MEKANISME STRESS MEMPENGARUHI PERIODONSIUM

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 2 MEKANISME STRESS MEMPENGARUHI PERIODONSIUM

Faktor etiologi utama penyakit periodontal adalah bakteri plak. Sejumlah spesies bakteri telah ditemukan berhubungan dengan keadaan penyakit, diantaranya adalah Porphyromonas gingivalis yang dianggap sebagai salah satu patogen periodontal yang utama. Walau jumlah dan virulensi bakteri adalah faktor penting pada perkembangan penyakit periodontal, saat ini lebih ditekankan pada peranan respon inang host dalam proses tersebut. Patogen periodontal dan produknya menimbulkan respon inflamasi pada gingiva, tetapi kerusakan jaringan yang terjadi barangkali diperantarai melalui mediator proinflamatori host yang dilepaskan oleh sel-sel imun yang aktif. Tipe dan besarnya respon inflamasi adalah faktor kunci dalam menentukan hasil inflamasi gingiva. Diantara berbagai sel inang host, T limfosit dan makrofag dianggap sebagai sel-sel yang penting pada arah dan pengaturan proses imun-inflamasi. Sebagai contoh, produk sel-T yaitu interferon IFN- diketahui meningkatkan produk sekresi makrofag, seperti tumour necrosis factor TNF- dan interleukin-1, yang dapat merangsang resorpsi tulang, kerusakan jaringan, dan kehilangan perlekatan periodontal. 6 Stress emosional adalah salah satu dari faktor-faktor subjek yang berubah-ubah, yang ditemukan memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Stress adalah istilah yang mendefenisikan reaksi psiko-fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan emosional atau fisik yang mengganggu homeostasis, dan ditemukan dapat William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 mengeksaserbasi hasil dari penyakit infeksi bakteri dan virus pada model hewan dan manusia. 3,6 Dalam tahun-tahun belakangan ini, berbagai faktor psikologis yang berbeda diduga meningkatkan resiko untuk periodontitis. Hingga kini penelitian epidemiologis mengemukakan dugaan kuat bahwa stress, kecemasan, dan cara mengatasinya yang tidak adekuat merupakan indikator resiko yang penting untuk penyakit periodontal. 10 Pengaruh yang signifikan dari faktor-faktor psikologis seperti stress dan depresi, dan faktor imunologis seperti level kortisol terhadap sejumlah penyakit telah diketahui dengan baik. Penelitian mendalam telah dilakukan dan menghubungkan stress kronik dan gejala depresi yang diukur dengan skala Beck, serta level kortisol yang merupakan indikator biologis dari stress terhadap morbiditas dan mortalitas dari beberapa penyakit kronis. 2 Respon psikologis terhadap pemicu stress dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin dalam sedikitnya tiga jalur yang berbeda, yaitu: 1. Respon akibat stress dihantarkan ke aksis hipotalamo-pituitari-adrenal HPA, untuk merangsang pelepasan hormon yang mengeluarkan kortikotropik corticotropic- releasing hormone = CRH dari hipotalamus, hormon adrenokortikotropik adrenocorticotropic hormone = ACTH dari pituitari, dan hormon glukokortikoid dari korteks adrenal. 2. Jalur saraf simpatik, yang dihantarkan ke sistem saraf simpatik untuk merangsang pengeluaran adrenalin dan noradrenalin dari medula adrenal. Dilaporkan bahwa sistem saraf simpatik mengatur fungsi imun pada beberapa level dan bahwa epinefrin menghasilkan efek imunosupresif. William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 3. Jalur saraf sensonic peptidergic, disebut dengan ”inflamasi neurogenik”, yang melepaskan neuropeptida dari serabut saraf sensoris pada perangsangan oleh stimulus eksternal. Pelepasan neuropeptida periferal merupakan promotor neurogenik dalam berbagai proses inflamasi. Neuropeptida juga mengatur aktifitas sistem imun dan pelepasan sitokin. Dengan demikian, pengaruh stress terhadap sistem imun telah diketahui dengan baik dan ada kemungkinan pengaruhnya pada penyakit periodontal inflamatori kronis. 10 Aktifasi aksis HPA oleh stress menghasilkan peningkatan pengeluaran CRH dari hipotalamus. Selanjutnya CRH bekerja pada hipofise yang mengeluarkan ACTH. Lalu ACTH bekerja pada korteks adrenal dan menyebabkan produksi dan pengeluaran hormon glukokortikoid yang bersifat spesies-spesifik ke sirkulasi umum. Peningkatan produksi glukokortikoid menekan respon inflamatori dari pola T-helper 1 ke T-helper 2, ditandai dengan peningkatan produksi interleukin IL-4 dan IL-5 serta invasi sel plasma. Kortikosteroid juga menghambat produksi sitokin, termasuk IL-1, IL-2, IL-3, dan IL-6, tumor necrosis factor, interferon gamma, dan faktor stimulasi koloni granulosit dan monosit. Selain itu akibat pelepasan glukortikoid sebagai hasil dari aktifasi siklus stress adalah kenaikan pada gula darah. Breivik dkk memperlihatkan level kortikosteron yang secara signifikan lebih tinggi dalam darah, dan terjadi kerusakan jaringan periodontal yang lebih berat pada tikus dengan reaktifitas aksis HPA yang tinggi dibanding pada hewan dengan respon aksis HPA yang rendah dalam penelitian mengenai inflamasi periodontal akibat kawat ligatur pada tikus. 10 William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 Psikoneuroimunologi PNI adalah bidang yang sedang berkembang yang mempelajari pengaruh perilaku dalam interaksi otak - imunitas, dan bagaimana hal ini mempengaruhi kesehatan. Sejak penemuan penting mengenai interaksi tersebut oleh Solomon dan Moss serta Ader dan Cohen, para peneliti telah berusaha memahami mekanisme kerjanya. Diketahui bahwa ada dua jalur utama yang menghubungkan otak dengan sistem imun: aksis hipotalamus-pituitari-adrenal HPA dan hubungan serabut neuronal secara langsung dari sistem saraf otonom. Kedua jalur tersebut menghasilkan mediator penting secara biologis yang mampu berinteraksi dengan sel-sel sistem imun. 11 Hormon-hormon neuroendokrin yang dikeluarkan dari kelenjar pituitari melalui aktifasi aksis HPA mempengaruhi sistem imun. Sel-sel mieloid maupun sel limfoid merupakan reseptor bagi hormon-hormon tersebut dan neuropeptida, dan sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa limfosit juga dapat mensintesis hormon seperti prolaktin, hormon pertumbuhan, dan hormon adrenokortikotropik ACTH. Selain itu neurohormon seperti glukokortikoid dan peptida seperti ACTH, endorfin, substance P, dan somatostatin mampu mengatur berbagai aspek dari respon imun, termasuk produksi sitokin, proliferasi sel B dan T, produksi antibodi, kemotaksis dari monosit dan neutrofil, dan aktifitas sel pembunuh natural killer=NK. Selain sinyal neuroendokrin dari aksis HPA, serabut saraf simpatetik noradrenergik dan peptidergik telah dideteksi dalam organ limfoid primer dan sekunder termasuk sumsum tulang, timus, limpa dan nodus limfe. Hubungan yang dekat dari terminal saraf tersebut dengan sel-sel imun menghasilkan pertemuan neuroefektor dan interaksi neural-imunitas secara langsung. Neurotransmiter seperti epinefrin dan William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 substance P yang dilepaskan pada pertemuan tersebut selanjutnya dapat berinteraksi secara langsung dengan sel imun yang berhubungan atau pada jarak yang jauh, sehingga mempengaruhi sel-sel disekitarnya. 11 Limfosit, monositmakrofag, dan granulosit memiliki reseptor untuk berbagai neurotransmiter, dan neurotransmiter itu sendiri dapat mengatur imunitas. Sebagai contoh, katekolamin epinefrin dan norepinefrin mengatur level siklus limfosit –AMP yang mempengaruhi respon imun seperti migrasi seluler, proliferasi limfosit, sekresi antibodi, dan lisis sel. Suatu laporan baru-baru ini oleh Elenkov dkk menunjukkan bahwa penambahan katekolamin ke darah manusia menghasilkan penekanan produksi interleukin 12 IL-12, disertai peningkatan produksi interleukin 10 IL-10. Pergeseran sitokin ini menyebabkan pergeseran sel T-helper Th dari sel-sel Th1 yang terlibat dalam reaksi inflamasi yang diperantarai sel menjadi sel-sel Th2 yang memproduksi sitokin yang mendorong produksi antibodi. Elenkov dkk mengemukakan bahwa stress dapat menekan fungsi Th1 dan menyebabkan pergeseran menuju pola sitokin Th2, sehingga meningkatkan kerentanan host terhadap patogen infeksius yang membutuhkan respon seluler, contohnya infeksi virus. Hal ini juga mungkin memiliki implikasi yang penting untuk perkembangan periodontitis yang telah diduga merupakan lesi Th2. 11 Jalur dua-arah antara SSP dan sistem imun tersebut memberikan suatu mekanisme umpan balik feedback untuk pengaturan imunitas. Sebagai contoh, IL-1 yang dikeluarkan dari sel-sel inflamasiimunitas yang aktif akan menstimulasi hipotalamus untuk memproduksi lebih banyak coticotrophin-releasing hormone CRH, yang selanjutnya akan memicu pelepasan dua hormon stress, yaitu ACTH dari kelenjar pituitari William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 dan kortikosteron dari korteks adrenal. Hormon stress ini dapat mempengaruhi respon imun secara negatif. Oleh sebab itu, pemicu stress secara fisik atau psikologis dapat mengaktifkan SSP dan aksis HPA untuk mengeluarkan katekolamin dan glukokortikoid yang mengubah mekanisme feedback ini dan mengganggu homeostasis. Rongga mulut juga merupakan target yang potensial untuk pengaturan neuroendokrin. Kortisol bebas terdapat dalam saliva dalam konsentrasi yang sama dengan plasma sehingga dapat mengatur reaksi inflamasi oral termasuk penyembuhan luka di rongga mulut. Penemuan kortisol dalam cairan krevikular gingiva baru-baru ini juga menimbulkan dugaan bahwa kortisol yang diproduksi sebagai akibat dari stress dapat memainkan peranan dalam periodontitis. Oleh sebab itu, memahami bagaimana stress mengatur sistem imun akan memperdalam pemahaman kita mengenai penyembuhan luka di rongga mulut dan penyakit mulut, seperti periodontitis. 11 Deinzer dkk baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa IL-1 meningkat dalam cairan krevikular gingiva setelah pemeriksaan pada daerah gingivitis eksperimental. Oleh sebab itu, stress dapat mempengaruhi keseimbangan antara respon inang host dan bakteri dalam periodonsium. Terdapat semakin banyak bukti bahwa sistem saraf pusat SSP dapat mempengaruhi respon imun melalui rangakaian kompleks dari sinyal dua- arah yang menghubungkan sistem saraf, endokrin, dan imunitas. Stress psikologis dapat mempengaruhi respon imun dengan mengubah sinyal dalam rangkaian tersebut. 11 William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 Secara skematis mekanisme stress mempengaruhi periodonsium adalah sebagai berikut: Stress Oral Higiene Sistem imun HPA Saraf Simpatik Sensorik Peptidergik CRH ACTH Glukokortikoid Adrenalin + Noradrenalin Epinefrin + Substansi P Limfosit, monosit, makrofag, granulosit Fungsi Th1 Sitokin Th2 Kerentanan host thdp infeksi IL-4, IL-5 + invasi plasma Menghambat sitokin KGD IL-1, IL-2, IL-3, TNF, Interferon γ, granulosit, monosit Resorpsi tulang, kerusakan jaringan, kehilangan perlekatan Menghambat penyembuhan luka Neuropeptida Menekan aktifitas sel immun + pelepasan sitokin PERIODONSIUM William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009 Dapat dibuat hipotesa bahwa hubungan tersebut diperantarai oleh perubahan imunologis yang disebabkan reaksi emosional seperti hiperkolesterolemia atau oleh perilaku dengan resiko yang menyangkut kesehatan seperti tidak melakukan kebersihan rongga mulut yang ditimbulkan oleh situasi yang menimbulkan stress, atau bahkan keduanya. Namun kebanyakan penelitian periodontal yang telah dilakukan berpusat pada penyebab proksimal, seperti bakteri dan mekanisme psikoneuroimunologis dari bagaimana faktor psikologis mempengaruhi respon inang host terhadap bakteri. 2 ----------oo00oo---------- William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 3 PENGARUH STRESS TERHADAP PERIODONSIUM