HUBUNGAN KETERIKATAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA (PEER GROUP) DENGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DI SMP N 2 GAMPING
BULLYING PADA REMAJA DI SMP N 2 GAMPING
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh
TIFFANI APRILIA
20120320153
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
(2)
i
KARYA TULIS ILMIAH
HUBUNGAN KETERIKATAN KELOMPOK TEMAN
SEBAYA (PEER GROUP) DENGAN PERILAKU
BULLYING PADA REMAJA DI SMP N 2 GAMPING
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh
TIFFANI APRILIA
20120320153
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
(3)
ii
HALAMAN PENGESAHAN KTI Karya Tulis Ilmiah
HUBUNGAN KETERIKATAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA (PEER
GROUP) DENGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DI SMP N 2 GAMPING
Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal : 1 Agustus 2016
Disusun oleh : TIFFANI APRILIA
20120320153
Dosen Pembimbing Dosen Penguji Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC Romdzati, S.Kep., Ns., MNS
... ... NIK : 19770627200204173056 NIK : 19820720200910173104
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sri Sumaryani, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Mat., HNC NIK : 19770313200104173046
(4)
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Tiffani Aprilia NIM : 20120320153 Program Studi : Ilmu Keperawatan
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, 1 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan,
(5)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur alhamdulillah atas terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini peneliti persembahkan kepada orang-orang yang selalu menginspirasi dan memotivasi dalam perjalanan hidup dan masa-masa kuliah. Tidak ada kata yang lebih pantas selain kata alhamdulillah dan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua yang membantu dan mendukung penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.
Terima kasih peneliti ucapkan kepada :
Orangtua saya tercinta yang telah mencucurkan keringat dan mencurahkan kasih sayang, dukungan dan semangat, serta doa restu sehingga kuliah yang peneliti jalani terselesaikan dan berjalan dengan lancar.
Ibu Ferika Indarwati, S.Kep., Ns., M.Ng selaku dosen pembimbing awal saya sampai sidang proposal yang selalu meluangkan waktu, membimbing, dan memotivasi saya sehingga bisa sampai pada tahap ini.
Ibu Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC selaku dosen pembimbing saya yang selalu meluangkan waktu dan tiada hentinya memotivasi sehingga Karya Tulis Ilmiah ini bisa terselesaikan.
Sahabat-sahabat saya Anggraito, Deva, Archil, Nadia, Hafidz, Bombay, Ina dan Elok yang memberikan semangat dalam kuliah dan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Teman-teman bimbingan Ahid, Bella, Dwi Rani, Hafidha, Azzam, Shandy, Linda dan Sari semoga kita menjadi yang terbaik.
Teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberikan semangat dan kenangan manis dalam perkuliahan.
Semua yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu terima kasih atas segenap doa dan dukungan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
(6)
v
MOTTO HIDUP
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah SWT” “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Al Insyirah : 5-6)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah ~Thomas
Alva Edison
If you want something you’ve never had, you must be willing to do something you’ve never done. Success is a journey, not a destination
Mustahil adalah bagi mereka yang tidak pernah mencoba ~ Jim Goodwin
Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna ~ Einstein
Kegagalan hanya terjadi bila kita menyerah.
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua ~ Aristoteles Tidak ada kesuksesan yang bisa dicapai seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras, keuletan, kegigihan, dan kedisiplinan ~ Chairul
Tanjung
Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan
anak-anak cerdas ~ Dian Sastrowardoyo
Better to feel how hard education is at this time rather than fell the bitterness of stupidity, later.
(7)
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya dan dengan didorong semangat dan daya upaya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Hubungan Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) dengan Perilaku Bullying Pada Remaja di SMP N 2 Gamping”.
Karya Tulis Ilmiah ini dibuat sebagai syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Sarjana Ilmu Keperawatan di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah ini berisikan tentang teori-teori mengenai perilaku bullying dan kelompok teman sebaya (peer group). Dalam membuat proposal ini penulis mendapat banyak masukan dari berbagai pihak oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Sri Sumaryani, M.Kep., Ns., Sp. Mat. HNC selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Ibu Ferika Indarwati, S.Kep., Ns., M.Ng selaku dosen pembimbing awal saya yang telah memberikan bimbingan, dorongan, dan bantuan pemikiran serta pengarahan yang sangat berguna dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
(8)
vii
4. Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan pemikiran serta pengarahan yang sangat berguna dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. 5. Romdzati, S.Kep., Ns., MNS selaku dosen penguji yang telah menguji Karya
Tulis Ilmiah ini.
6. Seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan bantuan dan dukungannya.
7. Pihak-pihak lain yang telah membantu peneliti menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun saya terima dengan senang hati. Mudah-mudahan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Yogyakarta, 17 Juni 2016
Penulis
(9)
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR dan TABEL ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
INTISARI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Perilaku Bullying ... 12
1. Pengertian Bullying ... 12
2. Faktor Penyebab Terjadinya Bullying ... 13
3. Macam-macam Bullying ... 16
4. Terjadinya Bullying ... 17
5. Dampak Bullying ... 18
B. Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) ... 19
1. Pengertian Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) ... 19
2. Perkembangan Keterikatan (Attachment) Pada Remaja ... 21
3. Karakteristik dan Keterikatan Kelompok Sebaya ... 23
4. Jenis Kelompok Teman Sebaya ... 26
5. Pengaruh Hubungan Kelompok Sebaya ... 26
6. Pengertian Remaja ... 29
7. Ciri-ciri Masa Remaja ... 29
C. Kerangka Konsep ... 31
D. Hipotesis Penelitian ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
A. Desain Penelitian ... 32
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 32
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
D. Variabel Penelitian ... 35
(10)
ix
F. Instrumen Penelitian ... 39
G. Teknik Pengumpulan Data ... 40
H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 41
I. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 45
J. Prosedur Penelitian ... 48
K. Etika Penelitian ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN ... 52
A. Hasil Penelitian ... 52
B. Pembahasan Penelitian ... 58
BAB V PENUTUP ... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA
(11)
x
DAFTAR GAMBAR dan TABEL
Gambar 2.1 Kerangka Konsep ... 31
Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner Keterikatan Kelompok Teman Sebaya ... 39
Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuesioner Perilaku Bullying ... 40
Tabel 3.3 Interpretasi Nilai r Validitas ... 42
Tabel 3.4 Interpretasi Nilai r Reliabilitas... 44
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja di SMP N 2 Gamping ... 53
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Hasil Analisis Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) ... 54
Tabel 4.3Distribusi Frekuensi Hasil Analisis Perilaku Bullying di SMP N 2 Gamping ... 54
Tabel 4.4Distribusi Frekuensi Hasil Karakteristik Remaja Berdasarkan Perilaku Bullying di SMP N 2 Gamping ... 55
Tabel 4.5Distribusi Frekuensi Hasil Karakteristik Remaja Berdasarkan Keterikatan Peer Group di SMP N 2 Gamping ... 56
(12)
xi
DAFTAR SINGKATAN
JHS : Junior High School
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP N : Sekolah Menengah Pertama Negeri SEJIWA : Semai Jiwa Amini
KPAI : Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia BK : Bimbingan dan Konseling
(13)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Survey Pendahuluan Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Validitas Lampiran 3 : Surat Ijin Penelitian
Lampiran 4 : Rekomendasi Penelitian Kantor Kesatuan Bangsa Lampiran 5 : Surat Ijin Penelitian BAPPEDA
Lampiran 6 : Surat Keterangan Kelayakan Etika Penelitian Lampiran 7 : Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 8 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 9 : Kuesioner Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer group)
Lampiran 10 : Kuesioner Perilaku Bullying
(14)
xiii
Tiffani Aprilia. (2016). Hubungan Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
dengan Perilaku Bullying Pada Remaja di SMP N 2 Gamping. Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Pembimbing : Ferika Indarwati, S.Kep., Ns., M.Ng
Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC
INTISARI
Perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara berulang oleh sebagian siswa atau lebih yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Di Indonesia, penelitian Sejiwa tahun 2008 pada sekitar 1.200 pelajar di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya menunjukkan angka kejadian
bullying di SMP sebesar 66,1%. Sarwono (2013) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku anak terhadap perilaku bullying adalah bergaul dengan teman-teman sebaya yang menyimpang sehingga mendapat pengakuan dari kelompok tersebut. Dari kejadian tersebut timbul adanya suatu keterikatan pada remaja, sehingga keterikatan (peer group) menjadi penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya dengan perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping.
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasional dengan metode
cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja kelas VII dan VIII yang berjumlah 399. Pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling dengan sampel 204 remaja dan instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan Spearman’s rho.
Sebanyak 147 remaja (72,1%) memiliki keterikatan peer group rendah dan remaja yang memiliki perilaku bullying berat ada 133 remaja (65,2%). Hasil analisis data didapatkan korelasinya -0,167, dimana p value 0,017 (p<0,05), maka terdapat hubungan dengan arah negatif.
Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) dengan perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping.
(15)
xiv
Tiffani Aprilia. (2016). The Correlation of Peer Group Attachment with Bullying Behavior
to Adolescent in JHS 2 Gamping. Scientific Research, Nursing Department, Muhammadiyah University of Yogyakarta.
Advisor : Ferika Indarwati, S.Kep., Ns., M.Ng
Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC
ABSTRACT
Bullying behavior is a negative conducted in over and over by some students or more that was attack because of the power an imbalance between the parties involved. In Indonesia, the research of Sejiwa in 2008 for about 1.200 students in Jakarta, Yogyakarta, and Surabaya show the incident bullying in the middle of 66,1%. Sarwono (2013) said that one of the factors that influence the behavior of children toward the bullying behavior is hang out with peer group who deviated from the group that got the admission. From that incident arised an attachment, so peer group attachment became important.
The purpose of this research was to know the correlation of peer group with bullying behavior in JHS 2 Gamping.
This study used quantitative correlational research with cross-sectional method. The population in this research used adolescent class VII and VIII that number of 399. The sample used stratified random sampling with number of sample 204 adolescent and the instrument of research used questionnaire. The analysis data in this research used the
Spearman’s rho.
The result as many as 147 adolescent (72,1%) has low peer group attachment, and
adolescent who have severe bullying behavior is 133 adolescent (65,2%). The result of correlation is -0,167, and p value 0,017 (p<0,05), it means that the correlations is negative.
Based on the result above showed there is a correlation between peer group attachment with bullying behavior in JHS 2 Gamping.
(16)
(17)
Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC
INTISARI
Perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara berulang oleh sebagian siswa atau lebih yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Di Indonesia, penelitian Sejiwa tahun 2008 pada sekitar 1.200 pelajar di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya menunjukkan angka kejadian bullying di SMP sebesar 66,1%. Sarwono (2013) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku anak terhadap perilaku bullying adalah bergaul dengan teman-teman sebaya yang menyimpang sehingga mendapat pengakuan dari kelompok tersebut. Dari kejadian tersebut timbul adanya suatu keterikatan pada remaja, sehingga keterikatan (peer group) menjadi penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya dengan perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping.
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasional dengan metode cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja kelas VII dan VIII yang berjumlah 399. Pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling dengan sampel 204 remaja dan instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan Spearman’s rho.
Sebanyak 147 remaja (72,1%) memiliki keterikatan peer group rendah dan remaja yang memiliki perilaku bullying berat ada 133 remaja (65,2%). Hasil analisis data didapatkan korelasinya -0,167, dimana p value 0,017 (p<0,05), maka terdapat hubungan dengan arah negatif.
Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) dengan perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping.
(18)
Tiffani Aprilia. (2016). The Correlation of Peer Group Attachment with Bullying Behavior to Adolescent in JHS 2 Gamping. Scientific Research, Nursing Department, Muhammadiyah University of Yogyakarta.
Advisor : Ferika Indarwati, S.Kep., Ns., M.Ng
Falasifah Ani Yuniarti, S.Kep., Ns., MAN., HNC
ABSTRACT
Bullying behavior is a negative conducted in over and over by some students or more that was attack because of the power an imbalance between the parties involved. In Indonesia, the research of Sejiwa in 2008 for about 1.200 students in Jakarta, Yogyakarta, and Surabaya show the incident bullying in the middle of 66,1%. Sarwono (2013) said that one of the factors that influence the behavior of children toward the bullying behavior is hang out with peer group who deviated from the group that got the admission. From that incident arised an attachment, so peer group attachment became important.
The purpose of this research was to know the correlation of peer group with bullying behavior in JHS 2 Gamping.
This study used quantitative correlational research with cross-sectional method. The
population in this research used adolescent class VII and VIII that number of 399. The sample used stratified random sampling with number of sample 204 adolescent and the instrument of research used questionnaire. The analysis data in this research used the
Spearman’s rho.
The result as many as 147 adolescent (72,1%) has low peer group attachment, and
adolescent who have severe bullying behavior is 133 adolescent (65,2%). The result of correlation is -0,167, and p value 0,017 (p<0,05), it means that the correlations is negative.
Based on the result above showedthere is a correlation between peer group attachment
with bullying behavior in JHS 2 Gamping.
(19)
1 A. Latar Belakang
Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di sekolah dapat menyebabkan anak merasa tidak bahagia sehingga anak tidak dapat mencapai potensinya secara maksimal (Wharton, 2005 dalam Latifah, 2012). Perilaku bullying muncul di segala tempat baik di sekolah dan lingkungan tempat tinggal, perilaku bullying tidak memilih umur atau jenis kelamin korban (Astuti, 2008 dalam Korua, 2015).
Perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara berulang oleh sebagian siswa atau lebih yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Contoh dari perilaku bullying antara lain mengejek, menyebarkan gosip, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), mengancam, menindas, memalak atau menyerang secara fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul (Olweus, 2002 dalam Nurhayanti, 2013). Kekerasan di institusi pendidikan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik antar teman, antar siswa, antar geng di sekolah, kakak kelas, bahkan
(20)
2
guru. Lokasi kejadiannya mulai dari ruang kelas, toilet, kantin, halaman, pintu gerbang, bahkan di luar pagar sekolah. Akibatnya, sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi siswa, tetapi justru menjadi tempat yang menakutkan dan membuat trauma. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk menimba ilmu serta membantu membentuk karakter pribadi yang positif ternyata malah menjadi tempat tumbuhnya praktek-praktek bullying. Korban bullying tidak hanya menderita ketakutan ke sekolah saja, bahkan banyak kasus bullying yang mengakibatkan korbannya meninggal. School bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Riauskina, Djuwita & Soesetio, 2005).
Bullying merupakan kekerasan di sekolah yang paling umum terjadi.
Menurut penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa 8 hingga 38 persen siswa menjadi korban bully (McEachern, et al., 2005). Angka kejadian bullying di dunia adalah sekitar 10% siswa SMP hingga 27% siswa SMA dilaporkan sering menjadi korban bully (Swearer & Doll 2001, dalam Karina 2013). Olweus (2002) mempelajari 140.000 anak di Norwegia antara usia 8-16 tahun, menemukan sekitar 15% dari mereka ditindas (Olweus, 2002 dalam Nurhayanti, 2013).
Di Indonesia sendiri, dari hasil penelitian Sejiwa tahun 2008 pada sekitar 1.200 pelajar di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya menunjukkan
(21)
angka kejadian bullying di SMP sebesar 66,1% (Sejiwa, 2010 dalam Karina 2013). Hasil studi oleh ahli intervensi bullying Huneck dalam Yayasan SEJIWA (Semai Jiwa Amini) tahun 2008 menyebutkan bahwa 10-60% siswa di Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun dorongan sedikitnya sekali dalam seminggu. Dua ciri penting bullying pada pelajar, yaitu bahwa
bullying dilakukan bersama-sama oleh sekelompok orang dan terjadi
berdasarkan hubungan dalam kelompok (Lagerspetz, Bjorqvist & Pelton 1988 dalam Karina, 2013).
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak di Indonesia (KPAI, 2014), saat ini kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Dari tahun 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar (Republika, 2014).
Sebagai kota pelajar, cukup mencengangkan bahwa ternyata di Yogyakarta, untuk tingkat SMP dan SMA kasus bullying termasuk yang paling tinggi dibandingkan Jakarta dan Surabaya (70,65%) (Juwita, 2009 dalam Sulvia, 2014).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan (Riyana dkk, 2009), terdapat beberapa kasus tentang perilaku bullying diantaranya adalah Badu (nama
(22)
4
telah disamarkan) salah seorang siswa kelas satu di salah satu SMP Negeri di Bantul, mengatakan saat masuk sekolah dirinya dan teman-teman beberapa kali dimintai uang oleh siswa kelas dua dan kelas tiga, karena takut Badu tak berani menolak atau melapor pada guru. Komar (juga bukan nama sebenarnya) siswa salah satu SMP di Bantul bahkan mengalami kekerasan secara fisik. Beberapa kali Komar dipukuli hingga merasakan sakit pada dada dan perut.
Disebutkan juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 dalam Pasal 54 ayat 1 menyebutkan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Serta ayat 2 yang menjelaskan bahwa perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. Peran pemerintah sangat diharapkan untuk lebih serius lagi menata sistem pendidikan karakter di lingkungan pendidikan, agar dapat melakukan deteksi dini dan pencegahan terhadap kasus bullying di kemudian hari. Namun, usaha pemerintah tersebut belum sepenuhnya terlaksana dengan baik sehingga masih banyak kasus yang masih terjadi.
Agama Islam sendiri melarang tindakan bullying atau kekerasan. Dalam surat Al-Hujuraat ayat 11 disebutkan :
(23)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri (baca : sesama saudara seiman) dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk (berbau kefasikan) sesudah seseorang beriman dan barang siapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman pada remaja dengan
berkurangnya dukungan sosial dan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk diterima pada lingkungan teman sebayanya. Hal ini didukung oleh penelitian Fleming dan Jacobsen (2009) yang mendapatkan hasil bahwa korban bullying lebih sering melaporkan tidak memiliki teman dekat jika dibandingkan dengan subjek yang tidak melaporkan pengalaman bullying. Korban yang mengalami bullying juga jarang menyatakan bahwa teman-teman sekelas bersikap baik dan suka menolong. Remaja mengandalkan teman sebaya untuk memberikan dukungan yang sebelumnya disediakan oleh keluarga (Frankel, 1990, Sebald, 1986 dalam Ramadhani, 2013). Penelitian Davis, 2005 dalam Tumon, 2014 menyebutkan bahwa perilaku bullying merupakan faktor resiko dalam berkembangnya depresi pada pelaku dan korban bullying. Dalam Sejiwa (2008) juga dijelaskan bahwa hal yang paling berat mengenai dampak psikologis dari bullying
yaitu munculnya rasa cemas yang berlebih, merasa ketakutan, depresi, dan memiliki keinginan untuk bunuh diri juga munculnya gejala gangguan
(24)
6
stress pasca trauma. Elliot dalam Mudjijanti (2011) mengatakan bahwa
bullying memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak
baik bagi si korban maupun pelaku. Akibat bullying pada korban : timbul perasaan tertekan karena pelaku menguasai korban, korban mengalami kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri merosot, malu, trauma, tak mampu menyerang balik, merasa sendiri/merasa tak ada yang menolong, serba salah dan takut sekolah, mengasingkan diri, menderita ketakutan sosial, cenderung ingin bunuh diri.
Hoover, et al (1998) mengatakan faktor penyebab terjadinya bullying
yaitu faktor internal dan eksternal. Sebagai faktor internal adalah karakteristik kepribadian, kekerasan yang dialami sebagai pengalaman masa lalu dan sikap keluarga yang memanjakan anak sehingga tidak membentuk kepribadian yang matang. Faktor eksternal yang menyebabkan kekerasan adalah lingkungan dan budaya.
Faktor-faktor penyebab terjadinya bullying menurut (Ariesto, 2009 dalam Mudjijanti, 2011) adalah keluarga, sekolah dan faktor kelompok sebaya. Bullying juga terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak, dan peraturan yang tidak konsisten. Perbedaan kelas, seperti senioritas, etnis, ekonomi, dan agama menjadi salah satu pemicu terjadinya bullying. Tradisi senioritas seringkali diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat laten, bagi mereka keinginan untuk melanjutkan masalah senioritas ada untuk
(25)
hiburan, penyaluran dendam, iri hati, atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi, atau untuk melanjutkan kekuasaan (Astuti, 2008, dalam Trevi, 2010). Sarwono (2013) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku anak terhadap perilaku bullying adalah bergaul dengan teman-teman sebaya yang delinkuen atau menyimpang. Manusia yang hidup berkelompok, tidak terkecuali pada remaja mereka berinteraksi dengan sesama mereka pada tingkat umur yang sama. Kelompok ini mudah terpengaruh dengan tingkah laku teman sebaya terutama tingkah laku yang melanggar peraturan atau disiplin, sehingga mendapat pengakuan dari kelompok tersebut (Yahaya et al, 2008).
Dalam hal ini, perawat perlu meneliti tentang perilaku bullying karena untuk mengetahui bagaimana perkembangan perilaku bullying remaja pada saat ini, dengan kita mengetahui perilaku bullying yang mereka lakukan, kita sebagai perawat diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan dan penanganan terkait kasus bullying. Disini peran perawat sebagai perawat komunitas di sekolah sangat penting. Perawat komunitas hendaknya tidak hanya memperhatikan masalah fisik saja, namun juga memperhatikan masalah psikologisnya.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada beberapa siswa kelas VII dan VIII di SMP N 2 Gamping, bahwa terdapat beberapa kelompok siswa yang melakukan perilaku bullying karena faktor dari lingkungan kelompok teman sebayanya (peer group). Perilaku bullying
(26)
8
mencubit, menendang dan lain-lain. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan keterikatan kelompok teman sebaya (peer
group) dengan perilaku bullyingpada remaja di SMP N 2 Gamping”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu “bagaimana hubungan keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) dengan perilaku bullying
pada remaja di SMP N 2 Gamping ?”. C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) dengan perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui keterikatan remaja dengan kelompok teman sebaya (peer group) pada remaja di SMP N 2 Gamping.
b. Untuk mengetahui bagaimana perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan mengenai dampak yang dapat muncul karena perilaku bullying. Peran perawat di komunitas terutama sekolah sangatlah penting, terutama
(27)
sebagai edukator untuk mencegah terjadinya bullying, serta dapat menangani dampak yang mungkin ditimbulkan karena perilaku
bullying remaja karena bisa menjadi masalah psikologis yang serius.
2. Bagi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti terkait perilaku bullying.
3. Bagi Pihak Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam mengambil suatu kebijakan yang tepat sasaran dan efektif terutama bagian Bimbingan dan Konseling (BK) agar lebih mengawasi perilaku kelompok teman sebaya yang melakukan bullying sehingga dapat mengurangi kejadian bullying pada remaja di sekolah.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dan merupakan pengalaman berharga dalam melatih kemampuan untuk melakukan penelitian.
E. Keaslian Penelitian
1. Karina, 2013. “Perilaku Bullying Dan Karakter Remaja Serta Kaitannya Dengan Karakteristik Keluarga Dan Peer Group”.
Penelitian ini dilakukan di Bogor. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif. Variabel karakteristik keluarga dan peer group adalah variabel independennya, sementara perilaku bullying adalah variabel dependen. Hasilnya adalah dalam penelitian ini keluarga
(28)
10
mempengaruhi perilaku bullying seperti usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan besar keluarga sehingga bullying masih banyak terjadi di kalangan remaja. Disebutkan juga bahwa dalam karakteristik peer group, remaja laki-laki cenderung lebih terbuka daripada peer group yang dimiliki remaja perempuan. Keterikatan dengan peer group memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan karakter hormat santun dan empati remaja serta hubungan positif yang signifikan dengan semua jenis perilaku bullying remaja. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada jenis penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada tempat penelitian, responden, jumlah responden dan waktu penelitian.
2. Irvan Usman, 2013. “Kepribadian, Komunikasi, Kelompok Teman Sebaya, Iklim Sekolah Dan Perilaku Bullying”. Jenis penelitian ini
adalah kuantitatif dan menggunakan teknik analisis regresi untuk menguji hipotesis penelitian. Hasilnya adalah diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh negatif yang signifikan antara kepribadian, komunikasi interpersonal remaja dengan orang tua, peran kelompok teman sebaya dan iklim sekolah terhadap perilaku bullying pada siswa SMA di kota Gorontalo. Semakin stabil dan baik kepribadian siswa, semakin baik komunikasi interpersonal yang dibangun remaja dengan orangtuanya, semakin besar peran kelompok teman sebaya untuk mengajak temannya dalam menerapkan norma-norma positif yang ada dalam masyarakat serta semakin kondusif iklim di sekolah maka
(29)
semakin rendah perilaku bullying pada siswa SMA di Kota Gorontalo. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada jenis penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada kerangka konsep, populasi, tempat penelitian dan waktu penelitian.
(30)
12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying
Berdasarkan penelitian SEJIWA (Semai Jiwa Amini) tahun
2008, bullying diilhami dari kata bull (bahasa inggris) yang berarti ‘banteng’ yang suka menanduk. Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah, mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri.
Bullying dapat didefinisikan sebagai sebuah tindakan atau perilaku agresif yang disengaja, yang dilakukan oleh sekelompok orang atau seseorang secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap seorang korban yang tidak dapat mempertahankan dirinya dengan mudah (Olweus, 2001) atau sebagai sebuah “penyalahgunaan kekuasaan/kekuatan secara sistematik” (Sharp & Smith, 1994).
School bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Levianti, 2008).
(31)
2. Faktor Penyebab Terjadinya Bullying
Menurut Ariesto (2009, dalam Mudjijanti, 2011) dan Kholilah (2012), penyebab terjadinya bullying antara lain : a. Keluarga
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah seperti orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan perilaku
bullying.
b. Sekolah
Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan
bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan
mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying
(32)
14
memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.
c. Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying
dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
Faktor internal penyebab terjadinya bullying : a. Karakteristik kepribadian
Menurut para ahli Yinger dan Cuber dalam Rafdi, 2012 kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian instruksi. Kepribadian merupakan gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang. Kepribadian seseorang yang baik sangat mendukung terbentuknya karakter yang baik dan sebaliknya. Jika karakteristik mewarnai semua aktifitas yang dilakukan seseorang, maka kepribadian adalah akibat dari semua aktivitas itu.
(33)
b. Pengalaman masa lalu
Pengalaman anak adalah suatu kejadian yang telah dialami anak di masa lalu. Pengalaman anak terhadap
bullying pada masa lalu dapat menjadikan anak sebagai
pelaku bullying di kemudian hari. Anak cenderung melakukan bullying setelah mereka sendiri pernah disakiti oleh orang yang lebih kuat. Anak yang sering menjadi korban bullying, kemungkinan besar akan ikut melakukan
bullying, atau setidaknya menganggap bullying sebagai hal
wajar dan akan membiarkan bullying terjadi begitu saja di lingkungannya tanpa melakukan tindakan untuk menghentikannya (sikap positif terhadap bullying) (Levianti, 2008).
c. Pola asuh
Brooks (2011) mendefiniskan bahwa pola asuh adalah sebuah proses dimana orang tua sebagai individu yang melindungi dan membimbing dari bayi sampai dewasa serta orang tua juga menjaga dengan perkembangan anak pada seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup : kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung, kebutuhan material seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, disiplin yang
(34)
16
bertanggung jawab, menghindarkan diri dari kecelakaan dan kritikan pedas serta hukuman fisik yang berbahaya, pendidikan intelektual dan moral, persiapan untuk bertanggung jawab sebagai orang dewasa, mempertanggung jawabkan tindakan anak pada masayarakat luas. Berdasarkan definisi pengasuhan di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan suatu proses perlakuan yang diaplikasikan oleh orang tua kepada anak yang terbentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar yang berlangsung seumur hidup, terikat, berproses, setulus hati dan penuh kasih sayang.
3. Macam-macam Bullying
Bullying terbagi menjadi 2 bentuk yakni perilaku bullying
fisik dan bullying non fisik. Bullying fisik merupakan tindakan yang melakukan kontak fisik secara langsung. Bullying non-fisik meliputi kontak verbal langsung, perilaku non-verbal langsung dan perilaku non-verbal tidak langsung (Rosada, 2012; Levianti, 2008).
Bullying fisik dapat berupa memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. Kontak verbal langsung meliputi mengancam, mempermalukan, merendahkan,
(35)
mengganggu, memberi panggilan nama (name-call-ing), merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gossip. Perilaku non-verbal langsung seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal. Perilaku non-verbal tidak langsung berupa mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng (Levianti, 2008).
4. Terjadinya Bullying
Terjadinya bullying di sekolah menurut (Salmivalli et al.,1996) merupakan proses dinamika kelompok dan di dalamnya ada pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah :
a. Bully yaitu pelaku langsung bullying. Siswa yang biasanya
dikategorikan sebagai pemimpin, dia berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying.
b. Assisting the bully yaitu orang yang menemani temannya
melakukan bullying. Dia juga terlibat aktif dalam perilaku
bullying, namun ia cenderung bergantung mengikuti
perintah bully.
c. Reinforcing the bully adalah mereka yang mendukung
(36)
18
terjadi, ikut menyaksikan, menertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya.
d. Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan
membantu korban, tetapi seringkali mereka menjadi korban juga.
e. Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu
terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli pada korban karena takut menjadi korban bully
selanjutnya.
f. Victim adalah orang yang seringkali menjadi sasaran bully.
Mereka biasanya memiliki fisik yang lemah, dan memiliki suatu kekurangan sehingga sering menjadi korban bully. 5. Dampak Bullying
Bullying memberikan dampak negatif terhadap pelaku dan
korban. Dampak terbesar dialami oleh korban bullying
(Soedjatmiko, 2013). Dampak yang dialami oleh korban
bullying adalah mengalami berbagai macam gangguan yang
meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low
psychological well-being) dimana korban akan merasa tidak
nyaman, takut, rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk di mana korban merasa takut ke sekolah bahkan tidak mau sekolah dan menarik diri dari pergaulan
(37)
(Akbar, 2013). Bullying merupakan tindakan intimidasi bagi anak. Intimidasi secara fisik ataupun verbal dapat menimbulkan depresi. Depresi pada anak-anak dan remaja diasosiasikan dengan meningkatnya perilaku bunuh diri (Firmiana, 2013). B. Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
1. Pengertian Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Menurut pakar Ainsworth (1978) mengatakan bahwa kelekatan atau keterikatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior)
yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut (Ervika, 2005).
Pembentukan identitas diri tidak diawali maupun diakhiri di masa remaja. Pembentukan tersebut dimulai dengan munculnya kelekatan (attachment), perkembangan suatu pemikiran mengenai diri, munculnya kemandirian di masa kanak-kanak, dan mencapai fase akhir dengan pemikiran kembali mengenai hidup dan pengintegrasian di masa tua (Santrock, 2003, h.344).
Chaplin (1999) mengartikan peer group atau kelompok teman sebaya adalah satu kelompok, dengan mana anak
(38)
20
mengasosiasikan dirinya. Sedangkan definisi kelompok sebaya menurut Santrock (2005) adalah “Peers are children or adolescent who are about the same age or maturity level”, yang berarti kelompok sebaya adalah anak atau remaja yang berada pada usia atau tingkat kematangan yang sama.
Kelompok teman sebaya atau peer group adalah sekelompok remaja yang memiliki kesamaan dalam usia atau tingkat kematangan, latar belakang sosial serta sikap dalam memilih aktivitas sekolah dan waktu luang (Muss, 1990, dalam Santrock, 2005). Monks, Knoers, dan Haditono (2006) mendefinisikan peer sebagai teman seperkembangan yang sering seusia tapi belum tentu demikian.
Horrock dan Benimoff (dalam Hurlock, 1999), menyatakan bahwa kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya.
Papalia dan Olds (2001), dalam Handayani, 2009 mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja
(39)
dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Neufeld (2004) berpendapat bahwa peer attachment
merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara seorang anak dengan teman-temannya, baik dengan seseorang maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan tersebut, seorang anak akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya. Teman sebaya akan menjadi penengah dari apa yang baik, apa yang terjadi, apa yang penting dan bahkan bagaimana mereka memiliki persepsi mengenai dirinya.
Barrocas (2009) juga berpendapat bahwa pada masa remaja terbentuk ikatan kelekatan dengan teman sebaya yang berhubungan dengan pikiran, perasaan dan emosi. Ketika masa perkembangan, seorang anak tidak hanya membentuk ikatan emosional dengan orang tua mereka, melainkan juga dengan orang lain. Transisi pada masa remaja ditandai dengan eksplorasi dan kemandirian baik fisik maupun psikologis, maka kehadiran seorang figur kelekatan (attachment) menjadi penting.
2. Perkembangan Keterikatan (Attachment) Pada Remaja
Attachment pada masa remaja merupakan kesinambungan
(40)
22
dengan pengasuh selama masa awal kehidupan dan akan terus berlanjut sepanjang rentang kehidupan (Cassidy dalam Tyas, 2010). Pada masa remaja, figur attachment banyak memainkan peran penting adalah teman sebaya (peer) dan orang tua. Keberadaan peer juga didukung dengan fakta masa remaja awal yang dikarakteristikkan sebagai masa peningkatan terjadinya konflik antara orangtua dan remaja dibandingkan dengan masa anak-anak dan akan menurun di masa remaja akhir (Santrock, 2003).
Sullivan (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa melalui interaksi teman sebaya lah anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan dan timbal balik dan setara. Anak-anak menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya, mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktivitas teman sebaya yang sedang berlangsung, Sullivan menambahkan alasan bahwa remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitif terhadap hubungan yang lebih akrab dengan menciptakan persahabatan yang lebih dekat dengan teman sebaya yang dipilih.
(41)
Rasyid (2012) dalam Issetianto (2015) mengutip pernyataan Armsden dan Greenberg bahwasannya pada usia remaja, individu akan membentuk ikatan lebih erat dengan teman sebayanya. Ikatan lebih erat dengan teman-teman terbentuk karena adanya jalinan komunikasi yang baik seperti : adanya ungkapan perasaan, masalah, dan kesulitan yang dialami individu pada teman sebaya; individu meminta pendapat dari teman sebayanya; teman sebaya menanyakan permasalahan yang dialami individu; teman sebaya membantu individu agar lebih memahami dirinya sendiri. Selain komunikasi, kepercayaan juga merupakan suatu produk dari suatu hubungan yang kuat, dimana kedua belah pihak merasa bisa saling bergantung satu sama lain. Kepercayaan akan berkembang dengan hadirnya teman ketika remaja membutuhkan dukungan mereka.
3. Karakteristik dan Keterikatan Kelompok Sebaya
Dalam Karina (2013), menyebutkan karakteristik dan keterikatan kelompok sebaya sebagai berikut :
a. Kelompok sebaya/peer group cenderung memiliki kelompok usia yang hampir rata-rata sama. Peer group
biasanya terdiri dari perempuan atau laki-laki saja (Hartup,1992). Anak dengan jenis kelamin yang sama biasanya memiliki minat yang sama pula. Kelompok dengan jenis kelamin yang sama ini membantu anak untuk belajar
(42)
24
perilaku gender yang sesuai dan mengintegrasikan peran
gender ke dalam konsep diri mereka (Hibbard &
Buhrmester, 1998).
b. Jenis pertemanan kelompok terbuka, sehingga ketika salah seorang dari mereka sedang memiliki masalah, mereka biasanya bercerita pada teman/kelompok sebayanya untuk mencari solusi. Mereka dapat mengembangkan kemampuan bersosialisasi dan berdekatan dengan orang lain, menambah hubungan serta memiliki perasaan memiliki. Mereka juga belajar memimpin dan berkomunikasi, bekerjasama, peran dan peraturan (Zarbatany, Hartmann, & Rankin, 1990). c. Memiliki pemimpin dan aturan dalam kelompok. Dalam
kelompok pertemanan sebaya, mereka biasanya memiliki pemimpin dalam kelompok mereka, namun ada juga kelompok yang tidak memiliki pemimpin. Aturan yang dibuat dalam kelompok juga tidak boleh dilanggar sehingga jika ada anggota yang melanggar bisa dikeluarkan dari kelompoknya atau dijadikan korban bully. Peraturan ini tidak tertulis dan orang dewasa biasanya tidak mengajarkan hal ini.
d. Aktivitas dalam kelompok. Anak laki-laki dan perempuan melakukan hal yang berbeda dalam peer group (Shulman et al., 1994). Anak laki-laki cenderung melakukan hal yang
(43)
membangun fisik mereka seperti olahraga. Aktivitas ini membantu mereka untuk mengungkapkan ekspresi diri dan menegaskan kekuasaan mereka, dimana mereka berlomba untuk menjadi pemimpin atau pemenang. Berbeda dengan kelompok laki-laki, anak perempuan lebih berorientasi pada verbal dan kedekatan secara emosional. Aktivitas mereka cenderung kepada membicarakan hal-hal yang menarik seputar minat dan aktivitas mereka.
e. Frekuensi pertemuan dalam kelompok sebaya. Pengaruh
peer group bagi anak ditentukan berdasarkan jumlah waktu
yang dihabiskan anak bersama peer groupnya. Peranan penting yang disediakan oleh peer group adalah pengalaman belajar yang unik (Keller and Edelstein, 1993). Kelompok remaja perempuan biasanya bertemu pada siang hari. Kebanyakan kelompok remaja laki-laki memilih berkumpul pada malam hari karena waktu bermain bagi anak laki-laki biasanya tidak dibatasi oleh orangtuanya, berbeda halnya dengan remaja perempuan. Lama bertemu dengan kelompok sebaya juga bervariasi. Antara 1-8 jam biasanya mereka bertemu, sehingga keterikatan dengan kelompok sebayanya pun semakin erat.
(44)
26
4. Jenis Kelompok Teman Sebaya
Menurut pendapat dari (Abu Ahmadi, 2009) ditinjau dari sifat organisasinya, kelompok sebaya dibedakan menjadi : a. Kelompok teman sebaya yang bersifat informal. Kelompok
sebaya ini dibentuk, diatur, dan dipimpin oleh anak sendiri
(child-origi-nated, child-constitude, child-directed). Yang
termasuk kelompok sebaya informal ini misalnya : kelompok permainan (play group), gang dan klik (clique).
b. Kelompok teman sebaya yang bersifat formal. Di dalam kelompok sebaya yang formal ada bimbingan, partisipasi, atau pengarahan dari orang dewasa. Kelompok sebaya formal ini, misalnya : kepramukaan, klub, perkumpulan pemuda, dan organisasi mahasiswa.
5. Pengaruh Hubungan Kelompok Sebaya
Teman-teman sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu dunia tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka remaja menemukan jati dirinya. Namun, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif, maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa remaja (Kartono, 2006).
(45)
Menurut Gerungan (2006), kenakalan remaja muncul akibat terjadinya interaksi sosial antara individu (remaja) dengan teman sebayanya. Peran interaksi dengan teman sebaya tersebut dapat berupa imitasi, identifikasi, sugesti dan simpati. Remaja dapat meniru (imitasi) kenakalan yang dilakukan teman sebayanya. Kuatnya pengaruh teman-teman sebaya yang mengarahkan remaja menjadi nakal atau tidak juga ditentukan bagaimana persepsi remaja terhadap teman sebayanya. Dengan kata lain, jika remaja melihat bahwa teman sebayanya adalah media yang tepat untuk menyalurkan keinginan negatif atau tujuan negatif lainnya, maka tinggi pulalah kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal. Penilaian seperti itu tentu saja penilaian negatif remaja terhadap teman sebayanya.
Banyak remaja yang terjerumus ke dalam kejahatan dan kenakalan karena pengaruh teman sebayanya yang buruk. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan berteman atau bergaul dengan teman-teman yang baik. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk
ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
(46)
28
mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau
asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan
Muslim 2628).
Hadits tersebut mengandung arti bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal duduk bersanding dengannya, kita akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’ad).
Kebaikan yang akan diperoleh seseorang yang berteman dengan orang yang shalih dan baik lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkanmu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu, memberimu nasehat, mengingatkan dari hal-hal yang membuat celaka, serta selalu memotivasi untuk mentaati Allah dan orangtua. Sebaliknya, jika bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita (Bahjatu Quluubil Abrar, 148).
(47)
6. Pengertian Remaja
Remaja (adolescence) diartikan sebagai individu yang sedang pada masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2003). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 15-18-21 tahun masa remaja akhir.
7. Ciri-ciri Masa Remaja
Havighurst (dalam Hurlock, 1999) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja bagi usia 12-18 tahun, yaitu : a. Perkembangan aspek-aspek biologis.
(48)
30
b. Menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri.
c. Mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan atau orang dewasa lain.
d. Mendapatkan pandangan hidup sendiri.
e. Merealisasi suatu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.
Dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman-teman sebaya. Dua macam arah gerak ini tidak merupakan dua hal yang berurutan meskipun yang satu dapat terkait pada yang lain. Hal itu menyebabkan bahwa adanya gerak yang pertama tanpa diikuti gerak yang kedua dapat menyebabkan rasa kesepian. Hal ini kadang-kadang dijumpai dalam masa remaja, dalam keadaan yang ekstrem hal ini dapat menyebabkan usaha-usaha untuk bunuh diri. Kualitas hubungan dengan orang tua dalam hal ini memegang peranan yang penting. Kelekatan yang tidak aman terhadap orang tua bila terjadi bersamaan dengan kemandirian akan menimbulkan perhatian yang berlebihan pada kepentingan sendiri, sedangkan kelekatan yang tidak aman bersamaan dengan ketergantungan menimbulkan orientasi konformisitis atau isolasi penuh kecemasan (Monks, 1999).
(49)
C. Kerangka Konsep
Faktor-faktor penyebab terjadinya bullying
(Hoover, et al 1998 dan Ariesto, 2009 dalam Mudjijanti, 2011) Gambar 2.1 Kerangka Konsep
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
D. Hipotesis
Ada hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya (peer group)
terhadap perilaku bullying pada remaja.
Perilaku
Bullying
Keluarga Sekolah
Karakteristik Kepribadian Pengalaman Masa Lalu
Pola Asuh Keterikatan Kelompok
Teman Sebaya
Usia dan Jenis Kelamin Jenis Pertemanan Kepemilikan Pemimpin
Aktivitas Kelompok Frekuensi Pertemuan
(50)
32 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat korelasional yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan hubungan antar variabel dan menjelaskan hubungan yang ditemukan (Nursalam, 2013). Metode yang digunakan adalah non-experiment dengan cross sectional. Cross
sectional yaitu variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi
pada obyek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkorelasikan keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) dengan perilaku bullying
pada remaja di SMP N 2 Gamping. B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dari penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII dan VIII yang terdaftar sebagai siswa di SMP N 2 Gamping Jalan Jambon, Kelurahan Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yaitu sebanyak 399 siswa
(51)
2. Sampel
Menurut Nursalam (2013), sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang kemudian dapat digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses penyeleksian populasi yang kemudian dapat mewakili populasi yang ada. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan VIII SMP N 2 Gamping, dengan jumlah sampel sebanyak 200 siswa. Besar sampel dihitung dengan rumus Slovin (Nursalam, 2013) sebagai berikut :
2 ) (
1 N d
N n
Keterangan : n : Besar sampel
d : Tingkat signifikansi (d=0,05) N : Besar populasi
n
=
2) 05 , 0 ( 399 1 399 = ) 0025 , 0 ( 399 1 399 = 9975 , 1 399 = 199,74 = 200
(52)
34
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
stratified random sampling. Stratified artinya strata atau kedudukan
subjek (seseorang) di masyarakat. Pada jenis sampling ini harus diyakinkan bahwa semua variabel yang diidentifikasi akan mewakili populasi (Nursalam, 2013). Sampel diambil dari kelas VII (A,B,C,D,E,F) dan kelas VIII (A,B,C,D,E,F). Untuk menentukan besar sampel yang diambil pada masing-masing kelas digunakan rumus sebagai berikut :
N = �ℎ �� � � �
�ℎ � � x jumlah total sampel
Data jumlah sampel tiap kelas adalah sebagai berikut : Kelas Jumlah
siswa
Sampel yang diambil
Kelas Jumlah siswa
Sampel yang diambil
VII A 32 16 VIII A 33 17
VII B 32 16 VIII B 34 17
VII C 34 17 VIII C 34 17
VII D 34 17 VIII D 34 17
VII E 32 16 VIII E 34 17
VII F 32 16 VIII F 34 17
Jumlah 196 98 Jumlah 203 102
Jumlah total populasi kelas VII dan VIII : 196 + 203 = 399 responden Jumlah total sampel kelas VII dan VIII : 98 + 102 = 200 responden
Jumlah sampel adalah 200 responden, untuk mengantisipasi peserta
drop out, maka peneliti melebihkan jumlah responden sebanyak 10%
sehingga jumlahnya menjadi 220. Namun, dalam proses pengolahan data jumlah kuesioner yang drop out ada sebanyak 16 kuesioner, sehingga kuesioner yang masih tersisa 4 ikut dimasukkan dalam sampel
(53)
penelitian. Jadi dapat disimpulkan bahwa jumlah keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 204 responden
a. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2013). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Siswa bersedia menjadi responden. 2) Hadir pada saat pengisian kuesioner.
b. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/menggugurkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2013). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Siswa tidak mengisi kuesioner dengan lengkap. C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di SMP N 2 Gamping, Jalan Jambon, Kelurahan Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2016, sedangkan waktu pengambilan data dilakukan selama empat hari pada tanggal 11, 12, 14 dan 18 Februari 2016. D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen (Bebas)
Menurut Nursalam (2013), variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variabel lain. Variabel independen dalam penelitian ini adalah keterikatan kelompok teman sebaya (peer group).
(54)
36
2. Variabel Dependen (Terikat)
Menurut Nursalam (2013), variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku bullying.
E. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman dan pengukuran setiap variabel yang ada dalam penelitian, setiap variabel dirumuskan secara operasional. Adapun definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Keterikatan Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Keterikatan kelompok sebaya merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara seorang anak dengan teman-temannya, baik dengan seseorang maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan tersebut, seorang anak akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya (Neufeld, 2004). Alat ukur keterikatan dengan kelompok sebaya adalah kuesioner, dengan skala ordinal. Peneliti membuat kuesioner berdasarkan kisi-kisi dari Ramayanti (2000), dalam Karina 2013. Penilaian dilakukan dengan desain pengukuran skala Guttman
karena jenis kuesioner adalah pertanyaan tertutup (dichotomy question)
dengan dua alternatif jawaban, yaitu “Ya” dan “Tidak ”. Jawaban “Ya” mendapat skor 1 dan jawaban “Tidak” mendapat skor 0. Kuesioner ini terdiri dari 25 pertanyaan. Alternatif jawaban pada setiap butir soal dijumlahkan kemudian dibandingkan dengan jumlah butir dikalikan
(55)
100%. Hasil berupa persentase untuk menilai tingkat keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) terhadap perilaku bullying dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
P =
N X
x 100%
Keterangan :
P = Persentase
X = Jumlah alternatif jawaban N = Jumlah seluruh butir pertanyaan
Jumlah persentase tersebut untuk mengetahui tingkat keterikatan dengan kelompok teman sebaya (peer group) yaitu tinggi, sedang dan rendah, kemudian hasilnya dimasukkan ke dalam kategori kualitatif yaitu :
a. Tinggi : 76-100% b. Sedang : 56-75% c. Rendah : <56% 2. Perilaku Bullying
Perilaku bullying adalah tindakan anak untuk berlaku negatif secara
berulang-ulang dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman. Alat ukur perilaku bullying ini adalah kuesioner, dengan skala ordinal, dan desain pengukuran menggunakan skala Likert.
Peneliti membuat kuesioner berdasarkan perilaku bullying menurut Levianti (2008). Kuesioner terdiri dari 25 pernyataan dengan dengan skor
(56)
38
terendah 1 dan tertinggi 4. Alternatif jawaban responden adalah Sangat Setuju “SS” skor 4, Setuju “S” skor 3, Tidak Setuju “TS” skor 2, dan Sangat Tidak Setuju “STS” skor 1, untuk pertanyaan favourable, lalu untuk pertanyaan unfavourable Sangat Setuju “SS” skor 1, Setuju “S”
skor 2, Tidak Setuju “TS” skor 3, dan Sangat Tidak Setuju “STS” skor 4. Jawaban pada setiap butir soal dijumlahkan kemudian dibandingkan dengan jumlah butir dikalikan 100%. Hasil berupa persentase untuk menilai tingkat perilaku bullying dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
P =
N X
x 100%
Keterangan :
P = Persentase
X = Jumlah alternatif jawaban N = Jumlah seluruh butir pertanyaan
Jumlah persentase tersebut untuk mengetahui tingkat perilaku
bullying remaja yaitu berat, sedang dan ringan, kemudian hasilnya
dimasukkan ke dalam kategori kualitatif yaitu : a. Berat : 76-100%
b. Sedang : 56-75% c. Ringan : <56%
(57)
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data (Arikunto, 2006). Alat pengumpulan data yang dibuat dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah suatu daftar pertanyaan berupa formulir yang diajukan secara tertulis dimana responden tinggal memberikan jawaban dengan tanda tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Kuesioner untuk mengukur keterikatan kelompok teman sebaya (peer
group) terdiri dari inisial nama, jenis kelamin, kelas, usia dan pengisian
tentang keterikatan yang masing-masing terdiri dari satu item pernyataan. Kuesioner kedua digunakan untuk mengukur perilaku bullying remaja di SMP N 2 Gamping.
Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner Keterikatan Kelompok Sebaya
No Variabel Indikator No Item Jumlah
1. Keterikatan Kelompok Sebaya
1. Usia dan jenis kelamin 1,2 2
2. Jenis Pertemanan 3,4,5,6 4
3. Kepemimpinan 7,8,9,10,11,12 6
4. Aktivitas kelompok 13,14,15,16,17 5
5. Frekuensi pertemuan 18,19,20,21 4
(58)
40
Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuesioner Perilaku Bullying
No Variabel Indikator Favourable Unfavourable Jumlah 1. Perilaku
Bullying
1. Bullying
fisik
1,3,6,7,20 2,4,5 8
2. Bullying
verbal langsung
8,9,11,13 10,12 6
3. Perilaku non verbal langsung
14,15 16 3
4. Perilaku non-verbal tidak langsung
18 17,19 3
Jumlah 12 8 20
G. Teknik Pengumpulan Data
Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti, dalam bentuk pernyataan dengan memilih alternatif jawaban yang disediakan. Kuesioner yang diberikan kepada responden terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Tata cara pengumpulan data adalah peneliti datang ke SMP N 2 Gamping, responden diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan kedatangan dan membina hubungan saling percaya agar bersedia dijadikan sampel penelitian. Kemudian peneliti dibantu oleh 2 orang asisten peneliti untuk membagikan kuesioner pada responden. Setelah selesai mengisi kuesioner, kuesioner dikembalikan dalam keadaan tertutup. Selanjutnya peneliti dibantu asisten peneliti membagikan souvenir sebagai kenang-kenangan.
(1)
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Wiyani tentang gambaran kekerasan di SMP di tiga kota besar yaitu Yogyakarta 77,5% (mengakui ada kekerasan) dan 22,5% (mengakui tidak ada kekerasan), Surabaya 59,8% (ada kekerasan), dan Jakarta 61,1% (ada kekerasan)17. Budaya bullying (kekerasan) tersebut masih terus terjadi di kalangan remaja karena senioritas, solidaritas, dan ingin diterima di kelompoknya. Sehingga dampak dari bullying tersebut tentu akan menimbulkan masalah bagi remaja terutama masalah psikologis. Mereka akan merasa tertekan, takut, tidak nyaman, malu dan stress18.
Penelitian-penelitian lain juga menunjukkan bahwa peserta didik yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul18. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Nurhayanti (2013) yang meneliti tentang perilaku bullying di SMA menunjukkan bahwa perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa
adalah termasuk rendah yaitu sebanyak 51 siswa (58%), namun dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan apakah siswa laki-laki atau perempuan yang memiliki kategori rendah1.
D.Hubungan Keterikatan
Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) dengan Perilaku Bullying
Berdasarkan tabel 4.6 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) terhadap perilaku bullying dengan nilai p=0,017, dengan kekuatan korelasi sangat lemah (-0,167) dan arah korelasi negatif. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nation et al., (2007) yang menemukan bahwa perilaku bullying disebabkan oleh tekanan dari teman sebaya agar dapat diterima dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya adalah sekelompok teman yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan siswa dapat berinteraksi, bergaul, bertukar pikiran, dan pengalaman dalam memberikan
(2)
perubahan dan pengembangan dalam kehidupan sosial dan pribadinya23,24.
Menurut Neufeld dalam Karina (2013) peer attachment merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara seorang anak dengan teman-temannya, baik dengan seseorang maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan tersebut, seorang anak akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya. Penelitian Karina menunjukkan bahwa keterikatan dengan peer group memiliki hubungan positif signifikan dengan perilaku bullying. Hal ini terlihat pada kelompok remaja laki-laki yang memiliki keterikatan dengan peer group lebih tinggi. Sementara pada kelompok remaja perempuan keterikatan dengan peer group adalah rendah yang menunjukkan bahwa keterikatan dengan peer group dapat mempengaruhi kualitas karakter seseorang3.
Menurut Mappiare (1982:157) kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan anggota keluarganya. Perkembangan teman sebaya dengan pengaruh yang cukup kuat merupakan hal penting dalam masa-masa remaja. Pada kelompok teman sebaya untuk pertama kalinya remaja menerapkan prinsip-prinsip hidup bersama dan bekerja sama. Jalinan yang kuat itu terbentuk norma, nilai-nilai dan simbol-simbol tersendiri yang lain dibandingkan dengan apa yang ada di rumah mereka masing-masing19. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok teman sebaya sangat berpengaruh terhadap citra diri remaja. Remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya, karena mereka menganggap bahwa teman sebaya dapat memahami keinginannya sehingga mereka ingin menghabiskan waktunya dengan teman-temannya. Remaja dalam bergaul dengan teman sebaya
(3)
merasa diberi status dan memperoleh simpati19.
Remaja lebih banyak beraktivitas di luar rumah bersama dengan teman sebayanya. Jadi dapat dimengerti bahwa sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada keluarga. Di dalam kelompok sebaya, remaja berusaha menemukan konsep dirinya. Disini ia dinilai oleh teman sebayanya tanpa memperdulikan sanksi-sanki dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan lingkungan, yaitu dunia tempat remaja melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya. Hubungan pertemanan kelompok sebaya juga memiliki pengaruh yang cukup kuat, sehingga seseorang yang telah memiliki suatu kedekatan dengan kelompoknya, dia akan dapat berbicara terbuka dan jujur25.
Menurut penelitian Karina (2013) bahwa yang menarik dari penelitian ini adalah remaja laki-laki yang berasal dari keluarga yang berpendapatan lebih rendah cenderung berhubungan dengan meningkatnya skor perilaku membantu melakukan bullying (assisting the bully). Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena remaja dari keluarga berpendapatan rendah melakukan assisting the bully agar dapat diterima oleh kelompoknya3. Dari sinilah remaja akan mulai diterima oleh kelompok, memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan merupakan tempat remaja menemukan dunia yang memungkinkan mereka untuk bertindak apabila mampu bertindak sebagai pemimpin7.
Menurut Garnier dan Stein (2001) menunjukkan bahwa pada usia remaja, peer group memiliki pengaruh yang nyata terhadap penggunaan narkoba dan kenakalan remaja. Santrock (2007) mengatakan bahwa keterikatan
(4)
remaja dengan peer group yang terlalu kuat dapat kurang mendukung untuk meningkatkan potensi karakter pada diri remaja dan justru mendukung dalam hal-hal yang buruk seperti perilaku bullying. Besarnya peranan peer group dalam kehidupan remaja disebabkan oleh kebutuhan dari remaja untuk disukai oleh teman-temannya dan ini membuat kebanyakan dari mereka akan melakukan apapun yang dapat membuat mereka diterima oleh kelompok7.
Pengakuan perilaku kebaikan dan keburukan dari remaja memperlihatkan bahwa remaja telah dapat membedakan hal yang baik dan buruk, yang menurut Lickona remaja telah sampai pada kesadaran moral (moral knowing). Namun melihat banyaknya remaja yang melakukan perilaku bullying menunjukkan bahwa remaja belum sampai pada tahap moral feeling dan moral action, yang mana jika mereka sudah merasakan keinginan untuk melakukan hal yang baik
maka mereka akan selalu melakukan hal tersebut20.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan :
1. Terdapat hubungan antara keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) dengan perilaku bullying pada remaja di SMP N 2 Gamping dengan p value 0,017, kekuatan korelasi sangat lemah dan arah negatif.
2. Keterikatan kelompok teman sebaya (peer group) pada remaja di SMP N 2 Gamping adalah rendah yaitu sebanyak 147 responden (72,1%).
3. Perilaku bullying yang dilakukan remaja di SMP N 2 Gamping memiliki kategori berat yaitu sebanyak 133 responden (65,2%). Saran
Dari penelitian di atas, disarankan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian serupa dapat memperbaiki kuesioner agar hasil yang diharapkan bisa lebih maksimal dan semoga hasil
(5)
penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan referensi yang bermanfaat.
Referensi:
1. Nurhayanti, R. (2013). Tipe Pola
Asuh Orang Tua Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Bullying Di SMA Kabupaten Semarang. [Thesis]. Semarang. 2. SEJIWA. (2008). Bullying
Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo.
3. Karina (2013). Perilaku Bullying Dan Karakter Remaja Serta Kaitannya Dengan Karakteristik Keluarga Dan Peer Group. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konseling. Vol.6 No.1. Hal 20-29. Januari 2013.
4. Sarwono, S.W. (2013). Psikologi
Remaja. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
5. Yahaya, A., & Ahmad, A.L. (2011). Persepsi guru dan pelajar terhadap perlakuan bullying di kalangan pelajar Sekolah Menengah Daerah Batu Pahat. Jurnal Teknologi. 43 (5), 63-66. 6. Olweus, D. (2001). Peer
Harassment: A Critical Analysis and Some Important Issues.New York : Guilford Publication : p.3-20.
7. Santrock, J.W. (2007). Remaja:
Perkembangan Masa Hidup.
Jakarta. Erlangga. Hal 268.
8. Nurhuda, A. (2011). Hubungan
Konformitas dan Perilaku
Bullying pada Siswa SMA
[Skripsi], Depok: Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia. 9. Olweus. (2003). Bullying.
http://www.olweus.org/public/bull ying.page diakses 5 Desember 2015.
10. Saputri, L. E. (2012). Pengaruh Gaya Pengasuhan Orang Tua dan Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Bullying Remaja Sekolah
Menengah Pertama (SMP)
[Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 11. Mirani, E. (2011). Pengaruh
Konseling Genetik pada Tingkat Kecemasan dan Depresi Terhadap Penentuan Gender Ambigus Genitalia. [Thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
12. Hastuti, D. (2011). Analisis
Pengaruh Model Pendidikan
Prasekolah pada Pembentukan
Anak Sehat, Cerdas dan
Berkarakter [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor.
13. Priyono A., Amin C., & Martini K. T. (2009). Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
14. Magfirah, U. (2011) Hubungan Antara Iklim Sekolah Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
15. Ainsworth. (1978). The Book
Patterns of Attachment: A
(6)
Strange Situation. New York: Halsted Press
16. Walgito, B. (1997). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
17. Wiyani, N.A. (2012). Save Our Children From School Bullying. Yogyakarta : Ar-Rus Media. 18. Mudjijanti, F. (2011). School
Bullying Dan Peran Guru Dalam
Mengatasinya. Naskah Krida
Rakyat. Desember 2011.
19. Mappiare, A. (1982). Psikologi
Remaja. Surabaya: Usaha
Nasional.
20. Korua, S.F. (2015). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja SMK Negeri 1 Manado. E-jurnal Keperawatan. Vo.3. No. 2. Mei 2015.
21. KPAI. (2014). Kasus Bullying dan
Pendidikan Karakter
http://www.kpai.go.id/berita/kpai- kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/#comment-473 diakses 5 Juni 2015.
22. Benitez, J. L., & Justicia, F. (2006). Bullying: Description and analysis of the phenomenon. Electronic Journal of Research in
Educational of
Psychology, 4 (9), 151-170. 23. Nation, M., Vieno, A., Perkins, D.
D., & Santinello, M. (2007). Bullying in school and adolescent sense of empowerment: An analysis of relationship with parents, friends, and teachers. Journal of Community & Applied Social Psychology, 10 (3),115-127.
24. Usman, Irvan. (2013).
Kepribadian, Komunikasi,
Kelompok Teman Sebaya, Iklim Sekolah Dan Perilaku Bullying. Humanitas, Vol. X No.1 Januari 2013.
25. Depkes. (2012). Pedoman Pengelolaan Pusat Informasi dan
Konseling Remaja dan
Mahasiswa (PIK