Hasil 1. Primer marka molekuler

ikan nila dan ikan gurame adalah N2 = 90 dan G2 = 97. Kisaran rasio bagi masing-masing DNA adalah 1,948-2,550 untuk ikan nila dan 1,887-2,166 untuk ikan gurame. Berdasarkan standar Brown 1995, rasio yang diperoleh menunjukkan bahwa hasil ekstraksi DNA ikan nila dan ikan gurame tidak terkontaminasi oleh protein atau pun fenol. 4.1.3. Amplifikasi DNA dengan PCR Berdasarkan suhu annealing dan lama waktu ekstensi dari kandidat primer marka molekuler yang digunakan, diperoleh kondisi untuk proses amplifikasi PCR seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Program PCR berdasarkan kandidat primer yang dihasilkan Program PCR Primer GH ikan gurame Primer vasa ikan gurame Primer Beta-aktin F2VSGR F1VSGR Pre- Denaturasi 94 o C selama 3 menit 94 o C selama 3 menit 94 o C selama 3 menit 94 o C selama 3 menit Denaturasi 94 o C selama 30 detik 94 o C selama 30 detik 94 o C selama 30 detik 94 o C selama 30 detik Annealing 58 o C selama 30 detik 61 o C selama 30 detik 58 o C selama 30 detik 63 o C selama 30 detik Ekstensi 72 o C selama 45 detik 72 o C selama 45 detik 72 o C selama 45 detik 72 o C selama 30 detik Ekstensi akhir 72 o C selama 3 menit 72 o C selama 3 menit 72 o C selama 3 menit 72 o C selama 3 menit Jumlah siklus 35 35 35 35 Berdasarkan Tabel 2, bahwa primer untuk marka molekuler GH dapat anneal pada sekuen DNA ikan gurame pada suhu 58 o C dan durasi ekstensi 45 detik, sedangkan marka vasa dengan kombinasi suhu annealing 61 o C dan lama waktu ekstensi 45 detik. Kombinasi suhu annealing 63 o C dan lama waktu ekstensi 30 detik adalah kondisi standar yang digunakan bagi primer β-aktin. Suhu annealing ditentukan berdasarkan persentase basa nukleotida G dan C, serta jumlah total basa nukleotida masing-masing primer marka molekuler. Untuk primer marka molekuler vasa kedua F1VSGR, kondisi PCR yang digunakan yakni suhu annealing 58 o C dan durasi ekstensi 45 detik, tidak dihasilkan produk PCR Gambar 5, sehingga primer tersebut tidak dapat digunakan sebagai marka molekuler untuk mengidentifikasi sel gonad ikan gurame. Hal ini diduga karena adanya intron yang memotong tepat pada sekuen target vasa F1VSGR. Analisis sekuen DNA genomik vasa diperlukan untuk membuktikan adanya intron. Gambar 5. Elektroforegram ketidakberhasilan proses amplifikasi dengan primer marka molekuler vasa F1VSGR M= marker; G1-G2=sampel DNA gurame; N1-N2=sampel DNA nila

4.1.4. Uji spesivitas primer

Kandidat primer marka molekuler yang dihasilkan pada poin 4.1, diuji spesivitasnya berdasarkan kondisi program PCR yang dibuat pada Tabel 1. Spesitivitas primer GH dan vasa pertama F2VSGR ditunjukkan dengan pita produk PCR yang jelas dan konsisten Gambar 6, dengan panjang produk masing-masing adalah 340 dan 300 bp. Produk PCR hanya diperoleh menggunakan templet DNA ikan gurame, artinya kedua primer tersebut hanya mengikat secara spesifik sekuen DNA gurame. Hal ini mengindikasikan bahwa primer GH dan vasa pertama bersifat spesifik dan dapat dijadikan sebagai marka molekuler untuk mengidentifikasi sel gonad ikan gurame. Sebagai kontrol internal loading DNA, primer β-aktin didisain untuk bisa anneal pada DNA ikan gurame dan ikan nila. Hasil PCR menunjukkan bahwa primer tersebut menghasilkan pita produk PCR dari cetakan DNA gurame dan nila Gambar 6. Gambar 6. Eletroforegram spesivitas primer GH dan vasa, serta β-aktin sebagai kontrol internal M = marker; N1-N3=sampel DNA ikan nila; G1-G4 = sampel DNA ikan gurame

4.1.5. Uji sensitivitas PCR dalam membedakan DNA gurame dan nila

Hasil pengujian sensitivitas PCR dalam membedakan DNA gurame dan nila ditunjukkan pada Gambar 7. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sensitivitas PCR dalam mendeteksi rasio terendah DNA gurame pada saat tercampur dengan DNA nila. Dari hasil ekstraksi DNA genom diperoleh konsentrasi DNA total gurame dan nila masing- masing 1424 dan 760 ng L. Konsentrasi terendah DNA ikan gurame yang dideteksi menggunakan marka molekuler spesifik GH dan vasa masing- masing adalah 1 dan 50 ng L Gambar 7 di dalam 700 ng L DNA ikan nila. Dengan kata lain, marka molekuler GH mampu mendeteksi DNA gurame pada rasio 1:700, sedangkan marka molekuler vasa hanya mampu mendeteksi pada rasio 1:14. Hasil ini menunjukkan sensitivitas PCR pada masing-masing primer spesifik berbeda, dan membuktikan GH lebih sensitif dibanding vasa dalam mendeteksi ikan gurame pada saat tercampur dengan DNA ikan nila. Gambar 7. Elektroforegram sensitivitas marka molekuler GH dan vasa M = marker; 700 - 0,1= rasio DNA gurame dan nila; - = kontrol negatif Analisis kuantifikasi lebih lanjut pada marka molekuler yang sensitiv yaitu GH, dengan memperhitungkan kesetaraan jumlah sel yang diekstraksi dengan konsentrasi DNA, menujukkan bahwa primer GH dapat mendeteksi 1 sel gurame diantara 10 4 sel nila.

4.2. Pembahasan

Marka sangat penting untuk membedakan sel donor dengan sel resipien. Pada penelitian ini dikembangkan marka molekuler sebagai alternatif sistem identifikasi sel germinal yang aplikatif dalam rangka pengembangan teknologi transplantasi pada ikan gurame di Indonesia. Primer yang dikembangkan sebagai marka molekuler pada penelitian ini didisain berdasarkan sekuen gen GH Nugroho et al. 2008 dan vasa ikan gurame Alimuddin et al. 2009. Marka molekuler yang digunakan dalam penelitian ini bisa membedakan sel germinal ikan gurame dan ikan nila. Metode marka molekuler ini juga telah dibuktikan mampu membedakan sel germinal immature dan spermatozoa donor pada ikan Japanese charr resipien Okutsu et al. 2008. Dengan demikian, diduga bahwa marka molekuler yang dikembangkan dalam penelitian ini juga bisa mendeteksi sel gonad mulai dari spermatogonia sampai tahap spermatozoa ikan donor ikan gurame. Pada penelitian ini, marka molekuler yang dikembangkan dianalisis menggunakan PCR. Apabila dibandingkan dengan metode identifikasi sel germinal sebelumnya seperti GFP, metode PCR jauh lebih praktis diaplikasikan di Indonesia. Identifikasi sel germinal dengan mengamati pendaran hijau GFP ditentukan oleh aktivitas promoter yang mengendalikannya. Umumnya, promoter untuk gen vasa digunakan sebagai regulator untuk ekspresi gen GFP secara spesifik pada sel germinal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa gen vasa merupakan gen spesifik yang terekspresi hanya pada sel germinal ikan zebra Olsen et al. 1997; Yoon et al. 1997, diacu dalam Yoshizaki et al. 2000, dan ikan rainbow trout Yoshizaki et al. 2000. Pada faktanya, dengan promoter vasa rainbow trout-GFP, ekspresi GFP tidak terdeteksi pada ikan rainbow trout jantan ketika sel germinal masuk pada tahap meiosis Yano et al. 2008. Untuk menanggulangi kelemahan dari sistem pendaran GFP dengan promoter vasa, telah dikembangkan juga sistem GFP dengan promoter β-aktin dalam mengidentifikasi sel germinal ikan nila Zaparta 200λ. Pendaran GFP dengan promoter β-aktin bisa terdeteksi pada ikan nila sampai tahap spermatozoa. Meskipun demikian, pendaran GFP dalam sistem identifikasi sel germinal donor dapat dihasilkan apabila ikan donor berasal dari ikan transgenik, dan menggunakan mikroskop fluoresen sebagai alat detektornya. Dikarenakan produksi ikan transgenik membutuhkan waktu yang relatif lama, dan keterbatasan alat serta harga mikroskop fluoresen cukup mahal, sehingga metode GFP belum aplikatif diterapkan di Indonesia saat ini. Metode PCR yang dikembangkan pada penelitian ini dapat menjadi solusi untuk sistem identifikasi sel germinal donor ikan gurame. Berdasarkan hasil penyejajaran menggunakan GENETYX versi 7.0 pada penelitian ini, diperoleh beberapa sekuen primer kandidat marka molekuler untuk identifikasi sel germinal transplan yakni GH, vasa F2VSGR, vasa F1VSGR, dan β-aktin Gambar 4. Penentuan sekuen primer dilakukan dengan melihat perbedaan basa nukleotida pada ujung 3’ Gambar 4. Pembacaan sekuen di ujung 3’ sangat penting saat ekstensi primer dengan DNA polimerase pada awal PCR Onodera 2007. Apabila pembacaan sekuen salah di awal PCR, maka proses amplifikasi tidak bisa berlangsung. Dengan demikian, untuk membuat primer spesifik harus mempertimbangkan basa nukleotida yang berbeda di ujung 3’. Umumnya, nukleotida pada ujung 3’ dianjurkan adalah G dan C. Basa nukleotida G dan C merupakan basa yang memiliki tiga ikatan hidrogen, sehingga lebih stabil dibanding basa adenin A dan timin T dengan dua ikatan hidrogen Graffiths et al. 2005. Primer β-aktin yang digunakan pada penelitian ini merupakan kontrol internal. Penggunaan β-aktin sebagai kontrol internal telah diaplikasikan pada beberapa penelitian seperti produksi kimera ikan dengan transplantasi PGC yang dilabeli GFP Takeuchi et al. 2003, ekspresi protein gonadal soma-derived growth factor GSDF selama perkembangan sel germinal Sawatari et al. 2006, dan transplantasi sel germinal donor rainbow trout pada ikan Japanese charr Okutsu et al . 2008. β-aktin memiliki beberapa sifat yang terkait dengan aktivitas elemen-elemennya yaitu contitutive, ubiquitous dan house keeping Liu 1990, diacu dalam Volckaert 1994. Constitutive berarti gen ini dapat aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon. β-actin bersifat ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan bersifat house keeping berarti β-actin dapat aktif kapan saja bila diperlukan. Kemampuan PCR mendeteksi sel donor dalam individu resipien ditentukan oleh suhu annealing penempelan primer dan lama waktu ekstensi. Pada penelitian ini penempelan primer dipengaruhi oleh suhu annealing yang ditentukan oleh panjang dan persentase GC Lampiran 2 primer. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu annealing Tabel 2 untuk masing-masing kandidat primer marka molekuler GH, vasa F2VSGR, dan vasa F1VSGR adalah 58, 61, dan 58 o C. Pada penelitian ini, persentase GC masing-masing primer, GH, vasa F2VSGR, dan vasa F1VSGR adalah 55, 47, dan 50. Kisaran suhu annealing yang digunakan dalam penelitian ini berbeda jauh dari suhu annealing yang dilaporkan oleh Okutsu et al. 2008 yakni 64 o C dan 60 o C dengan persentase masing-masing GC 60 dan 42. Suhu annealing yang diharapkan dan terbaik untuk suatu primer adalah 40-60 o C Walker Rapley 2002. Kestabilan suhu lebur dari sepasang primer ditentukan oleh persentase GC dalam sekues primer, dan disarankan persentase GC adalah sebesar 30-70 Rasmussen 1992. Selain dari persentase GC, suhu annealing juga bisa didapatkan dengan rumus “Wallace rule” Tm = 4G+C+2A+T Wallace et al. 1979. Lama waktu ekstensi ditentukan dari panjang target produk PCR. Dari disain primer, diperoleh panjang produk PCR bagi primer spesifik GH 300 bp dan vasa F2VSGR 340 bp Gambar 6, sehingga durasi waktu ekstensi yang direkomendasikan adalah 45 detik. Pada penelitian lain, lama waktu ekstensi 3 menit digunakan untuk mencapai target produk PCR 1800 bp Okutsu et al. 2008. Secara umum, untuk setiap 1 kilobasa kb panjang produk PCR dibutuhkan lama waktu ekstensi 1 menit Erlich 1989. Spesivitas primer adalah penempelan primer secara spesifik pada sekuen DNA tertentu. Spesivitas primer bergantung pada faktor krusial dari primer seperti suhu annealing. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa suhu annealing sudah optimal bagi primer GH maupun vasa F2VSGR, sehingga mampu anneal pada sekuen DNA ikan gurame secara spesifik Gambar 6. Apabila suhu annealing tidak optimal atau tidak spesifik, maka sebagai konsekuensi tidak ada produk PCR yang dihasilkan Gambar 5. Untuk mencapai spesivitas primer,