Pembahasan Pengembangan Marka Molekuler DNA dalam Identifikasi Sel Gonad Ikan Gurame (Osphronemus gouramy) dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Menggunakan PCR
ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan bersifat house keeping
berarti β-actin dapat aktif kapan saja bila diperlukan. Kemampuan PCR mendeteksi sel donor dalam individu resipien
ditentukan oleh suhu annealing penempelan primer dan lama waktu ekstensi. Pada penelitian ini penempelan primer dipengaruhi oleh suhu annealing yang
ditentukan oleh panjang dan persentase GC Lampiran 2 primer. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu annealing Tabel 2 untuk masing-masing kandidat
primer marka molekuler GH, vasa F2VSGR, dan vasa F1VSGR adalah 58, 61, dan 58
o
C. Pada penelitian ini, persentase GC masing-masing primer, GH, vasa F2VSGR, dan vasa F1VSGR adalah 55, 47, dan 50. Kisaran suhu
annealing yang digunakan dalam penelitian ini berbeda jauh dari suhu annealing yang dilaporkan oleh Okutsu et al. 2008 yakni 64
o
C dan 60
o
C dengan persentase masing-masing GC 60 dan 42. Suhu annealing yang diharapkan dan terbaik
untuk suatu primer adalah 40-60
o
C Walker Rapley 2002. Kestabilan suhu lebur dari sepasang primer ditentukan oleh persentase GC dalam sekues primer,
dan disarankan persentase GC adalah sebesar 30-70 Rasmussen 1992. Selain dari persentase GC, suhu annealing juga bisa didapatkan dengan rumus “Wallace
rule” Tm = 4G+C+2A+T Wallace et al. 1979.
Lama waktu ekstensi ditentukan dari panjang target produk PCR. Dari disain primer, diperoleh panjang produk PCR bagi primer spesifik GH 300 bp
dan vasa F2VSGR 340 bp Gambar 6, sehingga durasi waktu ekstensi yang direkomendasikan adalah 45 detik. Pada penelitian lain, lama waktu ekstensi 3
menit digunakan untuk mencapai target produk PCR 1800 bp Okutsu et al. 2008. Secara umum, untuk setiap 1 kilobasa kb panjang produk PCR
dibutuhkan lama waktu ekstensi 1 menit Erlich 1989. Spesivitas primer adalah penempelan primer secara spesifik pada sekuen
DNA tertentu. Spesivitas primer bergantung pada faktor krusial dari primer seperti suhu annealing. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa suhu annealing
sudah optimal bagi primer GH maupun vasa F2VSGR, sehingga mampu anneal pada sekuen DNA ikan gurame secara spesifik Gambar 6. Apabila suhu
annealing tidak optimal atau tidak spesifik, maka sebagai konsekuensi tidak ada produk PCR yang dihasilkan Gambar 5. Untuk mencapai spesivitas primer,
perlu dipertimbangkan beberapa faktor seperti disain primer, dan suhu annealing. Primer yang didisain sebagai primer spesifik harus mempertimbangkan perbedaan
basa nukleotida di ujung 3’ dan homolog yang rendah. Apabila basa di ujung 3 tidak berbeda dan homologinya tinggi, maka primer yang didisain mungkin
menjadi tidak spesifik. Selain itu, primer yang tidak spesifik kemungkinan disebabkan suhu annealing primer terlalu rendah, sehingga suhu annealing perlu
ditingkatkan 2
o
C sampai 5
o
C Dalgleish 2007. Suhu annealing yang optimal dipengaruhi oleh jumlah basa nukleotida.
Panjang primer GH adalah 20 nukleotida, sedangkan vasa F2VSGR adalah 23 nukleotida. Jumlah basa nukleotida yang diharapkan untuk menghasilkan suhu
annealing yang optimal adalah 18-30 nukleotida Butler John 2005. Sebagai contoh, primer random amplification polymorphism DNA RAPD dengan jumlah
basa nukleotida yang pendek sekitar 8-12 bp mengamplifikasi DNA tidak spesifik atau secara random, sehingga primer dapat anneal pada beberapa daerah genom
selama tahap annealing PCR Liu et al. 1999. Sama halnya dengan konsekuensi primer yang jumlah basanya kurang 18 bp, primer dengan panjang lebih dari 30
basa juga tidak dapat menunjukkan spesivitas yang tinggi, karena adanya primer dimer. Amplifikasi panjang akan memudahkan hibrid silangdimer dengan primer
dan sekuen lainnya di dalam campuran reaksi dan ini dapat menyebabkan polimerasi DNA berhenti Newton Graham 1994, diacu dalam
http:www.nfstc.orgpdi Subject04pdi_s04_m01_02_f.htm .
Pengujian sensitivitas PCR dilakukan untuk mengetahui kemampuan primer spesifik yang dijadikan sebagai marka molekuler, dalam mendeteksi
konsentrasi terendah DNA gurame di dalam DNA nila. Hasil pengujian sensitivitas PCR diketahui bahwa GH dapat mendeteksi konsentrasi terendah
DNA ikan gur ame 1 ng L Gambar 7, sedangkan sensitivitas PCR pada vasa
hanya sampai pada konsentrasi DNA ikan gurame 50 ng L Gambar 7 masing- masing di dalam konsentrasi DNA 700 ng L ikan nila. Sensitivitas PCR dapat
mencapai 4 ng L pada pendeteksian oosit Cryptosporidium Karanis et al. 2007
Penentuan sensitivitas PCR dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni disain primer, konsentrasi cetakan, suhu annealing, dan konsentrasi primer. Berdasarkan
Gambar 7, bahwa primer GH lebih sensitif dibanding vasa dalam mendeteksi sel
gonad ikan gurame di dalam sel ikan nila. Pada penelitian lain, sensitivitas primer yang direkomendasikan adalah 4 ng L. Hal ini diduga, pertama GH memiliki
beda basa homolog di ujung 3’ lebih banyak, dan suhu annealing yang digunakan lebih rendah dibanding vasa. Makin banyak beda basa di ujung 3’ maka makin
spesifik primer yang dirancang. Untuk konsentrasi cetakan dan primer yang digunakan masing-masing primer spesifik pada penelitian ini adalah sama.
Jika konsentrasi DNA yang diperoleh dikonversi dengan jumlah sel donor, maka perhitungan menunjukkan bahwa 10
6
sel setara dengan konsentrasi DNA ikan gurame 700 ng L, nilai ini setara dengan jumlah sel ikan nila yakni 10
7
sel. Dengan demikian, sensitivitas marka molekuler GH dapat mendeteksi 1 sel ikan
gurame di dalam 10
4
sel ikan nila. Pendugaan ini masih relatif kasar, membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. Namun demikian,
pendugaan ini mendekati nilai sensitivitas PCR secara umum. PCR mampu mengamplifkasi konsentrasi terendah yang setara dengan 10
5
oosit Cryptosporidium Karanis et al. 2007. Pada penelitian lain diperoleh persentase
sel germinal yang terkolonisasi pada ikan rainbow trout adalah 37 dengan rata- rata jumlah sel donor yang berasal dari spermatozoa testis resipien adalah 20,1 x
10
7
Okutsu et al. 2006b.
V. KESIMPULAN DAN SARAN