II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hutan
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma
nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam
UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan
serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan
intensitasnya makin meningkat. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat 1999
mangungkapkan bahwa pengertian hutan harus dapat dibedakan ke dalam pengertian kekayaan hutan, potensi hutan dan sumberdaya hutan.
1. Hutan sebagai kekayaan alam apabila eksistensi hutan tersebut belum diketahui potensinya, pemanfaatannya dan teknologi pemanfaatnnya.
2. Hutan merupakan suatu potensi apabila manfaatnya sudah diketahui, teknologi pemanfaatannya sudah tersedia namun potensi dasarnya belum
ada atau belum diketahui. 3. Hutan merupakan sumberdaya apabila komponen–komponen hayati
maupun non–hayati serta jasa terdapat yang di dalam hutan tersebut telah diketahui potensi, manfaat dan teknologi pemanfaatannya serta
pasarnya telah tersedia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999 dalam Nurhidayati
2002 menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan dunia. Oleh karena itu, keberadaan hutan sangat penting bagi
kehidupan baik hutan sebagai hutan produksi, sebagai perlindungan sistem penyandang kehidupan, sebagai tempat pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, sebagai tempat pemanfaatan
secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya atau sebagai tempat wisata alam.
B. Pengertian Perladangan Berpindah
Sebagian besar penduduk Indonesia 70 tinggal di pedesaan, sedangkan 30 di perkotaan. Bagi masyarakat pedesaan kehidupan mereka
sangat ditentukan oleh sumberdaya alam yaitu lahan dan lingkungan itu sendiri. Lahan merupakan satu-satunya sumberdaya yang tersedia dan
dapat diperoleh masyarakat sehingga sebagian besar masyarakat pedesaan tegantung pada pertanian dalam arti luas. Kegiatan pertanian yang ada
sekitar hutan masih dalam taraf tradisional seperti perladangan berpindah, peramu hasil hutan. Perpaduan berbagai faktor seperti teknologi, budaya dan
lain-lain yang ada pada masyarakat di sekitar hutan tersebut membawa masalah kemiskinan Darusman dan Bahruni, 1995.
Nair 1989 menjelaskan bahwa istilah perladangan berpindah mengacu pada sistem perladangan atau pertanian dengan kondisi lahan tanpa vegetasi
alami, dengan tanaman pertanian untuk beberapa tahun dan kemudian dibiarkan sementara vegetasi alami setempat beregenerasi. Tahapan atau
fase pengolahan biasanya pendek 2-3 tahun namun fase regenerasi yang dikenal sebagai masa bera atau fase semak-semak jaraknya lebih panjang
10-20 tahun secara tradisional. Pembersihan selalu dilakukan dengan metode tebas dan bakar slash and burn, menggunakan peralatan
sederhana. Nair 1989 menjelaskan bahwa perladangan berpindah masih
merupakan rangkaian sistem perladangan tradisional sepanjang areal yang luas dari daerah tropis dan sub tropis. Perkiraan luas areal sistem
perladangan bermacam-macam. Salah satu estimasi yang masih digunakan FAO, 1982 secara luas adalah bahwa luas areal bertambah mendekati rata-
rata 360 juta hektar atau 30 dari total lahan tereksploitasi di seluruh dunia, dan membantu lebih dari 250 juta orang. Crutzen dan Andreas 1990
memperkirakan bahwa perladangan berpindah dipraktekan oleh 200 juta orang pada areal seluas 300-500 juta hektar pada daerah tropis.
Nair 1989 menjelaskan bahwa perladangan berpindah berperan untuk tujuan produksi dan pengolahan hasil pertanian sehari-hari, seperti padi,
jagung, talas, kacang-kacangan dan lain-lain. Periode masa bera memberikan kontribusi untuk akumulasi dari elemen nutrien dalam produksi
agrikultur. Dalam perladangan berpindah secara tradisional, masa bera itu sangat lama sehingga kesuburan tanah dapat diperbaiki secara efisien.
Tetapi sekarang masa bera telah diperpendek, bahkan sudah ditinggalkan yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan meningkatnya kebutuhan
rumah tangga. Sebagai hasilnya, terjadi kemunduran kondisi tanah secara drastis dan berkurangnya hasil panen.
Petani peladang berpindah melakukan aktivitas berladang dengan rotasi 5 tahun di lokasi yang mereka klaim sebagai hak ulayat, dapat
mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian ladang dengan dasar hukum hak ulayat tersebut. Perladangan berpindah merupakan kegiatan
membuka lahan secara tradisional di areal berhutan dengan menebang, membakar, menanam padi, jagung, sayuran dan sebagainya yang kemudian
memanennya. Biasanya menanam hanya satu kali setahun atau maksimal tiga kali secara berulang ulang di lokasi yang sama. Pembukaan lahan
dilakukan secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan dari tahun ke tahun dan adakalanya kembali ke lokasi tempat awalnya yang
merupakan siklus berladang. Pembukaan lahan biasanya menggunakan areal berhutan atau kondisi pepohonan yang masih lebat untuk mendapatkan
lapisan humus yang tebal subur pada dataran tinggi, perbukitan dan sebagainya Nusa Hijau-WWF,2003.
Utomo 1994 menyatakan bahwa pada masyarakat yang masih menganut sistem berladang berpindah, maka ciri utamanya ialah masyarakat
belum mengenal hak milik tanah yang menetap. Dalam komunitas seperti itu penguasaan tanah bersifat sementara karena setelah beberapa musim
kemudian lahan tersebut ditinggalkan dan setelah menghutan kembali mungkin saja digunakan oleh orang lain lagi dengan seijin sipemakai
pertama. Tanah atau lahan dimiliki secara bersama-sama sebagai tanah adat.
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan melakukan pertanian secara berladang berpindah yaitu dengan kegiatan penebangan Juni-Juli,
pembakaran Agustus penanaman Februari-Maret. Setelah itu berpindah lokasi dengan siklus kira-kira 5-15 tahun, tetapi apabila ladang pertama
berasal dari hutan primer biasanya rotasi perladangan dapat terjadi kurang dari 5 tahun. Dari beberapa desa contoh, luas dan produktifitas ladang
berpindah rata-rata adalah 1,12 ha dan 1,3 tonhatahun. Hampir setiap rumahtangga yang ada memiliki tanah garapan. Kehidupan masyarakat
sangat tergantung pada perladangan ini dan sebagian besar hasil ladang dikonsumsi sendiri Nair, 1989.
C. Dampak Kegiatan Perladangan Berpindah