Konsep pertanggungjawaban negara Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Internasional

52

3.2.1. Konsep pertanggungjawaban negara

Dalam berbagai sistem hukum, setiap entitas memiliki hak dan kewajiban yang bersumber dari hukum yang berlaku. 9 Status dari sebuah entitas menjadi penentu kewajiban mana yang harus dijalankan dan hak apa yang patut diterima. 10 Dalam perkembangannya, sistem hukum internasional secara bertahap mulai mengakui subyek-subyek hukum internasional yang baru, meskipun negara tetap dianggap sebagai entitas yang menjadi prioritas dalam hukum internasional. 11 Hal tersebut menjadi alasan kuat mengapa hukum internasional mengutamakan perhatiannya terhadap hak dan kewajiban negara. 12 Adapun hak dan kewajiban negara tersebut dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum internasional yang dimuat dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, yang adalah sebagai berikut: a international conventions, whether general or particular, esthablishing rules expressly recognized by the contesting states; b international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c the general principles of law recognized by civilized nations; d subject to the provision of Article 59, judicial decisions and teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law .” The 1970 Declaration on Principles of International Law sebagai salah satu sumber hukum internasional yang memuat prinsip-prinsip yang diakui dan dianut dalam hukum internasional menegaskan bahwa, “all states enjoy sovereign equality. They have equal rights and duties and are equal members of the 9 Malcolm N. Shaw, International Law Edisi Ke-6, Cambridge University Press, New York, 2008, h. 195 Selanjutnya disingkat Malcolm II. 10 Malcolm II., Ibid., h. 196. 11 Malcolm II, Ibid., h. 197. 12 Peter Malanczuk., Op.Cit., h.75. 53 international community, notwithstanding differences of an economic, social, political, or other nature. ” Meskipun konteksnya terkait dengan kedaulatan sebuah negara, namun tidak menghilangkan esensi norma yang mau menjelaskan bahwa di hadapan hukum internasional, setiap negara terikat akan hak maupun kewajiban. Contoh lainnya tentang hak serta kewajiban negara termuat dalam the Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States adopted in October 1970 by the United Nations General Assembly, yang menyebutkan bahwa: “[n]o state or group of states has right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other state. Consequently, armed intervention and all other forms of interference or attempted threats against the personality of the state or against its political, economic and cultural elements, are in violation of international law.” Norma ini menunjukan bahwa sebuah negara memiliki hak untuk tidak diintervensi oleh negara lain, sementara disisi lainnya setiap negara dibebankan kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dalam hal apapun sebagai bentuk penghormatan terhadap hak yang dimiliki oleh negara lain, yang bersumber dari hukum internasional. HHI merupakan salah satu bidang ilmu yang juga mendistribusikan hak dan kewajiban yang mengikat bagi negara baik berupa norma tertulis maupun kebiasaan. Dalam bab sebelumnya Supra 2.3., penulis telah menguraikan instrumen hukum yang melindungi lingkungan hidup selama perang, di mana secara tidak langsung membebankan kewajiban kepada negara dan juga individu- individu untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap ketentuan- ketentuan tersebut dalam segala keadaan. Hal ini tercermin dari Pasal 1 Konvensi Jenewa I 1949 “the High Contracting Parties undertake to respect and to ensure 54 respect the natural environment as civilian object is arranged in Protocol I ,” juncto Pasal 1 ayat 1 Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa “the High Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this Protocol in all circumstances .” Demikian pula dengan Konvensi ENMOD, Pasal 1 ayat 1 dan 2 secara ekspilisit menyebutkan kewajiban negara Supra 2.3.1.a, yakni: “[1] each party to this Convention undertakes not to engage in military or any other hostile use of environmental modification techniques having widespread, long-lasting, or severe effects as the means of destruction, damage or injury to any other State Party. [2] Each State Party to this Convention undertakes not to assist, encourage, or induce any State, group of States or international organization to engage in activities contrary to the provisions of paragraph 1 of this article.” Adapun yang dimaksudkan oleh fras a ‘the High Contracting Parties’ disini merupakan negara-negara sebagai pihak yang menandatangani perjanjian atau kontrak dalam hukum internasional. Melalui instrumen hukum internasional, setiap negara pihak dibebankan kewajiban untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap setiap norma dan prinsip yang diberlakukan di dalamnya. Hal tersebut termasuk juga memastikan agar setiap tindakan yang dilakukan mewakili negara sesuai dengan kewajiban yang dibebankan terhadap negara. Pada praktiknya, tindakan yang diambil oleh suatu negara seringkali mengakibatkan luka atau penghinaan terhadap martabat negara lain. 13 Bentuk tindakan tersebut secara umum dapat berupa pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh negara lain, atau tidak dipenuhinya kewajiban internasional yang bersumber dari perjanjian-perjanjian atau kebiasaan masyarakat internasional yang telah dianggap sebagai hukum. Tindakan negara yang dinyatakan salah menurut hukum internasional maupun cabang-cabangnya salah satunya HHI, 13 J.G. Starke, Op.Cit., h. 275. 55 secara otoritatif membebankan pertanggungjawaban terhadap negara. 14 Dalam memahami konsep hukum secara umum, logislah apabila suatu pelanggaran menimbulkan efek pertanggungjawaban dari pihak yang melakukan untuk mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum suatu tindakan pelanggaran dilakukan. Pertanggungjawaban negara merupakan salah satu prinsip hukum yang mendasari hukum internasional. Konsep pertanggungjawaban negara yang diakui dalam hukum internasional, terdiri atas 2 dua, yakni prinsip pertanggungjawaban obyektif dan prinsip pertanggungjawaban subyektif. Prinsip pertanggungjawaban obyektif atau disebut juga teori “resiko”, menyatakan bahwa pertanggungjawaban hukum negara bersifat mutlak. 15 Artinya, ketika suatu perbuatan melawan hukum terjadi, menimbulkan kerugian dan dilakukan oleh alat negara, menurut hukum internasional, negara harus bertanggung jawab kepada pihak negara lain yang dirugikan, dengan mengabaikan apakah tindakan tersebut dilandasi oleh itikad baik atau itikad buruk. 16 Sebaliknya, prinsip pertanggungjawaban subyektif atau disebut juga teori “kesalahan” menegaskan bahwa harus ada unsur kesengajaan dolus atau kelalaian culpa di pihak persona terkait sebelum negaranya dapat diputus bertanggung jawab secara hukum atas kerugian yang ditimbulkan. 17 Malcolm menambahkan pula bahwa Mahkamah Internasional lebih condong terhadap teori kesalahan, dimana secara 14 Malcolm I, Op.Cit., h.773. 15 Malcolm I., Ibid., 775. 16 Malcolm I., Ibid. 17 Malcolm I., Ibid. 56 implisit dinyatakan oleh hakim Mahkamah Internasional melalui kasus Corfu Channel: 18 “dari fakta bahwa suatu negara menjalankan kontrol atas teritori dan perairannya saja, tidak dapat disimpulkan bahwa negara itu niscaya mengetahui, atau harus mengetahui setiap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalamnya, juga tidak dapat disimpulkan bahwa negara niscaya mengethaui atau seharusnya sudah mengetahui sumber-sumber pelanggaran. Fakta itu sendiri, dan di luar keadaan-keadaan lain, tidak melibatkan pertanggungjawaban prima facie tidak mengalihkan beban pembuktian.” Artinya bahwa negara tidak bisa dianggap secara serta merta bertanggung jawab atas suatu tindakan, apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang secara rasional dan logis tidak menduga-duga mampu menyimpulkan bahwa negara tidak menjalankan kewajibannya atas dasar unsur kesalahan atau kesengajaan. Untuk itu pula, Malcolm mengemukakan ciri-ciri esensial pertanggungjawaban negara berhubungan dengan beberapa faktor dasar, di antaranya adalah sebagai berikut: 19 i adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara kedua negara yang bersangkutan. Kewajiban internasional yang dimaksud disini mengikat negara, baik melalui perjanjian-perjanjian internasional, hukum kebiasaan yang diterima oleh masyarakat dunia secara umum serta yurisprudensi yang berasal dari pengadilan internasional; ii bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban dan mewajibkan negara tersebut bertanggung jawab. Artinya bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara 18 Malcolm I., Ibid.776. 19 Malcolm I., Ibid., h.774 57 memenuhi elemen-elemen pembentuk kesalahan atau kelalaian yang diatur melalui sebuah instrumen hukum; iii bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut menimbulkan kehilangan atau kerugian. Bentuk-bentuk kehilangan atau kerugian yang dialami negara akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara lain harus bersifat eksplisit atau dengan kata lain harus secara nyata dapat dilihat. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekalipun setiap negara memiliki kepentingan hukum dalam melindungi hak-hak dasarnya, namun negara juga tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Pengingkaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan oleh negara mengakibatkan pertanggungjawaban negara untuk melakukan tindakan perbaikan. Peter Malanczuk berpendapat bahwa ketika negara melakukan suatu tindakan yang mengabaikan kewajibannya dalam sumber-sumber hukum yang diakui, maka hal tersebut berarti negara melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional dan disebut sebagai ‘internationally wrongful act’. 20 Terminologi internationally wrongful act mulai dikenal luas sejak Agustus 2001, ketika International Law Commission ILC 21 sebagai sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa PBB mengadopsi sebuah draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act selanjutnya disebut 20 Peter Malanczuk, Ibid., h.254. 21 ILC merupakan sebuah badan yang didirikan oleh Majelis PBB sejak tahun 1948, terdiri atas sekelompok ahli hukum yang bertanggung jawab terhadap perkembangan hukum internasional dan bertugas untuk mengupayakan kodifikasi terhadap hukum internasional. 58 draft 22 , yang walaupun belum disahkan sebagai sebuah konvensi internasional, namun konten dari draft telah diterima dengan sangat baik bahkan telah dikutip beberapa kali dalam putusan Mahkamah Internasional. Hal ini dikarenakan kedudukan ILC yang dapat dianggap sebagai badan yang paling berkompeten dalam memberikan pemahaman terkait intepretasi terhadap hukum internasional. Draft juga disusun oleh pakar-pakar hukum internasional yang dilandaskan pada teori dan doktrin-doktrin yang berlaku di lingkup hukum internasional. Ditambah lagi, kedudukan draft di dalam hukum internasional telah semakin diakui dengan dimasukkannya norma-norma yang diatur oleh draft ke dalam HHI Kebiasaan. 23

3.2.2. Konsep pertanggungjawaban pidana secara individual