Dinamika Sistem Bunyi ProsodiSuprasegmental Tekanan

23 Grafik 4.3 Tekanan pada Kata Dasar Tiga Suku Kaidah penempatan tekanan pada kata dasar tiga silabel dapat dirumuskan sebagai berikut. K-T 3 Kaidah tersebut merumuskan bahwa vokal penultimat bertekanan pada kata dasar tiga silabel. Dalam hal ini vokal tersebut bisa didahului oleh konsonan maksimal 2 dan minimal 0 serta diikuti oleh konsonan maksimal 2 dan minimal 0 juga. Kata dasar tiga silabel tersebut bisa diawali oleh konsonan dan bisa juga tidak serta bisa juga diakhiri oleh konsonan dan bisa juga tidak diakhiri oleh konsonan. Yang terakhir adalah kata dasar empat silabel yang merupakan kata dasar dengan jumlah silabel maksimal yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali Tekanan pada kata dasar dengan empat suku terletak pada bunyi vokal pada suku ketiga baik itu pada kata dua suku dengan suku terbuka maupun tertutup. Misalnya, pada kata dasar dua empat suku yang diawali dengan bunyi konsonan, dan diakhiri oleh bunyi vokal suku terbuka, contoh: s ementare ‘sementara‘ Grafik 4.4 Tekanan pada Kata Dasar Empat Suku V  [ tekanan] K 1 o V K 2 o ___ K 2 oVK 1 o 24 Kaidah penempatan tekanan pada kata dasar empat suku dapat dirumuskan sebagai berikut. K-T 4 Kaidah penempatan tekanan di atas merumuskan bahwa tekanan utama terletak pada silabel kedua dari akhir yang diikuti oleh konsonan maksimal dua dan minimal kosong serta diawali oleh konsonan maksimal dua dan minimal kosong. Di depan vokal bertekanan tersebut terdapat dua buah vokal yang dapat diawali dan diakhiri oleh maksimal dua konsonan dan minimal kosong, kecuali vokal pertama yang diawali oleh maksimal satu konsonan dan minimal kosong. Vokal silabel akhir kata juga diikuti oleh maksimal satu konsonan dan minimal kosong. Lebih lanjut, untuk tekanan pada frasakelompok kata dibedakan menjadi dua, yaitu frasa eksosentris dan frasa endosentris. Pada data, ditemukan bahwa tekanan frasa terjadi pada bunyi vokal pada kata kedua. Misalnya frasa di kebon berikut: Grafik 4.5 Tekanan pada Frasa Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa tekanan terjadi pada kata kedua, ‗kebon’. Lebih spesifik lagi, pada kata kedua tersebut, senada dengan tekanan pada kata dasar dua suku, pada kata kebon, tekanan terletak pada bunyi vokal pada suku kedua, yaitu vokal [o]. V  [ tekanan] K 1 o V K 2 o V K 2 o ___ K 2 oVK 1 o 25 Bahasa Melayu Loloan juga memiliki bentuk-bentuk turunan dari kata-kata dasar yang mendapat imbuhan, atau yang dikenal dengan istilah kata jadian. Kata- kata jadian dalam bahasa Melayu Loloan terbagi atas kata berprefiks, kata bersufiks, kata berprefiks dan bersufiks, serta kata berkonfiks. Data kata-kata jadian yang ditemukan di antaranya. 1. Kata Berprefiks Penempatan tekanan pada kata jadian, khususnya kata berprefiks dapat dilihat pada contoh kata mebini ‗beristri‘ berikut ini. Grafik 4.6 Tekanan pada Kata Jadian Spektrogram di atas memperlihatkan bahwa penempatan tekanan utama terletak pada silabel akhir kata bersangkutan. Jika diperhatikan dengan saksama terlihat bahwa vokal silabel akhir berfrekuensi sekitar 240 Hz, sedangkan vokal silabel kedua berfrekuensi sekitar 210 Hz dan vokal silabel pertama berfrekuensi sekitar 230 Hz. Hal itu berarti bahwa silabel akhir merupakan tempat tekanan utama, lalu silabel kedua merupakan tempat tekanan kesatu dan silabel pertama merupakan tempat tekanan kedua. 2. Kata Bersufiks: No Kata bersufiks Padan Makna 1. [naməɲə] namanya 2. [pokɔ Ɂ an] pojokan 3. [jalanɲə] jalannya 4. [tau Ɂ i] memberi tahukan 26 5. [səbətulɲə] sebetulnya 6. [mikiri] memikirkan 7. [kamarɲə] kamarnya 8. [ləmpɛ y an] lelah Kaidah perubahan penempatan tekanan pada kata bersufiks terlihat sebagai berikut. Kaidah tersebut menyatakan bahwa tekanan utama pada kata bersufiks terjadi pada vokal silabel sufiks pada akhir kata. Silabel sufiks tersebut didahului oleh kata dasar X yang dalam hal ini adalah kata dasar dua silabel dengan tekanan utama pada silabel akhir kata dasar bersangkutan. Penambahan sufiks di akhir kata dasar menyebabkan tekanan utama pindah ke belakang ke silabel sufiks dan tekanan sekunder terletak pada silabel awal kata dan silabel akhir kata dasar yang sebelumnya bertekanan utama menjadi bertekanan tertier. 3. Kata Berprefiks dan Bersufiks No Kata berprefiks dan bersufiks Padan Makna 1. [pərkənalkən] perkenalkan 2. [məsəbʊt səbʊtan] memanggil - manggil 3. [ŋocɛhi] berceloteh 4. [məkəlaiɁan] berkelahi 5. [neŋɔ Ɂ i] melihat 6. [ɲari Ɂ i] mencari 7. [məjumpa Ɂ an] saling bertemu 8. [ŋikuti] mengikuti 9. [məduwə Ɂ an] berduaan 10. [məjalanan] berjalan-jalan 11. [səumpaməɲə] seumpamanya Kaidah penempatan tekanan pada kata jadian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut. Kaidah di atas menyatakan bahwa penempatan tekanan pada kata jadian berprefiks dan bersufiks terdapat pada vokal silabel sufiks sebagai tekanan utama. Selanjutnya, vokal silabel prefiks bertekanan sekunder dan vokal silabel pertama kata dasar bertekanan tertier dan vokal silabel kedua kata dasar bertekanan kuarter. V  [tekanan] X + __ K 1 o V  [tekanan] X + X + __ K 1 o 27 Penempatan tekanan seperti itu ternyata tidak sama dengan penempatan tekanan pada kata dasar empat silabel walaupun kedua bentuk kata tersebut sama-sama empat silabel. Seperti sudah dibahas sebelumnya, kata dasar empat silabel memiliki tekanan utama pada vokal silabel penultimat dan tekanan sekunder pada vokal silabel akhir kata, lalu vokal silabel pertama bertekanan tertier dan vokal silabel kedua bertekanan kuarter. 4. Kata Berkonfiks: No Kata berkonfiks Padan Makna 1. [ɲadi Ɂ i] menjadikan 2. [ŋapə Ɂ i] sedang apa 3. [ŋənali] mengenalkan 4. [ŋawini] menikahi 5. [naɲə Ɂ kan] menanyakan 6. [dijodohkən] dijodohkan 7. [ŋəlanjutkən] melanjutkan 8. [ɲələse Ɂ kən] menyelesaikan 9. [ŋərjə Ɂ i] mengerjakan

4.2 Dinamika Sistem Bunyi ProsodiSuprasegmental Panjang

Bunyi ucapan speech adalah sesuatu yang terjadi atau terbentuk dan terobservasi secara nyata. Getaran alat ucap seseorang, gelombang bunyi yang merambat di udara dan didengar oleh telinga pendengar merupakan sesuatu yang terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik eksperimental yang mampu mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi yang digunakan dalam analisis ini sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari tekanan terlihat refleksinya dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada pitch , panjang length, dan kenyaringan loudness . Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara, dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik. Dengan kata lain, bunyi panjang prosodi terlihat dalam realisasinya menyertai tekanan dalam pemakaian bahasa. Seperti terlihat dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan di Bali, penempatan tekanan dalam suku kata menyebabkan suku kata tersebut menjadi lebih menonjol daripada suku kata yang lainnya. Malahan, di dalam beberapa kata, tekanan tersebut bisa menimbulkan kontras. Misalnya, dalam bahasa Melayu Loloan Bali yang juga berlaku dalam bahasa Indonesia, kata ekor ‗ekor‘ diberi tekanan yang berbeda menimbulkan makna kalimat yang berbeda pula. Dalam konteks 28 Ber ape ekor ayam tu ? ’Berapa ekor ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ekor dari ayam. Sementara itu, apabila kara ekor digunakan dalam konteks Berape ek or ayam tu? ‘Berapa ek or ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ayam. Suku kata yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan, sedangkan yang lainnya disebut suku kata tidak bertekanan. Sama halnya dengan bentuk prosodi panjang dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Dalam menganalisis bunyi panjang yang terjadi tersebut digunakan teori mengenai durasi. Durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua durasi sebelah kanan bunyi yang diucapkan ...: tanda ini yang disebut mora. Pada data bahasa Melayu Loloan, ditemukan bunyi panjang, baik pada bunyi vokal maupun konsonan. Panjang terjadi pada tataran kalimat dan pada dasarnya tidak mengubah makna secara literal, tetapi lebih bermakna secara pragmatis, seperti penyampaian emosi tertentu dan penegaskan maksud tuturan, dan faktor kebahasaan lainnya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.

4.2.1 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Beda Generasi

Pada data dalam tataran kalimat, ditemukan bunyi panjang pada bunyi vokal. Panjang umumnya terjadi pada tataran kalimat deklaratif, terutama tuturan-tuturan ketika informan menanggapi atau menjawab pertanyaan. Salah satu contoh yang ditemukan adalah tuturan deklaratif tu di bawah talanan ‗itu di bawah talenan‘ papan untuk mengiris bahan makanan, yang merupakan jawaban atas pertanyaan dimane wak tarok pisaunye? ‗dimana pisaunya bapak letakkan?‘. Pada kalimat tersebut, terjadi pemanjangan bunyi vokal [a] pada suku kedua kata ‘bawah’. Secara fonetis, tuturan dapat dijabarkan sebagai berikut: 6 Tu di bawah talanan [ tu di bawa:h talanan] ‗itu di bawah talenan‘ Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara fonetis, tanda mora digunakan untuk memarkahi bunyi panjang dalam satu tuturan, baik itu dalam satuan kata, frasa, maupun kalimat. Pada contoh 4.1 di atas, pemanjangan terjadi pada frasa ‗ di bawah’, yaitu pada bunyi vokal [a] pada suku kedua. Jika tuturan tersebut digambarkan dalam grafik, terlihat sebagai berikut. 29 Grafik 4.7 Panjang pada Bunyi Vokal Motivasi terjadinya panjang pada bunyi vokal di atas tersirat secara pragmatis, dan tidak mengubah makna literalnya. Panjang terjadi pada kata bawah , secara pragmatis dituturkan penutur untuk lebih menekankan tuturannya pada posisi dari benda yang ditanyakan pisau. Dengan demikian, si penanya dapat dengan mudah menemukan pisau yang dicari. Lebih lanjut, bila kajian diperdalam dengan melihat dinamika yang terjadi pada bunyi panjang tersebut, perlu dilakukan perbandingan dalam realitanya. Berdasarkan atas data yang ditemukan di lapangan, ditunjukkan bahwa terjadi dinamika dalam panjang bunyi vokal pada bahasa Melayu Loloan Bali yang didasarkan atas faktor golongan usia pemakai bahasa tersebut. Faktor yang pertama adalah ketika diperbandingkan antara dua penutur dengan usia yang berbeda. Penutur satuan lingual yang ditunjukkan oleh grafik 4.1 di atas adalah penutur golongan tua usia + 70 tahun dengan durasi panjangnya ucapan bunyi mencapai sekitar 589,98 milidetik, terlihat pada gambar berikut ini. Grafik 4.8 Panjang pada Bunyi Vokal Golongan Tua 30 Pada penutur usia muda, terjadi juga bunyi vocal panjang, tetapi jika dibandingkan dengan panjang vokal pada penutur usia tua, durasi pada penutur usia muda cenderung lebih pendek. Pada penutur usia muda umur + 20 tahun, durasinya sekitar 107,39 milidetik. Grafiknya adalah sebagai berikut. Grafik 4.9 Durasi pemanjangan bunyi vokal pada penutur usia muda Pada grafik, dapat dilihat bahwa terjadi dinamika pada pemanjangan bunyi vokal antara penutur tua dengan muda. Grafik di atas menunjukkan bahwa jika dilihat dari durasinya, pemanjangan pada penutur usia muda cenderung lebih pendek jika dibandingkan dengan penutur usia tua, yaitu dengan selisih yang cukup signifikan sekitar 482, 59 ms. Senada dengan panjang pada bunyi vokal, bunyi konsonan pada data bahasa Melayu Loloan Bali juga ditemukan, khususnya dalam tataran kalimat yang di dalamnya terdapat bunyi konsonan likuid l atau r pada akhir kata, dan diikuti oleh bunyi vokal pada kata setelahnya. Contohnya dapat dilihat pada kalimat berikut. 7 Tu telor ayam [ tu t ə l ɔ r r ayam] ‗itu telor ayam‘ Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan ape tu? ‗apa itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [r] pada kata ‗ telor ‘ yang cenderung dipanjangkan apabila bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal dalam kasus ini diikuti oleh bunyi vokal [a] pada kata ayam . Contoh lain juga terjadi pada bunyi konsonan likuid [l] di akhir kata, seperti contoh berikut.