Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Beda Generasi

31 8 Apak nyual ikan di pasar [ apaɁ ɲu w al l ikan di pasar] ‗paman menjual ikan di pasar‘ Sama halnya dengan contoh pertama, kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan ape kerjaan apak kau tu? ‗apa pekerjaan pamanmu itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjan g pada bunyi konsonan [l] pada kata ‗ nyual ‘ yang dipanjangkan ketika bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal bunyi vokal [i] pada ikan ]. Selain, panjang bunyi konsonan ditemukan pada bunyi konsonan nasal [n, m, ŋ] pada akhir kata apabila bunyi setelahnya diawali dengan bunyi vokal. Contoh: 9 Nak dare tu kawan akak [naɁ darə tu kawan n akaɁ] ‗gadis itu kawan kakak perempuan‘ Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan sape nak dare tu? ‗siapa gadis itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [n] pada kata ‗ kawan ‘ yang dipanjangkan ketika bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal bunyi vokal [a] pada kata akak . Senada dengan panjang pada bunyi vokal di atas, pada data bunyi konsonan panjang juga ditemukan dinamika, jika dilihat dari sudut pandang usia penutur, yaitu antara penutur tua dengan muda. Bunyi konsonan panjang tersebut dapat digambarkan pada grafik berikut. 32 Grafik 4.10 Pemanjangan Konsonan pada Penutur Usia Tua Pada grafik di atas, panjang konsonan [r] pada penutur tua bahasa Melayu Loloan Bali berdurasi sekitar 73,70 milidetik. Durasi tersebut memperlihatkan perbedaan dengan penutur muda, setelah diuji dengan kalimat yang sama. Perbedaan itu secara lebih konkrit ditunjukkan pada grafik di bawah ini. Grafik 4.11 Panjang pada Bunyi Konsonan pada Penutur Usia Muda 33 Grafik di atas menunjukkan durasi panjang konsonan [r] pada penutur muda bahasa Melayu Loloan Bali berdurasi sekitar 49,21 ms. Jika dibandingkan dengan grafik panjang bunyi konsonan pada penutur usia tua, grafik di atas menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, yaitu sekitar 24,49 milidetik. Dari grafik di atas juga menunjukkan bahwa durasi panjang konsonan pada penutur usia muda lebih pendek daripada penutur usia tua. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa analisis bunyi panjang bila dilihat dalam dinamika base lame bahasa Melayu Lama dan base karang ni bahasa Melayu sekarang terlihat kecenderungan bunyi panjang tersebut menjadi lebih pendek.

4.2.2 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Dialek

Ketika berbicara tentang dialek dalam bahasa Melayu Loloan Bali, terdapat beberapa dialek yang berkembang mengingat penuturnya tersebar di beberapa wilayah. Dua di antaranya adalah dialek Loloan Timur dan Loloan Barat. Pada grafik 4.1 penutur berasal dari Loloan Timur. Sementara, pada tuturan yang sama dengan penutur dari Loloan Barat, dapat dilihat pada grafik berikut. Grafik 4.12 Panjang pada Bunyi Vokal pada Penutur Loloan Barat Jika dibandingkan, secara sekilas dari dua grafik di atas, dapat dilihat bahwa pada dua penutur, terdapat adanya panjang pada bunyi vokal yang sama. Namun, jika dilihat berdasarkan durasinya, terlihat bahwa penutur dengan dialek Loloan Timur grafik 4.14.7 menuturkan bunyi vokal yang sama lebih panjang 34 dibandingkan dengan penutur dengan dialek Loloan Barat grafik 4.64.7. Secara sistematis, dapat dilihat pada perbandingan grafik durasi di bawah ini. Grafik 4.13 Durasi Panjang Bunyi Vokal [a] antara Loloan Timur dan Barat Pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa pemanjangan pada penutur dengan dialek Loloan Timur berdurasi sekitar 589, 98 milidetik. Sementara itu, pada penutur dengan dialek Loloan Barat, panjang terjadi lebih pendek yaitu sekitar 90, 39 milidetik. Terdapat selisih yang cukup signifikan, yaitu sekitar 499, 59 milidetik. Perbedaan ini dapat terjadi karena tuturan dituturkan oleh dua penutur dengan dua dialek berbeda. Hal itu disebabkan walaupun keduanya sama-sama menggunakan bahasa Melayu, tetapi kedua daerah memiliki perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang cukup berbeda. Dilihat dari sejarah perkembangannya, penduduk Loloan Barat dikatakan cenderung memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap perubahan dan perkembangan dibandingkan dengan Loloan Timur. Dengan demikian, di daerah ini banyak terjadi 35 perkawinan campur antara penduduk asli dengan pendatang. Hal tersebut pada akhirnya juga memengaruhi perkembangan bahasa Melayu yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara itu, penduduk Loloan Timur digambarkan cenderung lebih tertutup, sehingga pada perkembangannya, sebagian besar masyarakatnya merupakan penduduk asli keturunan Melayu. Dari sana dapat diperoleh simpulan bahwa keaslian bahasa Melayu Loloan lebih bertahan di Loloan Timur dibandingkan dengan Loloan Barat, termasuk di dalamnya adalah alunan ketika menuturkan tuturannya. Salah satu bentuk alunannya tercermin pada pemanjangan pada bunyi vokal dan konsonannya. Itulah mengapa penutur dengan dialek Loloan Timur cenderung menuturkan bunyi panjang dengan durasi yang lebih lama daripada penutur dengan dialek Loloan Barat

4.3 Dinamika Sistem Bunyi ProsodiSuprasegmental NadaIntonasi

Sebuah tuturan bukanlah sekadar deretan bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan secara linear, melainkan sebuah kontinum kelanjutan. Persepsi orang terhadap bunyi segmental yang dipadu menjadi satu kontinum sangat bervariasi bergantung pada unsur suprasegmental yang menyertai kontinum itu dan aspek sosio-pragmatis yang menyertai interaksi. Selain persyaratan keapikan struktur leksikal well formed , dalam pendengaran normal sebuah tuturan dapat dipersepsi secara baik apabila persyaratan akustis tertentu – baik segmental maupun suprasegmental dapat dipenuhi. Dengan demikian, setiap tuturan merupakan paduan struktur leksikal dengan faktor segmental dan suprasegmental Sugiyono, 2003: 2. Intonasi sebagai bagian dari aspek suprasegmental secara umum dapat didefinisikan sebagai naik-turunnya suara Moeliono, dkk. 1988: 72. Intonasi tersebut mengacu pada naik turunnya nada dalam kalimat, kendati ketepatan pengukuran skala ketinggian intonasi naik dan kerendahan intonasi turun yang signifikan membedakan makna kalimat masih tergantung pada persepsi pendengar Suparwa, 2008: 509. Perubahan titinada dalam berbicara sebagai penggambaran intonasi sering dinyatakan dengan angka 1, 2, 3 yang melambangkan intonasi. Angka itu dapat disejajarkan dengan bulatan balok pada not musik. Dengan demikian, angka 1 melambangkan titinada paling rendah, angka 2 melambangkan titinada menengah, dan angka 3 melambangkan titinada tinggi. Sementara itu, angka 4 melambangkan titinada khusus yang berkaitan dengan ekspresi tertentu seperti terkejut, kegirangan, dan marah Suparwa, 2008: 509. 36 Berbeda dengan penelitian Suparwa 2008, kajian mengenai aspek intonasi dalam bahasa Melayu Loloan Bali ini tidak hanya pada satuan kalimat, melainkan dimulai dari kata, frase, dan kalimat. Pada satuan kata, analisis akan dilakukan dari kata bersuku satu sampai empat. Sementara itu, pada tataran frase dipilah menjadi dua kelompok yakni frase endosentris dan eksosentris. Sedangkan pada bagian kalimat, akan difokuskan pada tiga tipe kalimat yaitu kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. Tipe kalimat interogatif akan dirinci lagi menjadi kalimat interogatif informatif, konfirmatoris, dan ekoik. Dengan memperluas cakupan satuan bahasa yang menjadi tempat nada penelitian ini, diharapkan dapat melengkapi hasil deskripsi mengenai kajian fonologi segmental yang telah dilakukan terhadap bahasa ini.

4.3.1 Kata

Ditinjau dari banyaknya suku kata, dialek bahasa Melayu Loloan mempunyai beberapa macam bentuk kata dasar. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh bahasa Melayu Loloan dimulai dari kata dasar bersuku satu, dua, tiga, dan empat yang selanjutnya akan diberikan analisis nadanya. 4.3.1.1 Kata dasar bersuku satu Kata dasar bersuku satu yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali tidak begitu produktif. Di bawah ini disajikan spektogram kata dasar bersuku satu untuk mengamati aspek intonasinya secara lebih konkret. Grafik 4.14 Intonasi pada kata dasar bersuku Satu