T1 312012075 BAB III

(1)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN INDIVIDU

3.1. Pengantar

Bab ini akan mengupas lebih mendalam tentang pokok permasalahan dan tujuan yang hendak dijawab melalui penulisan, yakni bentuk pertanggungjawaban negara dan individu dalam hal perusakan lingkungan hidup selama perang berlangsung. Penulis berpendapat bahwa Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law Commission merupakan sumber utama yang relevan untuk menjawab bentuk pertanggungjawaban negara. Meskipun Draft Articles tersebut hingga kini belum menjadi konvensi yang bersifat mengikat, dokumen tersebut mengakomodasikan hukum kebiasaan internasional dan pendapat-pendapat publicist yang otoritatif. Sementara, bentuk pertanggungjawaban individu atas kerusakan lingkungan hidup tetap mengacu pada Statuta Roma 1998, yakni tanggung jawab pidana secara individual. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh individu secara bersamaan dapat menarik pertanggungjawaban negara.

Ada tiga hal pokok dalam struktur argumentasi tesis ini. Hal yang pertama adalah konsep umum pertanggungjawaban (responsibility) dalam hukum internasional. Hal yang kedua unsur-unsur pertanggungjawaban negara dan individu yang diatur dalam hukum internasional secara umum dan HHI secara khusus, di mana prinsip atributalitas atau imputabilitas menjadi salah satu isu


(2)

sentral yang mendukung tesis penulis. Dan hal yang terakhir, perusakan lingkungan hidup sebagai salah satu bentuk kejahatan perang dapat dikategorikan sebagai internationally wrongful act.

3.2. Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Internasional

Konsep pertanggungjawaban karena perbuatan melanggar hukum, seringkali diistilahkan dalam hukum internasional dengan menggunakan frasa responsibility

dan/atau liability, yang merujuk makna yang sama maupun berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa belum ada istilah baku untuk mengkonsepsikan pertanggungjawaban dalam hukum internasional.1 Peter Malanczuk juga menilai bahwa kedua terminologi tersebut kerapkali digunakan secara bergantian, ia

menyatakan bahwa “sometimes the term of ‘responsibility’ is used

interchangeably with the term ‘liability’, but the use of terminology in this respect in the literature is by no means uniform...”2 Ketiadaan istilah baku terhadap pertanggungjawaban dibuktikan pula dengan ambiguitas penggunaan istilah dalam mendeskripsikan responsibility dan liability oleh Black’s Law Dictionary. Frasa responsibility didefinisikan sebagai: “the obligation to answer for any act done, and to repair any injury it may have caused; liable, legally accountable for answerable.”3 Selain menunjukan bahwa responsibility mengakibatkan kewajiban untuk reparasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan, definisi ini seakan-akan

mendeskripsikan ‘liability’ sebagai padanan kata atau istilah sinonimnya.

1

Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,h. 177.

2

Peter Malanczuk, Akehurt’s Modern Introduction to International Law 7th Rev. Ed., Routledge, London & New York, 1997, h. 254.

3


(3)

Sedangkan, frasa liabilitydideskripsikan sebagai: “the word is a broad legal term. It has been referred to as of the most comprehensive significance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent or likely; condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense, or burden.”4 Meskipun definisi tersebut menyimpulkan bahwa frasa “liability

memiliki cakupan yang luas dan komprehensif, namun secara bersamaan, kedua istilah tersebut mendeskripisikan satu sama lain. Sehingga, mengingat tidak ada kesepakatan istilah yang baku dalam mendeskripsikan pertanggungjawaban, maka secara konsep kesimpulan sementara dapat menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, keduanya adalah padanan kata atau istilah sinonim yang dapat digunakan secara bergantian.

L.F.Goldie rupanya memiliki pendapat yang berbeda, ia menegaskan pemaknaan serta penggunaan terhadap dua frasa tersebut harus dibedakan secara ketat, dimana responsibility menunjuk pada standar perilaku dan kegagalan pemenuhan standar tersebut; sedangkan liability menyangkut pada kerusakan atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu termasuk cara untuk memulihkan kerusakan atau kerugian tersebut.5 Pada pratiknya, kedua istilah tersebut memang telah digunakan dengan konteks yang berbeda-beda, misalnya Pasal 139 The United Nations Convention on the Law of the Sea secara bersamaan menggunakan istilah responsibility dan liability melalui judul artikelnya

responsibility to ensure compliance and liability for damage”, untuk merujuk

pada pengertian yang berbeda.6 Dalam sebuah tulisan yang berjudul “State Responsibility and International Liability for Injurious Consequences of Acts Not

4

Ibid., h.1059-1060. 5

Titon Slamet Kurnia,Op.Cit., h. 178. 6


(4)

Prohibited by International Law: A Necessary Distinction?”, Alan E. Boyle membedakan antara terminologi responsibility dan juga liability. Responsibility

merupakan kewajiban negara yang timbul karena pelanggaran atas hukum internasional, sedang liability adalah kewajiban utama negara sebagai akibat dari kerugian yang timbul karena tindakan sah di bawah hukum internasional.

Terlepas dari ketidakseragaman istilah pertanggungjawaban dalam hukum internasional, dalam penulisan ini, penulis tetap mengacu pada perjanjian internasional serta putusan-putusan hakim pengadilan internasional terdahulu yang mengandung norma dan prinsip hukum internasional, dengan kecenderungan penggunaan frasa responsibility untuk merujuk pada pemaknaan pertanggungjawaban.7 Oleh karenanya, sekalipun belum ada istilah baku untuk itu, dalam penulisan ini, penulis memilih untuk menggunakan frasa pertanggungjawaban sebagai padanan kata responsibility.

Pertanggungjawaban sebagai sebuah konsep hukum terjadi ketika adanya pelanggaran terhadap norma dan prinsip yang mengikat dalam hukum, baik nasional maupun internasional. Dalam konsep hukum internasional secara umum, pertanggungjawaban yang dipadankan dengan responsibility dianggap sebagai salah satu prinsip dasar dalam hukum internasional, dimana norma pertanggungjawaban difokuskan pada sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan, akibat dari perbuatan tidak sah secara hukum, dan khususnya pemberian kompensasi untuk itu.8 Hal ini sejalan pula dengan pendapat Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam kasus Chorzów Factory, yang

7

Ibid., h.177, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford dan ELBS, London, h.433.

8

Ibid., h.178, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford dan ELBS, London, h.431-432.


(5)

menyatakan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip hukum internasional, bahkan konsepsi hukum yang lebih luas, bahwa setiap pelanggaran atas suatu perjanjian akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan perbaikan (duty of reparation).

Dua hal penting yang penulis garisbawahi adalah pertanggungjawaban sebagai sebuah kewajiban yang timbul karena tindakan yang telah dilakukan, serta pertanggungjawaban membutuhkan perbaikan (reparation) yang sah secara hukum. Pada intinya, pertanggungjawaban adalah sebuah usaha yang dilakukan oleh subyek hukum dengan tujuan untuk memperbaiki apa yang telah dirusak atau mengembalikan sesuatu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi pelanggaran hukum atasnya.

Pertanggungjawaban sebagai sebuah tindakan hukum, tentunya hanya bisa dilaksanakan oleh subyek hukum yang berkedudukan sebagai pelaksana hak dan kewajiban. Dewasa ini sudah muncul beberapa entitas yang diakui sebagai subyek hukum internasional, namun dalam penulisan ini, penulis berfokus ada 2 (dua) subyek hukum internasional, yakni negara dan individu.


(6)

3.2.1. Konsep pertanggungjawaban negara

Dalam berbagai sistem hukum, setiap entitas memiliki hak dan kewajiban yang bersumber dari hukum yang berlaku.9 Status dari sebuah entitas menjadi penentu kewajiban mana yang harus dijalankan dan hak apa yang patut diterima.10

Dalam perkembangannya, sistem hukum internasional secara bertahap mulai mengakui subyek-subyek hukum internasional yang baru, meskipun negara tetap dianggap sebagai entitas yang menjadi prioritas dalam hukum internasional.11 Hal tersebut menjadi alasan kuat mengapa hukum internasional mengutamakan perhatiannya terhadap hak dan kewajiban negara.12 Adapun hak dan kewajiban negara tersebut dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum internasional yang dimuat dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yang adalah sebagai berikut: (a) international conventions, whether general or particular, esthablishing rules expressly recognized by the contesting states; (b) international custom, as evidence of a general practice accepted as law; (c) the general principles of law recognized by civilized nations; (d) subject to the provision of Article 59, judicial decisions and teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.”

The 1970 Declaration on Principles of International Law sebagai salah satu sumber hukum internasional yang memuat prinsip-prinsip yang diakui dan dianut dalam hukum internasional menegaskan bahwa, “all states enjoy sovereign

equality. They have equal rights and duties and are equal members of the

9

Malcolm N. Shaw, International Law Edisi Ke-6, Cambridge University Press, New York, 2008, h. 195 (Selanjutnya disingkat Malcolm II).

10

Malcolm II., Ibid., h. 196. 11

Malcolm II, Ibid., h. 197. 12


(7)

international community, notwithstanding differences of an economic, social, political, or other nature.” Meskipun konteksnya terkait dengan kedaulatan sebuah negara, namun tidak menghilangkan esensi norma yang mau menjelaskan bahwa di hadapan hukum internasional, setiap negara terikat akan hak maupun kewajiban. Contoh lainnya tentang hak serta kewajiban negara termuat dalam the Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States adopted in October 1970 by the United Nations General Assembly, yang menyebutkan bahwa:

“[n]o state or group of states has right to intervene, directly or

indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other state. Consequently, armed intervention and all other forms of interference or attempted threats against the personality of the state or against its political, economic and

cultural elements, are in violation of international law.”

Norma ini menunjukan bahwa sebuah negara memiliki hak untuk tidak diintervensi oleh negara lain, sementara disisi lainnya setiap negara dibebankan kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dalam hal apapun sebagai bentuk penghormatan terhadap hak yang dimiliki oleh negara lain, yang bersumber dari hukum internasional.

HHI merupakan salah satu bidang ilmu yang juga mendistribusikan hak dan kewajiban yang mengikat bagi negara baik berupa norma tertulis maupun kebiasaan. Dalam bab sebelumnya (Supra 2.3.), penulis telah menguraikan instrumen hukum yang melindungi lingkungan hidup selama perang, di mana secara tidak langsung membebankan kewajiban kepada negara dan juga individu-individu untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dalam segala keadaan. Hal ini tercermin dari Pasal 1 Konvensi


(8)

respect the natural environment as civilian object is arranged in Protocol I,” juncto Pasal 1 ayat (1) Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa “the High Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this Protocol in all circumstances.” Demikian pula dengan Konvensi ENMOD, Pasal 1 ayat (1)

dan (2) secara ekspilisit menyebutkan kewajiban negara (Supra 2.3.1.a), yakni:

“[1] each party to this Convention undertakes not to engage in military or any other hostile use of environmental modification techniques having widespread, long-lasting, or severe effects as the means of destruction, damage or injury to any other State Party.

[2] Each State Party to this Convention undertakes not to assist, encourage, or induce any State, group of States or international organization to engage in activities contrary to the provisions of

paragraph 1 of this article.”

Adapun yang dimaksudkan oleh fras

a‘the High Contracting Parties’ disini merupakan negara-negara sebagai pihak yang

menandatangani perjanjian atau kontrak dalam hukum internasional.

Melalui instrumen hukum internasional, setiap negara pihak dibebankan kewajiban untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap setiap norma dan prinsip yang diberlakukan di dalamnya. Hal tersebut termasuk juga memastikan agar setiap tindakan yang dilakukan mewakili negara sesuai dengan kewajiban yang dibebankan terhadap negara.

Pada praktiknya, tindakan yang diambil oleh suatu negara seringkali mengakibatkan luka atau penghinaan terhadap martabat negara lain.13 Bentuk tindakan tersebut secara umum dapat berupa pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh negara lain, atau tidak dipenuhinya kewajiban internasional yang bersumber dari perjanjian-perjanjian atau kebiasaan masyarakat internasional yang telah dianggap sebagai hukum. Tindakan negara yang dinyatakan salah menurut hukum internasional maupun cabang-cabangnya (salah satunya HHI),

13


(9)

secara otoritatif membebankan pertanggungjawaban terhadap negara.14 Dalam memahami konsep hukum secara umum, logislah apabila suatu pelanggaran menimbulkan efek pertanggungjawaban dari pihak yang melakukan untuk mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum suatu tindakan pelanggaran dilakukan.

Pertanggungjawaban negara merupakan salah satu prinsip hukum yang mendasari hukum internasional. Konsep pertanggungjawaban negara yang diakui dalam hukum internasional, terdiri atas 2 (dua), yakni prinsip pertanggungjawaban obyektif dan prinsip pertanggungjawaban subyektif. Prinsip pertanggungjawaban obyektif atau disebut juga teori “resiko”, menyatakan bahwa pertanggungjawaban hukum negara bersifat mutlak.15 Artinya, ketika suatu perbuatan melawan hukum terjadi, menimbulkan kerugian dan dilakukan oleh alat negara, menurut hukum internasional, negara harus bertanggung jawab kepada pihak (negara) lain yang dirugikan, dengan mengabaikan apakah tindakan tersebut dilandasi oleh itikad baik atau itikad buruk.16 Sebaliknya, prinsip

pertanggungjawaban subyektif atau disebut juga teori “kesalahan” menegaskan

bahwa harus ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) di pihak persona terkait sebelum negaranya dapat diputus bertanggung jawab secara hukum atas kerugian yang ditimbulkan.17Malcolm menambahkan pula bahwa Mahkamah Internasional lebih condong terhadap teori kesalahan, dimana secara

14

Malcolm I, Op.Cit., h.773. 15

Malcolm I., Ibid., 775. 16

Malcolm I., Ibid.

17


(10)

implisit dinyatakan oleh hakim Mahkamah Internasional melalui kasus Corfu Channel:18

“dari fakta bahwa suatu negara menjalankan kontrol atas teritori

dan perairannya saja, tidak dapat disimpulkan bahwa negara itu niscaya mengetahui, atau harus mengetahui setiap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalamnya, juga tidak dapat disimpulkan bahwa negara niscaya mengethaui atau seharusnya sudah mengetahui sumber-sumber pelanggaran. Fakta itu sendiri, dan di luar keadaan-keadaan lain, tidak melibatkan pertanggungjawaban prima facie tidak mengalihkan beban

pembuktian.”

Artinya bahwa negara tidak bisa dianggap secara serta merta bertanggung jawab atas suatu tindakan, apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang secara rasional dan logis (tidak menduga-duga) mampu menyimpulkan bahwa negara tidak menjalankan kewajibannya atas dasar unsur kesalahan atau kesengajaan. Untuk itu pula, Malcolm mengemukakan ciri-ciri esensial pertanggungjawaban negara berhubungan dengan beberapa faktor dasar, di antaranya adalah sebagai berikut:19

(i) adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara kedua negara yang bersangkutan. Kewajiban internasional yang dimaksud disini mengikat negara, baik melalui perjanjian-perjanjian internasional, hukum kebiasaan yang diterima oleh masyarakat dunia secara umum serta yurisprudensi yang berasal dari pengadilan internasional;

(ii) bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban dan mewajibkan negara tersebut bertanggung jawab. Artinya bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara

18

Malcolm I., Ibid.776. 19


(11)

memenuhi elemen-elemen pembentuk kesalahan atau kelalaian yang diatur melalui sebuah instrumen hukum;

(iii) bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut menimbulkan kehilangan atau kerugian. Bentuk-bentuk kehilangan atau kerugian yang dialami negara akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara lain harus bersifat eksplisit atau dengan kata lain harus secara nyata dapat dilihat.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekalipun setiap negara memiliki kepentingan hukum dalam melindungi hak-hak dasarnya, namun negara juga tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Pengingkaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan oleh negara mengakibatkan pertanggungjawaban negara untuk melakukan tindakan perbaikan.

Peter Malanczuk berpendapat bahwa ketika negara melakukan suatu tindakan yang mengabaikan kewajibannya dalam sumber-sumber hukum yang diakui, maka hal tersebut berarti negara melakukan pelanggaran terhadap hukum

internasional dan disebut sebagai ‘internationally wrongful act’.20 Terminologi

internationally wrongful act mulai dikenal luas sejak Agustus 2001, ketika

International Law Commission (ILC)21 sebagai sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengadopsi sebuah draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act (selanjutnya disebut

20

Peter Malanczuk, Ibid., h.254. 21

ILC merupakan sebuah badan yang didirikan oleh Majelis PBB sejak tahun 1948, terdiri atas sekelompok ahli hukum yang bertanggung jawab terhadap perkembangan hukum internasional dan bertugas untuk mengupayakan kodifikasi terhadap hukum internasional.


(12)

draft)22, yang walaupun belum disahkan sebagai sebuah konvensi internasional, namun konten dari draft telah diterima dengan sangat baik bahkan telah dikutip beberapa kali dalam putusan Mahkamah Internasional. Hal ini dikarenakan kedudukan ILC yang dapat dianggap sebagai badan yang paling berkompeten dalam memberikan pemahaman terkait intepretasi terhadap hukum internasional.

Draft juga disusun oleh pakar-pakar hukum internasional yang dilandaskan pada teori dan doktrin-doktrin yang berlaku di lingkup hukum internasional. Ditambah lagi, kedudukan draft di dalam hukum internasional telah semakin diakui dengan dimasukkannya norma-norma yang diatur oleh draft ke dalam HHI Kebiasaan.23

3.2.2.Konsep pertanggungjawaban pidana secara individual

Pada masa yang lalu, doktrin positivisme ortodoks secara jelas menegaskan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.24Dalam perkembangannya melalui perjanjian-perjanjian internasional beberapa entitas diberikan kapasitas oleh hukum sebagai international legal person, maka doktrin ini tidak bisa dipertahankan lagi.25 Individu adalah salah satu subyek hukum yang terbilang baru dalam hukum internasional, dimana isu mengenai status dan kedudukannya muncul seiring dengan berkembangnya perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara global. Hal tersebut secara bersamaan mengakui bahwa individu dapat bertanggung jawab atas tindakan tertentu. Dengan demikian, fiksi

22

Lihat draft articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang diadopsi oleh ILC pada musim ke-53 (2001), Official Records on General Assembly Fifty-sixth session Supplement No.10 A/56/1, cp IV.E.1) November, 2001.

23

Hal ini dibuktikan dengan referensi yang digunakan dalam Rule 149 dan Rule 150, sebuah tulisan komprehensif tentang Customary International Law Volume I: Rules yang dihimpun oleh Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald Beck dan dipublikasikan oleh oleh

International Cross Red Committee (ICRC). 24

Malcolm II, Op.Cit., h. 197 25


(13)

hukum bahwa dalam skema internasional individu tidak dapat berpartisipasi, sehingga ia tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya, telah dihapuskan.26 Terlebih khusus dalam HHI, individu dianggap memiliki hak dan kewajiban untuk menjamin penghormatan terhadap norma-norma HHI.

Aturan-aturan yang termuat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I hingga Protokol Tambahan III, Konvensi ENMOD, serta Statuta Roma bukan hanya mengikat negara sebagai pihak yang menandatangani, tetapi juga mengikat tindakan yang dilakukan oleh individu, baik mengatasnamakan negara atau kelompok tertentu yang terpisah dari negara. Bab sebelumnya, penulis telah mendeskripsikan kewajiban individu melalui norma-norma tertulis maupun prinsip-prinsip tidak tertulis yang mendasari sebuah norma.27

Keberlakuan prinsip pertanggungjawaban yang berlaku bagi individu sebagai subyek hukum sama halnya dengan negara yang juga adalah subyek hukum, dimana setiap pelanggaran dan pengabaian akan kewajiban meminta pertanggungjawaban. Fokus terhadap pembahasan kewajiban individu dalam ranah HHI, tentu saja memunculkan pertanggungjawaban yang bersifat pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu atas kejahatan serius (serious violation) merupakan hukum kebiasaan internasional yang sudah ada sejak lama dan telah diakui melalui Lieber Code dan Oxford Manual, dan sejak itu dicantumkan lagi dalam banyak perjanjian internasional.28 Awal mula pengakuan

26

Rebecca M.M.Wallace, International Law: Student Introduction, Sweet & Maxwell, London, 1986, h. 65.

27

Supra 2.3.

28

Lihat Pasal 44 dan 47 (tercantum dalam Vol.II Ch.43) Lieber Code; Pasal 48 Oxford Manual, Pasal 49 Konvensi Jenewa Pertama 1949; Pasal 50 Konvensi Jenewa Kedua 1949; Pasal 129 Konvensi Jenewa Ketiga 1949; Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat 1949; Pasal 28 Hague


(14)

pertanggungjawaban pidana internasional didasarkan pada berdirinya pengadilan

adhoc seperti, Pengadilan Pidana Nuremberg dan Pengadilan Pidana Tokyo, yang kemudian diikuti oleh Pengadilan ICTY dan ICTR, hingga saat ini telah terbentuk pengadilan permanen yakni Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).29

Istilah individual criminal responsibility terbentuk dari dua frasa kata, yakni

individual” dan “criminal responisbility”.30Kata “individual” atau “individually

digunakan untuk mendeskripsikan subyek yang disasar, yakni individu atau orang perorangan (natural person), sedangkan frasa “criminal responsibility” terutama

digunakan untuk menjelaskan bahwa seorang individu harus bertanggung jawab secara pidana atas tindakan tidak sah atau melawan hukum. 31 Sehingga, tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) dapat berarti suatu bentuk pertanggungjawaban oleh seorang individu sebagai akibat dari perbuatan tidak sah atau melawan hukum pidana.

Jika mempelajari lebih lanjut tentang histori prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu, dapat diketahui bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum Masehi.32 Sehingga, Arie Siswanto menyimpulkan bahwa prinsip ini pada dasarnya hanya ditegaskan kembali oleh Mahkamah Militer Nuremberg dan kemudian diikuti secara

Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 15 Second Protocol to the Hague Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 85 Protokol Tambahan I; Pasal 14

Amanded Protocol II to the Convention on Certain Conventional Weapons; Pasal 9 Ottawa Convention, etc.

29

Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck,Op.Cit.,h. 551. 30

Ciara Damagaard, Individual Criminal Responsibility for Core International Crime, Springer – Verlag, Berlin, 2008, h. 12.

31

Ciara Damagaard, Ibid. 32


(15)

konsisten hingga hari ini.33 Secara material, yuridiksi Mahkamah Militer Nuremberg terdiri atas 3 (tiga) jenis kejahatan, yakni kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Melalui prinsip pertanggungjawban pidana secara individual yang ditegaskan dalam Pasal 6 Statuta Mahkamah Militer Nuremberg beserta putusan-putusannya, dapat disimpulkan bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual harus diterapkan kepada masing-masing individu yang berkontribusi dalam menjalankan suatu kejahatan, sekalipun kejahatan tersebut dilakukan secara berkelompok. Dalih-dalih tentang jabatan formal individu dalam pemerintahan atau negara, sehingga tindakannya dapat dinyatakan sebagai tindakan negara, serta dapat dipertanggungkan kepada negara secara tegas ditolak oleh mahkamah.

Sama halnya dengan Mahkamah Militer Nuremberg, International Criminal Tribunal for the Former of Yugoslavia (ICTY) juga menegaskan prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual dalam Statuta ICTY, yang merupakan dasar hukum pendiriannya sebagai sebuah pengadilan pidana internasional ad hoc. ICTY dianggap sebagai bentuk respon Dewan Keamanan PBB terhadap situasi krisis kemanusiaan dan juga bertujuan untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional di Yugoslavia. Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY merefklesikan prinsip hukum pidana, dimana tanggung jawab pidana yang berlaku bagi seorang individu tidak mensyaratkan bahwa individu tersebut harus terlibat secara fisik dalam melaksanakan suatu kejahatan, namun kontribusinya terhadap kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, misalnya merencanakan, memprakarsai, memerintahkan, atau membujuk orang lain untuk melakukan

33


(16)

kejahatan.34 Berdasarkan ketentuan individual criminal responsibility yang dimuat dalam Statuta ICTY, Arie Siswanto mengemukakan pula hubungan atasan dan bawahan dalam hal pertanggungjawaban pidana, ia menyatakan bahwa:35

“fakta bahwa perbuatan yang dimaksud dalam artikel 2-5 dilakukan oleh bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana kalau ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahannya hendak melakukan perbuatan dimaksud dan atasan itu gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dan masuk akal guna mencegah atau menghukum si pelaku. Fakta bahwa si terdakwa bertindak berdasarkan perintah dari pemerintahnya atau atasannya tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskannya dari tanggung jawab pidana, namun dapat

dipertimbangkan untuk meringankan hukumannya.”

Prinsip serta mekanisme operasional pengadilan ad hoc yang hadir pasca Perang Dunia II, seperti Pengadilan Nuremberg, ICTY maupun ICTR, mempunyai peranan penting terhadap eksistensi Mahkamah Pidana Internasional sebagai pengadilan yang permanen. Mahkamah Pidana Internasional memasukkan 4 (empat) jenis kejahatan dalam yuridiksi materialnya, yakni genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi. Prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual merupakan salah satu prinsip dasar dalam Statuta Roma 1998, yang tetap merefleksikan prinsip-prinsip hukum pidana secara umum, namun dalam rumusan norma dan unsur-unsur pidana mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma 1998 memuat ketentuan bahwa seseorang harus memikul tanggung jawab pidana secara individual apabila:

34Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY : “A person who planned, instigated, ordered, committed

or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in article 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.”

35


(17)

(a) Melakukan suatu kejahatan, baik sendiri, bersama-sama dengan orang

lain, atau melalui orang lain, dimana ‘orang lain’ tersebut juga

bertanggung jawab secara pidana;

(b) Memerintahkan, membujuk, atau mendorong dilakukannya suatu kejahatan, yang pada faktanya benar terjadi atau percobaan kejahatan; (c) Bertujuan untuk mempermudah terjadinya kejahatan pada saat

dilakukannya kejahatan atau percobaan kejahatan dengan cara memberikan bantuan serta mendorong, termasuk juga menyediakan peralatan untuk melakukan kejahatan;

(d) Dengan jalan lain memberi kontribusi untuk dilakukannya kejahatan atau percobaan suatu kejahatan oleh sekelompok orang yang bertindak atas dasar tujuan yang sama. Kontribusi tersebut harus didasarkan pada niat, dan:

- Dilakukan dengan maksud melanjutkan aktivitas kejahatan atau tujuan kejahatan kelompok; atau

- Dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang niat dari kelompok untuk melakukan kejahatan.

3.3. Unsur-unsur Pertanggungjawaban

3.3.1.Unsur tanggung-jawab negara

Hingga saat ini, belum ada konvensi atau perjanjian internasional yang secara khusus membahas pertanggungjawaban internasional negara. Sehingga, acuan yang paling memungkinkan untuk digunakan adalah draft tentang


(18)

Internationally Wrongful Act yang dikeluarkan oleh ILC. Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa saat ini draft sudah bisa diterima sebagai hukum kebiasaan internasional.

Pasal 1 draft sebagai prinsip hukum yang mendasari keseluruhan norma di

dalamnya, menyatakan bahwa “every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility.” Pertanggungjawaban lahir karena adanya internationally wrongful act, yang tidak hanya terbatas pada tindakan aktif atau

commission, tetapi juga tindakan pasif berupa pendiaman atau omission ataupun kombinasi keduanya. Unsur-unsur (elements) pembentuk internationally wrongful act termuat dalam Pasal 2 draft. Internationally wrongful act oleh suatu negara terjadi ketika negara melakukan perbuatan yang terdiri atas tindakan atau pendiaman dengan dasar 2 (dua) syarat berikut terpenuhi: (a) is attributable to the State under international law; and (b) constitutes breach of an international obligation of the State.

Berikut ini adalah uraian mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menyatakan negara melakukan international wrongful act berdasarkan Pasal 2

draft.

a. Atributabilitas/Imputabilitas

Pada dasarnya, istilah atributabilitas (attributability) atau imputabilitas (imputability) memiliki makna yang sama dan dapat digunakan bergantian. Dalam konteks memahami imputabilitas, Malanczuk menuliskan bahwa negara bertanggung jawab atas tindakan pejabatnya, hanya apabila tindakan tersebut

imputable” (atau disebut juga attributable) oleh negara.36 Imputabilitas adalah

36


(19)

fiksi hukum yang mengasimilasi tindakan atau pendiaman pejabat negara dengan menimbulkan tanggung jawab negara atas kerusakan properti atau orang yang berasal dari negara lain.37 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara bertanggung jawab hanya sejauh suatu perbuatan yang tidak sah (unlawful) dilakukan oleh apartur pemerintahan, dan bukan oleh setiap individu dalam masyarakat secara keseluruhan.38 Sebagai contoh, apabila polisi melakukan penyerangan terhadap warga negara asing, maka negara ikut bertanggung jawab untuk itu, sedangkan apabila penyerangan dilakukan oleh warga negara yang tidak memiliki kapasitas sebagai aparatur pemerintahan, maka ia bertanggung jawab sebagai seorang individu.39

Berkaitan dengan pertanggungjawaban negara, imputabilitas atau atributabilitas adalah salah satu unsur yang disyaratkan untuk menyatakan negara melakukan internationally wrongful act. Pasal 2 huruf a draft mencantumkan

bahwa “conduct consisting of an action or omission is attibutable to the State under international law.” Selanjutnya untuk menentukan pihak mana saja yang

sesuai dengan hukum internasional, yang mana pihak tersebut yang mendapatkan atribusi kekuasaan dari negara, maka draft telah menyusun dan mengelaborasi pihak-pihak tersebut dalam Pasal 4 – 11 Bab II draft tentang Atribution of Conduct to a State.

b. Pelanggaran terhadap kewajiban internasional

Unsur kedua yang membentuk internationally wrongful act suatu negara adalah adanya pelanggaran terhadap kewajiban internasional.Pasal 12 draft secara spesifik menyebutkan bahwa there is a breach of an international obligation by a

37

Malcolm II, Op.Cit., h.786. 38

Peter Malanczuk, Loc.Cit., h.258. 39


(20)

State when an act of that State is not in conformity with what is regarded of it by that obligation, regardless of its origin or character. Bagian Commentaries dari

draft menyatakan bahwa frasa “not in conformity with...”(tidak bersesuaian

dengan..) lazim digunakan dalam hukum internasional,40 meskipun Mahkamah Internasional dalam beberapa kesempatan juga memberikan sebutan berbeda,

seperti “incompability with obligations of a State; acts contrary to; atau

inconsistentwith a given rule, namun dituliskan dalam bagian Commentaries bahwa frasa “not in conformity with what is regarded of it by that obligations

merupakan cara yang tepat untuk mengindikasikan hakekat sesungguhnya dari pelanggaran terhadap kewajiban negara.41 Frasa tersebut memberikan ruang kemungkinan adanya pelanggaran bahkan jika hanya sebagian tindakan negara yang bertentangan dengan kewajiban internasional yang diperuntukkan baginya.

Dikatakan pula bahwa, frasa “not in conformity with...” cukup dinamis/fleksibel

untuk menjembatani berbagai cara berbeda dalam melaksanakan kewajiban, maupun berbagai kemungkinan bentuk pelanggaran yang akan terjadi.

Sebuah pelanggaran atas kewajiban internasional terdiri atas tindakan (act

atau commission), pendiaman (ommission), dan gabungan antara tindakan dan pendiaman. Dalam catatan yang dimuat oleh Black’s Law Dictionary, diketahui bahwa act, in its most general sense, this noun signifies something done

voluntarily by a person; the exercise of an individual’s power; an effect produced

in the external world by an exercise of the power of a person objectively, prompted by intention and proximately caused by a motion of the will.42

40

Bagian Komentar draft, h. 54-55 41

Bagian Komentar draf, h. 55. 42

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Rev Edisi ke-4, West Publishing Co., St.Paul Minn, 1968 (selanjutnya disingkat Henry C. Black II), h. 42.


(21)

Ditambahkan lagi bahwa in a more technical sense, it means something done voluntarily by a person, that certain legal consequences attact to it.43 Commission

diartikan sebagai a warrant or authority or letters patent, issuing from the government, or one of its departments, or a court, empowering a person or persons named to do certain act, or to exercise jurisdiction, or to perform the duties and exercise the authority of an office.44 Menghubungkan antara pengertian

act dan commission yang dipaparkan dalam Black’s Law Dictionary, penulis mendapati bahwa keduanya dinyatakan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan niat, keinginan pribadi dan kesadaran akan konsekuensi dari perbuatan tersebut.

Act merupakan istilah yang lebih umum digunakan, sementara commission erat kaitannya dengan otoritas atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang, sehingga tindakan atau perbuatan tersebut merupakan refleksi dari kewajiban yang dimilikinya. Disisi lain omission berarti the neglect to perform what the law requires.45 Omission merujuk pada pengabaian atau kegagalan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Secara definitif, tidak diberikan pembedaan apakah suatu tindakan pengabaian atau kelalaian dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja.

3.3.2.Unsur pertanggungjawaban individu

Sekalipun ada banyak perjanjian-perjanjian internasional yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam keadaan perang, namun banyak juga diantaranya yang sama sekali tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban,

43

Henry C. Black II, Ibid., h.42 dikutip dari Jefferson Standard Life Ins. C. V. Myers, Tex.Com.App., 284 S.W. 216, 218.

44

Henry C. Black II, Ibid., h. 339. 45


(22)

khususnya pertanggungjawaban oleh individu. Memahami unsur-unsur pertanggungjawaban pidana individu, penulis secara khusus mengacu ketentuan dalam Statuta Roma 1998 sebagai instrumen hukum yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Pidana Internasional untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana hukum internasional, salah satunya kejahatan perang.46

Seorang individu dapat dituntut untuk bertanggung jawab karena melakukan pelanggaran di bawah hukum internasional, tanpa mempersoalkan status dan hubungannya dengan sebuah negara.47 Pasal 26 ayat (4) Statuta Roma 1998

mengemukakan bahwa “no provision of this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect the responsibility of States under international law.”

Sebaliknya, Pasal 58 draft menyebutkan bahwa “these articles are without prejudice to any question of the individual responsibility under international law of any person acting on behalf of a State.” Hal ini berarti bahwa ada perbedaan

yang jelas antara pertanggungjawaban internasional yang dibebankan kepada negara maupun yang dibebankan terhadap individu, sekalipun negara harus bertanggung jawab karena individu tersebut melakukan tindakan mewakili negara. Sementara itu, untuk menyatakan bahwa individu bertanggung jawab secara pidana atas suatu kejahatan, maka tindakan yang dilakukan oleh individu tersebut

haruslah memenuhi unsur-unsur (elements) yang membentuk

pertanggungjawaban. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana secara individual terdiri atas 2 (dua) kategori, yakni sebagai berikut:

1) Unsur Subyektif (Mental Element)

46

Sebagaimana telah dibuktikan di atas bahwa kerusakan lingkungan hidup secara sengaja adalah sebagai bentuk kejahatan perang, lihat Supra 2.4.

47


(23)

Unsur subyektif mengarah pada keadaan tertentu dimana niat kejahatan sudah tercokol dalam pikiran seorang pelaku (actus non facit reum nisi mens sit rea), atau yang lebih dikenal sebagai mens rea.48 Pasal 30 Statuta Roma 1998 mendeskripsikan unsur subyektif yang disyaratkan dalam tanggungjawab pidana

bagi individu: “unless otherwise provided, a person shall be criminally resposible and liable for punishment for a crime within the jurisdiction of the Court only if the material elements are committed with intent and knowledge.”

Menggarisbawahi dua hal penting yang membentuk mental element untuk pertanggungjawaban pidana individu adalah niat (intent) dan pengetahuan (knowledge). Demikian pula penegasan Majelis Hakim Mahkamah Pidana Internasional, yang menyatakan bahwa Pasal 30 Statuta Roma 1998 mengkodifikasikan unsur mental (mental element) sebagai salah satu syarat dalam memenuhi unsur-unsur kejahatan yang menjadi yuridiksinya.49 Hal tersebut mendefinisikan bahwa keadaan pikiran seseorang menjadi syarat untuk membangun pertanggungjawaban pidana atas semua kejahatan yang diatur dalam Pasal 6 hingga Pasal 8 Statuta Roma 1998.50

Pasal 30 ayat (2) Statuta Roma 1998 mencantumkan dua ciri-ciri seseorang disebut memiliki niat (intent). Yang pertama, dalam hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan, orang tersebut bermaksud untuk ikut serta dalam bertindak. Maksud atau niat tersebut telah didahului dengan kesadaran untuk

48

Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo, (Pre-Trial) Kasus Mahkamah Pidana Internasional No. ICC-01/05-01/08, para. 351.

49

Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo, Ibid., para. 353.

50

Menjadikan Pasal 30 Statuta Roma 1998 sebagai referensi dalam membentuk unsur subyektif terhadap tanggung jawab pidana individu, didasari juga pada paragraf 2 General Introduction dari Elements of Crime, yang mencantumkan bahwa: “where no reference is made in the Elements of Crime to a mental element for any particular conduct, consequences or circumstances listed, it is understood that the relevant mental element, i.e., intent, knowledge, or both set out in article 30 applies.”


(24)

memutuskan bahwa ia akan berkontribusi baik secara aktif maupun pasif dalam melakukan suatu kejahatan. Yang kedua, dalam hubungannya dengan konsekuensi, orang tersebut bermaksud untuk mengakibatkan terjadinya suatu hal atau memiliki kesadaran bahwa tindakannya akan mengakibatkan terjadinya hal tertentu. Artinya bahwa akibat dari kejahatan yang dilakukan sudah dapat diprediksi sebelumnya.

“Pengetahuan” (knowledge) didefinisikan melalui Pasal 30 ayat (3) Statuta

Roma 1998: “awareness that a circumstance exists or a consequence will occur in

the ordinary course of events. ‘know’ and ‘knowingly’ shall be construed

accordingly.” Menurut pendapat penulis, frasa “awareness that a circumstance exist ...” menyatakan pengetahuan seseorang tentang situasi dan kondisi yang

aktual atau terjadi pada saat itu, sedangkan pernyataan “consequence will occur ...” menggambarkan bahwa pada umumnya akan ada akibat yang mengikuti suatu

perbuatan tertentu.

Mahkamah menitikberatkan terminologi niat (intent) dan pengetahuan (knowledge) yang tercantum dalam Pasal 30 ayat (2) dan (3) merupakan refleksi dari konsep dolus atau kesengajaan, yang mana konsep ini mempersyaratkan adanya kemauan diri sendiri atau yang dikenal sebagai unsur kognitif. Pada umumnya, suatu keadaan dapat dikategorikan menjadi salah satu dari 3 (tiga) bentuk dolus, tergantung pada seberapa kuat keinginan atau kemauan pribadi tersebut – diantaranya adalah sebagai berikut:

i. dolus directus in the first degree (dolus tingkat pertama) atau niat secara langsung: mempersyaratkan bahwa tersangka tahu bahwa ia bertindak atau berdiam diri dengan keinginan atau niat akan mencapai tujuan


(25)

tertentu atau hasrat untuk melaksanakan unsur-unsur material dari sebuah kejahatan; hal ini juga berarti bahwa tersangka berkeinginan penuh atau berhasrat untuk memperoleh akibat yang tidak diperbolehkan.

ii. Dolus directus in the second degree (dolus tingkat kedua) – juga dikenal sebagai niat tidak langsung; dolus ini mempersyaratkan bahwa tersangka sadar akan unsur-unsur kejahatan sebagai hasil dari tindakan atau pendiamannya akan menjadi tidak terelakkan (lihat Pasal 30 ayat (2) (b)); dalam konteks ini, unsur keinginan atau kehendak pribadi menurun secara substansial dan digantikan oleh unsur kognitif, yaitu kesadaran bahwa tindakannya atau kelalaiannya dapat menyebabkan konsekuensi (terlarang) yang tidak diinginkan.

iii. Dolus eventualis – pada umumnya disebut sebagai subyektivitas atau kecerobohan yang tidak disengaja; berkaitan dengan dolus eventualis

sebagai bentuk ketiga dari dolus, kecerobohan atau dengan kata lain bentuk yang lebih rendah dari kesalahan, Mahkamah berpendapat bahwa konsep tersebut tidak diatur dalam Pasal 30 Statuta Roma 1998.

Kesimpulan ini didukung dengan ekspresi bahasa yang digunakan, “will occur in the ordinary course of events”, yang mana tidak

mengakomodasikan sebuah standar yang lebih rendah daripada yang dipersyaratkan oleh dolus directus.

2) Unsur Obyektif (Physical Element)

Unsur obyektif dalam pertanggungjawaban pidana secara individual mengharuskan adanya keterlibatan sebagai bentuk kontribusi dalam melakukan suatu kejahatan. Gagasan tentang keterlibatan secara langsung harus dipahami


(26)

sebagai keterlibatan fisik atas terjadinya sebuah kejahatan.51 Oleh karenanya, unsur obyektif dikenal juga sebagai physical element atau actus reus. Dalam pengertian ini, keterlibatan secara langsung tersebut harus berpengaruh terhadap pelaksanaan kejahatan ketika dikombinasikan dengan unsur niat dan pengetahuan.52

Adapun bentuk-bentuk kontribusi yang bisa diberikan oleh individu dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana secara individual, Pasal 25 ayat (3) (a) Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa seorang individu dapat dihukum karena melakukan tindakan pidana, apabila ia melakukannya: (i) secara individu; (ii) bersama-sama dengan orang lain; (iii) melalui orang lain. Kemudian, berdasarkan Pasal 25 ayat (3) (b), (c), dan (d), bentuk tindakan individu yang dianggap sebagai keterlibatan dalam kejahatan, yaitu: (i) memerintahkan, membujuk, atau mendorong dilakukanya suatu kejahatan; (ii) bertindak untuk membantu atau mempermudah terjadinya kejahatan dengan berbagai cara; (iii) berkontribusi dalam kejahatan yang dilakukan secara berkelompok untuk mencapai tujuan yang sama.53

Unsur obyektif erat kaitannya dengan tindakan yang berdasarkan pada fakta serta unsur material yang terkandung dalam elements of crime setiap kejahatan. Berikut ini adalah unsur bentuk tindakan yang apabila dilakukan oleh seorang individu dapat memunculkan pertanggungjawaban pidana, berdasarkan Statuta Roma 1998.

51

Yusuf Aksar, Implementing International Humanitarian Law: From the Ad Hoc Tribunals to a Permanent International Criminal Court, Routledge, London & New York, 2004, h. 86.

52

Ibid.

53

Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, (Trial Chamber I) Kasus Mahkamah Pidana Internasional No. ICC-01/04-01/06-2842,para.976-977.


(27)

i. Actus reus dari ordering, telah didefinisikan sebagai orang dalam posisi yang memiliki otoritas untuk memberikan instruksi bagi orang lain dalam melakukan suatu kejahatan. Pemahaman tentang

"instruksi” (intruction) membutuhkan tindakan positif oleh orang dalam posisi otoritas. Sebuah perintah tidak dapat diberikan tanpa didahului oleh tindakan positif. Unsur memerintahkan tentu saja menjadi bertolak belakang dengan pendiaman (omission) yang pada dasarnya menitikberatkan pada ketiadaan suatu tindakan positif. Unsur

“memerintahkan” memang mempersyaratkan adanya hubungan

atasan-bawahan. Sekalipun hubungan tersebut tidak diharuskan sebagai hubungan formal, namun sepanjang secara de jure atau de facto seorang atasan memiliki otoritas untuk memerintahkan maka sebuah perintah dianggap dapat dipertanggungjawabkan oleh kedua belah pihak.54

ii. Actus reus dari committing. Seseorang dianggap melakukan suatu kejahatan, apabila ia bertindak baik secara fisik maupun non-fisik, langsung maupun tidak langsung. Keterlibatannya dalam suatu kejahatan, tidak sebatas pada tindakan positif, tetapi juga kelalaian yang berakibat sama dengan tindakan positif apabila tidak dilaksanakan, dimana seseorang memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu dan dibarengi dengan pengetahuan akan itu. Dari kumpulan putusan hakim ICTY yang disusun dalam Case Law Digest of the ICTY, diketahui bahwa “committing” terjadi ketika: (a) melibatkan

54

Human Right Watch, Case Law Digest of the ICTY, New York, 2006, h. 358 dikutip dari Kordic and Cerkez, Appeals Chamber, December 17, 2004, para. 28


(28)

keterlibatan fisik atau non-fisik ataupun kelalaian yang dapat dipersalahkan (culpable omission); atau (b) dimungkinkan adanya beberapa pelaku atas suatu kejahatan disaat yang bersamaan; atau (c) tersangka tidak diharuskan terlibat dalam semua aspek dari kejahatan.55

iii. Actus reus dari aiding dan abetting, telah didefinisikan sebagai tindakan yang memberikan bantuan praktis dan dukungan moral, yang memiliki pengaruh secara substansial atas dilaksanakannya kejahatan tertentu.56 Berbagai contoh actus reus aiding dan abetting, misalnya sebagai berikut: (i) adanya bantuan praktikal, dorongan atau dukungan moral; (ii) dapat terjadinya karena pendiaman (omission); (iii) adanya hubungan sebab-akibat, namun harus berdampak secara subtansial terhadap pelaksanaan suatu kejahatan; (iv) bantuan dapat diberikan sebelum, selama atau setelah kejahatan dilaksanakan; (v) kehadiran secara fisik tidak diharuskan; (vi) orang yang memberikan bantuan ataupun dorongan tersebut harus bertanggung jawab atas semua akibat yang terjadi secara natural (di luar perencanaannya) atas tindakannya; (vii) kehadiran di tempat kejadian; (viii) orang yang memberikan bantuan atau dorongan sudah dapat dipersangkakan, sekalipun pelaku utama belum teridentifikasi, namun tindakan dari pelaku utama sudah ditetapkan; (ix) bukti tentang rencana atau kesepakatan tidak

55

Human Right Watch, Ibid., h. 367-368.

56 Contoh dari efek ‘encourgement’ dimuat dalam

Case Law Digest of ICTY, h. 376, yang dikutip dari Kasus Mahkamah Pidana Internasional, Prosecutor v. Tadic (Trial Chamber, 1997), para.690 : “[W]hen an accused is present and participates in the beating of one person and remains with the groups when it moves on to beat another person, his presence would have an encouraging effect, even if he does not physically take part in this second beating, and he should be viewed as participating in this second as well. This is assuming that the accused has not actively withdrawn from the group or spoken out against the conduct of the group.”


(29)

dipersyaratkan; (x) pelaku utama tidak harus menyadari kontribusi yang diberikan oleh orang yang memberi bantuan atau dorongan. Pada akhirnya, baik unsur subyektif maupun unsur obyektif dapat ditentukan berdasarkan pada fakta, keadaan, serta kemungkinan-kemungkinan relevan yang muncul di hadapan pengadilan.

3.4. Pertanggungjawaban Negara dan Individu Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup Selama Perang

3.4.1.Pertanggungjawaban Negara

Kesadaran masyarakat internasional, bahwa keberlangsungan lingkungan hidup menentukan pula keberlangsungan kehidupan manusia, memunculkan prinsip yang secara universal diakui, bahwa lingkungan hidup harus dilindungi dalam keadaan apapun (baik keadaan damai maupun perang). Isu pertanggungjawaban atas perusakan lingkungan hidup dalam keadaan damai, bahkan sudah muncul lebih dahulu.57 Pertanggungjawaban dalam konteks perang merupakan topik yang relatif baru namun sudah ditetapkan dengan cukup baik. Umumnya, suatu pelanggaran selama perang berlangsung menghasilkan tanggung jawab sebagai konsekuensi yang muncul dari tindakan tersebut.58

Tanggung

jawab yang hendak dibebankan kepada suatu negara, dalam bentuk apapun, harus memiliki dasar jelas, logis, dan mampu diterima secara universal, mengingat bahwa tindakan perusakan lingkungan bukan hanya dianggap mencederai negara tertentu tetapi juga masyarakat internasional secara keseluruhan. Oleh karenanya, sebagai dasar untuk menyimpulkan kenapa dan

57

Michael N. Schmitt, Op.Cit., h. 141. 58


(30)

bagaimana negara harus bertanggung jawab atas tindakan perusakan lingkungan hidup, maka penulis menjadikan draft sebagai sumber hukum utama, mengingat kontennya telah diterima sebagai hukum kebiasaan, tanpa harus ratifikasi oleh negara-negara.

a. Kejahatan perang sebagai internationally wrongful act

Pada bagian ini penulis menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan selama perang berlangsung, sebagai salah satu bentuk kejahatan perang, merupakan internationally wrongful act suatu negara.

Pertama, HHI sebagai bagian dari hukum pidana internasional, bukan hanya membebankan kewajiban kepada individu, tetapi juga kepada negara (Supra 3.2.1. dan 3.2.2.) untuk senantiasa menjaga dan menghormati ketentuan-ketentuannya, baik tertulis maupun kebiasaan. Berkaitan dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup selama perang berlangsung, HHI mewajibkan untuk tidak menggunakan metode atau alat perang yang dimaksudkan atau diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang luas, jangka panjang dan dahsyat,59 atau melancarkan serangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh.60 Ketentuan tersebut menjadi kewajiban bagi negara yang terlibat dalam perang, untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok individu yang bertindak atas nama negara menjalankan kewajibannya sesuai hukum yang berlaku.

Pasal 8 ayat (2)(b)(iv) Statuta Roma 1998 mengklasifikasikan serangan yang berlebihan (excessive) terhadap lingkungan hidup sebagai salah satu kategori

59

Lihat Pasal 35 Protokol Tambahan I. 60


(31)

kejahatan perang. Dalam tulisan Charles Garraway tentang kejahatan perang, ia menggunakan definisi kuno yang menganggap bahwa kejahatan perang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum perang yang mengakibatkan pertanggungjawaban pidana seorang individu. 61 Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh Malcolm yang mengatakan bahwa: “war crimes are a discrete part of the principles of international humanitarian law, being those which have become accepted as criminal offences for which there is individual responsibility (in addition to state responsibility). Essentially, war crimes applies to individuals and international humanitarian law to states.”62 Pendapat ini memperluas pemahaman tentang kejahatan perang sebagai salah satu tindak pidana internasional, dimana tidak hanya menarik pertanggungjawaban individu tetapi juga negara.

Sependapat dengan pernyataan Malcolm bahwa sekalipun warga negaranya telah bertanggung jawab sebagai seorang individu di bawah HHI, namun tidak menghilangkan peran dan tanggung jawab negara, yang memang tidak diatur secara komprehensif melalui HHI, melainkan hukum internasional secara umum. Hal yang sama pun diatur dalam Pasal 25 ayat (5) Statuta Roma 1998 yang

menegaskan bahwa “no provision in this Statute relating to individual criminal

responsibility shall affect the responsibility of State under international law”. Sehingga keduanya secara positif mendukung anggapan bahwa negara bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan oleh individu yang mengatasnamakan negara. Dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kejahatan

61Charles Garrawey, “War Crimes”, dalam Elizabeth Wilmshurst dan Susan Breau , ed.,

Perspective on the ICRC Study on Customary International Humanitarian Law, Cambridge University Press, New York, 2007,h.377.

62


(32)

perang, dalam hal ini perusakan lingkungan hidup maka negara melalui organnya dianggap gagal menjalankan kewajibannya di bawah hukum internasional.

Prinsip umum dalam pertanggungjawaban negara disebutkan oleh Pasal 1

draft bahwa setiap pelanggaran negara terhadap hukum internasional meminta pertanggungjawaban internasional pula. Selanjutnya untuk menentukan apakah pelanggaran kewajiban yang dimaksud sebelumnya adalah bentuk internationally wrongful act, maka acuan yang digunakan kembali lagi kepada unsur-unsur

internationally wrongful act yang dimuat dalam Pasal 2 draft (Supra 3.3.1.). 1) Unsur pertama63 mengharuskan kejahatan perang dilakukan oleh individu

maupun kelompok individu yang bertindak untuk dan atas nama negara atau yang dikenal dengan atributabilitas atau imputabilitas (Supra 3.3.1.a). Pada kasus Nicaragua v. United State of America, Mahkamah Internasional membedakan individu ke dalam 3 kategori, pertama anggota dari pejabat administrasi pemerintah atau angkatan bersenjata; kedua individu yang memperoleh status dari lembaga yang secara langsung mendapatkan kekuasaan dari hukum nasional; dan yang terakhir individu yang termasuk dalam entitas publik dan diberdayakan oleh negara untuk melaksanakan otoritas pemerintahan tertentu.

Dalam konteks perang, berarti individu yang dimaksud adalah mereka berstatus kombatan dari angkatan bersenjata (armed forces) salah satu negara yang bertikai atau individu tersebut merupakan komandan militer maupun pimpinan politik yang berkuasa. Terkait itu, Rules 149 HHI

Kebiasaan menyebutkan bahwa: “a state is responsible for violations of

63


(33)

international humanitarian law attributable to it, including violations committed by its organs, including its armed forces.”64 Dalam HHI Kebiasaan ketentuan ini sudah berlangsung cukup lama, serta dinyatakan juga melalui Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1907 dan diulangi dalam Pasal 91 Protokol Tambahan I, yang menyatakan bahwa “a party to the conflict which violates the provisions of the Conventions or of this Protocol shall, if the case demands, be liable to pay compensation. It shall be responsible for all acts committed by persons forming part of its armed forces.

Mahkamah Banding ICTY dalam kasus Prosecutor v. Tadic menegaskan kembali kedua norma di atas sebagai lex specialis tentang pertanggungjawaban negara. Bahkan, Makhamah Banding ICTY menilai bahwa sekalipun seorang individu bertindak dalam kapasitasnya sebagai pribadi, namun sepanjang individu tersebut adalah bagian dari angkatan bersenjata suatu negara, maka prinsip atributabilitas juga berlaku atasnya.65 Mahkamah juga menyatakan bahwa prinsip yang demikian secara otoritatif sudah dianut oleh beberapa anggota dari ILC, salah satunya Professor Reuter yang menuturkan bahwa: “[i]t was now a principle of codified international law that State were responsible for all acts of their armed forces.”66

Dengan kata lain, prinsip atributabilitas secara jelas berlaku pula dalam keadaan perang, ketika individu melakukan tindakan perusakan

64

Jean-MarieHenckaerts dan Louise Doswald-Beck, Op.Cit., h. 530. 65

Putusan Mahkamah Banding (the Appeal Chamber) ICTY, Prosecutor v. DU [KO TADI] Nomor IT-94-1-A, 15 Juli 1994, para. 98.

66

Appeals Chamber Prosecutor v. Tadic, dikutip dari Yearbook of the International Law Commission, 1975,vol.I, para.5.


(34)

lingkungan hidup yang notabene bertentangan dengan prinsip dan norma HHI.

2) Unsur yang kedua mengharuskan perbuatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap kewajiban dalam hukum internasional yang mengikat negara pada saat perbuatan tersebut dilakukan.67 Dalam kaitannya dengan kejahatan perang, telah jelas bahwa unsur kedua dapat dengan mudah terpenuhi apabila unsur-unsur bentuk kejahatan perang secara materiil telah terpenuhi, baik dilakukan dengan tindakan, pengabaian maupun gabungan dari keduanya.

Dengan demikian, apabila tindakan perusakan lingkungan hidup sebagai bentuk kejahatan perang dapat memenuhi unsur-unsur internationally wrongful act, maka negara berkewajiban untuk turut bertanggung jawab dan melakukan kewajiban perbaikan (duty of reparation).

b. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Negara

Konsekuensi hukum (legal consequences) merupakan sarana pertanggungjawaban negara atas pelanggaran kewajiban internasional.68Namun, konsekuensi hukum yang harus dijalani tidak mempengaruhi kewajiban internasional yang harus dilakukan oleh negara. Dengan kata lain, bahwa sekalipun telah terjadi pelanggaran dan negara diwajibkan untuk menjalani konskuensi hukum sebagai akibatnya, negara tetap diwajibkan untuk menjalankan

67

Lihat Pasal 13 draft “an act of a State does not constitute a breach of an international

obligation unless the State is bound by the obligation in question at the time the act occurs.”

68

Lihat Pasal 28 draft “legal consequences of an international wrongful act: the international responsibility of a State which is entailed by an internationally wrongful act in accordance with the provisions of Part One involves legal consequences as set out in this Part.


(35)

kewajiban yang mengikatnya di bawah hukum internasional.69 Negara harus tetap tunduk pada norma dan prinsip HHI, dimana salah satu bentuknya adalah dengan menghentikan (to cease) setiap tindakan atau pengabaian yang membahayakan lingkungan hidup. Selain menghentikan tindakannya yang melawan hukum internasional, negara harus meyakinkan dan menjamin bahwa tindakan yang sama tidak akan terulang (non-repitition), jika keadaan yang sama terjadi lagi.70

Bagian sebelumnya sudah menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pada hakekatnya adalah kewajiban untuk melakukan perbaikan (duty of reparation). Reparasi menimbulkan hubungan hukum baru antara negara yang melakukan

pelanggaran dengan negara “korban” dalam skema internasional.71

Reparasi bersumber dari sebuah prinsip yang telah diakui dalam hukum internasional, bahwa negara yang melakukan internationally wrongful act bertanggung jawab untuk melakukan reparasi sebagai konsekuensi hukum atas pelanggaran yang dilakukannya.72 Hal ini juga ditegaskan oleh Mahkamah Internasional, melalui putusannya dalam kasus Chorzów Factory, yang menyatakan bahwa:73

the essential principle contained in the actual notion of an illegal act – a principle which seems to be established by international practice and in particular by the decisions of arbitral tribunals – is that reparation must, as far as possible, wipe out all the consequences of the illegal act and re-establish the situation which would, in all probability have existed if that act had not been committed. Restitution in kind, or, if this is not possible, payment of a sum corresponding to the value which a restitution in kind would bear; the award, if need be, of damage

69

Lihat Pasal 29 draft “the legal consequences of an internationally wrongful act under

this Part do not affect the continued duty of the responsible State to perform the obligation breached.”

70

Lihat Pasal 30 draft “The State responsible for the internationally wrongful act is under an obligation: (a) to cease that act, if it is continuing; (b) to offer appropriate assurances and guarantees of non-repitition, if circumstances so require.

71

Afriansyah Arie,Op.Cit., h. 108. 72

Philippe Sands, Principles of Interntional of Environmental Law, Edisi Kedua, Cambridge University Press, New York, 2003, h. 882.

73


(36)

for loss sustained which would not be covered by restitution in kind or payment in place of it – such are the principles which should serve to determine the amount of compensation due for an act contrary to international law.”

Pasal 31 draft menegaskan dua hal penting terkait dengan reparasi atau perbaikan; pertama pertanggungjawaban negara adalah sebuah kewajiban untuk melakukan perbaikan sepenuhnya (make full of reparation) terhadap luka (injury) yang ditimbulkan karena internationally wrongful act, dan yang kedua luka (injury) yang dimaksud disini, termasuk juga kerusakan dalam bentuk apapun, entah secara materi maupun moral, yang diakibatkan internationally wrongful act oleh suatu negara.74 Kewajiban untuk melakukan perbaikan sepenuhnya (full reparation) telah ditegaskan pula oleh Mahkamah Internasional dalam kasus

Chorzów Factory:75

It is a principle of international law that the breach of an engagement involves an obligation to make reparation in an adequate form. Reparation therefore is the indispensable complement of a failure to apply a convention and there is no necessity for this to be stated in the convention itself. Differences relating to reparations, which may be due by reason of failure to apply a convention, are consequently differences relating to its application.

Draft memuat tiga bentuk reparasi penuh yang bisa dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara atas internationally wrongful act, dalam hal ini perusakan lingkungan hidup, diantaranya adalah restitution, compensation, dan satisfication. Ketiga bentuk reparasi ini dapat dilakukan secara tunggal maupun dengan kombinasi dua atau ketiganya.

74

Bagian Commentary Draft menjelaskan bahwa material damage yang dimaksud disini adalah damage to property or other interests of the State and its nationals which is assessable in financial terms. Sedangkan moral damage merujuk pada such items as individual pain and

suffering, loss of loved ones or personal affront associated with an instrusion on one’s home or

private life.

75

Lihat catatan kaki draft no. 34, dikutip dari Chrozów Factory, Jurisdiction, Judgement no. 8, 1927, P.C.I.J., Series A, No.9, para. 2.


(37)

(1) Restitution

Berdasarkan konsep, tidak ada kesepahaman yang universal dalam mendefinisikan restitution. Pada satu sisi, restitution didefinisikan sebagai tindakan untuk membangun kembali the status quo ante, yaitu situasi yang ada sebelum terjadinya pelanggaran. Namun di sisi lain, restitution berarti membangun atau membangun kembali keadaan yang akan ada apabila pelanggaran tidak dilakukan. Konsep restitution yang diadopsi draft, merupakan konsep dengan arti sempit. Negara yang bertanggung jawab atas internationally wrongful act, berkewajiban untuk melakukan

restitution dengan cara membangun kembali situasi yang ada sebelum pelanggaran dilakukan, sejauh tindakan tersebut secara material bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan, dan tidak membebani negara pelanggar untuk melaksanakan sesuatu yang bukan menjadi manfaat

restitution melainkan compensation.76

Tindakan reparasi yang diminta dalam konsep restitution kerap kali bergantung pada konten kewajiban utama yang telah dilanggar. Oleh karena itu, dalam konteks rusaknya lingkungan hidup selama perang berlangsung sangat sulit untuk menerapkan bentuk reparasi berupa

restitution. Afriansyah Arie menyebutkan bahwa pada faktanya untuk mengembalikan lingkungan hidup pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran sangatlah sulit, meskipun bukan tidak mungkin.77Maka dari itu, apabila terjadi perusakan lingkungan hidup selama perang, dan negara yang melakukan pelanggaran dimintai

76

Lihat Pasal 35 draft. 77


(38)

pertanggungjawaban, compensation adalah bentuk opsi reparasi yang paling masuk akal untuk diterapkan.

(2) Compensation

Kewajiban untuk melakukan compensation muncul ketika restitution

hampir tidak mungkin untuk memenuhi upaya reparasi terhadap suatu pelanggaran, dan bentuk ini mencakup kerusakan yang dapat dinilai secara finansial.78 Compensation yang dimuat dalam Pasal 36 draft menegaskan dua poin penting, yakni: (1) negara yang bertanggung jawab atas

internationally wrongful act berkewajiban untuk mengimbangi kerusakan yang disebabkan olehnya, sejauh mana kerusakan tersebut tidak bisa diatasi melalui restitution; (2) compensation harus meliputi kerusakan yang dapat dinilai secara finansial, termasuk juga hilangnya keuntungan (profits) sepanjang itu ditetapkan.

Compensation bertujuan untuk mengatasi kerugian aktual yang terjadi sebagai akibat dari internationally wrongful act. Dalam hal kerusakan lingkungan hidup selama perang, kompensasi finansial digunakan untuk membiayai sumber daya manusia dan teknologi yang diperlukan untuk mengurangi kerusakan dan memulihkan lingkungan, atau setidaknya untuk mempertahankan kondisi sewajarnya yang dibutuhkan agar lingkungan dapat bertahan.79 Meskipun demikian, compensation dirasa tidak cukup apabila negara yang melakukan pelanggaran meneruskan tindakan yang sama yang sebelumnya telah merusak lingkungan hidup. Oleh karenanya, perlu adanya penetapan kewajiban untuk menghentikan segala tindakan

78

Afriansyah Arie, Op.Cit., h. 109. 79


(39)

yang dapat mencederai lingkungan hidup serta menjamin tidak akan ada tindakan pengulangan yang sama pentingnya untuk menjaga lingkungan hidup di masa yang akan datang.80

(3) Satisfication

Satisfication adalah bentuk ketiga dari reparasi yang mungkin dilakukan oleh negara yang bertanggung jawab sebagai akibat dari internationally wrongful act. Satisfaction bukanlah bentuk standar dari reparasi, dalam artian untuk kasus-kasus tertentu kerusakan yang diderita akibat pelanggaran dapat diperbaiki hanya melalui resitution dan/atau

compensation. Dalam hubungannya dengan prinsip to make full reparation, pengecualian ditekankan melalui frasa “it cannot be made good by restitution or compensation”. Satisfaction erat hubungannya

dengan kondisi emosional, baik bagi negara yang menjadi “korban”

pelanggaran, maupun negara yang melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, satisfaction dapat diwujudkan dengan cara-cara seperti pernyataan resmi untuk mengakui pelanggaran, pengakuan atas penyesalan, permintaan maaf resmi maupun bentuk lainnya yang sesuai. Meskipun demikian, satisfaction tidak boleh keluar dalam bentuk untuk melukai atau mempermalukan negara yang bertanggungjawab.

3.4.2.Pertanggungjawaban individu

Ketentuan-ketentuan yang secara spesifik melarang perusakan terhadap lingkungan hidup selama perang berlangsung telah dibahas pada bab sebelumnya.

80


(40)

Berdasar pada berbagai sumber hukum tertulis maupun kebiasaan dalam HHI, terutama Statuta Roma 1998, tidak ada keraguan mengenai pertanggungjawaban pidana secara individual atas perusakan lingkungan hidup selama perang. Selain itu, Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind81 yang

diadopsi oleh ILC juga menyatakan bahwa “an individual who willfully causes or orders the causing of widespread, long-term and severe damage to the natural environment”.82 Ketentuan ini berlaku baik dalam keadaan damai maupun perang, meskipun sebagaimana yang tercantum, hanya terbatas kepada perusakan yang dilakukan secara sengaja.83 Sekalipun masih berupa draft, namun tetap saja ketentuan di dalamnya dapat mendukung argumentasi terkait tanggung jawab pidana secara individual atas perusakan lingkungan hidup.84

Pada bab sebelumnya, dua isu penting yang muncul adalah rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari tindakan yang tidak sengaja dan tidak proporsional serta rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari collateral damage (Supra 2.4.2.). Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan di atas adalah individu hanya bertanggungjawab atas tindakan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan berdasarkan niat dan pengetahuan untuk itu. Sedangkan terkait collateral damage, penulis menyimpulkan 2 (dua) hal, sebagai berikut: pertama collateral damage adalah konsep hukum karena tidak didasari oleh niat

81

The ILC has worked for many years both on the codification of state responsibility and on a code of crimes entailing individual criminal liability. The ILC has been entrusted with the task of studying and codifying separately state responsibility and individual criminal liability under international law. Its work has led to the adoption of two separate proposal, one in 1996 as Draft Code of Crimes against the Peace and Security of Mankind, and one in 2001 as Draft Articles on State Responsibility.

82

Lihat Pasal 26 Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, dalam Report of the International Law Commission on the Work of Its 43d Session, GAOR, 46th Sess., Supp. 10, U.N. Doc. A/46/10, h.235, reprinted in 30 I.L.M. 1584 (1991).

83

Michael N. Schmitt, Op.Cit., h.145. 84


(41)

dan pengetahuan, sehingga sepanjang kerusakan lingkungan hidup proporsional dengan keuntungan militer untuk itu maka serangan dianggap sah.85 Yang kedua, sekalipun tidak ditemukan unsur kesengajaan namun apabila kerusakan yang dialami oleh lingkungan hidup tidak proporsional jika dibandingkan dengan keuntungan militer, maka dianggap sebagai unlawful act.86 Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa individu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas serangan secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup (sebagai obyek sipil) yang meluas, berjangka panjang dan dahsyat serta dianggap berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh saat itu.

Mayoritas instrumen hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap lingkungan atau perang atau kombinasi keduanya, tidak mencantumkan materi pertanggungjawaban, lebih khusus tanggung jawab pidana oleh individu. Dewasa ini, Statuta Roma 1998 merupakan sumber hukum yang paling umum digunakan terkait tanggung jawab pidana secara individual, termasuk dalam konteks perlindungan terhadap lingkungan hidup. Namun sebagaimana yang dibahas diatas, Statuta Roma 1998 hanya mengakui pertanggungjawaban pidana apabila dilakukan secara sengaja dan memenuhi unsur mens rea. Sehingga, sekalipun Protokol Tambahan I menetapkan standar yang lebih tinggi dalam melindungi

lingkungan hidup, namun belum berhasil mengemukakan norma

pertanggungjawaban atas tindakan perusakan lingkungan hidup yang tidak proporsional dan tidak berdasar pada niat dan pengetahuan. Dengan berdasar pada Pasal 25 ayat (2) Statuta Roma 1998, individu yang melakukan kejahatan

85

Supra 2.3.1.c dan 2.4.2.

86


(1)

(1) Restitution

Berdasarkan konsep, tidak ada kesepahaman yang universal dalam

mendefinisikan restitution. Pada satu sisi, restitution didefinisikan sebagai

tindakan untuk membangun kembali the status quo ante, yaitu situasi yang

ada sebelum terjadinya pelanggaran. Namun di sisi lain, restitution berarti

membangun atau membangun kembali keadaan yang akan ada apabila

pelanggaran tidak dilakukan. Konsep restitution yang diadopsi draft,

merupakan konsep dengan arti sempit. Negara yang bertanggung jawab

atas internationally wrongful act, berkewajiban untuk melakukan

restitution dengan cara membangun kembali situasi yang ada sebelum pelanggaran dilakukan, sejauh tindakan tersebut secara material bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan, dan tidak membebani negara pelanggar untuk melaksanakan sesuatu yang bukan menjadi manfaat restitution melainkan compensation.76

Tindakan reparasi yang diminta dalam konsep restitution kerap kali

bergantung pada konten kewajiban utama yang telah dilanggar. Oleh karena itu, dalam konteks rusaknya lingkungan hidup selama perang berlangsung sangat sulit untuk menerapkan bentuk reparasi berupa restitution. Afriansyah Arie menyebutkan bahwa pada faktanya untuk mengembalikan lingkungan hidup pada keadaan semula sebelum

terjadinya pelanggaran sangatlah sulit, meskipun bukan tidak

mungkin.77Maka dari itu, apabila terjadi perusakan lingkungan hidup

selama perang, dan negara yang melakukan pelanggaran dimintai

76

Lihat Pasal 35 draft.

77


(2)

pertanggungjawaban, compensation adalah bentuk opsi reparasi yang paling masuk akal untuk diterapkan.

(2) Compensation

Kewajiban untuk melakukan compensation muncul ketika restitution

hampir tidak mungkin untuk memenuhi upaya reparasi terhadap suatu pelanggaran, dan bentuk ini mencakup kerusakan yang dapat dinilai secara

finansial.78 Compensation yang dimuat dalam Pasal 36 draft menegaskan

dua poin penting, yakni: (1) negara yang bertanggung jawab atas internationally wrongful act berkewajiban untuk mengimbangi kerusakan yang disebabkan olehnya, sejauh mana kerusakan tersebut tidak bisa

diatasi melalui restitution; (2) compensation harus meliputi kerusakan

yang dapat dinilai secara finansial, termasuk juga hilangnya keuntungan (profits) sepanjang itu ditetapkan.

Compensation bertujuan untuk mengatasi kerugian aktual yang terjadi

sebagai akibat dari internationally wrongful act. Dalam hal kerusakan

lingkungan hidup selama perang, kompensasi finansial digunakan untuk membiayai sumber daya manusia dan teknologi yang diperlukan untuk mengurangi kerusakan dan memulihkan lingkungan, atau setidaknya untuk mempertahankan kondisi sewajarnya yang dibutuhkan agar lingkungan

dapat bertahan.79 Meskipun demikian, compensation dirasa tidak cukup

apabila negara yang melakukan pelanggaran meneruskan tindakan yang sama yang sebelumnya telah merusak lingkungan hidup. Oleh karenanya, perlu adanya penetapan kewajiban untuk menghentikan segala tindakan

78

Afriansyah Arie, Op.Cit., h. 109.

79


(3)

yang dapat mencederai lingkungan hidup serta menjamin tidak akan ada tindakan pengulangan yang sama pentingnya untuk menjaga lingkungan

hidup di masa yang akan datang.80

(3) Satisfication

Satisfication adalah bentuk ketiga dari reparasi yang mungkin dilakukan

oleh negara yang bertanggung jawab sebagai akibat dari internationally

wrongful act. Satisfaction bukanlah bentuk standar dari reparasi, dalam artian untuk kasus-kasus tertentu kerusakan yang diderita akibat

pelanggaran dapat diperbaiki hanya melalui resitution dan/atau

compensation. Dalam hubungannya dengan prinsip to make full reparation, pengecualian ditekankan melalui frasa “it cannot be made good by restitution or compensation”. Satisfaction erat hubungannya

dengan kondisi emosional, baik bagi negara yang menjadi “korban”

pelanggaran, maupun negara yang melakukan pelanggaran. Oleh

karenanya, satisfaction dapat diwujudkan dengan cara-cara seperti

pernyataan resmi untuk mengakui pelanggaran, pengakuan atas penyesalan, permintaan maaf resmi maupun bentuk lainnya yang sesuai.

Meskipun demikian, satisfaction tidak boleh keluar dalam bentuk untuk

melukai atau mempermalukan negara yang bertanggungjawab.

3.4.2.Pertanggungjawaban individu

Ketentuan-ketentuan yang secara spesifik melarang perusakan terhadap lingkungan hidup selama perang berlangsung telah dibahas pada bab sebelumnya.

80


(4)

Berdasar pada berbagai sumber hukum tertulis maupun kebiasaan dalam HHI, terutama Statuta Roma 1998, tidak ada keraguan mengenai pertanggungjawaban pidana secara individual atas perusakan lingkungan hidup selama perang. Selain

itu, Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind81 yang

diadopsi oleh ILC juga menyatakan bahwa “an individual who willfully causes or orders the causing of widespread, long-term and severe damage to the natural environment”.82 Ketentuan ini berlaku baik dalam keadaan damai maupun perang, meskipun sebagaimana yang tercantum, hanya terbatas kepada perusakan yang

dilakukan secara sengaja.83 Sekalipun masih berupa draft, namun tetap saja

ketentuan di dalamnya dapat mendukung argumentasi terkait tanggung jawab

pidana secara individual atas perusakan lingkungan hidup.84

Pada bab sebelumnya, dua isu penting yang muncul adalah rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari tindakan yang tidak sengaja dan tidak

proporsional serta rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari collateral

damage (Supra 2.4.2.). Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan di atas adalah individu hanya bertanggungjawab atas tindakan perusakan lingkungan hidup yang dilakukan berdasarkan niat dan pengetahuan untuk itu. Sedangkan

terkait collateral damage, penulis menyimpulkan 2 (dua) hal, sebagai berikut:

pertama collateral damage adalah konsep hukum karena tidak didasari oleh niat

81

The ILC has worked for many years both on the codification of state responsibility and on a code of crimes entailing individual criminal liability. The ILC has been entrusted with the task of studying and codifying separately state responsibility and individual criminal liability under international law. Its work has led to the adoption of two separate proposal, one in 1996 as Draft Code of Crimes against the Peace and Security of Mankind, and one in 2001 as Draft Articles on State Responsibility.

82

Lihat Pasal 26 Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, dalam Report of the International Law Commission on the Work of Its 43d Session, GAOR, 46th Sess., Supp. 10, U.N. Doc. A/46/10, h.235, reprinted in 30 I.L.M. 1584 (1991).

83

Michael N. Schmitt, Op.Cit., h.145.

84


(5)

dan pengetahuan, sehingga sepanjang kerusakan lingkungan hidup proporsional

dengan keuntungan militer untuk itu maka serangan dianggap sah.85 Yang kedua,

sekalipun tidak ditemukan unsur kesengajaan namun apabila kerusakan yang dialami oleh lingkungan hidup tidak proporsional jika dibandingkan dengan

keuntungan militer, maka dianggap sebagai unlawful act.86 Berdasarkan hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa individu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas serangan secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup (sebagai obyek sipil) yang meluas, berjangka panjang dan dahsyat serta dianggap berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh saat itu.

Mayoritas instrumen hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap lingkungan atau perang atau kombinasi keduanya, tidak mencantumkan materi pertanggungjawaban, lebih khusus tanggung jawab pidana oleh individu. Dewasa ini, Statuta Roma 1998 merupakan sumber hukum yang paling umum digunakan terkait tanggung jawab pidana secara individual, termasuk dalam konteks perlindungan terhadap lingkungan hidup. Namun sebagaimana yang dibahas diatas, Statuta Roma 1998 hanya mengakui pertanggungjawaban pidana apabila

dilakukan secara sengaja dan memenuhi unsur mens rea. Sehingga, sekalipun

Protokol Tambahan I menetapkan standar yang lebih tinggi dalam melindungi

lingkungan hidup, namun belum berhasil mengemukakan norma

pertanggungjawaban atas tindakan perusakan lingkungan hidup yang tidak proporsional dan tidak berdasar pada niat dan pengetahuan. Dengan berdasar pada Pasal 25 ayat (2) Statuta Roma 1998, individu yang melakukan kejahatan

85

Supra 2.3.1.c dan 2.4.2.

86


(6)

sebagaimana yang diatur dalam Statuta harus bertanggung jawab secara pidana di hadapan Mahkamah Pidana Internasional.

Dalam konteks perang pada penulisan ini, individu yang melakukan kejahatan perang secara otomatis diasumsikan sebagai kombatan atau komandan militer maupun politik yang bertindak atas nama suatu negara. Artinya, jika dikaitkan dengan prinsip atributabilitas yang dibahas di atas, maka pertanggungjawaban individu tidak akan mengeliminasi pertanggungjawaban dari

negara.87 Demikian pun sebaliknya, apabila negara bertanggung jawab atas

tindakan reparasi terhadap perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh individu, hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab individu di hadapan

hukum pidana internasional.88

87

Beatrice I. Bonafie, The Relationship Between State & Individual Responsibility for International Crimes, Martinus Nijhoff Publisher, Leiden & Boston, 2009, h. 33.

88

Lihat Pasal 58 draft these articles are without prejudice to any question of the individual responsibility under international law of any person acting on behalf of a state.”