47
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN INDIVIDU
3.1. Pengantar
Bab ini akan mengupas lebih mendalam tentang pokok permasalahan dan tujuan yang hendak dijawab melalui penulisan, yakni bentuk pertanggungjawaban
negara dan individu dalam hal perusakan lingkungan hidup selama perang berlangsung. Penulis berpendapat bahwa Draft Articles on Responsibility of States
for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law Commission merupakan sumber utama yang relevan untuk menjawab bentuk
pertanggungjawaban negara. Meskipun Draft Articles tersebut hingga kini belum menjadi konvensi yang bersifat mengikat, dokumen tersebut mengakomodasikan
hukum kebiasaan internasional dan pendapat-pendapat publicist yang otoritatif. Sementara, bentuk pertanggungjawaban individu atas kerusakan lingkungan hidup
tetap mengacu pada Statuta Roma 1998, yakni tanggung jawab pidana secara individual. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh individu secara bersamaan
dapat menarik pertanggungjawaban negara. Ada tiga hal pokok dalam struktur argumentasi tesis ini. Hal yang pertama
adalah konsep umum pertanggungjawaban responsibility dalam hukum internasional. Hal yang kedua unsur-unsur pertanggungjawaban negara dan
individu yang diatur dalam hukum internasional secara umum dan HHI secara khusus, di mana prinsip atributalitas atau imputabilitas menjadi salah satu isu
48
sentral yang mendukung tesis penulis. Dan hal yang terakhir, perusakan lingkungan hidup sebagai salah satu bentuk kejahatan perang dapat dikategorikan
sebagai internationally wrongful act.
3.2. Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Internasional
Konsep pertanggungjawaban karena perbuatan melanggar hukum, seringkali diistilahkan dalam hukum internasional dengan menggunakan frasa responsibility
danatau liability, yang merujuk makna yang sama maupun berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa belum ada istilah baku untuk mengkonsepsikan
pertanggungjawaban dalam hukum internasional.
1
Peter Malanczuk juga menilai
bahwa kedua terminologi tersebut kerapkali digunakan secara bergantian, ia menyatakan bahwa “sometimes the term of ‘responsibility’ is used
int erchangeably with the term ‘liability’, but the use of terminology in this respect
in the literature is by no means uniform ...”
2
Ketiadaan istilah baku terhadap pertanggungjawaban dibuktikan pula dengan ambiguitas penggunaan istilah
dalam mendeskripsikan responsibility dan liability oleh Black’s Law Dictionary.
Frasa responsibility didefinisikan sebagai: “the obligation to answer for any act
done, and to repair any injury it may have caused; liable, legally accountable for answerable
.”
3
Selain menunjukan bahwa responsibility mengakibatkan kewajiban untuk reparasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan, definisi ini seakan-akan
mendeskripsikan ‘liability’ sebagai padanan kata atau istilah sinonimnya.
1
Titon Slamet Kurnia, Reparasi Reparation Terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,h. 177.
2
Peter Malanczuk, Akehurt’s Modern Introduction to International Law 7th Rev. Ed.,
Routledge, London New York, 1997, h. 254.
3
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1476.
49
Sedangkan, frasa liability dideskripsikan sebagai: “the word is a broad legal term.
It has been referred to as of the most comprehensive significance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent or likely;
condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense, or burden
.”
4
Meskipun definisi tersebut menyimpulkan bahwa frasa “liability”
memiliki cakupan yang luas dan komprehensif, namun secara bersamaan, kedua istilah tersebut mendeskripisikan satu sama lain. Sehingga, mengingat tidak ada
kesepakatan istilah yang baku dalam mendeskripsikan pertanggungjawaban, maka secara konsep kesimpulan sementara dapat menyatakan bahwa dalam keadaan
tertentu, keduanya adalah padanan kata atau istilah sinonim yang dapat digunakan secara bergantian.
L.F.Goldie rupanya memiliki pendapat yang berbeda, ia menegaskan
pemaknaan serta penggunaan terhadap dua frasa tersebut harus dibedakan secara ketat, dimana responsibility menunjuk pada standar perilaku dan kegagalan
pemenuhan standar tersebut; sedangkan liability menyangkut pada kerusakan atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu termasuk cara untuk
memulihkan kerusakan atau kerugian tersebut.
5
Pada pratiknya, kedua istilah tersebut memang telah digunakan dengan konteks yang berbeda-beda, misalnya
Pasal 139 The United Nations Convention on the Law of the Sea secara bersamaan menggunakan istilah responsibility dan liability melalui judul artikelnya
“responsibility to ensure compliance and liability for damage”, untuk merujuk pada pengertian yang berbeda.
6
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “State Responsibility and International Liability for Injurious Consequences of Acts Not
4
Ibid., h.1059-1060.
5
Titon Slamet Kurnia,Op.Cit., h. 178.
6
Ibid., h. 175-176.
50
Prohibited by International Law: A Necessary Distinction?
”, Alan E. Boyle
membedakan antara terminologi responsibility dan juga liability. Responsibility merupakan kewajiban negara yang timbul karena pelanggaran atas hukum
internasional, sedang liability adalah kewajiban utama negara sebagai akibat dari kerugian yang timbul karena tindakan sah di bawah hukum internasional.
Terlepas dari ketidakseragaman istilah pertanggungjawaban dalam hukum internasional, dalam penulisan ini, penulis tetap mengacu pada perjanjian
internasional serta putusan-putusan hakim pengadilan internasional terdahulu yang mengandung norma dan prinsip hukum internasional, dengan kecenderungan
penggunaan frasa
responsibility untuk
merujuk pada
pemaknaan pertanggungjawaban.
7
Oleh karenanya, sekalipun belum ada istilah baku untuk itu, dalam penulisan ini, penulis memilih untuk menggunakan frasa
pertanggungjawaban sebagai padanan kata responsibility. Pertanggungjawaban sebagai sebuah konsep hukum terjadi ketika adanya
pelanggaran terhadap norma dan prinsip yang mengikat dalam hukum, baik nasional maupun internasional. Dalam konsep hukum internasional secara umum,
pertanggungjawaban yang dipadankan dengan responsibility dianggap sebagai salah satu prinsip dasar dalam hukum internasional, dimana norma
pertanggungjawaban difokuskan pada sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan, akibat dari perbuatan tidak sah secara hukum, dan khususnya pemberian
kompensasi untuk itu.
8
Hal ini sejalan pula dengan pendapat Mahkamah Internasional International Court of Justice dalam kasus Chorzów Factory, yang
7
Ibid., h.177, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford dan ELBS, London, h.433.
8
Ibid., h.178, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford dan ELBS, London, h.431-432.
51
menyatakan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip hukum internasional, bahkan konsepsi hukum yang lebih luas, bahwa setiap pelanggaran
atas suatu perjanjian akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan perbaikan duty of reparation.
Dua hal penting yang penulis garisbawahi adalah pertanggungjawaban sebagai sebuah kewajiban yang timbul karena tindakan yang telah dilakukan, serta
pertanggungjawaban membutuhkan perbaikan reparation yang sah secara hukum. Pada intinya, pertanggungjawaban adalah sebuah usaha yang dilakukan
oleh subyek hukum dengan tujuan untuk memperbaiki apa yang telah dirusak atau mengembalikan sesuatu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi pelanggaran
hukum atasnya. Pertanggungjawaban sebagai sebuah tindakan hukum, tentunya hanya bisa
dilaksanakan oleh subyek hukum yang berkedudukan sebagai pelaksana hak dan kewajiban. Dewasa ini sudah muncul beberapa entitas yang diakui sebagai subyek
hukum internasional, namun dalam penulisan ini, penulis berfokus ada 2 dua subyek hukum internasional, yakni negara dan individu.
52
3.2.1. Konsep pertanggungjawaban negara
Dalam berbagai sistem hukum, setiap entitas memiliki hak dan kewajiban yang bersumber dari hukum yang berlaku.
9
Status dari sebuah entitas menjadi penentu kewajiban mana yang harus dijalankan dan hak apa yang patut diterima.
10
Dalam perkembangannya, sistem hukum internasional secara bertahap mulai mengakui subyek-subyek hukum internasional yang baru, meskipun negara
tetap dianggap sebagai entitas yang menjadi prioritas dalam hukum internasional.
11
Hal tersebut menjadi alasan kuat mengapa hukum internasional mengutamakan perhatiannya terhadap hak dan kewajiban negara.
12
Adapun hak dan kewajiban negara tersebut dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum
internasional yang dimuat dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, yang adalah sebagai berikut: a international conventions, whether
general or particular, esthablishing rules expressly recognized by the contesting states; b international custom, as evidence of a general practice accepted as
law; c the general principles of law recognized by civilized nations; d subject to the provision of Article 59, judicial decisions and teachings of the most highly
qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law
.” The 1970 Declaration on Principles of International Law sebagai salah satu
sumber hukum internasional yang memuat prinsip-prinsip yang diakui dan dianut dalam hukum internasional menegaskan bahwa,
“all states enjoy sovereign equality. They have equal rights and duties and are equal members of the
9
Malcolm N. Shaw, International Law Edisi Ke-6, Cambridge University Press, New York, 2008, h. 195 Selanjutnya disingkat Malcolm II.
10
Malcolm II., Ibid., h. 196.
11
Malcolm II, Ibid., h. 197.
12
Peter Malanczuk., Op.Cit., h.75.
53
international community, notwithstanding differences of an economic, social, political, or other nature.
” Meskipun konteksnya terkait dengan kedaulatan sebuah negara, namun tidak menghilangkan esensi norma yang mau menjelaskan
bahwa di hadapan hukum internasional, setiap negara terikat akan hak maupun kewajiban. Contoh lainnya tentang hak serta kewajiban negara termuat dalam the
Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States adopted in October 1970 by the United Nations
General Assembly, yang menyebutkan bahwa: “[n]o state or group of states has right to intervene, directly or
indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other state. Consequently, armed intervention and
all other forms of interference or attempted threats against the personality of the state or against its political, economic and
cultural elements, are in violation of international law.” Norma ini menunjukan bahwa sebuah negara memiliki hak untuk tidak
diintervensi oleh negara lain, sementara disisi lainnya setiap negara dibebankan kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dalam hal apapun sebagai bentuk
penghormatan terhadap hak yang dimiliki oleh negara lain, yang bersumber dari hukum internasional.
HHI merupakan salah satu bidang ilmu yang juga mendistribusikan hak dan kewajiban yang mengikat bagi negara baik berupa norma tertulis maupun
kebiasaan. Dalam bab sebelumnya Supra 2.3., penulis telah menguraikan
instrumen hukum yang melindungi lingkungan hidup selama perang, di mana secara tidak langsung membebankan kewajiban kepada negara dan juga individu-
individu untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap ketentuan- ketentuan tersebut dalam segala keadaan. Hal ini tercermin dari Pasal 1 Konvensi
Jenewa I 1949 “the High Contracting Parties undertake to respect and to ensure
54
respect the natural environment as civilian object is arranged in Protocol I ,”
juncto Pasal 1 ayat 1 Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa “the High
Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this Protocol in all circumstances
.” Demikian pula dengan Konvensi ENMOD, Pasal 1 ayat 1
dan 2 secara ekspilisit menyebutkan kewajiban negara Supra 2.3.1.a, yakni:
“[1] each party to this Convention undertakes not to engage in military or any other hostile use of environmental modification
techniques having widespread, long-lasting, or severe effects as the means of destruction, damage or injury to any other State
Party. [2] Each State Party to this Convention undertakes not to assist,
encourage, or induce any State, group of States or international organization to engage in activities contrary to the provisions of
paragraph 1 of this article.”
Adapun yang dimaksudkan oleh fras
a
‘the High Contracting Parties’ disini merupakan negara-negara sebagai pihak yang menandatangani perjanjian atau kontrak dalam hukum internasional.
Melalui instrumen hukum internasional, setiap negara pihak dibebankan kewajiban untuk menghormati dan
menjamin penghormatan terhadap setiap norma dan prinsip yang diberlakukan di dalamnya. Hal tersebut termasuk juga memastikan agar setiap tindakan yang
dilakukan mewakili negara sesuai dengan kewajiban yang dibebankan terhadap negara.
Pada praktiknya, tindakan yang diambil oleh suatu negara seringkali mengakibatkan luka atau penghinaan terhadap martabat negara lain.
13
Bentuk tindakan tersebut secara umum dapat berupa pelanggaran terhadap hak-hak yang
dimiliki oleh negara lain, atau tidak dipenuhinya kewajiban internasional yang bersumber dari perjanjian-perjanjian atau kebiasaan masyarakat internasional
yang telah dianggap sebagai hukum. Tindakan negara yang dinyatakan salah menurut hukum internasional maupun cabang-cabangnya salah satunya HHI,
13
J.G. Starke, Op.Cit., h. 275.
55
secara otoritatif membebankan pertanggungjawaban terhadap negara.
14
Dalam memahami konsep hukum secara umum, logislah apabila suatu pelanggaran
menimbulkan efek pertanggungjawaban dari pihak yang melakukan untuk mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum suatu tindakan pelanggaran
dilakukan. Pertanggungjawaban negara merupakan salah satu prinsip hukum yang
mendasari hukum internasional. Konsep pertanggungjawaban negara yang diakui dalam
hukum internasional,
terdiri atas
2 dua,
yakni prinsip
pertanggungjawaban obyektif dan prinsip pertanggungjawaban subyektif. Prinsip pertanggungjawaban obyektif atau disebut
juga teori “resiko”, menyatakan bahwa pertanggungjawaban hukum negara bersifat mutlak.
15
Artinya, ketika suatu perbuatan melawan hukum terjadi, menimbulkan kerugian dan dilakukan oleh alat
negara, menurut hukum internasional, negara harus bertanggung jawab kepada pihak negara lain yang dirugikan, dengan mengabaikan apakah tindakan tersebut
dilandasi oleh itikad baik atau itikad buruk.
16
Sebaliknya, prinsip pertanggungjawaban subyektif atau disebut juga teori “kesalahan” menegaskan
bahwa harus ada unsur kesengajaan dolus atau kelalaian culpa di pihak persona terkait sebelum negaranya dapat diputus bertanggung jawab secara
hukum atas kerugian yang ditimbulkan.
17
Malcolm menambahkan pula bahwa Mahkamah Internasional lebih condong terhadap teori kesalahan, dimana secara
14
Malcolm I, Op.Cit., h.773.
15
Malcolm I., Ibid., 775.
16
Malcolm I., Ibid.
17
Malcolm I., Ibid.
56
implisit dinyatakan oleh hakim Mahkamah Internasional melalui kasus Corfu Channel:
18
“dari fakta bahwa suatu negara menjalankan kontrol atas teritori dan perairannya saja, tidak dapat disimpulkan bahwa negara itu
niscaya mengetahui, atau harus mengetahui setiap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalamnya, juga tidak dapat
disimpulkan bahwa negara niscaya mengethaui atau seharusnya sudah mengetahui sumber-sumber pelanggaran. Fakta itu
sendiri, dan di luar keadaan-keadaan lain, tidak melibatkan pertanggungjawaban prima facie tidak mengalihkan beban
pembuktian.” Artinya bahwa negara tidak bisa dianggap secara serta merta bertanggung jawab
atas suatu tindakan, apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang secara rasional dan logis tidak menduga-duga mampu menyimpulkan bahwa negara tidak
menjalankan kewajibannya atas dasar unsur kesalahan atau kesengajaan. Untuk
itu pula, Malcolm mengemukakan ciri-ciri esensial pertanggungjawaban negara
berhubungan dengan beberapa faktor dasar, di antaranya adalah sebagai berikut:
19
i adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara
kedua negara yang bersangkutan. Kewajiban internasional yang dimaksud disini mengikat negara, baik melalui perjanjian-perjanjian
internasional, hukum kebiasaan yang diterima oleh masyarakat dunia secara umum serta yurisprudensi yang berasal dari pengadilan
internasional; ii
bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban dan mewajibkan negara tersebut bertanggung jawab.
Artinya bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara
18
Malcolm I., Ibid.776.
19
Malcolm I., Ibid., h.774
57
memenuhi elemen-elemen pembentuk kesalahan atau kelalaian yang diatur melalui sebuah instrumen hukum;
iii bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut
menimbulkan kehilangan atau kerugian. Bentuk-bentuk kehilangan atau kerugian yang dialami negara akibat pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh negara lain harus bersifat eksplisit atau dengan kata lain harus secara nyata dapat dilihat.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekalipun setiap negara memiliki kepentingan hukum dalam melindungi hak-hak dasarnya, namun negara juga tidak
bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Pengingkaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan oleh negara mengakibatkan
pertanggungjawaban negara untuk melakukan tindakan perbaikan.
Peter Malanczuk berpendapat bahwa ketika negara melakukan suatu
tindakan yang mengabaikan kewajibannya dalam sumber-sumber hukum yang diakui, maka hal tersebut berarti negara melakukan pelanggaran terhadap hukum
internasional dan disebut sebagai ‘internationally wrongful act’.
20
Terminologi internationally wrongful act mulai dikenal luas sejak Agustus 2001, ketika
International Law Commission ILC
21
sebagai sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa PBB mengadopsi sebuah draft Articles on
Responsibility of State for Internationally Wrongful Act selanjutnya disebut
20
Peter Malanczuk, Ibid., h.254.
21
ILC merupakan sebuah badan yang didirikan oleh Majelis PBB sejak tahun 1948, terdiri atas sekelompok ahli hukum yang bertanggung jawab terhadap perkembangan hukum
internasional dan bertugas untuk mengupayakan kodifikasi terhadap hukum internasional.
58
draft
22
, yang walaupun belum disahkan sebagai sebuah konvensi internasional, namun konten dari draft telah diterima dengan sangat baik bahkan telah dikutip
beberapa kali dalam putusan Mahkamah Internasional. Hal ini dikarenakan kedudukan ILC yang dapat dianggap sebagai badan yang paling berkompeten
dalam memberikan pemahaman terkait intepretasi terhadap hukum internasional. Draft juga disusun oleh pakar-pakar hukum internasional yang dilandaskan pada
teori dan doktrin-doktrin yang berlaku di lingkup hukum internasional. Ditambah lagi, kedudukan draft di dalam hukum internasional telah semakin diakui dengan
dimasukkannya norma-norma yang diatur oleh draft ke dalam HHI Kebiasaan.
23
3.2.2. Konsep pertanggungjawaban pidana secara individual
Pada masa yang lalu, doktrin positivisme ortodoks secara jelas menegaskan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.
24
Dalam perkembangannya melalui perjanjian-perjanjian internasional beberapa entitas
diberikan kapasitas oleh hukum sebagai international legal person, maka doktrin ini tidak bisa dipertahankan lagi.
25
Individu adalah salah satu subyek hukum yang terbilang baru dalam hukum internasional, dimana isu mengenai status dan
kedudukannya muncul seiring dengan berkembangnya perlindungan hak asasi manusia HAM secara global. Hal tersebut secara bersamaan mengakui bahwa
individu dapat bertanggung jawab atas tindakan tertentu. Dengan demikian, fiksi
22
Lihat draft articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang diadopsi oleh ILC pada musim ke-53 2001, Official Records on General Assembly Fifty-sixth
session Supplement No.10 A561, cp IV.E.1 November, 2001.
23
Hal ini dibuktikan dengan referensi yang digunakan dalam Rule 149 dan Rule 150, sebuah tulisan komprehensif tentang Customary International Law Volume I: Rules yang
dihimpun oleh Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald Beck dan dipublikasikan oleh oleh International Cross Red Committee ICRC.
24
Malcolm II, Op.Cit., h. 197
25
Malcolm II., Ibid.
59
hukum bahwa dalam skema internasional individu tidak dapat berpartisipasi, sehingga ia tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya, telah dihapuskan.
26
Terlebih khusus dalam HHI, individu dianggap memiliki hak dan kewajiban untuk menjamin penghormatan terhadap norma-norma HHI.
Aturan-aturan yang termuat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I hingga Protokol Tambahan III, Konvensi ENMOD, serta
Statuta Roma bukan hanya mengikat negara sebagai pihak yang menandatangani, tetapi juga mengikat tindakan yang dilakukan oleh individu, baik
mengatasnamakan negara atau kelompok tertentu yang terpisah dari negara. Bab sebelumnya, penulis telah mendeskripsikan kewajiban individu melalui norma-
norma tertulis maupun prinsip-prinsip tidak tertulis yang mendasari sebuah norma.
27
Keberlakuan prinsip pertanggungjawaban yang berlaku bagi individu sebagai subyek hukum sama halnya dengan negara yang juga adalah subyek
hukum, dimana setiap pelanggaran dan pengabaian akan kewajiban meminta pertanggungjawaban. Fokus terhadap pembahasan kewajiban individu dalam
ranah HHI, tentu saja memunculkan pertanggungjawaban yang bersifat pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu atas kejahatan serius
serious violation merupakan hukum kebiasaan internasional yang sudah ada sejak lama dan telah diakui melalui Lieber Code dan Oxford Manual, dan sejak itu
dicantumkan lagi dalam banyak perjanjian internasional.
28
Awal mula pengakuan
26
Rebecca M.M.Wallace, International Law: Student Introduction, Sweet Maxwell, London, 1986, h. 65.
27
Supra 2.3.
28
Lihat Pasal 44 dan 47 tercantum dalam Vol.II Ch.43 Lieber Code; Pasal 48 Oxford Manual, Pasal 49 Konvensi Jenewa Pertama 1949; Pasal 50 Konvensi Jenewa Kedua 1949; Pasal
129 Konvensi Jenewa Ketiga 1949; Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat 1949; Pasal 28 Hague
60
pertanggungjawaban pidana internasional didasarkan pada berdirinya pengadilan adhoc seperti, Pengadilan Pidana Nuremberg dan Pengadilan Pidana Tokyo, yang
kemudian diikuti oleh Pengadilan ICTY dan ICTR, hingga saat ini telah terbentuk pengadilan permanen yakni Mahkamah Pidana Internasional International
Criminal Court.
29
Istilah individual criminal responsibility terbentuk dari dua frasa kata, yakni “individual” dan “criminal responisbility”.
30
Kata “individual” atau “individually” digunakan untuk mendeskripsikan subyek yang disasar, yakni individu atau orang
perorangan natural person , sedangkan frasa “criminal responsibility” terutama
digunakan untuk menjelaskan bahwa seorang individu harus bertanggung jawab secara pidana atas tindakan tidak sah atau melawan hukum.
31
Sehingga, tanggung jawab pidana secara individual individual criminal responsibility dapat berarti
suatu bentuk pertanggungjawaban oleh seorang individu sebagai akibat dari perbuatan tidak sah atau melawan hukum pidana.
Jika mempelajari lebih lanjut tentang histori prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu, dapat diketahui bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal
sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum Masehi.
32
Sehingga, Arie Siswanto
menyimpulkan bahwa prinsip ini pada dasarnya hanya ditegaskan kembali oleh Mahkamah Militer Nuremberg dan kemudian diikuti secara
Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 15 Second Protocol to the Hague Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 85 Protokol Tambahan I; Pasal 14
Amanded Protocol II to the Convention on Certain Conventional Weapons; Pasal 9 Ottawa Convention, etc.
29
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck,Op.Cit.,h. 551.
30
Ciara Damagaard, Individual Criminal Responsibility for Core International Crime, Springer
– Verlag, Berlin, 2008, h. 12.
31
Ciara Damagaard, Ibid.
32
Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2015,h. 260.
61
konsisten hingga hari ini.
33
Secara material, yuridiksi Mahkamah Militer Nuremberg terdiri atas 3 tiga jenis kejahatan, yakni kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Melalui prinsip pertanggungjawban pidana secara individual yang ditegaskan dalam Pasal
6 Statuta Mahkamah Militer Nuremberg beserta putusan-putusannya, dapat disimpulkan bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual harus
diterapkan kepada masing-masing individu yang berkontribusi dalam menjalankan suatu kejahatan, sekalipun kejahatan tersebut dilakukan secara
berkelompok. Dalih-dalih tentang jabatan formal individu dalam pemerintahan atau negara, sehingga tindakannya dapat dinyatakan sebagai tindakan negara, serta
dapat dipertanggungkan kepada negara secara tegas ditolak oleh mahkamah. Sama halnya dengan Mahkamah Militer Nuremberg, International Criminal
Tribunal for the Former of Yugoslavia ICTY juga menegaskan prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual dalam Statuta ICTY, yang
merupakan dasar hukum pendiriannya sebagai sebuah pengadilan pidana internasional ad hoc. ICTY dianggap sebagai bentuk respon Dewan Keamanan
PBB terhadap situasi krisis kemanusiaan dan juga bertujuan untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional di Yugoslavia. Pasal 7 ayat 1 Statuta ICTY
merefklesikan prinsip hukum pidana, dimana tanggung jawab pidana yang berlaku bagi seorang individu tidak mensyaratkan bahwa individu tersebut harus terlibat
secara fisik dalam melaksanakan suatu kejahatan, namun kontribusinya terhadap kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, misalnya merencanakan,
memprakarsai, memerintahkan, atau membujuk orang lain untuk melakukan
33
Arie Siswanto, Ibid.
62
kejahatan.
34
Berdasarkan ketentuan individual criminal responsibility yang
dimuat dalam Statuta ICTY, Arie Siswanto mengemukakan pula hubungan atasan
dan bawahan dalam hal pertanggungjawaban pidana, ia menyatakan bahwa:
35
“fakta bahwa perbuatan yang dimaksud dalam artikel 2-5 dilakukan oleh bawahan tidak membebaskan atasannya dari
tanggung jawab pidana kalau ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahannya hendak melakukan perbuatan dimaksud dan
atasan itu gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dan masuk akal guna mencegah atau menghukum si pelaku. Fakta
bahwa si terdakwa bertindak berdasarkan perintah dari pemerintahnya atau atasannya tidak dapat dijadikan dasar untuk
membebaskannya dari tanggung jawab pidana, namun dapat
dipertimbangkan untuk meringankan hukumannya.” Prinsip serta mekanisme operasional pengadilan ad hoc yang hadir pasca Perang
Dunia II, seperti Pengadilan Nuremberg, ICTY maupun ICTR, mempunyai peranan penting terhadap eksistensi Mahkamah Pidana Internasional sebagai
pengadilan yang permanen. Mahkamah Pidana Internasional memasukkan 4 empat jenis kejahatan dalam yuridiksi materialnya, yakni genosida, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi. Prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual merupakan salah satu prinsip dasar
dalam Statuta Roma 1998, yang tetap merefleksikan prinsip-prinsip hukum pidana secara umum, namun dalam rumusan norma dan unsur-unsur pidana mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Pasal 25 ayat 3 Statuta Roma 1998 memuat ketentuan bahwa seseorang harus memikul tanggung jawab pidana secara
individual apabila:
34
Pasal 7 ayat 1 Statuta ICTY : “A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in
article 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime .”
35
Arie Siswanto, Loc.Cit., h. 190.
63
a Melakukan suatu kejahatan, baik sendiri, bersama-sama dengan orang
lain, atau melalui orang lain, dimana ‘orang lain’ tersebut juga bertanggung jawab secara pidana;
b Memerintahkan, membujuk, atau mendorong dilakukannya suatu
kejahatan, yang pada faktanya benar terjadi atau percobaan kejahatan; c
Bertujuan untuk mempermudah terjadinya kejahatan pada saat dilakukannya kejahatan atau percobaan kejahatan dengan cara
memberikan bantuan serta mendorong, termasuk juga menyediakan peralatan untuk melakukan kejahatan;
d Dengan jalan lain memberi kontribusi untuk dilakukannya kejahatan
atau percobaan suatu kejahatan oleh sekelompok orang yang bertindak atas dasar tujuan yang sama. Kontribusi tersebut harus didasarkan
pada niat, dan: -
Dilakukan dengan maksud melanjutkan aktivitas kejahatan atau tujuan kejahatan kelompok; atau
- Dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang niat dari kelompok
untuk melakukan kejahatan.
3.3. Unsur-unsur Pertanggungjawaban
3.3.1. Unsur tanggung-jawab negara
Hingga saat ini, belum ada konvensi atau perjanjian internasional yang secara khusus membahas pertanggungjawaban internasional negara. Sehingga,
acuan yang paling memungkinkan untuk digunakan adalah draft tentang
64
Internationally Wrongful Act yang dikeluarkan oleh ILC. Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa saat ini draft sudah bisa diterima sebagai hukum
kebiasaan internasional. Pasal 1 draft sebagai prinsip hukum yang mendasari keseluruhan norma di
dalamnya, menyatakan bahwa “every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility
.” Pertanggungjawaban lahir karena adanya internationally wrongful act, yang tidak hanya terbatas pada tindakan aktif atau
commission, tetapi juga tindakan pasif berupa pendiaman atau omission ataupun kombinasi keduanya. Unsur-unsur elements pembentuk internationally wrongful
act termuat dalam Pasal 2 draft. Internationally wrongful act oleh suatu negara terjadi ketika negara melakukan perbuatan yang terdiri atas tindakan atau
pendiaman dengan dasar 2 dua syarat berikut terpenuhi: a is attributable to the State under international law; and b constitutes breach of an international
obligation of the State. Berikut ini adalah uraian mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk
menyatakan negara melakukan international wrongful act berdasarkan Pasal 2 draft.
a. AtributabilitasImputabilitas
Pada dasarnya, istilah atributabilitas attributability atau imputabilitas imputability memiliki makna yang sama dan dapat digunakan bergantian.
Dalam konteks memahami imputabilitas, Malanczuk menuliskan bahwa negara
bertanggung jawab atas tindakan pejabatnya, hanya apabila tindakan tersebut “imputable” atau disebut juga attributable oleh negara.
36
Imputabilitas adalah
36
Peter Malanczuk., Op.Cit., 254.
65
fiksi hukum yang mengasimilasi tindakan atau pendiaman pejabat negara dengan menimbulkan tanggung jawab negara atas kerusakan properti atau orang yang
berasal dari negara lain.
37
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara bertanggung jawab hanya sejauh suatu perbuatan yang tidak sah unlawful
dilakukan oleh apartur pemerintahan, dan bukan oleh setiap individu dalam masyarakat secara keseluruhan.
38
Sebagai contoh, apabila polisi melakukan penyerangan terhadap warga negara asing, maka negara ikut bertanggung jawab
untuk itu, sedangkan apabila penyerangan dilakukan oleh warga negara yang tidak memiliki kapasitas sebagai aparatur pemerintahan, maka ia bertanggung jawab
sebagai seorang individu.
39
Berkaitan dengan
pertanggungjawaban negara,
imputabilitas atau
atributabilitas adalah salah satu unsur yang disyaratkan untuk menyatakan negara melakukan internationally wrongful act. Pasal 2 huruf a draft mencantumkan
bahwa “conduct consisting of an action or omission is attibutable to the State under international law.
” Selanjutnya untuk menentukan pihak mana saja yang sesuai dengan hukum internasional, yang mana pihak tersebut yang mendapatkan
atribusi kekuasaan dari negara, maka draft telah menyusun dan mengelaborasi pihak-pihak tersebut dalam Pasal 4
– 11 Bab II draft tentang Atribution of Conduct to a State.
b. Pelanggaran terhadap kewajiban internasional