Dampak Kegiatan Perladangan Berpindah Pendapatan Usahatani

pembakaran Agustus penanaman Februari-Maret. Setelah itu berpindah lokasi dengan siklus kira-kira 5-15 tahun, tetapi apabila ladang pertama berasal dari hutan primer biasanya rotasi perladangan dapat terjadi kurang dari 5 tahun. Dari beberapa desa contoh, luas dan produktifitas ladang berpindah rata-rata adalah 1,12 ha dan 1,3 tonhatahun. Hampir setiap rumahtangga yang ada memiliki tanah garapan. Kehidupan masyarakat sangat tergantung pada perladangan ini dan sebagian besar hasil ladang dikonsumsi sendiri Nair, 1989.

C. Dampak Kegiatan Perladangan Berpindah

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan, pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali. Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflase dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH Dove,1988. Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah 2001, dampak dari kegiatan perladangan berpindah yang paling banyak terjadi yaitu kebakaran hutan dan lahan. Beberapa kerugian yang dapat ditimbulkan dari kebakaran hutan adalah: 1. Penurunan nilai tegakan 2. Musnahnya kehidupan flora dan fauna 3. Rusaknya nilai estetika 4. Terganggunya tata air 5. Merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah 6. Perubahan iklim mikro maupun global 7. Munculnya dampak negatif terhadap lingkungan berupa kabut asap, yang imbasnya dapat menganggu kesehatan dan kegiatan transportasi. Nugraha 2005 menjelaskan bahwa dalam konteks kerusakan, terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan praktek pertanian ladang berpindah. Pertama, perkembangan demografi dan penyempitan lahan sebagai akibat pertambahan penduduk. Faktor tersebut telah mengakibatkan masa bera menjadi semakain menurun yang berdampak terhadap tingkat kesuburan lahan. Jelas, hasil panen jauh berkurang. Kedua, faktor budaya tanam tinggal. Dengan semakin menurun tingkat kesuburan, maka pertanian ladang membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Dengan budaya tanam tinggal mengakibatkan sistem perladangan semakin tidak ekonomis di tengah berkembangnya paham dan budaya masyarakat yang kian berorientasi pada aspek-aspek ekonomi.

D. Pendapatan Usahatani

Soekartawi 2002 menyatakan Bahwa pendapatan usahatani adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Dalam banyak hal jumlah total penerimaan ini selalu lebih besar bila analisis ekonomi yang dipakai, dan selalu lebih kecil bila analisis finansial yang dipakai. Oleh karena itu, setiap kali melakukan analisis, perlu disebutkan analisis apa yang digunakan. Soekartawi 1986 menyatakan Bahwa pendapatan kotor usahatani gross farm income didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Jangka waktu pembukuan umumnya setahun, dan mencakup semua produk yang: 1. Dijual. 2. Dikonsumsi rumahtangga petani. 3. Digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak. 4. Digunakan untuk pembayaran. 5. Disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Menghindari perhitungan ganda, maka semua produk yang dihasilkan sebelum tahun pembukuan tetapi dijual atau digunakan pada saat tahun pembukuan, tidak dimasukkan dalam pendapatan kotor. Soekartawi 1986 menyatakan Bahwa dalam menaksir pendapatan kotor, semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar. Tanaman dihitung dengan cara mengalikan produksi dengan harga pasar. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Soekartawi 1986 menyatakan Bahwa pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani adalah pendapatan bersih usahatani net farm income. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani.

E. Pendapatan Per Kapita