Unsur pertanggungjawaban individu Pelanggaran terhadap kewajiban internasional

67 Ditambahkan lagi bahwa in a more technical sense, it means something done voluntarily by a person, that certain legal consequences attact to it. 43 Commission diartikan sebagai a warrant or authority or letters patent, issuing from the government, or one of its departments, or a court, empowering a person or persons named to do certain act, or to exercise jurisdiction, or to perform the duties and exercise the authority of an office. 44 Menghubungkan antara pengertian act dan commission yang dipaparkan dalam Black’s Law Dictionary, penulis mendapati bahwa keduanya dinyatakan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan niat, keinginan pribadi dan kesadaran akan konsekuensi dari perbuatan tersebut. Act merupakan istilah yang lebih umum digunakan, sementara commission erat kaitannya dengan otoritas atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang, sehingga tindakan atau perbuatan tersebut merupakan refleksi dari kewajiban yang dimilikinya. Disisi lain omission berarti the neglect to perform what the law requires. 45 Omission merujuk pada pengabaian atau kegagalan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Secara definitif, tidak diberikan pembedaan apakah suatu tindakan pengabaian atau kelalaian dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja.

3.3.2. Unsur pertanggungjawaban individu

Sekalipun ada banyak perjanjian-perjanjian internasional yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam keadaan perang, namun banyak juga diantaranya yang sama sekali tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban, 43 Henry C. Black II, Ibid., h.42 dikutip dari Jefferson Standard Life Ins. C. V. Myers, Tex.Com.App., 284 S.W. 216, 218. 44 Henry C. Black II, Ibid., h. 339. 45 Henry C. Black II, Ibid., h.1238. 68 khususnya pertanggungjawaban oleh individu. Memahami unsur-unsur pertanggungjawaban pidana individu, penulis secara khusus mengacu ketentuan dalam Statuta Roma 1998 sebagai instrumen hukum yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Pidana Internasional untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana hukum internasional, salah satunya kejahatan perang. 46 Seorang individu dapat dituntut untuk bertanggung jawab karena melakukan pelanggaran di bawah hukum internasional, tanpa mempersoalkan status dan hubungannya dengan sebuah negara. 47 Pasal 26 ayat 4 Statuta Roma 1998 mengemukakan bahwa “no provision of this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect the responsibility of States under international law .” Sebaliknya, Pasal 58 draft menyebutkan bahwa “these articles are without prejudice to any question of the individual responsibility under international law of any person acting on behalf of a State. ” Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang jelas antara pertanggungjawaban internasional yang dibebankan kepada negara maupun yang dibebankan terhadap individu, sekalipun negara harus bertanggung jawab karena individu tersebut melakukan tindakan mewakili negara. Sementara itu, untuk menyatakan bahwa individu bertanggung jawab secara pidana atas suatu kejahatan, maka tindakan yang dilakukan oleh individu tersebut haruslah memenuhi unsur-unsur elements yang membentuk pertanggungjawaban. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana secara individual terdiri atas 2 dua kategori, yakni sebagai berikut: 1 Unsur Subyektif Mental Element 46 Sebagaimana telah dibuktikan di atas bahwa kerusakan lingkungan hidup secara sengaja adalah sebagai bentuk kejahatan perang, lihat Supra 2.4. 47 Afriansyah Arie, Op.Cit.,h. 134. 69 Unsur subyektif mengarah pada keadaan tertentu dimana niat kejahatan sudah tercokol dalam pikiran seorang pelaku actus non facit reum nisi mens sit rea, atau yang lebih dikenal sebagai mens rea. 48 Pasal 30 Statuta Roma 1998 mendeskripsikan unsur subyektif yang disyaratkan dalam tanggungjawab pidana bagi individu: “unless otherwise provided, a person shall be criminally resposible and liable for punishment for a crime within the jurisdiction of the Court only if the material elements are committed with intent and knowledge .” Menggarisbawahi dua hal penting yang membentuk mental element untuk pertanggungjawaban pidana individu adalah niat intent dan pengetahuan knowledge. Demikian pula penegasan Majelis Hakim Mahkamah Pidana Internasional, yang menyatakan bahwa Pasal 30 Statuta Roma 1998 mengkodifikasikan unsur mental mental element sebagai salah satu syarat dalam memenuhi unsur-unsur kejahatan yang menjadi yuridiksinya. 49 Hal tersebut mendefinisikan bahwa keadaan pikiran seseorang menjadi syarat untuk membangun pertanggungjawaban pidana atas semua kejahatan yang diatur dalam Pasal 6 hingga Pasal 8 Statuta Roma 1998. 50 Pasal 30 ayat 2 Statuta Roma 1998 mencantumkan dua ciri-ciri seseorang disebut memiliki niat intent. Yang pertama, dalam hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan, orang tersebut bermaksud untuk ikut serta dalam bertindak. Maksud atau niat tersebut telah didahului dengan kesadaran untuk 48 Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo, Pre-Trial Kasus Mahkamah Pidana Internasional No. ICC-0105-0108, para. 351. 49 Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo, Ibid., para. 353. 50 Menjadikan Pasal 30 Statuta Roma 1998 sebagai referensi dalam membentuk unsur subyektif terhadap tanggung jawab pidana individu, didasari juga pada paragraf 2 General Introduction dari Elements of Crime, yang mencantumkan ba hwa: “where no reference is made in the Elements of Crime to a mental element for any particular conduct, consequences or circumstances listed, it is understood that the relevant mental element, i.e., intent, knowledge, or both set out in article 30 applies. ” 70 memutuskan bahwa ia akan berkontribusi baik secara aktif maupun pasif dalam melakukan suatu kejahatan. Yang kedua, dalam hubungannya dengan konsekuensi, orang tersebut bermaksud untuk mengakibatkan terjadinya suatu hal atau memiliki kesadaran bahwa tindakannya akan mengakibatkan terjadinya hal tertentu. Artinya bahwa akibat dari kejahatan yang dilakukan sudah dapat diprediksi sebelumnya. “Pengetahuan” knowledge didefinisikan melalui Pasal 30 ayat 3 Statuta Roma 1998: “awareness that a circumstance exists or a consequence will occur in the ordinary course of events. ‘know’ and ‘knowingly’ shall be construed accordingly. ” Menurut pendapat penulis, frasa “awareness that a circumstance exist ...” menyatakan pengetahuan seseorang tentang situasi dan kondisi yang aktual atau terjadi pada saat itu, sedangkan pernyataan “consequence will occur ... ” menggambarkan bahwa pada umumnya akan ada akibat yang mengikuti suatu perbuatan tertentu. Mahkamah menitikberatkan terminologi niat intent dan pengetahuan knowledge yang tercantum dalam Pasal 30 ayat 2 dan 3 merupakan refleksi dari konsep dolus atau kesengajaan, yang mana konsep ini mempersyaratkan adanya kemauan diri sendiri atau yang dikenal sebagai unsur kognitif. Pada umumnya, suatu keadaan dapat dikategorikan menjadi salah satu dari 3 tiga bentuk dolus, tergantung pada seberapa kuat keinginan atau kemauan pribadi tersebut – diantaranya adalah sebagai berikut: i. dolus directus in the first degree dolus tingkat pertama atau niat secara langsung: mempersyaratkan bahwa tersangka tahu bahwa ia bertindak atau berdiam diri dengan keinginan atau niat akan mencapai tujuan 71 tertentu atau hasrat untuk melaksanakan unsur-unsur material dari sebuah kejahatan; hal ini juga berarti bahwa tersangka berkeinginan penuh atau berhasrat untuk memperoleh akibat yang tidak diperbolehkan. ii. Dolus directus in the second degree dolus tingkat kedua – juga dikenal sebagai niat tidak langsung; dolus ini mempersyaratkan bahwa tersangka sadar akan unsur-unsur kejahatan sebagai hasil dari tindakan atau pendiamannya akan menjadi tidak terelakkan lihat Pasal 30 ayat 2 b; dalam konteks ini, unsur keinginan atau kehendak pribadi menurun secara substansial dan digantikan oleh unsur kognitif, yaitu kesadaran bahwa tindakannya atau kelalaiannya dapat menyebabkan konsekuensi terlarang yang tidak diinginkan. iii. Dolus eventualis – pada umumnya disebut sebagai subyektivitas atau kecerobohan yang tidak disengaja; berkaitan dengan dolus eventualis sebagai bentuk ketiga dari dolus, kecerobohan atau dengan kata lain bentuk yang lebih rendah dari kesalahan, Mahkamah berpendapat bahwa konsep tersebut tidak diatur dalam Pasal 30 Statuta Roma 1998. Kesimpulan ini didukung dengan ekspresi bahasa yang d igunakan, “will occur in the ordinary course of events ”, yang mana tidak mengakomodasikan sebuah standar yang lebih rendah daripada yang dipersyaratkan oleh dolus directus. 2 Unsur Obyektif Physical Element Unsur obyektif dalam pertanggungjawaban pidana secara individual mengharuskan adanya keterlibatan sebagai bentuk kontribusi dalam melakukan suatu kejahatan. Gagasan tentang keterlibatan secara langsung harus dipahami 72 sebagai keterlibatan fisik atas terjadinya sebuah kejahatan. 51 Oleh karenanya, unsur obyektif dikenal juga sebagai physical element atau actus reus. Dalam pengertian ini, keterlibatan secara langsung tersebut harus berpengaruh terhadap pelaksanaan kejahatan ketika dikombinasikan dengan unsur niat dan pengetahuan. 52 Adapun bentuk-bentuk kontribusi yang bisa diberikan oleh individu dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana secara individual, Pasal 25 ayat 3 a Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa seorang individu dapat dihukum karena melakukan tindakan pidana, apabila ia melakukannya: i secara individu; ii bersama-sama dengan orang lain; iii melalui orang lain. Kemudian, berdasarkan Pasal 25 ayat 3 b, c, dan d, bentuk tindakan individu yang dianggap sebagai keterlibatan dalam kejahatan, yaitu: i memerintahkan, membujuk, atau mendorong dilakukanya suatu kejahatan; ii bertindak untuk membantu atau mempermudah terjadinya kejahatan dengan berbagai cara; iii berkontribusi dalam kejahatan yang dilakukan secara berkelompok untuk mencapai tujuan yang sama. 53 Unsur obyektif erat kaitannya dengan tindakan yang berdasarkan pada fakta serta unsur material yang terkandung dalam elements of crime setiap kejahatan. Berikut ini adalah unsur bentuk tindakan yang apabila dilakukan oleh seorang individu dapat memunculkan pertanggungjawaban pidana, berdasarkan Statuta Roma 1998. 51 Yusuf Aksar, Implementing International Humanitarian Law: From the Ad Hoc Tribunals to a Permanent International Criminal Court, Routledge, London New York, 2004, h. 86. 52 Ibid. 53 Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, Trial Chamber I Kasus Mahkamah Pidana Internasional No. ICC-0104-0106-2842,para.976-977. 73 i. Actus reus dari ordering, telah didefinisikan sebagai orang dalam posisi yang memiliki otoritas untuk memberikan instruksi bagi orang lain dalam melakukan suatu kejahatan. Pemahaman tentang instruksi” intruction membutuhkan tindakan positif oleh orang dalam posisi otoritas. Sebuah perintah tidak dapat diberikan tanpa didahului oleh tindakan positif. Unsur memerintahkan tentu saja menjadi bertolak belakang dengan pendiaman omission yang pada dasarnya menitikberatkan pada ketiadaan suatu tindakan positif. Unsur “memerintahkan” memang mempersyaratkan adanya hubungan atasan-bawahan. Sekalipun hubungan tersebut tidak diharuskan sebagai hubungan formal, namun sepanjang secara de jure atau de facto seorang atasan memiliki otoritas untuk memerintahkan maka sebuah perintah dianggap dapat dipertanggungjawabkan oleh kedua belah pihak. 54 ii. Actus reus dari committing. Seseorang dianggap melakukan suatu kejahatan, apabila ia bertindak baik secara fisik maupun non-fisik, langsung maupun tidak langsung. Keterlibatannya dalam suatu kejahatan, tidak sebatas pada tindakan positif, tetapi juga kelalaian yang berakibat sama dengan tindakan positif apabila tidak dilaksanakan, dimana seseorang memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu dan dibarengi dengan pengetahuan akan itu. Dari kumpulan putusan hakim ICTY yang disusun dalam Case Law Digest of the ICTY , diketahui bahwa “committing” terjadi ketika: a melibatkan 54 Human Right Watch, Case Law Digest of the ICTY, New York, 2006, h. 358 dikutip dari Kordic and Cerkez, Appeals Chamber, December 17, 2004, para. 28 74 keterlibatan fisik atau non-fisik ataupun kelalaian yang dapat dipersalahkan culpable omission; atau b dimungkinkan adanya beberapa pelaku atas suatu kejahatan disaat yang bersamaan; atau c tersangka tidak diharuskan terlibat dalam semua aspek dari kejahatan. 55 iii. Actus reus dari aiding dan abetting, telah didefinisikan sebagai tindakan yang memberikan bantuan praktis dan dukungan moral, yang memiliki pengaruh secara substansial atas dilaksanakannya kejahatan tertentu. 56 Berbagai contoh actus reus aiding dan abetting, misalnya sebagai berikut: i adanya bantuan praktikal, dorongan atau dukungan moral; ii dapat terjadinya karena pendiaman omission; iii adanya hubungan sebab-akibat, namun harus berdampak secara subtansial terhadap pelaksanaan suatu kejahatan; iv bantuan dapat diberikan sebelum, selama atau setelah kejahatan dilaksanakan; v kehadiran secara fisik tidak diharuskan; vi orang yang memberikan bantuan ataupun dorongan tersebut harus bertanggung jawab atas semua akibat yang terjadi secara natural di luar perencanaannya atas tindakannya; vii kehadiran di tempat kejadian; viii orang yang memberikan bantuan atau dorongan sudah dapat dipersangkakan, sekalipun pelaku utama belum teridentifikasi, namun tindakan dari pelaku utama sudah ditetapkan; ix bukti tentang rencana atau kesepakatan tidak 55 Human Right Watch, Ibid., h. 367-368. 56 Contoh dari efek ‘encourgement’ dimuat dalam Case Law Digest of ICTY, h. 376, yang dikutip dari Kasus Mahkamah Pidana Internasional, Prosecutor v. Tadic Trial Chamber, 1997, para.690 : “[W]hen an accused is present and participates in the beating of one person and remains with the groups when it moves on to beat another person, his presence would have an encouraging effect, even if he does not physically take part in this second beating, and he should be viewed as participating in this second as well. This is assuming that the accused has not actively withdrawn from the group or spoken out against the conduct of the group .” 75 dipersyaratkan; x pelaku utama tidak harus menyadari kontribusi yang diberikan oleh orang yang memberi bantuan atau dorongan. Pada akhirnya, baik unsur subyektif maupun unsur obyektif dapat ditentukan berdasarkan pada fakta, keadaan, serta kemungkinan-kemungkinan relevan yang muncul di hadapan pengadilan.

3.4. Pertanggungjawaban Negara dan Individu Terhadap Kerusakan