58
draft
22
, yang walaupun belum disahkan sebagai sebuah konvensi internasional, namun konten dari draft telah diterima dengan sangat baik bahkan telah dikutip
beberapa kali dalam putusan Mahkamah Internasional. Hal ini dikarenakan kedudukan ILC yang dapat dianggap sebagai badan yang paling berkompeten
dalam memberikan pemahaman terkait intepretasi terhadap hukum internasional. Draft juga disusun oleh pakar-pakar hukum internasional yang dilandaskan pada
teori dan doktrin-doktrin yang berlaku di lingkup hukum internasional. Ditambah lagi, kedudukan draft di dalam hukum internasional telah semakin diakui dengan
dimasukkannya norma-norma yang diatur oleh draft ke dalam HHI Kebiasaan.
23
3.2.2. Konsep pertanggungjawaban pidana secara individual
Pada masa yang lalu, doktrin positivisme ortodoks secara jelas menegaskan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.
24
Dalam perkembangannya melalui perjanjian-perjanjian internasional beberapa entitas
diberikan kapasitas oleh hukum sebagai international legal person, maka doktrin ini tidak bisa dipertahankan lagi.
25
Individu adalah salah satu subyek hukum yang terbilang baru dalam hukum internasional, dimana isu mengenai status dan
kedudukannya muncul seiring dengan berkembangnya perlindungan hak asasi manusia HAM secara global. Hal tersebut secara bersamaan mengakui bahwa
individu dapat bertanggung jawab atas tindakan tertentu. Dengan demikian, fiksi
22
Lihat draft articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang diadopsi oleh ILC pada musim ke-53 2001, Official Records on General Assembly Fifty-sixth
session Supplement No.10 A561, cp IV.E.1 November, 2001.
23
Hal ini dibuktikan dengan referensi yang digunakan dalam Rule 149 dan Rule 150, sebuah tulisan komprehensif tentang Customary International Law Volume I: Rules yang
dihimpun oleh Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald Beck dan dipublikasikan oleh oleh International Cross Red Committee ICRC.
24
Malcolm II, Op.Cit., h. 197
25
Malcolm II., Ibid.
59
hukum bahwa dalam skema internasional individu tidak dapat berpartisipasi, sehingga ia tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya, telah dihapuskan.
26
Terlebih khusus dalam HHI, individu dianggap memiliki hak dan kewajiban untuk menjamin penghormatan terhadap norma-norma HHI.
Aturan-aturan yang termuat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I hingga Protokol Tambahan III, Konvensi ENMOD, serta
Statuta Roma bukan hanya mengikat negara sebagai pihak yang menandatangani, tetapi juga mengikat tindakan yang dilakukan oleh individu, baik
mengatasnamakan negara atau kelompok tertentu yang terpisah dari negara. Bab sebelumnya, penulis telah mendeskripsikan kewajiban individu melalui norma-
norma tertulis maupun prinsip-prinsip tidak tertulis yang mendasari sebuah norma.
27
Keberlakuan prinsip pertanggungjawaban yang berlaku bagi individu sebagai subyek hukum sama halnya dengan negara yang juga adalah subyek
hukum, dimana setiap pelanggaran dan pengabaian akan kewajiban meminta pertanggungjawaban. Fokus terhadap pembahasan kewajiban individu dalam
ranah HHI, tentu saja memunculkan pertanggungjawaban yang bersifat pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu atas kejahatan serius
serious violation merupakan hukum kebiasaan internasional yang sudah ada sejak lama dan telah diakui melalui Lieber Code dan Oxford Manual, dan sejak itu
dicantumkan lagi dalam banyak perjanjian internasional.
28
Awal mula pengakuan
26
Rebecca M.M.Wallace, International Law: Student Introduction, Sweet Maxwell, London, 1986, h. 65.
27
Supra 2.3.
28
Lihat Pasal 44 dan 47 tercantum dalam Vol.II Ch.43 Lieber Code; Pasal 48 Oxford Manual, Pasal 49 Konvensi Jenewa Pertama 1949; Pasal 50 Konvensi Jenewa Kedua 1949; Pasal
129 Konvensi Jenewa Ketiga 1949; Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat 1949; Pasal 28 Hague
60
pertanggungjawaban pidana internasional didasarkan pada berdirinya pengadilan adhoc seperti, Pengadilan Pidana Nuremberg dan Pengadilan Pidana Tokyo, yang
kemudian diikuti oleh Pengadilan ICTY dan ICTR, hingga saat ini telah terbentuk pengadilan permanen yakni Mahkamah Pidana Internasional International
Criminal Court.
29
Istilah individual criminal responsibility terbentuk dari dua frasa kata, yakni “individual” dan “criminal responisbility”.
30
Kata “individual” atau “individually” digunakan untuk mendeskripsikan subyek yang disasar, yakni individu atau orang
perorangan natural person , sedangkan frasa “criminal responsibility” terutama
digunakan untuk menjelaskan bahwa seorang individu harus bertanggung jawab secara pidana atas tindakan tidak sah atau melawan hukum.
31
Sehingga, tanggung jawab pidana secara individual individual criminal responsibility dapat berarti
suatu bentuk pertanggungjawaban oleh seorang individu sebagai akibat dari perbuatan tidak sah atau melawan hukum pidana.
Jika mempelajari lebih lanjut tentang histori prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu, dapat diketahui bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal
sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum Masehi.
32
Sehingga, Arie Siswanto
menyimpulkan bahwa prinsip ini pada dasarnya hanya ditegaskan kembali oleh Mahkamah Militer Nuremberg dan kemudian diikuti secara
Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 15 Second Protocol to the Hague Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 85 Protokol Tambahan I; Pasal 14
Amanded Protocol II to the Convention on Certain Conventional Weapons; Pasal 9 Ottawa Convention, etc.
29
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck,Op.Cit.,h. 551.
30
Ciara Damagaard, Individual Criminal Responsibility for Core International Crime, Springer
– Verlag, Berlin, 2008, h. 12.
31
Ciara Damagaard, Ibid.
32
Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2015,h. 260.
61
konsisten hingga hari ini.
33
Secara material, yuridiksi Mahkamah Militer Nuremberg terdiri atas 3 tiga jenis kejahatan, yakni kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Melalui prinsip pertanggungjawban pidana secara individual yang ditegaskan dalam Pasal
6 Statuta Mahkamah Militer Nuremberg beserta putusan-putusannya, dapat disimpulkan bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual harus
diterapkan kepada masing-masing individu yang berkontribusi dalam menjalankan suatu kejahatan, sekalipun kejahatan tersebut dilakukan secara
berkelompok. Dalih-dalih tentang jabatan formal individu dalam pemerintahan atau negara, sehingga tindakannya dapat dinyatakan sebagai tindakan negara, serta
dapat dipertanggungkan kepada negara secara tegas ditolak oleh mahkamah. Sama halnya dengan Mahkamah Militer Nuremberg, International Criminal
Tribunal for the Former of Yugoslavia ICTY juga menegaskan prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual dalam Statuta ICTY, yang
merupakan dasar hukum pendiriannya sebagai sebuah pengadilan pidana internasional ad hoc. ICTY dianggap sebagai bentuk respon Dewan Keamanan
PBB terhadap situasi krisis kemanusiaan dan juga bertujuan untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional di Yugoslavia. Pasal 7 ayat 1 Statuta ICTY
merefklesikan prinsip hukum pidana, dimana tanggung jawab pidana yang berlaku bagi seorang individu tidak mensyaratkan bahwa individu tersebut harus terlibat
secara fisik dalam melaksanakan suatu kejahatan, namun kontribusinya terhadap kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, misalnya merencanakan,
memprakarsai, memerintahkan, atau membujuk orang lain untuk melakukan
33
Arie Siswanto, Ibid.
62
kejahatan.
34
Berdasarkan ketentuan individual criminal responsibility yang
dimuat dalam Statuta ICTY, Arie Siswanto mengemukakan pula hubungan atasan
dan bawahan dalam hal pertanggungjawaban pidana, ia menyatakan bahwa:
35
“fakta bahwa perbuatan yang dimaksud dalam artikel 2-5 dilakukan oleh bawahan tidak membebaskan atasannya dari
tanggung jawab pidana kalau ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahannya hendak melakukan perbuatan dimaksud dan
atasan itu gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dan masuk akal guna mencegah atau menghukum si pelaku. Fakta
bahwa si terdakwa bertindak berdasarkan perintah dari pemerintahnya atau atasannya tidak dapat dijadikan dasar untuk
membebaskannya dari tanggung jawab pidana, namun dapat
dipertimbangkan untuk meringankan hukumannya.” Prinsip serta mekanisme operasional pengadilan ad hoc yang hadir pasca Perang
Dunia II, seperti Pengadilan Nuremberg, ICTY maupun ICTR, mempunyai peranan penting terhadap eksistensi Mahkamah Pidana Internasional sebagai
pengadilan yang permanen. Mahkamah Pidana Internasional memasukkan 4 empat jenis kejahatan dalam yuridiksi materialnya, yakni genosida, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi. Prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual merupakan salah satu prinsip dasar
dalam Statuta Roma 1998, yang tetap merefleksikan prinsip-prinsip hukum pidana secara umum, namun dalam rumusan norma dan unsur-unsur pidana mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Pasal 25 ayat 3 Statuta Roma 1998 memuat ketentuan bahwa seseorang harus memikul tanggung jawab pidana secara
individual apabila:
34
Pasal 7 ayat 1 Statuta ICTY : “A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in
article 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime .”
35
Arie Siswanto, Loc.Cit., h. 190.
63
a Melakukan suatu kejahatan, baik sendiri, bersama-sama dengan orang
lain, atau melalui orang lain, dimana ‘orang lain’ tersebut juga bertanggung jawab secara pidana;
b Memerintahkan, membujuk, atau mendorong dilakukannya suatu
kejahatan, yang pada faktanya benar terjadi atau percobaan kejahatan; c
Bertujuan untuk mempermudah terjadinya kejahatan pada saat dilakukannya kejahatan atau percobaan kejahatan dengan cara
memberikan bantuan serta mendorong, termasuk juga menyediakan peralatan untuk melakukan kejahatan;
d Dengan jalan lain memberi kontribusi untuk dilakukannya kejahatan
atau percobaan suatu kejahatan oleh sekelompok orang yang bertindak atas dasar tujuan yang sama. Kontribusi tersebut harus didasarkan
pada niat, dan: -
Dilakukan dengan maksud melanjutkan aktivitas kejahatan atau tujuan kejahatan kelompok; atau
- Dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang niat dari kelompok
untuk melakukan kejahatan.
3.3. Unsur-unsur Pertanggungjawaban