Identifikasi patahan pada lapisan sedimen menggunakan metode seismik refleksi 2D di Barat Sumatera
FATHULLAH SYARIF HIDAYATULLAH
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
FATHULLAH SYARIF HIDAYATULLAH NIM: 104097003110
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(3)
i
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2010
Fathullah Syarif Hidayatullah
(4)
ii Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Sains dan Teknologi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh
Fathullah Syarif Hidayatullah NIM: 104097003110
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
DR. Ir. Udrekh, M.Sc Faisal Bustami, M.Si
NIP. 19690328 199412 1 001 NIP. 19740222 200604 1 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Fisika,
Drs. Sutrisno, M.Si NIP. 19590202 198203 1 005
(5)
iii
MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFLEKSI 2D DI BARAT SUMATERA telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Program Studi Fisika.
Jakarta, September 2010
Tim Penguji,
Penguji 1 Penguji 2
Drs. Sutrisno, M.Si Dr. Agus Budiono, M.Si
Drs. Sutrisno, M.Si Arif Tjahjono, M.Si
NIP. 19590202 198203 1 005 NIP. 150 389 715
5 NIP. 150 389 715
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Fisika
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis Drs. Sutrisno, M.Si
(6)
iv Refleksi 2D di Barat Sumatera
Line 102 merupakan bagian dari lempeng Indo-Australia yang menunjam terhadap lempeng Eurasia dengan kecepatan pergerakan lempeng mencapai 7 cm/tahun. Akibat dari penunjaman tersebut menyebabkan sering terjadinya gempa. Sehingga diperkirakan terbentuknya patahan akibat dari pergerakan lempeng tersebut terutama pada lapisan sedimen. Patahan terbentuk ketika lapisan batuan mendapatkan stress yang melewati batas elastisitas batuan. Pelepasan energi tersebutlah menyebabkan gempa.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Focus 5.4 dan Paradigm Geodepth 8.2. Interpretasi patahan dilakukan pada penampang seismik hasil migrasi terbaik dari berbagai hasil migrasi yang telah dilakukan. Hasil migrasi terbaik diperoleh hasil stacking velocity dengan interval 100 CDP. Selain itu, pada proses migrasi dilakukan pengisian nilai aperture sebesar 1920 CDP atau 12000 m dengan parameter koreksi spherical divergen dan filter anti aliasing. Patahan dapat diketahui dengan adanya ketidakmenerusan pada lapisan. Patahan akan diinterpretasi dengan cara menarik garis pada penampang seismik
Kata Kunci: migrasi, seismik, patahan, stacking velocity, aperture. CDP
(7)
v Method in Western Sumatra
Line 102 is part of Indo-Australian Plate which subdues against the Eurasian plate with the plate velocity 7cm/year. As a result of subduction has caused frequent occurrence of earthquakes. So that the expected formation of faults resulting from plate movement, primarily in the sediment layer. Fault is formed when layers of rock to get past the stress limit of elasticity of rocks. The energy release causes earthquakes.
Data processing was done using an application Geodepth Paradigm Focus 5.4 and 8.2. Interpretation of seismic fault performed on the best migration results from the various results of the migration that has been done. The best migration results are obtained with the interval stacking velocity 100 CDP. In addition, the migration process is done by filling the aperture value of GDP in 1920 or 12 000 m with a parameter of a divergent spherical correction and anti-aliasing filter. Fault can be identified by the discontinuities in the layer. Fault will be interpreted by drawing lines on the seismic section
(8)
vi
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dengan judul “Identifikasi Patahan Pada Lapisan Sedimen Menggunakan Metode Seismik Refleksi 2D di Barat Sumatera”.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah dan terlimpah kapada Nabi Muhammad saw, para sahabat, para tabiin, tabiut’tabiin dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Segenap rasa terima kasih ingin penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
2. Bapak Drs. Sutrisno, M.Si selaku Ketua Prodi Fisika
3. Bapak Dr. Ir. Udrekh, M.Sc selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan.
4. Bapak Faisal Bustami, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan.
5. Ibu Sumira, S.Si selaku Laboran Laboratorium NeoNet BPPT sekaligus tutor pengolahan data menggunakan program aplikasi Focus 5.4 dan Paradigm Geodepth.
6. Ibu Trevi, S.Si selaku Laboran Laboratorium Geofisika BPPT sekaligus tutor pengolahan data menggunakan program aplikasi ProMax.
(9)
vii rekan Fisika Angkatan 2004.
9. Teman-teman dari jurusan Matematika terutama Nurul, Lina dan Pandam yang memberikan motivasi.
10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.
Jakarta, September 2010
(10)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Indonesia terletak antara 3 lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Terdapat interaksi antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Samudera Hindia di lepas pantai barat Sumatera. Lempeng
Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dengan kecepatan mencapai 7 cm/tahun sedangkan lempeng Eurasia relatif bergerak ke arah tenggara dengan
kecepatan 0,4 cm/tahun Interaksi ini menghasilkan pola penunjaman atau subduksi. Interaksi kedua lempeng ini menyebabkan sering terjadinya gempa bumi terutama pada zona subduksi.
Pada tanggal 26 Desember 2004 di sebelah barat Aceh terjadi gempa dengan magnitude gempa 9,3 SR yang menyebabkan gelombang Tsunami dan tanggal 28 Maret 2005 dengan magnitude gempa 8,7 SR di Pulau Simeulue. Kedua gempa merupakan gempa terbesar selama 40 tahun terakhir. Setelah gempa tersebut sering sekali terjadi gempa susulan (aftershock). Hal ini disebabkan belum terlepasnya semua energi. Gempa susulan merupakan tahapan pengembalian ke bentuk setimbang. Berikut ini adalah peta episenter mainshock dan aftershock setelah 13 minggu setelah gempa Aceh.
(11)
Gambar 1.1 Peta Episenter Pasca Gempa Aceh
Selain itu Kedua gempa tersebut menyebabkan rekahan (rupture) sepanjang 1300 km.
(12)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan lembaga lain seperti: Bundesantalt fűr Geowissenchhaten und Rohstoffe (BGR), Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), RF Forschungsschiifahrt GmbH, Research center for Maritime Territories and No-Living Resource (BRKP-DKP), British Geological Survey (BGS), Institute of Oceanology, Russian Academy of Sciences (IO-RAS), Japan Agency for marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL melakukan penyelidikan akibat dari gempa tersebut dengan melakukan survei seismik 2D pada tahun tanggal 21 Januari-25 Februari tahun 2006. Penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan mekanisme terjadinya gempa yang menyebabkan tsunami dan mengidentifikasikan perbedaan gempa pada tanggal 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005.
Seismik refleksi 2D merupakan metode yang biasa digunakan untuk keperluan eksplorasi minyak bumi. Selain untuk keperluan mengidentifikasi jebakan minyak, metode ini juga dapat digunakan untuk pemetaan bawah permukaan.
Penulis tertarik menggunakan metode seismik refleksi 2D untuk meneliti deformasi fisik berupa patahan akibat dari pergerakan lempeng. Data yang digunakan merupakan data milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berupa rekaman seismik 2D. Line yang dipilih adalah Line 102. Line 102 berada di lepas pantai Barat Sumatera, tepatnya pada 4o 09’664’’ LU, 92o
(13)
44’620’’ BB sampai ke 2o 36’593’’ LU, 91o 10’691’’ BB dengan panjang lintasan 244.57 km.
Line 102 termasuk bagian dari lempeng Indo-Australia yang menunjam terhadap lempeng Eurasia. Kecepatan pergerakan lempeng Indo-Australia yang mencapai 7 cm/tahun termasuk tinggi. Akibat dari penunjaman tersebut menyebabkan sering terjadinya gempa. Sehingga diperkirakan terbentuk patahan akibat dari pergerakan lempeng terutama pada lapisan sedimen. Patahan terbentuk ketika lapisan batuan mendapatkan stress yang melewati batas elastisitas batuan. Pelepasan energi tersebutlah yang menyebabkan gempa.
(14)
1.2 Pembatasan Masalah
Adapun batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengolahan data dilakukan pada raw data Line 102.
2. Interpretasi patahan dilakukan pada penampang seismik yang sudah dimigrasi dengan metode Kirchoff Migration.
3. Interpretasi patahan lebih ditekankan pada bidang seismik.
4. Pengolahan data seismik menggunakan aplikasi Focus 5.4 dan Paradigm Geodepth 8.2.
5. Patahan yang sudah teridentifikasi tidak dikaitkan dengan gempa Aceh 2004 karena tidak ada referensi data seismik Line 102 sebelum gempa Aceh 2004 sebagai data pembanding.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Parameter migrasi apakah yang menghasilkan penampang seismik terbaik pada line 102?
2. Bagaimana mengidentifikasi bentuk patahan pada penampang seismik? 3. Bagaimana menginterpretasi patahan pada penampang seismik?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
1. Menghasilkan penampang seismik terbaik untuk dapat diinterpretasi. 2. Mengidentifikasi patahan pada penampang seismik.
(15)
3. Menginterpretasi patahan sebagai deformasi fisik pada lapisan sedimen akibat aktivitas pergerakan lempeng.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai patahan (fault) pada lapisan batuan sedimen yang disebabkan oleh pergerakan lempeng dan gaya endogen dari inti bumi seperti intrusi magma. Patahan yang teridentifikasi pada lapisan tersebut dapat menjadi tolok ukur pengukuran dan perbandingan perubahan lapisan batuan serta dapat digunakan sebagai informasi awal untuk antisipasi gempa yang disebabkan oleh patahan di masa yang akan datang.
1.6 Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini terdiri dari gelombang seismik, pemantulan gelombang, sedimentasi, patahan, pengolahan data seismik 2D, noise dalam seismik, dan multiple.
(16)
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini terdiri dari waktu dan tempat penelitian, peralatan dan bahan, peralatan dan parameter akuisisi data, dan prosedur pengolahan sesimik.
BAB IV : Hasil dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari pengolahan data, Analisa Lanjut, dan Interpretasi Patahan
BAB V : Penutup
(17)
BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang mekanis yang muncul akibat adanya gempa bumi. Sedangkan arti gelombang secara umum adalah fenomena perambatan gangguan (usikan) \dalam medium sekitarnya. Gangguan ini mula-mula terjadi secara lokal yang menyebabkan terjadinya osilasi (pergeseran) kedudukan partikel-partikel medium, osilasi tekanan maupun osilasi rapat massa. Karena gangguan merambat dari suatu tempat ke tempat lain, berarti ada transportasi energi.
Gelombang seismik disebut juga gelombang elastik karena osilasi partikel-partikel medium terjadi akibat interaksi antara gaya gangguan (gradien stress) malawan gaya-gaya elastik. Dari interaksi ini muncul gelombang longitudinal, gelombang transversal dan kombinasi di antara keduanya. Apabila medium hanya memunculkan gelombang longitudinal saja (misalnya di dalam fluida) maka dalam kondisi ini gelombang seismik sering dianggap sebagai gelombang akustik
2.2 Pemantulan Gelombang 2.2.1 Hukum Snellius
Hukum Snellius yang menyatakan apabila ada sinar datang dari medium 1 ke medium 2 maka pada bidang batas lapisan sinar tersebut sebagian akan direfleksikan (dipantulkan), sebagian akan ditransmisikan (diteruskan),
(18)
dan sebagian akan direfraksikan (dibiaskan). V1 dan V2 masing-masing kecepatan sinar (gelombang) pada medium 1 dan medium 2
Gambar 2.1 Hukum Snellius
Berdasarkan pada prinsip inilah metoda seismik refleksi digunakan untuk eksplorasi bawah permukaan bumi. Caranya adalah dengan menggunakan energi yang menghasilkan gelombang suara yang dipancarkan ke dalam bumi.
Gelombang ini menjalar melalui media air dan berbagai lapisan sedimen maupun batuan dan dipantulkan apabila menemui bidang batas lapisan yang dibedakan oleh impedansi akustik (Vρ). Impedansi akustik merupakan perkalian antara kecepatan gelombang seismik pada masing-masing lapisan dengan rapat masa media yang dilalui gelombang tersebut. Respon dari gelombang pantul ini diterima oleh peralatan (receiver) yang diletakan di atas atau dekat dengan permukaan bumi dan direkam untuk perhitungan dalam pengolahan data. (Neonet-BPPT, 2010)
(19)
Gambar 2.2 Penjalaran Gelombang Seismic
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa gelombang seismik menjalar dari Shot ke Receiver setelah dipantulkan pada bidang batas (reflector). RC adalah koefisien Refleksi, sedangkan Vρ adalah impedansi akustik.
Data yang direkam dari satu tembakan (shot) penghasil gelombang suara sampai diterima oleh receiver disebut sebagai seismic trace, dan direkam sebagai fungsi waktu.
Gambar 2.3. Seismic trace
Gambar 2.3 Menggambarkan waktu tempuh gelombang pada masing-masing reflektor dalam TWT. Waktu ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh gelombang seismik yang menjalar di dalam bumi, direfleksikan dan kembali ke permukaan disebut sebagai Two Way Travel Time (TWT). TWT ini
(20)
biasanya berada dalam satuan detik atau milidetik. Tampilan dari deretan seismic trace ini disebut sebagai seismic section atau seismic profile yang menggambarkan struktur perlapisan bawah permukaan bumi.
Waktu tempuh (t) dapat dirumuskan sebagai berikut:
√ ……….(2.1)
Pada kasus normal incidence (zero offset) waktu tempuhnya adalah:
……….(2.2)
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa hubungan antara waktu tempuh dan offset menggambarkan kurva hiperbola. Dalam kenyataannya bumi berlapis banyak, dengan ketebalan dan kecepatan berbeda untuk setiap lapisan. Untuk suatu reflektor pada model banyak lapisan tersebut waktu tempuhnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
………(2.3) Dimana e1 adalah fungsi dari ketebalan dan kecepatan dari n lapisan tersebut (umumnya kecil). Vrms adalahkecepatan akar kuadrat rata-rata (root mean square)
sepanjang sepanjang trajektori zero offset yang didefinisikan sebagai:
∑ ……….………….(2.4) Dimana Vk dan tk adalah kecepatan interval dan waktu tempuh bulak balik (two way time, TWT) pada lapisan ke-k (Toner and Koehler, 1969). Dalam analisis data seismik, biasanya persamaan didekati dengan :
(21)
dimana to sedikit berbeda dengan t0 dan v adalah kecepatan stacking yang sedikit berbeda dengan Vrms. Pada kasus reflektor miring dengan kecepatan konstan dapat diperlihatkan (Levin, 1991) bahwa:
………..……….(2.6) dimana α adalah kemiringan reflektor sepanjang profil
Gambar 2.4 Geometri Seismik Refleksi Single Channel
Seismik refleksi dibagi menjadi dua yaitu seismik refleksi saluran tunggal (single channel) seperti ditunjukkan dalam gambar 2.4 dan seismik refleksi multichannel dalam Gambar 2.5. Perbedaannya adalah pada seismik refleksi single channel, satu titik refleksi hanya diliput satu kali sedangkan pada seismik refleksi multichannel satu titik refleksi diliput berkali-kali tergantung jumlah channel yang digunakan. Sehingga hasil yang diperoleh dari metoda seismik refleksi multichannel tentunya jauh lebih akurat. (Neonet-BPPT, 2010)
(22)
Gambar 2.5 Geometri Seismik Refleksi Multichannel
2.2.2 Prinsip Huygens
Huygens Principle (Prinsip Huygens) menyatakan bahwa setiap titik-titik pengganggu yang berada didepan muka gelombang utama akan menjadi sumber bagi terbentuknya deretan gelombang yang baru.
Gambar 2.6 Prinsip Huygen
Jumlah energi total deretan gelombang baru tersebut sama dengan energi utama. Di dalam eksplorasi seismik titik-titik diatas dapat berupa patahan,rekahan, pembajian, antiklin, dan lain-lain. Sedangkan deretan gelombang baru berupa gelombang difraksi.
(23)
2.2.3 Prinsip Fermat
Prinsip Fermat menyatakan bahwa jika sebuah gelombang merambat dari satu titik ke titik yang lain maka gelombang tersebut akan memilih jejak yang tercepat. Adapun rumusan prinsip fermat sebagai berikut:
Gambar 2.7 Prinsip Fremat
Panjang gelombang L dari A ke B adalah:
√ √ √ √ √
√ ... (2.7)
hal ini menunjukan bahwa
... (2.8)
2.3 Sedimentasi
Lapisan sediman pada cekungan terbentuk jutaan tahun lalu dari perpindahan materi yang tererosi, perubahan kimia pada batuan dan materi organik di laut. Dalam jangka waktu yang lama, materi-materi tersebut mengendap dan membentuk lapisan. Sedimen terkumpul di dasar laut dan akibat dari beban lapisan itu menyebabkan subsiden (amblas). Material yang berbeda
(24)
terkumpul dalam waktu yang berbeda sehingga terbentuk lapisan-lapisan yang berbeda dalam cekungan tersebut
Gambar 2.8 Proses Terjadinya Pengendapan
Aktivitas vulkanik dan pergerakan lempeng menyebabkan patahan pada lapisan. Gaya ini juga dapat merotasi lapisan tersebut sehingga membentuk pegunungan baru.
(25)
Erosi dapat lapisan yang teratas dan tambahan lapisan paling rendah yang belum terbentuk akan terisi oleh air laut.
Gambar 2.10 Erosi Pada Lapisan Sedimen
Kemudian terjadi pengendapan atau sedimentasi pada lapisan atasnya yang menyebabkan ketidakseragaman lapisan di bawahnya.
(26)
Akibat pergerakan lempeng terjadilah pelipatan dan distorsi pada cekungan
Gambar 2.12 Proses Pelipatan Akibat Pergerakan Lempeng (Robertson, 1998)
2.4 Patahan
Patahan adalah gejala retaknya kulit bumi akibat pengaruh tenaga horizontal dan tenaga vertikal. Di daerah pertemuan lempeng akan timbul suatu tegangan yang diakibatkan oleh tumbukan dan geseran antar lempeng serta sifat-sifat elastik batuan. Tegangan pada batuan akan terkumpul terus menerus sehingga sesuai dengan karakteristik batuan yang akan sampai pada titik patah, dimana pada saat tersebut energy yang terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan, pada waktu itulah gempa bumi terjadi. Daerah retakan seringkali mempunyai bagian-bagian yang terangkat atau tenggelam. Jadi, selalu mengalami perubahan dari keadaan semula, kadang bergeser dengan arah mendatar, bahkan mungkin setelah terjadi retakan, bagian-bagiannya tetap berada di tempatnya. (Gunawan Ibrahim, 2001)
(27)
Berdasarkan gerakan atau pergeseran kulit bumi terdapat tiga macam sesar (Mulfinger & Snyder, 1979), yaitu:
a. Dip slip fault, yaitu sesar yang tergeser arahnya vertikal (sesar vertikal), sehingga salah satu dari blok terangkat dan membentuk bidang patahan. b. Strike slip fault, yaitu sesar yang pergeserannya ke arah horisontal (sesar
mendatar), sehingga hasil dari aktivitas ini kadangkala dicirikan oleh kenampakan aliran air sungai yang membelok patah-patah.
c. Oblique slip fault, yaitu sesar yang pergeseran vertikal sama dengan pergeseran mendatar, yang sering disebut sesar miring (oblique). Pergeseran kulit bumi pada tipe ini membentuk celah yang memanjang, kalau terjadi di dasar laut/samudera terbentuk palung laut, dan bila di daratan bisa berupa ngarai.
Gambar 2.13 Bentuk dan Jenis Sesar
Dip slip fault dapat dibagi lagi menjadi dua bagian berdasarkan bagian yang tergeser, (Lobeck , 1939) yaitu:
a. Kalau batuan yang terletak di atas bidang sesar yang relatif turun, maka disebut sesar turun, normal atau gravity fault.
(28)
b. Kalau batuan yang terletak di atas bidang sesar yang relatif naik, maka dinamakan sesar naik atau thrust fault. Sesar naik digolongkan pula menjadi dua bagian, yaitu: Reverse fault, kalau bidang sesarnya mempunyai kemiringan lebih dari 45o dan Thrust fault atau kelopak, jika kemiringan bidang sesar kurang daru 45o.
Strike slip fault disebut juga lateral fault yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Dextral atau right lateral fault adalah sesar yang bergerak relatif ke kanan. b. Sinistral atau left lateral fault merupakan pergerakan sesar yang relatif ke
kiri
Guna lebih mudah mengingat mengenai pembagian fault atau patahan berikut ini disajikan dalam bentuk sistematis tentang fault tersebut (Sudardja dan Akub, 1977) dengan modifikasi.
(29)
Lobeck (1939) mengemukakan ada beberapa jenis struktur patahan, yaitu: a. Patahan Normal (normal fault)
b. Patahan bertingkat (step fault) c. Patahan terserpih (fault splinter) d. Patahan membalik (reverse fault) e. Patahan kelopak (thrust fault)
f. Patahan kelopak majemuk (multi thrust fault) g. Patahan mendatar (foult with horizontal movement) h. Patahan lipatan (fault passing in to a fold).
(30)
2.5 Pengolahan Data Seismik Refleksi 2D 2.5.1 Field Tape
Data seismik direkam ke dalam pita magnetik dengan standar format tertentu yang dikenal sebagai field tape. Standardisasi format ini dilakukan oleh SEG (Society ofExploration Geophysics). Magnetik tape yang digunakan biasanya adalah sembilan track tape dengan format: SEG-A, SEG-B, SEG-C, SEG-D dan SEG-Y. Format data terdiri dari header dan amplitudo. Header berisi informasi mengenai survei, project dan parameter yang digunakan dan informasi mengenai data itu sendiri. Perekaman data dilakukan dalam bentuk diskrit dengan data analog yang sudah disampel pada interval tertentu, lalu disimpan dalam pita magnetik. Multiplex adalah salah satu format penyimpanan data dalam tape dengan data yang tersusun berdasarkan urutan pencuplikan dari gabungan beberapa channel.
Akuisi dan pengolahan data metoda Common Reflection Point pertama kali diperkenalkan oleh Mayne (1962). Aplikasi pertamanya digunakan untuk pengolahan data dengan menggunakan redundancy atau perulangan data seismik. Dengan penjumlahan konstruktif dari inkoheren noise, rasio sinyal terhadap noise dapat ditingkatkan. Model kecepatan untuk melakukan stacking ini didapatkan dari data CMP gather.
Konsep CMP dan CRP pada dasarnya berbeda. CMP dan CRP akan bermakna sama pada kasus lapisan horizontal. Sedangkan pada kasus lapisan miring kedua konsep ini berbeda. Dalam tulisan ini konsep yang dipergunakan adalah konsep CMP, dimana CMP gather diurutkan dari data yang berbeda
(31)
pada titik tengah source dan receiver. Dengan terminologi ini, CMP gather tidak dapat diasosiasikan dengan titik reflector di bawah permukaan.
Pada akuisisi data seismik 2D, source dan receiver ditempatkan dalam satu garis lurus. CMP merupakan posisi yang didefinisikan sebagai titik tengah antara source dan receiver. Posisi midpoint Xm di lintasan seismik ihitung dari posisi xs dan receiver xg dengan persamaan:
... (2.9) Pasangan sorce dan receiver dari posisi CMP yang sama dikumpulkna dalam satu CMP Gather, jarak antara source dan receiver disebut offset. Titik tengah antara jarak tersebut didapat dari persamaan:
... (2.10) Pada medium dengan lapisan horizontal dan kecepatan konstan, CMP Gather merupakan kumpulan ray yang berasal dari satu titik reflector. Ray dikumpulkan dalam satu CMP gather seperti yang diilustrasikan gambar berikut.
Gambar 2.16 CDP Gather
Gambar di atas memperlihatkan data diurutkan dalam CMP gather sehingga CMP mengandung data yang berulang dari beberapa pasangan source
(32)
dan receiver. Hal ini merupakan dasar proses stack selama data yang berulang itu mengandung informasi dari satu titik refleksi yang sama untuk selanjutnya dijumlahkan secara konstruktif sehingga didapatkan data dari satu titik refleksi dengan kualitas rasio sinyal terhadap noise yang lebih baik.
2.5.2 Geometri
Pembangunan model geometri perlu dilakukan untuk memberikan konfigurasi dan label pada header data seismik yang dimiliki sehingga dapat memudahkan dalam processing data, seperti dalam sorting data. Sorting data sangat penting peranannya dalam processing data, karena untuk beberapa process, data harus disorting dalam parameter tertentu. Oleh sebab itu, parameter pembangun geometri haruslah sesuai dengan data yang dimiliki agar data yang digunakan dalam processing tidak keliru.
2.5.3 Filtering
Filtering adalah suatu proses pemilihan frekuensi yang dikehendaki dan membuang frekuensi yang tidak dikehendaki dari data seismik. Terdapat beberapa macam filtering antara lain : band pass, low pass (high cut), dan high pass (low cut). Dalam pengolahan data seismik, filter band pass lebih umum digunakan karena pada umumnya gelombang seismik akan terkontaminasi noise frekuensi rendah (seperti ground roll) dan noise frekuensi tinggi (ambinent noise). Berikut macam-macam filtering baik dalam time domain maupun frequency domain.
(33)
Gambar 2.17 Filtering 2.5.4 Edit dan Mute
Edit adalah untuk menghilangkan trace yang menyimpang pada saat akuisisi data. Mute adalah proses pemotongan sebagian data rekaman seismik yang dianggap sebagai noise (ground roll. direct wave, air blast, dll).
2.5.5 True Amplitudo Recovery
True Amplitudo Recovery atau Real Amplitudo Recovery adalah upaya untuk memperoleh amplitudo gelombang seismik yang seharusnya dimiliki. Saat perekaman, variasi amplitudo terjadi akibat geometrical spreading, atenuasi, variasi jarak sumber-penerima dan noise.
Variasi amplitudo di atas terbagi menjadi empat kategori:
1. Variasi amplitudo secara vertikal atau travel-time dependent. Variasi ini terjadi akibat geometrical spreading dan atenuasi.
(34)
2. Variasi lateral yang terjadi akibat: geologi bawah permukaan, efek coupling sumber dan penerima, serta perbedaan jarak sumber-penerima. 3. Variasi amplitudo yang muncul karena noise
4. Bad shots atau perekam yang mati/rusak.
2.5.6 Velocity Analisys
Analisa kecepatan sangat erat hubungannya dengan koreksi NMO. Koreksi NMO dilakukan dengan menggunakan kecepatan NMO hasil dari analisa kecepatan yang dilakukan pada CMP gather. Analisa kecepatan dilakukan dengan analisa koherensi dari tes hyperbola yang dikorelasikan dengan data pengukuran. Pada umumnya analisa kecepatan dilakukan secara interventif dengan memilih pasangan waktu zero offet dan kecepatan NMO yang memiliki koherensi paling tinggi. Berikut ilustrasi analisa kecepatan.
Gambar 2.18 Analisis Koherensi Semblance 2.5.7 Stacking
Stacking trace merupakan tahapan pengolahan data seismik dimana seluruh data trace seismik dikoreksi NMO kemudian di-stack (stacking).
(35)
Dalam proses stacking trace kecepatan yang digunakan ialah kecepatan stack. Kecepatan stacking dapat diperoleh dari hasil analisis kecepatan sebelumnya dengan melihat amplitudo stack yang paling optimum. Kecepatan ini seringkali disebut juga kecepatan NMO saja. Untuk jarak offset yang kecil, kecepatan stacking sama dengan kecepatan RMS.
Gambar 2.19 Ilustrasi Stacking
2.5.8 Migrasi
Migrasi merupakan proses pada pengolahan data seismik yang bertujuan untuk memindahkan reflektor miring ke posisi yang sebenarnya pada penampang seismik. Migrasi dapat dipandang suatu proses yang dapat meningkatkan resolusi spasial penampang seismik. Posisi data seismik hasil proses stacking belum berada posisi yang sebenarnya. Migrasi juga dapat menghilangkan efek difraksi yang masih tersisa. Proses migrasi berada dalam kawasan offset dan waktu.
(36)
Gambar 2.20 Ilustrasi Migrasi (Paul C.H. Veeken, 2007)
Metode migrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode penjumlahan Kirchoff (Kirchoff Summation). Migrasi ini dilakukan setelah proses stack. Kecepatan yang digunakan adalah kecepatan stack. Keuntungan metode ini dapat meresolusi struktur dengan kemiringan yang curam, Kelemahannya adalah tidak bisa dilakukan pada data dengan ratio sinyal-noise yang rendah atau data yang buruk.
(37)
2.6 Noise Dalam Seismik
Noise tidak dapat dipisahkan dari pengambilan data geofisika lapangan termasuk metode seismik. Dalam seismik noise dibagi menjadi dua yaitu coherrent noise dan ambient noise. Seluruh noise tidak akan pernah dapat dieliminasi dalam pengolahan data seismik. Tetapi, merujuk pada objektifitas dari data prosesing adalah menambah rasio Signal to Noise (S/N) sebaik-baiknya. Contoh-contoh yang akan dilampirkan berikut ini akan menolong mengenai pemahaman tersebut.
Table 2.1
Coherren Noise dan Ambient Noise
Coherrent Noise Ambient Noise
Ground Roll
Gelombang langsung Reverberasi
Noise dari kapal Difraksi dari Rig Jalur tiang listrik
Peralatan Perekaman
Sambungan Geophone yang buruk Spike
Cuaca/Angin
Noise dari well
Kendaraan bermotor Binatang-binatang
Karakteristik coherrent noise biasanya berbasis trace per trace membentuk suatu keteraturan. Difraksi akibat dari rig, contohnya, dapat dilihat pada tiap trace dan memungkinkan untuk memprediksi bagaimana noise tersebut hadir dalam trace berikutnya. Ambient noise, dengan kata lain, bersifat acak dan tidak terprediksi. Maka di sini terdapat perbedaan cara pengolahan untuk dua kelas noise tersebut. Perangkat ini akan didiskusikan dalam dua subbab berikut ini. Salah satu perangkat untuk mengurangi ambient noise dalam data seismik
(38)
adalah dengan stacking. Stacking merupakan salah satu perangkat yang paling efektif untuk menghilangkan random noise.
2.7 Multiple
Multiple adalah pengulangan refleksi akibat ’terperangkapnya’ gelombang seismik dalam air laut atau terperangkap dalam lapisan batuan lunak. Dalam rekaman seismik, masing-masing multiple akan menunjukkan “morfologi“ reflektor yang sama dengan reflektor primernya akan tetapi waktunya berbeda.
2.7.1 Klasifikasi Multiple Berdasarkan Lintasan
Berdasarkan lintasannya, multiple dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu multiple lintasan pendek (short-path multiple) dan multiple lintasan panjang (long path multiple).
a. Multiple Lintasan Pendek (short-path multiple)
Multiple lintasan pendek merupakan multiple yang memiliki beda waktu tempuh yang kecil dengan waktu tempuh pantulan primer, karena multiple ini terjadi pada suatu lapisan yang tidak terlalu tebal. Multiple ini sering kali berinterferensi dengan pantulan primer sehingga dapat merubah bentuk gelombang tersebut.
a. Ghost
Ghost diakibatkan oleh bidang batas air dan udara yang memiliki koefisien refleksi mendekati -1. hal ini berarti bahwa hampir semua energi yang bergerak ke atas (up going energi) akan direfleksikan kembali ke bawah.
(39)
b. Near Surface Multiple
Near Surface Multiple tidak dapat dipengaruhi oleh teknik lapangan. lintasan multiple ini mengalami penambahan pemantulan pada lapisan permukaan terdekat dari sumber atau penerima.
c. Intrabed Multiple dan Peg-Leg Multiple
Intrabed Multiple dan Peg-Leg Multiple melibatkan satu lapisan batuan, seringkali terjadi antara dua lapisan yang berbeda tipe akustiknya. ketebalan dan impedansi akustik dari lapisan menentukan bagimana multiple mempengaruhi pantulan primer.
d. Reverberasi
Reverberasi merupakan multiple lintasan pendek yang terjadi secara berulang, sering disebut dengan multiple water bottom.
b. Multiple Lintasan Panjang (Long-Parth Multiple) a. Peg-leg Multiple
Peg-leg multiple disebabkan oleh refleksi berulang baik lintasan yang bergerak ke bawah (down-goingpath) maupun lintasan yang naik ke atas (up-goingpath).
b. Intrabed Multiple
Intrabed Multiple disebabkan atau terjadi antara 2 pemantul batas atas dan batas bawah dari lapisan batuan tunggal
c. Interbed Multiple
Interbed Multiple terjadi anatar 2 pemantul yang terpisahkan oleh satu atau lebih pemantul lainnya. Multiple ini melibatkan satu atau lebih lapisan batuan.
(40)
Gambar 2.21 Ilustrsi Multiple
2.7.2 Multiple Supression
Teknik multiple suppression berdasarkan salah satu dari karakteristik multiple, (Yilmaz, 2001) yaitu:
1. Perbedaan moveout antara gelombang primer dan multiple (velocity discrimination).
2. Perbedaan dip antara gelombang primer dan multiple pada CMP Stack 3. Perbedaan frekuensi antara gelombang primer dan multiple.
(41)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian identifikasi rekahan pada lapisan sedimen di Barat Sumatera menggunakan data sekunder yang dimiliki oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pengolahan dan interpretasi data sekunder ini dilakukan di Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) dan Nusantara Earth Observation Network (NeoNet) BPPT, Jakarta pada bulan September 2009 sampai bulan Juni 2010.
3.2 Peralatan dan Data Penunjang
Penelitian ini menggunakan data sekunder sehingga peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan OS Linux Ubuntu dengan Focus 5.4. dan ParadigmGeodepth 8.2
3.3 Peralatan dan Parameter Akuisisi Data 3.3.1 Peralatan
Adapun peralatan yang digunakan di lapangan sebagai berikut: a. Vessel
b. Streamer c. Air gun
d. Perlengkapan navigasi
e. GPS f. Bird
g. Perangkat komputer
(42)
3.3.2 Parameter Akuisisi Data a. Recording Parameters
Parameter perekaman data yang digunakan adalah: 1) Recording System : Sercel Seal
2) Number of Traces : 240 ms 3) Record Length : 14000 ms
4) Sample rate : 2ms
5) Analog Lo-Cut : 3 Hz @ 6db/Octave 6) Digital Lo-Cut : 3 Hz
7) Hi-Cut : 200 Hz @ 370 dB/octave
LinearPhase
8) Start of record : -50 ms 9100 ms priorto FTB) 9) Digital Filter Delay : None
10)FluidSections (ALSI) : 17.4 V/bar NominalSensitivity 11)RecordingMedia : IBM359 / 256 tracks
12)TapeFormat : SEGD 8058 rev 2 32 bits IEEE 13)TapeBlocking : Disable
b. Streamer
1) Length : 3000
2) Depth : 9 m + 1 m
3) Shotpoint interval : 50
(43)
c. Source Parameters
1) SOL volume : 640 Cu in 2) EOL volume : 600 Cu in
3) Depth : 6 m
4) Pressure : 2100 psi
5) Sourcetofirst Near : 150 m Hydrophone
3.4. Prosedur Pengolahan Data
Prosedur Pengolahan data seismik menggunakan aplikasi Focus 5.4 dan Paradigm Geodepth 8.2 . Pada proses pengolahan data ini akan terbagi menjadi 3 tahap pengolahan data yang berbeda.
Pengolahan data 1, proses input data hingga picking velocity menggunakan program focus 5.4. Interval CDP yang digunakan untuk picking adalah 1000. Sedangkan migrasi menggunakan program Paradigm Geodepth 8.2 dengan nilai aperture 300 CDP atau 1200 meter.
Pengolahan data 2, proses input data hingga stacking menggunakan program focus 5.4. Sedangkan picking velocity dan migrasi menggunakan program Paradigm Geodepth. 8.2. Interval CDP yang digunakan untuk picking adalah 100 CDP dan nilai aperture untuk migrasi adalah 1000 CDP atau 6500 meter.
Pengolahan data 3, proses pengolahan data sama dengan pengolahan data 2 dengan Interval CDP yang digunakan untuk picking adalah 100 CDP. Namun nilai aperture untuk migrasi adalah 1920 CDP atau 12000 meter.
(44)
Adapun alur pengolahan data dapat dilihat pada bagan berikut:
3.4.1 Geometri
Geometri pada dasarnya berusaha mencocokan antara file number (terdapat di observer report) dengan data seismik yang direkam dalam 1 shot (dalam pita magnetic atau media penyimpanan yang lain). Koreksi akibat geometri dilakukan untuk mendapatkan informasi lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dimensi fisik survei lapangan, pada dasarnya adalah berupa penentuan posisi tiap-tiap trace dan titik tembak antara satu dengan yang lain.
INPUT DATA GEOMETRI
SORTand PROFILE
FILTER
NMOCORRECTION
STACKING
VELOCITYANALISIS
(45)
Dengan melakukan koreksi geometri diharapkan mendapatkan informasi yang benar tentang geometri daerah survei. Sehingga apabila kita memakai data CDP akan berasal dari titik refleksi yang sama. Parameter yang diisi dalam geometri aplikasi Focus adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Parameter Geometri
Parameter Jumlah
Samplerate 2 ms
Recordlength 14000 s
Jumlah shot 4900
Shotinterval 50
IntervalHidrophone 12.5
Nohidrophone terdekat 1
Jarak hidrophone terdekat dengan sumber 150 m
(46)
(47)
Kemudian membuat output dengan nama 102
Gambar 3.3 Label Output Raw Data 3.4.3 Profile dan Sort
Setelah input data selesai, kemudian dari data tersebut dibuat profil dan sort. Sort merupakan flow untuk menentukan headerentry suatu data.
(48)
Gambar 3.4 Profile and Short 3.4.4 Filter
Data yang terekam biasanya mengandung noise. Noise bisa mengganggu dan perlu ditekan keberadannya. Berikut adalah data sebelum difilter.
(49)
Gambar 3.6 Data Sebelum Difilter (Header CDP)
Dari kedua gambar di atas menunjukkan bahwa data tersebut sulit untuk dibaca. Oleh karena itu harus dilakukan filter. Filter yang digunakan adalah filter banpass.
(50)
(51)
3.4.5 Analisa Kecepatan
Setelah melakukan stacking akan dilakukan picking velocity. Informasi perubahan kecepatan pada tiap lapisan sangatlah penting. Proses ini untuk mendapatkan kecepatan yang tepat untuk melakukan migrasi. Semakin baik picking velocity maka akan semakin baik pula penampang seismik yang dihasilkan. Berikut ini adalah gambar input data untuk melakukan picking.
Gambar 3.8 Input Picking Velocity
Setelah menginput data dari hasil stacking kemudian muncul semblance untuk dilakukan picking.
(52)
Gambar 3.9 Proses Picking Pada Semblance Kecepatan
3.4.6 Stacking
Stacking merupakan penjumlahan trace-trace menjadi satu. Input stacking merupakan data hasil dari filter yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil stacking mirip atau hampir serupa dengan hasil migrasi. Hanya pada stacking masih terdapat difraksi yang disebabkan oleh patahan, rekahan atau pembajian.
(53)
(54)
3.4.7 Migrasi
Setelah melakukan stacking akan diperoleh kecepatan yang akan digunakan dalam proses migrasi. Proses migrasi merupakan proses untuk mengembalikan reflektor pada posisi sebenarnya sekaligus menghilangkan efek difraksi yang disebabkan patahan. Adapun proses migrasi dilakukan dengan menggunakan aplikasi ParadigmGeodepth 8.2.
Data hasil stack tidak bisa langsung digunakan untuk migrasi karena diolah dengan program focus 5.4. oleh karena itu data hasil stacking harus membuat output dalam format *.sgy agar bisa diolah oleh Paradigm Geodepth 8.2.
(55)
Selain data stacking terdapat kecepatan stacking yang harus diimport dari focus 5.4 dengan nama file kecepatan VEL102_D. Setelah format *.sgy terbentuk kemudian data tersebut bisa diproses oleh ParadigmGeodepth 8.2
Setelah data stacking dan kecepatan stacking diimport, migrasi dapat diproses. Berikut ini adalah tahap migrasi menggunakan paradigm geodepth 8.2. pada jendela 3D Tommography & Imaging pilih 2D Kirchoff Pre-stack Time Migration→P Wave→ TravelTimebyCurveFittingn (2ndor4thorder)
Gambar 3.12 Tahap Migrasi menggunakan Paradigm Geodepth 8.2 Kemudian akan muncul tahap-tahap yang harus diisi, seperti line dan parameter yang digunakan dalam migrasi. Options yang digunakan dalam tahap migrasi pertama yang digunakan adalah default dari ParadigmGeodepth 8.2.
(56)
(57)
Gambar 3.14 Output Migrasi 3.4.8 Mute
Mute adalah proses membuang data yang tidak diinginkan. Proses muting biasanya dilakukan sebelum migrasi. Namun penulis menggunakannya setelah migrasi untuk menghilangkan efek yang diakibatkan oleh penguatan amplitude. Muting dilakukan pada hasil migrasi yang sudah final.
(58)
(59)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Pengolahan Data 4.1.1 Geometri
Data lapangan 102 mempunyai dua file 2 raw data. Kedua data tersebut sebenarnya sama, namun memiliki nomor CDP yang berbeda. Raw data pertama memiliki no CDP 255-39685 sedangkan raw data kedua memilikii no CDP 9749-49051. Penulis mengolah raw data pertama pada proses pengolahan awal sebagai perbandingan. Sedangkan raw data kedua digunakan pada tahap untuk mendapatkan resolusi yang lebih baik dengan parameter yang sama pada tahap preprocessing namun berbeda pada processing yaitu pada proses stacking danmigrasi.
Data navigasi line 102 adalah 4o 09’664’’ LU, 92o44’620’’ BB sampai ke 2o 36’593’’ LU, 91o 10’691’’ BB dengan arah navigasi 225o atau mengarah timur laut. Data lapangan 102 merupakan rekaman seismik 2D sehingga memiliki dua variabel koordinat (x dan y) dengan mengasumsikan kapal bergerak lurus saat akuisisi dilakukan, maka koordinat source dan receiver menjadi fungsi satu variabel saja yaitu variabel jarak x, sedangkan variabel y dianggap konstan.
(60)
Adapun hasil dari geometri sebagai berikut:
Gambar 4.1 Output Geometri Berdasarkan Station
Gambar 4.1 yang ditunjukkan oleh kursor di atas memberikan informasi bahwa jumlah station secara keseluruhan adalah 196254, interval station 12 m, jumlah minimum station 1 dan maksimal station adalah 196254. Nomor station yang ditunjukkan oleh kursor adalah nomor 74625 dengan koordinat x yaitu 932775. Koordinat y adalah nol karena station dianggap konstan.
(61)
Gambar 4.2 Output Geometri Berdasarkan Shot
Gambar 4.2 memberikan informasi penembakan. Jumlah penembakan adalah 49000 dimulai dengan nomor 1 hingga 49000. Station penembakan terkecil 253 sedangkan station penembakan terbesar 196249. Nomor penembakan yang ditunjukkan oleh kursor adalah 13885 pada station penembakan 55789 dengan koordinat x 697350.
(62)
Gambar 4.3 Output Geometri Berdasarkan CDP
Gambar 4.3 memberikan informasi geometri berdasarkan CDP. Nomor terkecil CDP pada line tersebut adalah 1 sedangkan nomor CDP terbesar adalah 392508. Nomor CDP yang ditunjukkan oleh kursor adalah 237787 dengan koordinat x 1486162.
Gambar 4.4 Output Geometri Berdasarkan Kabel Informasi
CDP
(63)
Informasi kabel yang ditunjukkan oleh Gambar 4.4 adalah corak penembakan 1 jenis, yaitu end off. Jumlah jumlah chanel pada kabel tersebut adalah 240 dengan nomor chanel terdekat dengan source adalah 1. Nomor penembakan pada kabel yang ditunjukkan oleh kursor adalah 27851 denga station penembakan 111653.
4.1.2 Filter
Untuk menentukan nilai pada filter bandpass dilakukan dengan cara melihat frekuensi yang dimiliki oleh data tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara analisis spektrum. Penulis mengambil sampel CDP untuk dianalisis frekuensinya pada CDP 1010
Gambar 4.5 Frekuensi Analisis
Berdasarkan analisis frekuensi Gambar 4.5 penulis memilih parameter untukfilter banpass adalah frekuensi 15-95 Hz. Frekuensi ini dipilih karena sudah mewakili frekuensi yang dimiliki oleh data yang diolah. Berikut ini adalah data yang sudah difilter dengan filter bandpass dengan frekuensi 15-95 Hz.
(64)
Gambar 4.6 Hasil Filter 4.1.3 Analisa Kecepatan
Setelah picking selesai akan terbentuk suatu daftar kecepatan picking. Dari kecepatan ini migrasi dapat dilakukan. Hasil picking berupa RMS velocity, interval velocity, dan average velocity. Berikut adalah hasil picking yang telah dilakukan
(65)
Gambar 4.7 Daftar Kecepatan Hasil Picking
Dari daftar di atas akan menghasilkan display kecepatan pickingvelocity dan averagevelocity. Pickingvelocity dalam program Focus 5.4 dianggap sama dengan RMS velocity.
(66)
Gambar 4.9 RMSVelocity
Gambar 4.10 RMS Velocity
(67)
(68)
Pada proses stacking terlihat adanya gelombang difraksi. Berikut ini adalah sampel difraksi yang diambil pada penampang stacking dengan mode warna grayscale.
Gambar 4.12 Difraksi
Efek difraksi di atas terjadi karena adanya ketidakmenerusan pada lapisan. Efek difraksi dapat ditekan dengan cara migrasi.
(69)
Gambar 4.13 Hasil Migrasi Patahan
(70)
(71)
Gambar 4.15 Smile Effect
Gambar di atas menunjukkan adanya Smile Effect yang disebabkan oleh penentuan nilai aperture yang tidak tepat. Sehingga dengan nilai aperture 300 CDP menyebabkan Smile Effect.
4.2 Analisa Lanjut
Untuk memperbaiki kualitas data akan dilakukan beberapa perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Raw data yang diolah adalah raw data kedua. Raw data pertama CDP 255-39685 sedangkan raw data kedua memilikii nomor CDP 9749-49051. Walaupun nomor CDP berbeda tetapi isi data adalah sama.
2. Parameter filter yang digunakan tetap seperti pengolahan data sebelumnya. 3. Memperbaiki kecepatan stacking. Hal ini dilakukan dengan cara merubah interval CDP dari 1000 menjadi 100 agar presisi lebih baik. Selain itu memperhatikan intervalvelocity agar tidak ada yang negatif.
4. Merubah parameter ketika melakukan migrasi, seperti aperture, filter, dan koreksi sphericaldivergen.
(72)
4.2.1 Stacking Velocity
Dalam proses stacking ini program yang digunakan adalah Paradigm Geodepth 8.2. kelebihan menggunakan program ini adalah terdapat jendela-jendela kontrol picking yang menunjukkan pengolahan yang sedang dilakukan. Interval CDP yang digunakan adalah 100 CDP atau 650 meter.
Gambar 4.16 Jendela InteraktifPickingParadigmGeodepth 8.2
Semblance kecepatan
CMP gather
Garis yang menunjukkan posisi picking
(73)
Gambar di atas menunjukkan bahwa picking yang sedang dilakukan pada CMP 10500. Semblance kecepatan CMP 10500 ditunjukkan oleh jendela Picking Velocity. Untuk melihat picking yang dilakukan sudah tepat atau belum dapat dilihat pada jendela QC time gate. Jika amplitude terlihat sejajar maka posisi hasil picking sudah tepat.
Hasil dari stacking dapat dilihat pada verticalfunction sebagai berikut:
(74)
Hal yang perlu diperhatikan adalah interval velocity. Asumsi yang digunakan adalah semakin dalam suatu lapisan maka kecepatannya semakin meningkat. Oleh karena itu penentuan picking tidak boleh ada penurunan kecepatan kecuali jika ditemukan keberadaan suatu anomali seperti gas. Kesalahan picking dapat terlihat pada jendela interval velocity dalam bentuk penurunan grafik kecepatan.
Berikut ini adalah display hasil picking yang telah dilakukan dengan interval CDP 100 dalam bentuk section.
Gambar 4.18 StackingVelocitySection
Jika sudah tidak ditemukan adanya dalam penentuan kecepatan stacking maka proses migrasi selanjutnya dapat dilakukan.
4.2.2 Migrasi
Penulis akan melakukan 2 migrasi yang berbeda dengan ketentuan sebagai berikut:
(75)
1. Migrasi 1
Nilai aperture yang digunakan adalah 1000. Option yang dipilih pada migrasi adalah anti aliasing yang digunakan frequency band dengan strength 3 (medium). Koreksi amplitude geometrical spreading tidak dilakukan pada tahap ini.
Gambar 4.19 Options Migrasi 1 2. Migrasi 2
Nilai aperture yang digunakan adalah 1920 CDP atau 12000 meter. Options yang dipilih pada migrasi adalah anti aliasing yang digunakan triangular (precise) dengan strength 5 (storng). Koreksi amplitude akibat geometricalspreading dilakukan pada tahap ini.
(76)
Gambar 4.21 Hasil Migrasi 2
Gambar 4.21 merupakan hasil migrasi 2. Secara garis besar hasil dari migrasi 1 dengan hasil migrasi 2 berbeda jika berdasarkan resolusi yang dihasilkan walaupun patahan dapat terlihat dengan jelas. Namun penulis akan menunjukkan perbedaan yang terjadi antara penampang stacking, hasil migrasi 1 dan hasil migrasi 2.
(77)
(78)
(79)
(80)
Dari perbandingan 2 gambar tersebut terlihat perbedaan yang sangat signifikan. Pada Gambar 4.26 Penampang Migrasi Awal patahan sudah bisa diidentifikasi namun resolusi yang dihasilkan masih rendah atau penampang migrasi tersebut masih blur. Sedangkan pada Gambar 4.27 Hasil Migrasi Final patahan terlihat sangat jelas bahkan yang tidak teridentifikasi pada migrasi awal dapat diidentifikasi.
4.3 Interpretasi Patahan
Interpretasi patahan dilakukan pada penampang migrasi yang sudah final. Interpretasi dilakukan dengan cara menarik garis pada patahan tersebut. Patahan dapat diketahui dengan cara melihat ketidakmenerusan pada penampang seismik. Selain itu, patahan akan dicirikan dengan terbentuknya foot wall dan hanging wall. Kemudian akan dilakukan penarikan garis pada seabed dan basement. Penulis akan menginterpretasi patahan dengan sampel gambar 4.27 Penampang Migrasi Final.
Gambar 2.2s8 Ketidakmenerusan Pada Penampanng Seismik
Foot wall
Hanging wall
(81)
Gambar 4.29 Interpretasi Patahan
Dengan cara yang sama dilakukan interpretasi patahan secara keseluruhan pada Line 102. Adapun hasilnya sebagai berikut:
(82)
(83)
74
BAB V
KESIMPULAN
5.1Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Parameter migrasi terbaik yang menghasilkan penampang seismik dengan
resolusi tinggi untuk mengidentifikasi patahan adalah dengan memilih optionsantialiasing yamg digunakan triangular (precise) dengan strength 5 (strong) dan melakukan koreksi geometrical spreading serta penarikan nilai aperture untuk menghilangkan efek difraksi dengan nilai 1920 CDP atau 12000 meter.
2. Keberadaan patahan pada penampang seismik dapat diidentifikasi dengan cara melihat kemenerusan suatu lapisan. Ketidakmenerusan yang ditandai oleh keberadaan hanging wall dan foot wall menunjukkan suatu patahan. 3. Interpretasi patahan dilakukan dengan cara menarik garis sepanjang
ketidakmenerusan pada lapisan di penampang seismik.
5.2Saran
Dalam proses pengolahan data ini harus cermat dalam menentukan parameter seperti filter untuk menghasilkan kualitas penampang seismik yang baik. Selain itu penentuan kecepatan stacking sangatlah penting karena akan mempengaruhi hasil migrasi. Penentuan parameter yang telah dilakukan tidaklah mutlak. Dengan nilai parameter yang berbeda akan menghasilkan penampang seismik yang berbeda. Hal ini dimaksudkan sebagai pembanding.
(84)
Bradshaw, A. and Ng, M. 1987. Multiple Attenuation By Parabolic Stack Radon Transform: Geo-X Systems internal paper.
Dibyosaputro, Suprapto. 1997. Geomorfologi Dasar. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Giancoli. Douglas C. 2001. Fisika-Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Hampson, D, 1986, Inverse Velocity Stacking for Multiple Elimination. Canadian Journal Of Exploration Geophysics.
Ibrahim, Gunawan, dkk. 2001. Pengetahuan Seismologi. Jakarta: Badan Meteorologi dan geofisika.
Jusri, Tomi A. 2005. Panduan Pengolahan Data Seismik Menggunakan ProMax. Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB.
Lobeck. 1939. Geomorphology: An Introduction to the Study of Landscapes. New York: MgGraw-Hill.
Mayne. 1962. Common Reflection Point Horizontal Data Stacking Techniques. Geophysic.27, 927-938.
Mulfinger & Snyder. 1979. Earth Science. Greenville, South Carolina: Bob Jones University
Paul C.H. Veeken. 2007. Seismic Stratigraphy, Basin Analysis And Reservoir Characterization. France: Elseiver.
Prakoso, Pandhu., 2009, Pengolahan data seismik 2D Line 007 Lapangan X Mengguakan Software Focus 5.4 dan Geodept 8.2, Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Depok.
Priyono, Awali. 2001, Buku Ajar Seismik Eksplorasi untuk Bidang Ilmu Kebumia., Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung.
(85)
Rastogi, Richa., Yerneni, Sudhakar., dan Phadke, Suhas. 1997, Aperture Width Selection Criterion In Kirchhoff Migration. India: Center for Development of Advanced Computing, Pune University Campus, Ganesh Khind, Pune 411007.
Sacchi, M. and Ulrych, T. 1995. High-Resolution Velocity Gathers and Offset. Sudarja, Adiwikarta dan Akub Tisnasomantri. 1977. Geomorfologi Jilid I,
Bandung: IKIP Bandung.
Sukmono, S. 2007. Post And Pre Stack Seismic Inversionfor Hidrocarbon Reservoir Caracterization. Bandung: Departement Of Geofisical Engineering ITB.
Sun, Shuang., dan Bancroft, John C., 2001, The Migration Aperture Actually Contribute To The Migration Result.
Taner, M. T. and Koehler, F. 1969, Velocity spectra - Digital computer derivation and applications of velocity functions : Geophysics, Soc. of Expl. Geophys
(86)
(87)
Lampiran 3
(88)
Lampiran 4
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)