013 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum) NIP. 1956.1110198503.1022 Tanggal Lulus: 8 Januari 2010


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 8 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum. 2. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.

3. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu mendapat hambatan melakukan pencatatan perkawinan pada Dinas Kependudukan, karena adanya pembatasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang hanya mengakui perkawinan dari 5 (lima) agama yang didasarkan pada penafsiran lima Direktorat Jenderal dalam Departemen Agama, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Padahal Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 telah menyatakan ada enam agama yang dianut penduduk Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan, serta upaya yang dilakukan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan.

Metode penelitian adalah bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencatatan perkawinan, dan wawancara dengan narasumber yang telah ditentukan, yaitu: Ketua MATAKIN Provinsi Sumatera Utara, Pengacara (Advokat) di Kota Medan, dan Pegawai/Staf Dinas Kependudukan Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan, problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah terkait dengan pemeluk agama Konghucu yang telah diakui sebagai agama menurut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 namun masih terjadi penolakan dari Dinas Kependudukan untuk mencatatkan perkawinan sesuai Undang-Undang Perkawinan yang tidak tegas mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Padahal Pemerintah belum pernah mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pengakuan agama Konghucu, dan juga melalui Permendiknas Nomor 48 Tahun 2008 agama Konghucu telah masuk sebagai kurikulum sekolah di Indonesia. Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan adalah tidak ada hubungan perkawinan antara suami isteri karena tidak dicatatkan maka perkawinan itu tidak pernah terjadi, hanya ada hidup bersama, sehingga anak yang lahir dari perkawinan itu secara hukum bukanlah anak yang sah, sehingga tidak ada hubungan keperdataan anak terhadap ayahnya, tetapi hanya hubungan keperdataan kepada ibunya. Upaya yang dilakukan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan adalah melakukan pencatatan perkawinan dan sekaligus guna melakukan pencatatan pengesahan anak jika pada saat pencatatan perkawinan telah mempunyai anak. Apabila pencatatan perkawinan itu tidak diikuti dengan pengesahan anak, maka status anak tetap menjadi anak di luar perkawinan. Akan tetapi upaya ini juga masih menemui kendala karena selain perbedaan penafsiran agama Konghucu, juga keengganan mencatatkan karena adanya cara pandang masyarakat Tionghoa sendiri yang menganggap perkawinan yang sudah dilangsungkan secara adat Tionghoa adalah sudah sah, walaupun tidak dicatatkan ke Dinas Kependudukan, namun negara Indonesia menganggap perkawinan itu tidak sah. Kemudian birokrasi yang berbelit-belit, dan biaya akta perkawinan yang mahal dan jangka waktu pengurusan lama dalam pelaksanaannya di Dinas Kependudukan Kota Medan.

Disarankan kepada Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) untuk mendesak Pemerintah/Catatan Sipil untuk mengakui atau tidak terjadi penolakan perncatatan perkawinan agama Konghucu, karena agama Konghucu telah diakui di Indonesia. Kepada Dinas Kependudukan Kota Medan agar besarnya biaya pencatatan perkawinan diterapkan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Medan. Kemudian kepada Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk tidak lalai mencatatkan perkawinan pada Dinas Kependudukan guna sahnya perkawinan dan tidak berakibat hukum yang merugikan masa depan perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.


(6)

ABSTRACT

Any Indonesian citizens of Tionghoa descents who adhered Konghucu has always challenge in making a marital registry in the Demography Office due to the Article 2 verse (1) the Marital Laws that only accept the marital of 5 (five) religions bed on the exclamation of five Directorate General in Religion Department: Islamic, Catholic, Protestant, Hinduism and Buddhism. Whereas the Laws No. 1 /PNPS /1965 has stated that there are six religions adhered by the Indonesian people; Islamic, Catholic, Protestant, Buddhism and Hinduism. Therefore, a study of problematic marital registry of Indonesian citizens of Chine descents has been conducted as a consequence of the marital Law of Indonesian citizens of Tionghoa descents never been registered ‘d the effort made by the Indonesian citizens of Tionghoa descents still not registered.

The method of the study is a descriptive analysis using a juridical normative approach based on the Statutory rules related to the marital registry and interview with the informants predetermined such as; the Chairman of MATAKIN of North Sumatra Province, Advocates in Medan and Officials/Staff of Municipal Demography Office of Medan.

The result of the study showed that the problematic marital registry of Indonesian citizens of Tionghoa descents was related to the adherents of Konghucu that has been accepted to be a religion according to the Laws No.1 /PNPS /1965. In fact, however, it is still rejected by the Demography Office for marital registry associated with the lack of Marital Laws to accept the Konghucu as a legal religion in Indonesia. Whereas, the Government still not ever repeal the Laws No. 1 /PNPS/1965 regarding the recognition of Konghucu and also by the Pemendiknas No. 48 of 2008 that the Konghucu has been incorporated into the Curriculum of School in Indonesia. As a gal consequence of the unregistered marital law of Indonesian citizens of Tionghoa descents is that there is nothing a marital relationship between the couple and therefore the marital never occurs so that any child born under the unregistered marital is a illegal child by which there is nothing a civil relationship between child and his/her father but only civil relationship between the child with his/her mother. The effort made to deal with the problem of the unregistered marital registry of Indonesian citizens of Tionghoa descents is to make the marital registry and registry for acceptance of the child if the couple has a child when the acceptance s taking place. Therefore, the status of a child remains to be child out of the legal marital. However, the effort also still has challenge due to in spite of difference in exclamation of Konghucu, various factors of reluctance to register caused by the perspective of Tionghoa community to consider that the marital in Tionghoa traditional custom has been valid even though it is still not registered in the Demography Office, including intricate bureaucracy, and the relatively expensive cost of marital decree and the relatively prolonged duration of the implementation in the Municipal Demography Office of Medan.

It is suggested that the Government to be more confirmative in giving an acceptance of Konghucu as one of the legal religions in Indonesia by which there is nothing challenge for any Konghucu people to adhere the marital registry. For the Municipal Demography Office of Medan, it is suggested that the cost of marital registry is determined according to the Municipal Rule of Medan. And then, for any Indonesian citizen of Tionghoa descent, it i suggested to have never been neglect to register their marital to the Demography Office for validation and acceptance of their individual marital and to avoid any legal consequence for their child born under the marital.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN BAGI WARGA NEGARA KETURUNAN TIONGHOA”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat Bapak

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn selaku dosen

pembimbing, juga kepada dosen penguji Ibu Notaris Chairani Bustami, S.H.,

Sp.N., M.Kn., dan Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum atas bimbingan dan

arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Chairrudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan


(8)

fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Bapak Drs. Rasmadi, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini.

7. Bapak Syuhada, SH., M.Hum., Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini.

8. Ibu Elly Novita, SE., Staf Dinas Kependudukan Kota Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini.

9. Bapak Pantun Situmorang, S.H., Sp.N., Advokat Pengacara di Kota Medan, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan tesis ini.


(9)

10.Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Suhendra dan Ibunda Leo Minawati yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada abang Johny, BBA dan kakak Shelley, SS serta tante dr. Leo Mery, atas motivasi dan doa kalian telah dapat diselesaikan tesis ini. Selanjutnya, kepada Ayahanda mertua (alm) Tan A Guan dan Ibunda mertua The Kui Liang, kakak ipar Santy, S.E dan abang ipar Wincent, S.E, serta isteri tercinta Tantri, S.E., dan buah hati tersayang anak-anakku Patrick

Valensia dan Philbert Valensia, yang telah memotivasi penulis mulai masa

pendidikan dan sampai pada penyelesaian tesis ini.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.

Medan, Januari 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Vincent

Tempat/ Tgl. Lahir : Medan, 11 Juli 1984

Alamat : Jl. Sabaruddin No. 71 B Medan

Agama : Buddha

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Kawin

II. Pekerjaan

Pegawai Swasta

III. Orang Tua

Nama Ayah : Suhendra

Ibu : Leo Minawati

III. Pendidikan

1. SD W.R Supratman 1 Medan Tamat Tahun 1996

2. SMP W.R. Supratman 1 Medan Tamat Tahun 1999

3. SMU W.R. Supratman 1 Medan Tamat Tahun 2002

4. D-I Institut Teknologi Manajemen Indonesia

Medan Tamat Tahun 2003

5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung

Medan Tamat Tahun 2007

6. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010

Medan, Januari 2010 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 18

G. Metode Penelitian ... 20

BAB II. PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA ... 25

A. Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa... 25

1. Sistem Kekerabatan Di Indonesia ... 25

2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan dalam Adat Tionghoa ... 28

3. Syarat-syarat Perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa ... 30


(12)

4. Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Adat Tionghoa ... 35

5. Akibat Hukum Perkawinan dalam Adat Tionghoa ... 45

B. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan ... 69

C. Problematika Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa... 56

1. Sekilas tentang Agama Konghucu di Indonesia ... 56

2. Problematika Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu dalam Pencatatan Perkawinan ... 61

BAB III. AKIBAT HUKUM PERKWINAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG TIDAK DICATATKAN ... 69

A. Pencatatan Perkawinan Sebagai Syarat Sah Perkawinan ... 69

B. Tanggung Jawab Suami Isteri dalam Perkawinan Tionghoa 75

C. Akibat Hukum Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Tidak Dicatatkan ... 82

BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI MASALAH PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG BELUM DICATATKAN ... 100

A. Sekilas Tentang Lembaga Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan ... 100

B. Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Belum Dicatatkan ... 108

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 124 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

DAFTAR ISTILAH

Confucius : Konghucu

Chia Ciak : Resepsi pernikahan dari pihak keluarga pria

Ciak Chin Ke Che Em : Jamuan makan antara para besan.

Curatele : Dalam pengampuan

Erfgenaam : Ahli waris

Erfiater : Peninggal warisan

Jujuran : Seorang isteri dibeli oleh keluarga suaminya

dengan adanya sejumlah uang pembayaran kepada keluarga isteri sebagai harga pembelian (uang mahar). (Di daerah Tapanuli dinamakan

jujuran atau parunjuk atau tuhor, boli). Di tanah

Gayo dinamakan onjok.

Kong Tik Su : Rumah abu

Lau Thia : Resepsi pernikahan dari pihak keluarga wanita

law as it written in the book : Hukum sebagaimana yang tertulis dalam buku

lex dura, set tamen scripta : Undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah

bunyinya

Mamak kepala waris : Anak laki-laki paling tua dari keluarga isteri (di

Daerah Minangkabau).

Matrilinial : Sifat Keibuan

Miao : Kelenteng-kelenteng

Nalatenschap : Harta warisan

Onderljke macht : Kekuasaan orang tua

Parental : Sifat Kebapak-Ibuan


(14)

Phang Te : Persembahan minum teh

Pheng kim : Uang pengganti bagi keluarga mempelai

perempuan, yang terdiri dari leng bu lui (pengganti uang susu ibu), ci moy lui (pengganti uang saudari) dan lau pin lui (pengganti biaya cuci popok).

Ru Jiao : Agama Konghucu

Sang Jit : Pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari

kedua calon mempelai

Shen Ming/Sin Beng/Konco : Leluhur

Shio : Zodiak Cina

Slice : Keluarga yang satu marga

Ta Pia : Pemberian hantaran atau mas kawin

Te Cu Ia Kong : Dewa Bumi

Teng hun : Pertunangan

Thi Kong : Dewa Langit

Tho Chin : Melamar

Tua Sun Teng Bol Kia : Cucu laki tertua dianggap sebagai anak

laki-laki terkecil (bungsu) dalam keluarga kakeknya.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang tujuannya untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan), menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selanjutnya di dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan disebutkan: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan di atas, memberikan pemahaman bahwa untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka perkawinan itu bukan saja mempunyai unsur rohani yang memegang peranan penting dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal yang pada hakikatnya merupakan tujuan dari perkawinan itu sendiri, tetapi juga mempunyai unsur yuridis, yaitu harus didaftarkan sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu bagi pasangan yang beragama Islam maka dicatat di Kantor Urusan Agama, sedangkan untuk agama selain Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.


(16)

Selama ini Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang banyak menganut ajaran dan kepercayaan Konghucu, mengalami kesulitan dalam mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, karena agama yang diakui di Indonesia hanya lima yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha.

Anda masih ingat dengan kasus perkawinan Budi Wijaya dengan Lany Guito yang sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai instansi. Kasus itu terjadi tatkala Kantor Catatan Sipil (KCS) Surabaya pada tahun 1995 menolak mencatatkan perkawinan yang dilakukan pasangan itu di Klenteng Boen Bio Surabaya pada 23 Juli 1995 sebab berdasarkan tata cara, agama Konghucu dianggap bukan salah satu dari 5 agama resmi. KCS Surabaya merujuk pada Surat Keterangan Kanwil Depag Jatim. Kasus mulai mengembang ketika mereka melakukan gugatan. Pada gugatan di tingkat peradilan pertama (PTUN) dan tingkat kedua (PTTUN) mereka kalah, meskipun berbagai saksi ahli, pakar, dan tokoh agama telah memberikan kesaksian. Baru pada pemerintahan Reformasi, pada Maret 2000, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang memenangkan penggugat dan memerintahkan Kantor Catatan Sipil Surabaya untuk mencatatkan perkawinan Budi Wijaya dan Lany Guito.1

Dasar hukum yang dipakai dalam keputusan Mahkamah Agung di atas adalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Selain keenam agama di atas, agama lainnya masih tetap mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (sekarang telah diamandemen), juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh pasal ini. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan

1

Yudi Marhadi, “Yang Menolak Tidak Memakai Nurani dan Logika”, Majalah Sinergi


(17)

lebih Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya.

Selanjutnya, pengakuan Konghucu sebagai agama diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lahirnya Keputusan Presiden ini menimbulkan pandangan dan pendapat khususnya warga keturunan Tionghoa melalui Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) bahwa Konghucu diakui sebagai agama dan berdasarkan Undang-Undang Hak Azasi Manusia, mereka menuntut pengembalian hak-hak sipil umat Konghucu yaitu:

a. Pelaksanaan perkawinan secara Konghucu

b. Pencantuman agama Konghucu pada kolom agama di KTP

c. Pemberian pelajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Konghucu.

d. Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama.

Bagi pemerintah, lahirnya Keputusan Presiden tersebut tidak dapat dijadikan pedoman atau dasar yuridis formal bahwa Konghucu diakui sebagai agama, sebab Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang dicabut tersebut sedikitpun tidak menyinggung keberadaan Konghucu sebagai agama, tetapi isi atau substansi Instruksi Presiden tersebut menyatakan bahwa, perayaan/pesta agama dan adat istiadat Tionghoa untuk tidak dilakukan menyolok di depan umum. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, maka perayaan/pesta agama dan adat istiadat Tionghoa sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara


(18)

terbuka. Demikian pula penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional bukan berarti pengakuan Konghucu sebagai agama, karena penetapan suatu hari libur tidak selalu berhubungan dengan hari besar keagamaan.2

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan dan peringatan Imlek tanggal 4 Februari 2006, menegaskan umat Konghucu akan dilayani sebagai penganut agama. Perkawinan secara Konghucu dinyatakan sah dan dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia.

Menteri Agama Maftuh Basyuni meluruskan bahwa pelayanan yang diberikan pada Konghucu dan lima agama lain tidak berarti hanya keenam agama itu yang diakui negara. Menurut Maftuh, negara tidak pernah menetapkan agama resmi dan tidak resmi. Meskipun Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 menyatakan ada enam agama yang dianut penduduk Indonesia, tapi tidak berarti hanya enam itu saja, karena masih ada agama lain.3

Perdebatan ini muncul seiring dengan terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 477/74054 tanggal 18 November 1978 yang menyiratkan pengakuan negara hanya pada lima agama. Ini menimbulkan kesan bahwa agama selain Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu adalah agama yang tak sah di Indonesia. Namun, surat edaran tersebut telah dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang memberi peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.

2

Henry Irawan, ”Pembuktian Agama Konghucu Adalah Agama”, http://asia.groups. yahoo.com/group/Junzigroup/message/288.html., hal. 5.

3

Gatra, Umat Konghucu Sudah Dapat Mencatatkan Perkawinan di Kantor Catatan


(19)

Hal senada juga disampaikan Penasihat Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Rip Tockary, yang menyatakan bahwa jika pencatatan sipil tidak dikaitkan dengan agama maka urusan selesai, dan jika suatu agama tidak diakui maka penyelenggaraan pendidikan keagamaan untuk generasi muda secara resmi tidak bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Idealnya Kantor Catatan Sipil hanya mencatat saja, seperti dulu sebelum ada Undang-Undang Perkawinan, dimana orang yang tidak beragama pun bisa mencatatkan perkawinan. Agama harus dilepaskan sebagai identitas sipil. Presiden seharusnya mengeluarkan himbauan agar semua perkawinan, apapun agama dari pasangan, dapat dicatatkan. Hal ini untuk melindungi hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut.4

Staf ahli Menteri Agama Musdah Mulia menyatakan bahwa saat ini perkawinan Konghucu sudah dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan. Namun perjuangan umat Konghucu agar dapat mencatatkan perkawinannya memakan waktu yang lama dan tidak produktif. Padahal, banyak penduduk Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional. Oleh karena itu menurut Penasehat Matakin, akan sangat tidak produktif jika umat dari agama-agama tradisional itu harus menunggu bertahun-tahun agar Pemerintah bersedia mencatatkan perkawinan mereka.5

Dalam konteks Indonesia, diskriminasi menjadi kebijakan yang populis dan tersistematis sejak zaman kolonialisme Hindia-Belanda. Pemerintahan kolonialis

4

Ibid., hal. 15.

5


(20)

menerapkan kebijakan penggolongan penduduk Indonesia atas 4 (empat) golongan ras/etnis ataupun agama sebagaimana tertuang dalam Indische Staatsregeling (IS), yaitu: Eropa (Staatsblad 1849), Tionghoa (Staatsblad 1917), Indonesia asli Kristen (Staatsblad 1933) dan Indonesia asli non-Kristen (Staatsblad 1920) yang masing-masing dibedakan perlakuan status perdatanya. 6

Setelah kurang lebih satu abad berlalu, kebijakan model kolonialisme tersebut justru masih diterapkan oleh pemerintahan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan, dengan dimensi yang lebih beragam dan terinstitusionalisasi. Memang, pasca kemerdekaan pemerintah Indonesia pernah mencoba untuk memperbaharui pola kebijakan penggolongan penduduk warisan pemerintah kolonial dengan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966, dan ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemudes 51/1/3 dan Nomor J.A/2/25 tanggal 28 Januari 1967 tentang Pelaksanaan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/Kep/12/1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966.7 Namun, kebijakan tersebut tidak menghilangkan penggolongan etnis seperti yang diatur dalam Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS). Dalam perkembangannya, kebijakan warisan kolonialisme yang masih diterapkan mengakibatkan implikasi diskriminasi yang semakin melembaga. Hal tersebut kemudian diikuti dengan eskalasi sentimen dan rekayasa politik, yang ujung-ujungnya menimbulkan kesemerawutan dan inkonsistensi hukum nasional, permasalahan diskriminasi warga negara menjadi semakin kompleks.

6

Herman Prasetio, Kebijakan Penggolongan Penduduk Indonesia Pasca Kemerdekaan, Cempaka Karya, Jakarta, 2006, hal. 6.

7


(21)

Munculnya beberapa produk perundang-undangan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru seperti Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan8 yang mengatur pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia melalui sebuah dokumen formal terutama bagi Warga Negara Indonesia etnis Tionghoa, Undang-Undang Nomor 5/Pnps/1965 tentang Penodaaan Agama, yang menempatkan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam status pengawasan.9

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berimplikasi pada pembatasan dan pengakuan perkawinan hanya bagi warga pemeluk lima agama “resmi” negara. Hal tersebut semakin memperkeruh status kewarganegaraan dan hak-hak sipil warga negara Indonesia, terutama untuk mengakses pelayanan publik dalam bidang pencatatan sipil seperti pencatatan perkawinan.

Peraturan pencatatan perkawinan pada catatan sipil pada hakikatnya bersifat administratif Namun, karena sifat keperdataan yang terkandung dalam pencatatan sipil, yang dalam praktek mengakibatkan pembatasan hak-hak sipil terhadap sebagian Warga Negara Indonesia seperti yang dialami etnis Tionghoa yang beragama Konghucu.

Pengertian agama dan kepercayaannya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan hanya kepada lima agama resmi negara lebih didasarkan pada penafsiran Departemen Agama berdasarkan lima Direktorat Jenderal dalam Departemen Agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Akibat

8

Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

9


(22)

telah mengakibatkan perbedaan penafsiran dalam pencatatan perkawinan agama Konghucu di Kantor Catatan Sipil.

Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu mengalami hambatan dalam melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebagai sahnya suatu perkawinan bagi Warga Negara Indonesia yang beragam selain agama Islam menurut Undang-Undang Perkawinan, walaupun telah adanya pengakuan tentang agama Konghucu itu dalam berbagai peraturan. Akibatnya perkawinan yang telah dilangsungkan dan diakui sesuai dengan agama Konghucu itu batal secara hukum karena tidak dicatatkan/didaftar. Selain itu juga memberikan akibat hukum hubungan keperdataan antara anak dari hasil perkawinan dengan orangtuanya, baik hubungan status sebagai anak maupun kewarisan si anak terhadap orangtuanya.

Berdasarkan Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk dilakukannya pembuktian atas suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dengan menyertakan bukti-bukti maupun saksi-saksi yang dapat membuktikan bahwa mereka dalam kehidupan sehari-hari dan tampak luarnya hidup sebagai suami isteri beserta anak-anaknya hidup serumah dan sebagai sebuah keluarga yang utuh. Untuk pengajuan pembuktian adanya perkawinan ini dapat diajukan bukti-bukti berupa Kartu Keluarga dan Surat Keterangan dari Kelurahan setempat yang mengetahui secara langsung bahwa mereka hidup serumah sebagai satu keluarga yang utuh. Selain itu juga dapat diajukan saksi-saksi yang mengetahui secara langsung dan pasti telah dilaksanakannya perkawinan itu secara agama yang dianutnya. Jadi, pembuktian


(23)

perkawinan ini tergantung sepenuhnya pada pertimbangan Hakim yang menilai cukup tidaknya bukti-bukti maupun saksi-saksi tersebut. Dalam hal ini posisi isteri dan/atau anak-anaknya sangat lemah karena posisi mereka sebagai ahli waris sepenuhnya hanya tergantung kepada pertimbangan-pertimbangan hakim sepenuhnya.

Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan kata lain, anak yang dilahirkan tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan ayah biologisnya maupun dengan keluarga ayahnya, sungguh pun dalam kehidupan sehari-hari, mereka tinggal serumah dan hidup layaknya ayah dan anak di dalam satu rumah dan sebagai seorang ayah tetap menjalankan kewajibannya sebagai orangtua dalam membiayai, merawat dan menafkahi anak-anaknya.

Setiap perkawinan harus dicatatkan agar para pihak terhindar dari akibat batalnya perkawinan itu secara hukum. Namun demikian masih ada masyarakat agama Konghucu yang tidak mencatatkan atau enggan untuk mencatatkan perkawinannya ke Dinas Kependudukan

Selain dari hambatan sering mendapat penolakan karena perbedaan penafsiran tentang pengakuan agama Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Juga adanya hambatan dalam pencatatan perkawinan karena proses (birokrasi) yang berbelit-belit, biaya pengurusan akta perkawinan yang mahal, dan jangka waktu pengurusan yang lama seharusnya hanya dalam jangka waktu satu minggu sudah


(24)

ditandatangani dan satu minggu kemudian dapat diambil namun dalam pelaksanaannya sampai dengan satu bulan juga belum selesai.

Kemudian keengganan untuk mencatatkan perkawinan ini menjadi salah satu masalah yang sampai saat masih terjadi dalam masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya diakibatkan karena adanya anggapan dari masyarakat etnis Tionghoa tetap berpegang teguh kepada adatnya dan menganggap perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa, maka perkawinan tersebut dianggap tetap sah walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Dengan kata lain, fenomena sosial yang timbul jelas bukan disebabkan oleh tinggi atau rendahnya faktor ekonomi, akan tetapi lebih cenderung timbul diakibatkan oleh karena sikap pandang masyarakat etnis Tionghoa yang enggan untuk mencatatkan perkawinan mereka yang tanpa mereka sadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan bagi mereka dan keluarga kelak.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian tentang pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa bentuk tesis, dengan judul: ”Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah pada latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:

1. Apakah yang menjadi problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa?


(25)

2. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan?

3. Upaya apakah yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah di atas adalah: 1. Untuk mengetahui problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara

Indonesia keturunan Tionghoa.

2. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan.

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan?

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini secara teoritis menjadi suatu yang bermanfaat sebagai sumbangsih dalam Hukum Perkawinan di Indonesia yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.

2. Secara Praktis

Penelitian ini secara praktis manfaatnya dapat diterapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum perkawinan dalam kaitan pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.


(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada serta penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul ”Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Memang ada penelitian sebelumnya yang dilakukan Rehbana, NIM 017011052 mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orang Tuanya Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Dinas Kependudukan: Pada Masyarakat Tionghoa Kota Medan”, yang memfokuskan penelitian tentang kewarisan, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghucu. Jadi permasalahan yang diteliti adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.10 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada

10

J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M. Hisyam). FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. Lihat juga M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan

Penelitian. CV Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27, menyebutkan, bahwa teori yang

dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan. Tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.


(27)

fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidak kebenarannya.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

Sebagai kerangka teori dalam tesis yang membahas tentang problematika pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa ini digunakan Teori Kepastian Hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu perkawinan yang terjadi antara suami isteri harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.12 Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.13

Menurut Sudikno Mertoskusumo:

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.14

Menurut Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra:

Para penganut teori hukum positif menyatakan “kepastian hukum” sebagai tujuan hukum. Menurut anggapan mereka ketertiban atau keteraturan, tidak

11

Ibid, hal. 16

12

J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prennahlindo, Jakarta, 2001, hal. 120.

13

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 49-50.

14

Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 58.


(28)

mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).15

Selanjutnya menurut Sudikno Mertokusumo:

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta”

(undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).16

Oleh karena itu untuk menjamin kepastian hukum dalam perkawinan, maka Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang di dalamnya mengatur tentang tata cara perkawinan.

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Syarat-syarat perkawinan sesuai Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan adalah: (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

15

Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Jakarta, 2003, hal. 184.

16


(29)

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, secara tegas dalam ketentuan Pasal 2 bahwa sahnya suatu perkawinan tidak hanya telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya saja, tetapi juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(30)

Pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama bagi pemeluk agama Islam, sedangkan bagi pemeluk agama selain Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, yang dalam pelaksanaan menjadi problematika bagi umat Tionghoa yang beragama Konghucu, karena Undang-Undang Perkawinan yang hanya mengenal lima agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Sehingga Kantor Catatan Sipil menolak untuk mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan sesuai agama Konghucu.

Padahal sebelumnya, menurut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Selain keenam agama di atas, agama lainnya masih tetap mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh pasal ini. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan lebih-lebih Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya. Selanjutnya, pengakuan Konghucu sebagai agama diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tanun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.

Penganut aliran kepercayaan, mempunyai penghulu atau pendeta. Pendeta mengesahkan menurut hukum agama atau kepercayaan mereka. Penganut kepercayaan agar melihat kepercayaan mereka sebagai agama. Kalau pemimpin


(31)

agamanya sudah mengesahkan, lalu membuat surat bahwa perkawinan antara keduanya adalah sah menurut hukum agama, maka harus dicatat Pengadilan yang akan mengukuhkan perkawinan itu

Sebagian substansi dari Rancangan Undang-Undang tentang Catatan Sipil yang diusulkan oleh Konsorsium Catatan Sipil dianggap berpotensi menimbulkan bentrok antar umat beragama. Dewan Perwakilan Rakyat menyarankan agar Rancangan Undang-Undang tersebut dikaji ulang sebelum diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.17

Rancangan Undang-undang Catatan Sipil serta naskah akademisnya yang mengakomodir perkawinan antara penganut Konghucu. Konghucu bukanlah salah satu dari lima agama besar yang diakui di negara Indonesia. Oleh karena itu, pengakuan negara terhadap perkawinan pasangan Konghucu telah menimbulkan bentrokan dengan lima agama besar yang diakui.

Rancangan Undang-Undang Catatan Sipil yang dianggap menjadikan kasus perkawinan antar pasangan Konghucu yang terjadi di Surabaya sebagai salah satu dasar pengaturan mengenai hal tersebut di dalam Rancangan Undang-Undang. Di dalam naskah akademis Rancangan Undang-Undang Catatan Sipil memang disebutkan bahwa Kantor Catatan Sipil di Surabaya pada 1997 pernah menolak mencatatkan perkawinan menurut agama Konghucu. Kasus ini kemudian berlanjut ke pengadilan dan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan kedua pasangan itu pada 2000.

17

Rapat dengar pendapat umum antara Panitia Kerja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Ketua Konsorsium Catatan Sipil Lies Sugondo dan sejumlah institusi lainnya.


(32)

Semangat disusunnya Rancangan Undang-Undang Catatan Sipil adalah untuk menghapuskan diskriminasi di bidang pencatatan sipil. Terkait dengan perkawinan, bahwa kantor Catatan Sipil harus mencatatkan semua perkawinan tanpa melihat pada agama pasangan yang bersangkutan, dengan merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.18

Pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak yang melangsungkan perkawinan, dicatat dengan suatu akta otentik pada Kantor Catatan Sipil sebagai bukti yang sempurna atas terjadinya perkawinan tersebut yang sangat terkait dengan hubungan keperdataan baik bagi suami isteri maupun bagi anak dari hasil perkawinan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa harus mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil guna untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu perkawinan yang telah dilakukan.

2. Konsepsi

Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari asbtrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.19 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

18

Lies Sugando, Problematika Penyusunan Rancangan Undang-undang Catatan Sipil, Warta Bangsa, Jakarta, 2007, hal. 15.

19

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,


(33)

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.20

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.21

Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya.

Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjektif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian atau penguraian yang akan dirampungkan.22

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, sebagai berikut:

20

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, PPs – USU, Medan, 2002, hal. 35 21

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 5.

22


(34)

a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.23

b. Pencatatan perkawinan adalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa pada Kantor Catatan Sipil dalam suatu Akta Catatan Sipil yang merupakan alat bukti paling kuat dalam menentukan kedudukan hukum dari perkawinan tersebut.

c. Catatan Sipil adalah adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya perkawinan, dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status perkawinan warga masyarakat dapat diketahui.24

d. Agama Konghucu adalah salah satu agama yang umumnya dianut etnis Tionghoa selain agama Buddha.

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai problematika pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di

23

Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

24

Nico Ngani, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, Liberty, 1984, Yogyakarta, hal. 6.


(35)

Indonesia. Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian dianalisa terhadap aspek hukum perkawinan.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Ronald Dworkin menyebut metode penelitian yuridis normatif tersebut juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.25

2. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

25

Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 2.


(36)

Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:

a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dalam penelitian ini yaitu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain: tulisan atau pendapat para pakar hukum dibidang Perkawinan dan Hukum Perdata

c. Bahan hukum tersier yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti majalah, surat kabar, dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi relevan dengan penelitian yang dilakukan.

Untuk menunjang kelengkapan data sekunder maka diambil melalui wawancara dengan narasumber yaitu:

a. Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) Provinsi Sumatera Utara.

b. Pengacara (Advokat) yang pernah menangani pencatatan perkawinan agama Konghucu di Kota Medan, sebanyak 1 (satu) orang.


(37)

4. Alat Pengumpul Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian: a. Studi Dokumentasi.

Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Wawancara

Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan narasumber yang telah ditentukan dengan mempergunakan pedoman wawancara.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan


(38)

menggunakan metode pendekatan deduktif.26 Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

26

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Univeristas Airlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yakni bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.


(39)

BAB II

PROBLEMATIKA PENCATATAN PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA

A. Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa 1. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia

Di Indonesia tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan di pelbagai daerah ada pelbagai sifat kekeluargaan, yang dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan, yaitu:

1) Sifat Kebapakan (patrilinial); 2) Sifat Keibuan (matrilinial); 3) Sifat Kebapak-Ibuan (parental).27

Dalam sistem kekeluargaan yang besifat kebapakan, seorang isteri oleh karena perkawinannya adalah dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orangtuanya, nenek moyangnya, saudara kandungnya dan keluarga Iainnya. Sejak perkawinannya, seorang isteri masuk ke lingkungan keluarga suaminya dan menjadi anggota keluarga dan keluarga suaminya. Demikian juga anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali dalam hal seorang anak perempuan yang sudah kawin. Ciri yang paling utama dari perkawinan yang bersifat kebapakan ini adalah perkawinan dengan jujuran, dimana seorang isteri dibeli oleh keluarga suaminya dengan adanya sejumlah uang pembayaran kepada keluarga isteri sebagai harga

27

Wirjono Podjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Vorkink-Van Hoeve, Bandung, 1968, hal. 15.


(40)

pembelian. Di daerah Tapanuli dinamakan jujuran atau parunjuk atau tuhor, boli. Di tanah Gayo dinamakan onjok. Sedangkan sistem kekeluargaan keibuan di Indonesia hanya terdapat di satu daerah saja, yaitu di Minang Kabau. Dalam sistem kekeluargaan keibuan ini, setelah perkawinan dilaksanakan, maka seorang suami tinggal di rumah keluarga isterinya atau keluarga isterinya. Suami tidak menjadi anggota keluarga dari si isteri, namun anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut dianggap kepunyaan dari ibunya dan seorang ayah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa terhadap anak-anaknya.28

Kekayaan yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga suami isteri dan anak-anaknya, biasanya diambil dari milik keluarga isteri dan milik ini dikuasai oleh seseorang yang dinamakan mamak kepala waris, yaitu anak laki-laki paling tua dari keluarga isteri.

Sistem kekeluargaan Kebapak-Ibuan adalah yang paling banyak terdapat di seluruh wilayah Indonesia, yaitu antara lain di seluruh Jawa, Madura, Sumatera Selatan, Riau, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Dalam sistem kekeluargaan ini pada hakekatnya tiada perbedaan antara seorang suami dan seorang isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing, dimana sebagai akibat perkawinan, seorang suami menjadi anggota keluarga dari isteri dan seorang isteri menjadi anggota keluarga dari suami, sedang dalam kekeluargaan orangtuanya, mereka masing-masing juga mempunyai dua kekeluargaan, yaitu dari ayahnya dan

28


(41)

juga dari ibunya. Begitu juga seterusnya untuk anak-anak dan keturunannya, tiada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, antara cucu laki-laki dengan cucu perempuan.29

Dalam sistem kekeluargaan kebapak-ibuan ini juga tidak dikenal adanya pengertian pembelian isteri oleh suami atau keluarga suaminya sebagaimana yang terdapat dalam sistem kekeluarga Iainnya. Dalam sistem kekeluargaaan ini, pada permulaan perkawinan, seorang suami memberi atau menyanggupi akan memberi sejumlah uang kepada seorang isteri, maka uang tersebut bukan merupakan suatu harga pembelian, melainkan uang untuk keperluan rumah tangga dari suami isteri atau uang penghibahan semata. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, uang tersebut dinamakan tukon (pembelian), tetapi arti dari pembelian disini bukan uang untuk membeli si isteri, tetapi uang untuk membeli barang-barang keperluan rumah tangga suami isteri pada permulaan perkawinan. Sering juga uang yang demikian disebut dengan istilah sri-kawin atau mas kawin, yang mana istilah ini menunjukkan pada pengertian mahar sebagaimana yang diatur dalam hukum Islam.30

Pada hakekatnya, pada suatu perkawinan dalam kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan, suami isteri, selama perkawinan berlangsung, mempunyai kedudukan yang sama, baik mengenai harta benda masing-masing, harta benda milik bersama, maupun mengenai pergaulan hidup di antara mereka.

29

Ibid., hal. 16.

30

Lihat, Jamaluddin, Hukum Perkawinan (Dalam Pendekatan Normatif), Pustaka Bangsa Press, 2009, hal. 44. menyatakan sebagai persyaratan selanjutnya yang harus dipenuhi untuk sahnya sebuah perkawinan dalam syariat Islam adalah mahar dalam perkawinan.


(42)

2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan dalam Adat Tionghoa

Hukum adat Tionghoa merupakan kebiasaan adat-istiadat yang dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang-ulang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hukum adat Tionghoa tidak terkodifikasi sebagaimana peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia, yang mana berarti hukum adat Tionghoa itu tidak tertulis dan diundangkan, namun hanya hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun keseluruhan dari kebiasaan dan adat-istiadat Tionghoa tergantung kepada masyarakat etnis Tionghoa itu apakah masih sesuai atau tidaknya suatu adat-istiadat tersebut diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

K. Ginarti B mengemukakan, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas margaIsuku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya.31

Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Tionghoa adalah sistem kekeluargaan patrilinial, yang menentukan garis keturunan dari pihak laki-laki yang memegang peranan yang sangat penting dalam suatu keluarga. Dalam hal ini berarti, anak-anak laki-laki merupakan anak yang diistimewakan, bukan dalam hal perlakuannya, tetapi memang dalam posisi dan kedudukan yang istimewa dalam keluarga, karena merupakan penerus marga atau nama keluarga. Sedangkan anak

31

K. Ginarti B, “Adat Pernikahan”, Majalah Jelajah Vol.3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999, hal 12.


(43)

perempuan kedudukannya lebih rendah dan dipandang bukan sebagai penerus marga atau nama keluarga. Anggapan ini timbul karena pada saat anak perempuan tersebut dewasa dan pada akhirnya menikah, maka anak perempuan tersebut sudah keluar dari Iingkungan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga dari suaminya dan anak-anak yang lahir kelak juga akan mengikuti dan meneruskan marga atau nama keluarga dari sang suami. Ini merupakan sistem kekeluargaan yang berlaku sampai sekarang.

Di dalam hukum adat Tionghoa tidak ada memberikan pengertian secara gamblang mengenai defenisi dari perkawinan. Namun dalam adat Tionghoa itu sendiri perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama dan mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari si ayah. Jadi ada atau tidaknya anak laki-laki yang lahir dari suatu perkawinan pada masyarakat etnis Tionghoa sangat menentukan sekali diteruskan atau tidaknya marga atau nama keluarga dan si ayah, karena hanya anak laki-laki yang meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya, karena pada saat anak perempuan besar dan menikah kelak, maka anak perempuan akan masuk ke dalam Iingkungan dan menjadi anggota keluarga dari suaminya dan anak-anak yang lahir akan meneruskan marga atau nama keluarga suaminya.

Selanjutnya menurut K. Ginarti B:

Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam


(44)

di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat Iainnya pada masa lampau.32

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut hukum adat Tionghoa, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari ayahnya.

3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa

Dalam adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada diatur secara tertulis mengenal syarat-syarat perkawinan sebagaimana syarat-syarat perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ditentukan secara pasti mengenai Syarat-syarat perkawinan, namun hanya dilaksanakan menurut adat-istiadat yang dilakukan secara terus-menerus dan turun temurun serta berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Demikian juga halnya orang-orang Tionghoa yang berimigrasi dari Republik Rakyat Cina atau biasa juga disebut “Tiongkok”. Umumnya orang-orang Tionghoa yang berimigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dari tanah leluhur mereka, termasuk juga di dalamnya hukum adat perkawinan. Salah satu adat yang harus mereka taati adalah keluarga yang satu marga (slice) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah antara satu dengan Iainnya. Misalnya marga Hwang dilarang menikah dengan marga Hwang dari keluarga lain, sekalipun baik antara kedua calon mempelai maupun keluarga kedua

32


(45)

calon mempelai tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya antara lain, pernikahan dengan anak bibi (tidak satu marga, tetapi masih satu nenek moyang). Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik, namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat perkawinan, yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.33

Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan dari masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri. Hal ini terutama pandangan dari keluarga dan kedua calon mempelai terhadap calon mempelai pria atau mempelai wanita dan anak mereka. Yang pasti, syarat-syarat perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat tersebut lebih memberatkan calon mempelai pria daripada calon mempelai wanita.

Hal ini wajar, karena masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia menganut asas kekeluargaan patrilinial, dimana seorang laki-laki bertindak sebagai seorang kepala keluarga dan kepala rumah tangga. Semua kewajiban atas keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang suami atau seorang ayah. Sedangkan wanita sebagai seorang isteri hanya akan mengikuti kehidupan suaminya. Susah atau senangnya kehidupan seorang isteri tergantung sepenuhnya pada kemampuan suami untuk mencukupi kebutuhan dan membahagiakan isteri dan anak-anaknya.

33


(46)

Dari hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adapun syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan dari calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.

Mengenai kesepakatan dari kedua mempelai dalam hukum adat Tionghoa hanya berlaku apabila hubungan antara kedua calon mempelai disetujui oleh keluarga masing-masing. Dalam hukum adat Tionghoa, kesepakatan dari kedua calon mempelai bukan merupakan hal yang mutlak. Seorang ayah sebagai kepala keluarga dan kepala rumah tangga sekaligus sebagai pemegang keputusan tertinggi yang memegang peranan paling penting.

b. Adanya persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai.

Persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai merupakan faktor yang paling penting dan menentukan. Kadang kala, persetujuan dari orangtua dapat mengenyampingkan kesepakatan dari kedua calon mempelai. Hal ini timbul karena sebagai anak yang berbakti kepada orangtua dan supaya tidak dianggap sebagai anak durhaka, maka seorang anak wajib untuk menuruti kata dan permintaan dari orangtua, walaupun terkadang permintaan dari orangtua tersebut sangat bertentangan dengan kemauan dan anak.

Dalam hal salah satu orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh orangtua calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orangtua dari calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh anak laki-laki tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki-laki tertua tidak ada, maka yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua kandung dari ayah calon mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh


(47)

saudara laki-laki kandung yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung dari ibu.

c. Seorang calon mempelai pria harus mapan dari segi ekonomi maupun fisik dan mental untuk menghidupi keluarga.

Menurut Aan Wan Seng:

Tiada satu batasan (had) umur yang sesuai untuk seseorang itu untuk kawin. Semuanya bergantung kepada kesediaan dan kesanggupan individu untuk hidup berkeluarga. Keseluruhannya, orang-orang Cina kawin pada umur yang agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk mengadakan kenduri kawin. Perkawinan orang Cina dikatakan adalah yang termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu, upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk “memberi muka” kepada ibu bapa kedua belah pihak. Orang Cina mempunyai suatu kebiasaan untuk bersaing menunjukkan ego masing-masing melalui pemaparan kemewahan dan kekayaan. Mengikut adat orang Cina, perkawinan anak lelaki sulung perlu dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan dan merendahkan keluarga serta mendatangkan umpat keji (kata-kata hinaan) daripada saudara-mara.34

Dalam hal ini, mapan atau tidaknya seorang calon mempelai pria itu dipandang oleh keluarga calon mempelai wanita dari kehidupan sehari-sehari. Mapan secara ekonomi mempunyai anti bahwa calon mempelai pria sudah bekerja atau memiliki penghasilan yang tetap, sehingga mampu membiayai dan mencukupi kebutuhan calon mempelai wanita. Mapan secara fisik dan mental mempunyai arti bahwa calon mempelai pria mempunyai fisik yang kuat, sehat akal dan pikirannya, sehingga mampu menjaga dan melindungi keluarganya, serta dapat meneruskan keturunan.

34

Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti Sdn.Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994, hal. 31.


(48)

d. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani.

Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani, ini merupakan persyaratan yang penting, selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita juga harus sehat secara fisik, terutama dalam kemampuan untuk memberikan keturunan/anak, karena sebagaimana maksud dan tujuan dari perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunan/anak, terutama anak laki-laki agar dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari ayahnya. Kemandulan dari isteri akan dapat dijadikan alasan yang sah dari suami untuk menceraikan isterinya.

e. Berperangai dan bertingkah laku baik.

Hal ini dipandang dari kehidupan sehari-hari dari kedua calon mempelai, termasuk di dalamnya apa pekerjaannya, bagaimana sikap dan perlakuannya terhadap orangtua dan keluarganya. Semakin baik pandangan calon mertua terhadap sikap dan perangai calon mempelai, maka semakin mudah mendapatkan persetujuan atau restu dari calon mertua.

Syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa masih sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat-istiadat dari suatu suku dan/atau keluarga. Jadi tidak ada syarat-syarat perkawinan yang tertulis dan terkodifikasi dalam bentuk peraturan maupun undang-undang, namun hanya bersifat mengatur hal-hal umum saja. Tidak ada akibat dan sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melaksanakan perkawinan, tetapi hanya berupa sanksi sosial, baik yang datang dari keluarga maupun masyarakat.


(49)

4. Prosedur Pelaksanaan Perkawinan

Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. OIeh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa.35

Perkawinan orang Tionghoa terpaksa melalui beberapa peringkat yang melibatkan enam proses. Adat Tionghoa meletakkan peraturan dimulai dengan merisik, meminang, bertunang, menghantar tanda, memberikan mas kawin dan mengadakan kenduri makan.36

Secara lebih mendetail, dalam hal melaksanakan perkawinan menurut adat-istiadat Tionghoa di Indonesia, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dari tahap awal sampai dengan selesai, sehingga suatu perkawinan itu dipandang sah menurut adat-istiadat Tionghoa. Adapun prosedur-prosedur yang pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kota Medan dalam melaksanakan suatu perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Tho Chin (melamar)

Rancangan mengatur upacara perkawinan perlu dibuat dengan teliti dan memerlukan waktu yang lama, termasuk melihat hari yang sesuai. Keluarga kedua belah pihak dimaklumi niat untuk kawin oleh anak-anak mereka. Selepas persetujuan

35

K. Ginarti B, Op.Cit., hal.13.

36


(50)

diperoleh, barulah diatur pertemuan di antara keluarga sebelah pihak wanita dengan keluarga pihak lelaki.37

Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka Tho Chin ini dapat diartikan dengan melamar. “Selepas kedua-dua belah pihak berpuas hati dengan latar belakang masing-masing, ibu bapa pengantin lelaki akan menghantar wakil untuk meminang. Wakil pihak lelaki dipilih dari kalangan emak saudaranya sendiri atau saudara-mara tua yang terdekat. Wakil ini mesti seorang perempuan”.38

Hal di atas merupakan tahap pelamaran, dimana setelah ada kecocokan dari calon mempelai pria dan wanita, maka orangtua dan atau pihak keluarga dari calon mempelai pria akan mengutus seorang, biasanya seorang wanita, baik itu saudara atau sanak famili perempuan dari keluarga calon mempelai pria yang bertindak sebagai perantara untuk mendatangi keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan untuk melamar anak perempuan mereka sebagai menantu. Dalam tahap ini, keluarga calon mempelai pria melalui perantara/utusan untuk menyampaikan maksud dari keluarga calon mempelai pria dan sekaligus juga meminta persetujuan dari ketuarga calon mempelai wanita mengenai rencana pelaksanaan pernikahan anak-anak mereka. Pembicaraan antara kedua keluarga calon mempelai hanya sebatas adanya persetujuan dan kata sepakat untuk melaksanakan perkawinan antara kedua calon mempelai, namun belum ada tanggal pasti tentang kapan perkawinan akan dilaksanakan.

37

Ibid., hal. 31.

38


(51)

Setelah lamaran dari keluarga calon mempelai pria diterima dan disetujui oleh keluarga calon mempelai wanita, maka kemudian dicari hari, bulan dan tahun yang baik untuk melaksanakan perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan kepercayaan menurut adat-istiadat keluarga mereka masing-masing.

Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat akibat yang buruk terhadap pernikahan mereka. Biasanya semua serba muda, yaitu jam sebelum matahari tegak luas, hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa dan bulan baik adalah bulan naik/menjelang purnama.39

Penentuan hari pelaksanaan perkawinan menurut adat-istiadat Tionghoa sangat menentukan sekali terhadap kelanggengan perkawinan yang akan dilaksanakan tersebut. Perkawinan yang dilaksanakan pada jam, hari dan bulan yang tepat, maka akan membawa pengaruh yang baik terhadap perkawinan tersebut di kemudian hari, baik kelanggengan rumah tangga, rezeki dan anak-anak yang lahir kelak. Demikian juga sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan di jam, hari dan bulan yang kurang atau tidak baik, maka akan membawa pengaruh buruk terhadap kelanggengan rumah tangga, rezeki dan anak-anak yang akan dilahirkan kelak. Penentuan jam, hari dan bulan perkawinan ditentukan berdasarkan hari, bulan dan tahun lahir serta shio (zodiak Cina) dari kedua belah calon mempelai. Sampal saat ini, hal penentuan jam, hari dan tanggal pelaksanaan perkawinan ini masih tetap dipraktekkan oleh hampir seluruh masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia, karena walaupun bersifat tahayul dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, namun masyarakat etnis Tionghoa sangat menyakini adat-istiadat ini dan takut untuk

39


(52)

menerima resiko yang tidak baik atau buruk di kemudian hari yang kemungkinan akan timbul apabila adat-istiadat ini tidak diikuti atau dilanggar.

Dalam tahap ini juga dapat diikuti dengan acara teng hun, yang apabila diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai pertunangan, dimana untuk mendukung kepastian dan keseriusan dari maksud pelamaran tersebut di atas, juga sebagai sarana untuk mengikat secara moral batin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita beserta juga dengan keluarga kedua belah pihak. Acara teng hun ini sebagai salah satu sarana untuk menunjukkan kesiapan dan keseriusan dari kedua calon mempelai serta dilaksanakan dengan acara tukar cincin yang melambangkan ikatan batin antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita dengan disaksikan oleh keluarga dari kedua calon mempelai. Namun acara ini bukan merupakan suatu keharusan dan tidak menjadi faktor penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Secara psikologis, acara teng hun biasanya dilaksanakan oleh calon mempelai pria atau diminta dilaksanakan oleh keluarga calon mempelai wanita dalam hal rencana pernikahan masih lama dilaksanakan, misalnya 1 tahun atau 2 tahun lagi, atau karena calon mempelai pria atau calon mempelai wanita harus berpergian ke tempat yang jauh, baik untuk pendidikan, pekerjaan maupun keperluan lainnya, namun ada kekhawatiran dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita atau demikian juga sebaliknya selama kurun waktu tersebut, hati calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita berubah kepada orang lain. Acara teng hun ini bertujuan tidak hanya mengikat calon kedua mempelai saja, tetapi juga mengikat keluarga dari kedua calon mempelai. Tentu saja atas ikatan yang dilaksanakan ini


(53)

menimbulkan suatu pertanggungjawaban moral yang mengikat kedua calon mempelai maupun seluruh keluarga calon kedua mempelai.

b. Sang Jit (pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari kedua calon mempelai)

Setelah acara tho chin selesai, maka kedua keluarga menyepakati satu waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan sang jit. Acara sang jit merupakan satu acara pertemuan kedua orangtua dan keluarga dari kedua calon mempelai dan biasanya kedua calon mempelai tidak hadir dalam pembicaraan tersebut. Dalam acara ini, kedua belah orangtua dan keluarga menetapkan tanggal dan hari pasti perkawinan, baik di pihak keluarga calon mempelai wanita maupun di pihak calon mempelai pria. Selain itu juga dibicarakan tentang permintaan dari pihak keluarga wanita dalam hal jumlah pia atau kue yang biasanya dibagikan oleh pihak keluarga wanita sekaligus juga dalam membagi undangan kepada para sanak keluarga, sahabat dan handai tolan. Hal ini khusus dilaksanakan dalam pembagian undangan untuk resepsi perkawinan di keluarga calon mempelai wanita. Selain itu juga ditentukan permintaan-permintaan lain dari pihak keluarga calon mempelai wanita jumlah undangan, barang-barang hantaran yang harus dibawa dan hal-hal lainnya yang dianggap perlu.

c) Ta Pia (pemberian hantaran atau mas kawin)

Pada masa dahulu, hantaran dan mas kawin diberikan dalam bentuk dua helai kulit rusa dan kain sutera. Adat penghantaran ini diamalkan di Negeri Cina karena kedua-dua benda/barangan itu mahal dan sukar diperoleh. Keadaan ini berbeda


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Problematika pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah terkait dengan pemeluk agama Konghucu yang telah diakui sebagai agama menurut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 namun masih terjadi penolakan dari Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan untuk mencatatkan perkawinan sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang tidak tegas mengakui Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Padahal Pemerintah belum pernah mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pengakuan agama Konghucu tersebut, dan juga melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008 agama Konghucu telah masuk sebagai kurikulum mata pelajaran di sekolah di Indonesia.

2. Akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan menurut hukum Indonesia yang berlaku adalah tidak ada hubungan perkawinan antara suami isteri karena dengan tidak dicatatkan maka perkawinan itu tidak pernah terjadi, hanya yang ada hidup bersama, sehingga anak yang lahir dari perkawinan itu secara hukum bukanlah anak yang sah, sehingga tidak ada hubungan keperdataan anak terhadap ayahnya, tetapi hanya hubungan keperdataan kepada ibunya.


(2)

3. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa yang belum dicatatkan adalah melakukan pencatatan perkawinan dan sekaligus guna melakukan pencatatan pengesahan anak jika pada saat pencatatan perkawinan telah mempunyai anak. Apabila pencatatan perkawinan itu tidak diikuti dengan pengesahan anak, maka status anak tetap menjadi anak di luar perkawinan. Akan tetapi upaya pencatatan perkawinan ini masih menemui kendala karena selain perbedaan penafsiran yang sering dialami agama Konghucu, berbagai faktor keengganan untuk mencatatkan karena adanya cara pandang masyarakat Tionghoa sendiri yang menganggap perkawinan yang sudah dilangsungkan secara adat Tionghoa adalah sudah sah, walaupun tidak dicatatkan ke Dinas Kependudukan, namun negara Indonesia menganggap perkawinan itu tidak sah. Kemudian masalah birokrasi yang berbelit-belit, biaya akta perkawinan yang mahal dan jangka waktu yang lama dalam pelaksanaannya di Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan Kota Medan.

B. Saran

1. Kepada Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) untuk mendesak Pemerintah/Catatan Sipil untuk mengakui atau tidak terjadi penolakan pencatatan perkawinan agama Konghucu, karena telah ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 bahwa Konghucu adalah agama yang diakui di Indonesia. 2. Kepada Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan untuk memberikan


(3)

Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang sudah mempunyai anak untuk sekaligus melakukan pencatatan pengesahan anak, demikian juga mengenai besarnya biaya dan jangka waktu selesainya akta perkawinan dapat diterapkan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Medan.

3. Kepada masyarakat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan kalau mungkin diwajibkan untuk tidak lalai mencatatkan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan guna sahnya perkawinan tersebut secara hukum dan tidak berakibat hukum yang merugikan masa depan perkawinan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena apabila tidak dicatatkan akan sia-sia upaya kerja keras secara ekonomi untuk kesejahteraan keluarga demi masa depan anak-anak yang dilakukan orangtua Tionghoa selama ini kalau pada akhirnya si anak tidak mempunyai hubungan keperdataan kepada ayahnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Afandi, Ali, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Aloysius, R. Entah, Hukum Perdata (Suatu Studi Perbandingan Ringkas), Liberty, Yogyakarta, 1989.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996. Daliyo, J.B., Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prennahlindo,

Jakarta, 2001.

Gatra, Umat Konghucu Sudah Dapat Mencatatkan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan, edisi 7 Februari 2006, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Harahap, M Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading; Medan, 1975. Hock, Lie Oen, Catatan Sipil di Indonesia, Keng Po, Jakarta, 1961.

Jamaluddin, Hukum Perkawinan (Dalam Pendekatan Normatif), Pustaka Bangsa Press, 2009.

Jauhari, Iman, (editor) Adem Panggabean, Advokasi Hak-Hak Anak (Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian. CV Mandar Maju, Bandung, 1994. Mertoskusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,

1988.

Ngani, Nico, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, Liberty, 1984, Yogyakarta. Podjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan d Indonesia, Penerbit Vorkink-Van

Hoeve, Bandung, 1968.

Prasetio, Herman, Kebijakan Penggolongan Penduduk Indonesia Pasca Kemerdekaan, Cempaka Karya, Jakarta, 2006.


(5)

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur, Bandung, 1983.

Rahman, Bakri A. dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1981.

Rasjidi, Lili , dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Jakarta, 2003.

Saleh, K Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta,1976. Seng, Aan Wan, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti

Sdn.Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia, 1994.

Situmorang, Victor Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Bina Aksara, jakarta, 1998. ________, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991 Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Sugando, Lies, Problematika Penyusunan Rancangan Undang-undang Catatan Sipil, Warta Bangsa, Jakarta, 2007.

Supomo, Sistem Hukum Di Indonesia, Noor Komala, Jakarta, 1962.

Tjokrowisasto, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, Bina Aksara, Jakarta. Wuisman, J.J.J M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M.

Hisyam). FE UI, Jakarta, 1996. B. Makalah, Artikel, Jurnal dan Internet

B, K. Ginarti, “Adat Pernikahan”, Majalah Jelajah Vol.3, Tahun 1999, tanggal 20 Desember 1999.

Chandrawila, Wila, “Syarat Sah dan Pencatatan Perkawinan”, http://mail-archive.com/keluarga_sejahtera@yahoogroups.com/info.html.


(6)

Irawan, Henry, ”Pembuktian Agama Konghucu Adalah Agama”, http://asia.groups. yahoo.com/group/Junzigroup/message/288.html.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, PPs – USU, Medan, 2002. Marhadi, Yudi, “Yang Menolak Tidak Memakai Nurani dan Logika”, Majalah

Sinergi Indonesia, Edisi ke-24/Tahun II/Februari 2005.

Nasution, Bismar, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Univeristas Airlangga, Surabaya.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tanun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Peraturan Menteri Nomor 48 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata

Pelajaran Agama Konghucu.

Surat Edaran Nomor 52883/A5.1/HK/2008 tanggal 5 September 2008 tentang Penyampaian Salinan Praturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 48 Tahun 2008.