Hubungan Stress Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal

(1)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

HUBUNGAN STRES DENGAN PENYAKIT DAN

PERAWATAN PERIODONTAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh :

WILLIAM NIM : 030600121

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Fakultas kedokteran gigi Departemen periodonsia

Tahun 2008

William

Hubungan stress dengan penyakit dan perawatan periodonsia

viii + 28 halaman

Stress adalah istilah yang mendefenisikan reaksi psiko-fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan emosional atau fisik yang mengganggu homeostasis, dan ditemukan dapat mengeksaserbasi hasil dari penyakit infeksi bakteri dan virus pada model hewan dan manusia. Stres telah lama dinyatakan sebagai suatu faktor predisposisi yang penting untuk Gingivitis Ulseratif Nekrotik Akut (GUNA). Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa stres psikologis atau kondisi psikosomatik mendorong terjadinya perubahan imunologis atau efek yang diperantarai kebiasaan yang memiliki modulasi langsung pada sistem imun mungkin juga suatu indikator resiko yang signifikan untuk penyakit periodontal.

Salah satu spesies bakteri periodontal yang patogen yaitu Porphyromonas gingivalis. Stress memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Sel inang (host), T limfosit dan makrofag merupakan sel-sel yang penting dalam pengaturan proses imun-inflamasi. Respon psikologis terhadap pemicu stress dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin, respon akibat stress dihantarkan melalui tiga jalur yaitu ke aksis hipotalamo-pituitari-adrenal (HPA) ke sistem saraf simpatik dan ke saraf sensonic peptidergic,. Hormon stress yaitu CRH, ACTH dan Glukokortikoid dapat


(3)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

mempengaruhi respon imun sehingga mengakibatkan resorpsi tulang, kerusakan jaringan, kehilangan perlekatan, serta dapat menghambat penyembuhan luka.

Tingginya level stress disertai dengan kurangnya kesehatan rongga mulut dapat menimbulkan kondisi periodontal yang lebih parah. Hal ini ditandai dengan peningkatan kehilangan perlekatan, kehilangan tulang alveolar yang parah dan pendarahan pada gingiva yang meningkat. Selain itu, stress psikologis juga dapat mempengaruhi keberhasilan dan jalannya perawatan penyakit periodontal.

Daftar Pustaka : 11 (1999 – 2007)


(4)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan Di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 16 0ktober 2008

Pembimbing : Tanda Tangan

1. S.Hamzah Daliemunthe, drg, Sp.Perio ... NIP : 130 358 271


(5)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji Pada tanggal 16 Oktober 2008

TIM PENGUJI

KETUA : S.Hamzah Daliemunthe, drg, Sp.Perio ... ANGGOTA : 1. Zulkarnain, drg., M.Kes ... 2. Rini Octavia Nasution, drg., SH ...

KETUA DEPARTEMEN: Zulkarnain,drg.,M.Kes


(6)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan rahmatNya dan segala kemampuan penulis, akhirnya skripsi ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara di Medan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Ismet D. Nasution, drg, Ph.D, Sp.Pros(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. S.Hamzah Daliemunthe, drg, Sp.Perio, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Zulkarnain, drg., M.Kes,selaku Ketua Departemen Ilmu Periodonsia.

4. Syuaibah Lubis, drg., selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi USU, terutama staf pengajar dan pegawai di Departemen Ilmu Periodonsia.

6. Orang tua penulis, yang selama ini telah memberikan dukungan, bantuan, semangat, cinta, serta doanya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini


(7)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

7. Semua teman-teman saya yang telah turut memberikan bantuan, dukungan, semangat, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan senantiasa memberikan karunia kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi fakultas sebagai pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 16 Oktober 2008 Penulis,

( WILLIAM ) NIM : 030600121


(8)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ………... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ………...

KATA PENGANTAR ………... iv

DAFTAR ISI ………... vi

DAFTAR TABEL... viii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB 2 MEKANISME STRESS MEMPENGARUHI PERIODONSIUM 3

BAB 3 PENGARUH STRESS TERHADAP PERIODONSIUM... 11

3.1 Hubungan Stres Dengan Penyakit Periodontal ………... 13

3.2 Hubungan Strategi Coping dengan Penyakit Periodontal ... 18

BAB 4 PENGARUH STRESS TERHADAP PERAWATAN PERIODONTAL 21 BAB 5 KESIMPULAN………... 25


(9)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Skor Psikososial (Mean ± SE) yang disesuaikan dengan Keparahan Kehilangan Perlekatan... 14 2. Skor Psikososial (Mean ± SE) yang disesuaikan dengan Keparahan

Kehilangan Tulang Alveolar... 15 3. Hubungan antara Skor Tegangan Harian dengan Keparahan Kehilangan

Perlekatan... 16 4. Hubungan antara Skor Tegangan Harian dengan Keparahan Kehilangan

Tulang Alveolar... 17 5. Perbandingan strategi Coping antara Kelompok Test dan Kontrol.... 19 6. Perbandingan strategi Coping dalam Kelompok Pasien... 19 7. Skor rata-rata kecemasan, depresi, stress, kesehatan pada perawatan

bedah dan non-bedah pada hari pasien menjalani perawatan... 22 8. Korelasi antara faktor psikososial dan rasa nyeri dan obat anti nyeri

digunakan selama minggu ke2, setelah 2 minggu, selama minggu ke4, dan setelah 4 minggu dan penilaian dokter gigi terhadap penyembuhan 2 minggu setelah perawatan... 23


(10)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 1 PENDAHULUAN

Stres telah lama dinyatakan sebagai suatu faktor predisposisi yang penting untuk Gingivitis Ulseratif Nekrotik Akut (GUNA). Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa stres psikologis atau kondisi psikosomatik mendorong terjadinya perubahan imunologis atau efek yang diperantarai kebiasaan yang memiliki modulasi langsung pada sistem imun mungkin juga suatu indikator resiko yang signifikan untuk penyakit periodontal. Homeostasis yang terganggu dalam proses ini, dapat berperan sebagai suatu basis untuk berbagai perubahan patologis. Hal ini, mungkin terjadi pada beberapa bentuk penyakit periodontal.4,7

Hubungan antara stress psikologis dengan penyakit periodontal telah menarik banyak perhatian. Beberapa penelitian terdahulu telah melaporkan prevalensi penyakit periodontal destruktif kronis yang lebih tinggi pada orang dengan kelainan psikologis tertentu, dan telah mengemukakan bahwa stress psikologis mungkin dapat dihubungkan dengan penyakit periodontal nekrotis akut.7,10

Kondisi psikologis juga mempengaruhi keberhasilan perawatan periodontal. Komunikasi yang baik antara dokter gigi dengan pasien pada saat melakukan perawatan periodontal merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam mencapai keberhasilan perawatan. Individu merespon stress psikologis yang terjadi dalam hidupnya dengan mekanisme coping, dimana dengan mekanisme coping yang adekuat maka kondisi penyakit periodontal tidak diperparah melainkan dapat dipengaruhi penyembuhannya.7


(11)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Dalam bab 2 dibahas bagaimana mekanisme stres dapat mempengaruhi keadaaan periodontal. Bab 3 membahas pengaruh stres terhadap penyakit periodontal yaitu hubungan stres dengan penyakit periodontal dan hubungan strategi coping dengan penyakit periodontal. Bab 4 membahas pengaruh stres terhadap perawatan periodontal. Dokter gigi diharapkan dapat mengerti mengenai hubungan stres dengan penyakit maupun perawatan periodontal sehingga keberhasilan perawatan dapat maksimal.


(12)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 2

MEKANISME STRESS MEMPENGARUHI PERIODONSIUM

Faktor etiologi utama penyakit periodontal adalah bakteri plak. Sejumlah spesies bakteri telah ditemukan berhubungan dengan keadaan penyakit, diantaranya adalah Porphyromonas gingivalis yang dianggap sebagai salah satu patogen periodontal yang utama. Walau jumlah dan virulensi bakteri adalah faktor penting pada perkembangan penyakit periodontal, saat ini lebih ditekankan pada peranan respon inang (host) dalam proses tersebut. Patogen periodontal dan produknya menimbulkan respon inflamasi pada gingiva, tetapi kerusakan jaringan yang terjadi barangkali diperantarai melalui mediator proinflamatori host yang dilepaskan oleh sel-sel imun yang aktif. Tipe dan besarnya respon inflamasi adalah faktor kunci dalam menentukan hasil inflamasi gingiva. Diantara berbagai sel inang (host), T limfosit dan makrofag dianggap sebagai sel-sel yang penting pada arah dan pengaturan proses imun-inflamasi. Sebagai contoh, produk sel-T yaitu interferon (IFN)- diketahui meningkatkan produk sekresi makrofag, seperti tumour necrosis factor (TNF)- dan interleukin-1, yang dapat merangsang resorpsi tulang, kerusakan jaringan, dan kehilangan perlekatan periodontal.6

Stress emosional adalah salah satu dari faktor-faktor subjek yang berubah-ubah, yang ditemukan memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Stress adalah istilah yang mendefenisikan reaksi psiko-fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan emosional atau fisik yang mengganggu homeostasis, dan ditemukan dapat


(13)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

mengeksaserbasi hasil dari penyakit infeksi bakteri dan virus pada model hewan dan manusia.3,6

Dalam tahun-tahun belakangan ini, berbagai faktor psikologis yang berbeda diduga meningkatkan resiko untuk periodontitis. Hingga kini penelitian epidemiologis mengemukakan dugaan kuat bahwa stress, kecemasan, dan cara mengatasinya yang tidak adekuat merupakan indikator resiko yang penting untuk penyakit periodontal.10 Pengaruh yang signifikan dari faktor-faktor psikologis seperti stress dan depresi, dan faktor imunologis seperti level kortisol terhadap sejumlah penyakit telah diketahui dengan baik. Penelitian mendalam telah dilakukan dan menghubungkan stress kronik dan gejala depresi yang diukur dengan skala Beck, serta level kortisol yang merupakan indikator biologis dari stress terhadap morbiditas dan mortalitas dari beberapa penyakit kronis.2 Respon psikologis terhadap pemicu stress dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin dalam sedikitnya tiga jalur yang berbeda, yaitu:

1. Respon akibat stress dihantarkan ke aksis hipotalamo-pituitari-adrenal (HPA), untuk merangsang pelepasan hormon yang mengeluarkan kortikotropik

(corticotropic-releasing hormone = CRH) dari hipotalamus, hormon adrenokortikotropik

(adrenocorticotropic hormone = ACTH) dari pituitari, dan hormon glukokortikoid dari korteks adrenal.

2. Jalur saraf simpatik, yang dihantarkan ke sistem saraf simpatik untuk merangsang pengeluaran adrenalin dan noradrenalin dari medula adrenal. Dilaporkan bahwa sistem saraf simpatik mengatur fungsi imun pada beberapa level dan bahwa epinefrin menghasilkan efek imunosupresif.


(14)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

3. Jalur saraf sensonic peptidergic, disebut dengan ”inflamasi neurogenik”, yang melepaskan neuropeptida dari serabut saraf sensoris pada perangsangan oleh stimulus eksternal. Pelepasan neuropeptida periferal merupakan promotor neurogenik dalam berbagai proses inflamasi. Neuropeptida juga mengatur aktifitas sistem imun dan pelepasan sitokin. Dengan demikian, pengaruh stress terhadap sistem imun telah diketahui dengan baik dan ada kemungkinan pengaruhnya pada penyakit periodontal inflamatori kronis.10

Aktifasi aksis HPA oleh stress menghasilkan peningkatan pengeluaran CRH dari hipotalamus. Selanjutnya CRH bekerja pada hipofise yang mengeluarkan ACTH. Lalu ACTH bekerja pada korteks adrenal dan menyebabkan produksi dan pengeluaran hormon glukokortikoid yang bersifat spesies-spesifik ke sirkulasi umum. Peningkatan produksi glukokortikoid menekan respon inflamatori dari pola T-helper 1 ke T-helper 2, ditandai dengan peningkatan produksi interleukin (IL)-4 dan IL-5 serta invasi sel plasma. Kortikosteroid juga menghambat produksi sitokin, termasuk IL-1, IL-2, IL-3, dan IL-6, tumor necrosis factor, interferon gamma, dan faktor stimulasi koloni granulosit dan monosit. Selain itu akibat pelepasan glukortikoid sebagai hasil dari aktifasi siklus stress adalah kenaikan pada gula darah. Breivik dkk memperlihatkan level kortikosteron yang secara signifikan lebih tinggi dalam darah, dan terjadi kerusakan jaringan periodontal yang lebih berat pada tikus dengan reaktifitas aksis HPA yang tinggi dibanding pada hewan dengan respon aksis HPA yang rendah dalam penelitian mengenai inflamasi periodontal akibat kawat ligatur pada tikus.10


(15)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Psikoneuroimunologi (PNI) adalah bidang yang sedang berkembang yang mempelajari pengaruh perilaku dalam interaksi otak - imunitas, dan bagaimana hal ini mempengaruhi kesehatan. Sejak penemuan penting mengenai interaksi tersebut oleh Solomon dan Moss serta Ader dan Cohen, para peneliti telah berusaha memahami mekanisme kerjanya. Diketahui bahwa ada dua jalur utama yang menghubungkan otak dengan sistem imun: aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dan hubungan serabut neuronal secara langsung dari sistem saraf otonom. Kedua jalur tersebut menghasilkan mediator penting secara biologis yang mampu berinteraksi dengan sel-sel sistem imun.11

Hormon-hormon neuroendokrin yang dikeluarkan dari kelenjar pituitari melalui aktifasi aksis HPA mempengaruhi sistem imun. Sel-sel mieloid maupun sel limfoid merupakan reseptor bagi hormon-hormon tersebut dan neuropeptida, dan sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa limfosit juga dapat mensintesis hormon seperti prolaktin, hormon pertumbuhan, dan hormon adrenokortikotropik (ACTH). Selain itu neurohormon seperti glukokortikoid dan peptida seperti ACTH, endorfin, substance P, dan somatostatin mampu mengatur berbagai aspek dari respon imun, termasuk produksi sitokin, proliferasi sel B dan T, produksi antibodi, kemotaksis dari monosit dan neutrofil, dan aktifitas sel pembunuh (natural killer=NK).

Selain sinyal neuroendokrin dari aksis HPA, serabut saraf simpatetik noradrenergik dan peptidergik telah dideteksi dalam organ limfoid primer dan sekunder termasuk sumsum tulang, timus, limpa dan nodus limfe. Hubungan yang dekat dari terminal saraf tersebut dengan sel-sel imun menghasilkan pertemuan neuroefektor dan interaksi neural-imunitas secara langsung. Neurotransmiter seperti epinefrin dan


(16)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

substance P yang dilepaskan pada pertemuan tersebut selanjutnya dapat berinteraksi secara langsung dengan sel imun yang berhubungan atau pada jarak yang jauh, sehingga mempengaruhi sel-sel disekitarnya.11

Limfosit, monosit/makrofag, dan granulosit memiliki reseptor untuk berbagai neurotransmiter, dan neurotransmiter itu sendiri dapat mengatur imunitas. Sebagai contoh, katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) mengatur level siklus limfosit –AMP yang mempengaruhi respon imun seperti migrasi seluler, proliferasi limfosit, sekresi antibodi, dan lisis sel. Suatu laporan baru-baru ini oleh Elenkov dkk menunjukkan bahwa penambahan katekolamin ke darah manusia menghasilkan penekanan produksi interleukin 12 (IL-12), disertai peningkatan produksi interleukin 10 (IL-10). Pergeseran sitokin ini menyebabkan pergeseran sel T-helper (Th) dari sel-sel Th1 yang terlibat dalam reaksi inflamasi yang diperantarai sel menjadi sel-sel Th2 yang memproduksi sitokin yang mendorong produksi antibodi. Elenkov dkk mengemukakan bahwa stress dapat menekan fungsi Th1 dan menyebabkan pergeseran menuju pola sitokin Th2, sehingga meningkatkan kerentanan host terhadap patogen infeksius yang membutuhkan respon seluler, contohnya infeksi virus. Hal ini juga mungkin memiliki implikasi yang penting untuk perkembangan periodontitis yang telah diduga merupakan lesi Th2.11

Jalur dua-arah antara SSP dan sistem imun tersebut memberikan suatu mekanisme umpan balik (feedback) untuk pengaturan imunitas. Sebagai contoh, IL-1 yang dikeluarkan dari sel-sel inflamasi/imunitas yang aktif akan menstimulasi hipotalamus untuk memproduksi lebih banyak coticotrophin-releasing hormone (CRH), yang selanjutnya akan memicu pelepasan dua hormon stress, yaitu ACTH dari kelenjar pituitari


(17)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

dan kortikosteron dari korteks adrenal. Hormon stress ini dapat mempengaruhi respon imun secara negatif. Oleh sebab itu, pemicu stress secara fisik atau psikologis dapat mengaktifkan SSP dan aksis HPA untuk mengeluarkan katekolamin dan glukokortikoid yang mengubah mekanisme feedback ini dan mengganggu homeostasis. Rongga mulut juga merupakan target yang potensial untuk pengaturan neuroendokrin. Kortisol bebas terdapat dalam saliva dalam konsentrasi yang sama dengan plasma sehingga dapat mengatur reaksi inflamasi oral termasuk penyembuhan luka di rongga mulut. Penemuan kortisol dalam cairan krevikular gingiva baru-baru ini juga menimbulkan dugaan bahwa kortisol yang diproduksi sebagai akibat dari stress dapat memainkan peranan dalam periodontitis. Oleh sebab itu, memahami bagaimana stress mengatur sistem imun akan memperdalam pemahaman kita mengenai penyembuhan luka di rongga mulut dan penyakit mulut, seperti periodontitis.11

Deinzer dkk baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa IL-1 meningkat dalam cairan krevikular gingiva setelah pemeriksaan pada daerah gingivitis eksperimental. Oleh sebab itu, stress dapat mempengaruhi keseimbangan antara respon inang (host) dan bakteri dalam periodonsium. Terdapat semakin banyak bukti bahwa sistem saraf pusat (SSP) dapat mempengaruhi respon imun melalui rangakaian kompleks dari sinyal dua-arah yang menghubungkan sistem saraf, endokrin, dan imunitas. Stress psikologis dapat mempengaruhi respon imun dengan mengubah sinyal dalam rangkaian tersebut.11


(18)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Secara skematis mekanisme stress mempengaruhi periodonsium adalah sebagai berikut:

Stress Higiene Oral

Sistem imun

HPA Saraf Simpatik Sensorik Peptidergik

CRH

ACTH

Glukokortikoid

Adrenalin + Noradrenalin

Epinefrin + Substansi P

Limfosit, monosit, makrofag, granulosit

Fungsi Th1

Sitokin Th2

Kerentanan host thdp infeksi IL-4, IL-5

+ invasi plasma

Menghambat sitokin

KGD

IL-1, IL-2, IL-3, TNF, Interferon γ, granulosit, monosit

Resorpsi tulang, kerusakan jaringan, kehilangan

perlekatan

Menghambat penyembuhan luka

Neuropeptida

Menekan aktifitas sel immun + pelepasan sitokin


(19)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Dapat dibuat hipotesa bahwa hubungan tersebut diperantarai oleh perubahan imunologis yang disebabkan reaksi emosional seperti hiperkolesterolemia atau oleh perilaku dengan resiko yang menyangkut kesehatan seperti tidak melakukan kebersihan rongga mulut yang ditimbulkan oleh situasi yang menimbulkan stress, atau bahkan keduanya. Namun kebanyakan penelitian periodontal yang telah dilakukan berpusat pada penyebab proksimal, seperti bakteri dan mekanisme psikoneuroimunologis dari bagaimana faktor psikologis mempengaruhi respon inang (host) terhadap bakteri.2


(20)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 3

PENGARUH STRESS TERHADAP PERIODONSIUM

Penyakit periodontal merupakan infeksi oportunistik yang disebabkan oleh mikroorganisme periopatogen yang spesifik dan produk-produk metabolismenya. Produk-produk tersebut mengawali reaksi inflamatori dari gingiva yang secara terus menerus menghancurkan struktur periodontal.7 Biofilm plak dental mikrobial merupakan etiologi utama dari periodontitis, walau faktor lokal dan sistemik lainnya juga memiliki peranan penting dalam patogenesisnya. Indikator resiko meliputi osteoporosis, infeksi HIV dan stress psikososial.10

Patogen periodontal dan produknya menimbulkan respon inflamasi dalam gingiva, namun destruksi jaringan diperantarai melalui mediator host-derived proinflamatory yang dilepaskan dari sel-sel imun yang teraktivitasi. Makrofag memiliki peranan penting dalam terjadinya inflamasi dan respon imun dalam periodonsium serta menimbulkan efek dengan sekresi mediator regulatori seperti sitokin dan nitric oxide (NO). Faktor-faktor endogen dan eksogen, mencakup mediator inflamatori, fase reaktan akut, neuropeptida dan hormon-hormon, mampu memodulasi fungsi makrofag dan karena itulah dapat mempengaruhi respon inflamasi. Faktor-faktor tersebut dilepaskan dalam sirkulasi respon terhadap perubahan lingkungan dan mampu untuk memodifikasi kemampuan sel merespon stimulus eksternal, seperti infeksi bakterial atau viral.

Salah satu perubahan lingkungan yang mempengaruhi perubahan neuroganik dan hormonal dalam mamalia adalah stress. Telah diperlihatkan bahwa stress mengeksaserbasi hasil penyakit infeksi bakterial atau viral dalam model manusia dan binatang. Berbagai


(21)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

penelitian telah menemukan suatu korelasi positif antara kejadian negatif dan keparahan penyakit periodontal pada manusia yang menyatakan bahwa faktor-faktor fisiologis dan psikologis dalam stress dapat meningkatkan kerentanan terhadap periodontitis.3

Pada kasus khusus adanya plak, stress psikologis jangka pendek (PSI) merupakan indikator resiko yang signifikan dari level plak yang meningkat. Gejala-gejala yang diketahui dalam kategori stress ini adalah peningkatan motivasi secara mendadak, antusiasme yang mendadak dan motivasi mendadak untuk memulai pekerjaan baru. Stress dalam kategori ini dianggap sebagai stress ambang (baseline), tetapi intensitasnya, walau ringan, menandakan bahwa organisme tersebut hampir kalah melawan stress. Penderita depresi yang berkaitan dengan stress dan kegelisahan memiliki level gingivitis, plak , level IL-6 dan kortisol yang lebih tinggi dalam cairan sulkus gingiva.8 Peningkatan level plak dapat menjadi pertanda dalam situasi ini dan menimbulkan gangguan pada respon organisme terhadap stress.2 Tingginya level stress kerja disertai dengan kurangnya kesehatan rongga mulut dapat menimbulkan gangguan pada gingiva. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya pendarahan pada gingiva yang lama-kelamaan akan menimbulkan gingivitis. Apabila tidak dilakukan perawatan pada rongga mulut, maka keadaan tersebut akan berkembang menjadi penyakit periodontal yang ditandai dengan adanya peningkatan level plak, kehilangan perlekatan, dan kehilangan tulang alveolar.1


(22)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

3.1 Hubungan Stres Dengan Penyakit Periodontal

Untuk melihat hubungan antara stress dengan kebiasaan coping (respon subjek dalam suatu usaha untuk mengontrol dan mencegah efek stress yang negatif dan tidak menyenangkan), Genco et al. melakukan penelitian terhadap 1426 sampel (741 wanita dan 685 pria) berumur sekitar 25 sampai 74 tahun di New York. Sampel diminta untuk mengisi 5 set kuesioner psikososial dimana mengukur ciri dan sikap psikologis yang meliputi: kejadian hidup dan pengaruhnya, tegangan harian atau stres kronis, gaya dan strategi coping, Hassel and uplifts, dan simptom inventori.1

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam level keparahan kehilangan perlekatan pada orang yang mengalami tegangan finansial, tegangan anak-anak. Selain itu terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pasien yang melakukan strategi coping baik yang berdasarkan masalah maupun yang berdasarkan emosi.1

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam level kehilangan tulang alveolar pada pasien yang mengalami tegangan finansial dan tegangan masa lajang. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa stress akibat tegangan finansial dan akibat tegangan masa lajang dapat mempengaruhi keparahan kehilangan tulang alveolar pada pasien yang memiliki penyakit periodontal.1


(23)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Tabel 1. Skor Psikososial (Mean ± SE) yang disesuaikan dengan Keparahan Kehilangan

Perlekatan. (Genco, et al. J Periodontol 1999;70: 715)

Skala Psikososial Kehilangan Perlekatan

Sehat Kurang Sedang Tinggi Parah

Kejadian hidup Jumlah kejadian Rating kontrol Rating pengaruh

2,33 ± 0,32 0,26 ± 0,03 0,24 ± 0,02

2,76 ± 0,11 0,25 ± 0,01 0,24 ± 0,01

2,59 ± 0,12 0,25 ± 0,01 0,23 ± 0,01

2,33 ± 0,21 0,22 ± 0,02 0,21 ± 0,01

2,11 ± 0,25 0,24 ± 0,02 0,21 ± 0,02 Tegangan harian

Tegangan kerja Tegangan finansial* Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak* Peranan komposit tegangan

2,12 ± 0,05 1,66 ± 0,09 1,90 ± 0,09 1,96 ± 0,12 1,79 ± 0,08 1,89 ± 0,05

2,09 ± 0,02 1,83 ± 0,03 1,87 ± 0,03 1,87 ± 0,04 1,90 ± 0,03 1,91 ± 0,02

2,16 ± 0,02 1,94 ± 0,04 1,99 ± 0,03 1,81 ± 0,04 1,86 ± 0,03 1,98 ± 0,02

2,09 ± 0,05 1,98 ± 0,06 1,93 ± 0,06 1,71 ± 0,07 1,93 ± 0,05 1,95 ± 0,03

2,22 ± 0,05 1,98 ± 0,07 1,85 ± 0,07 1,61 ± 0,09 1,70 ± 0,06 1,89 ± 0,04

Hassel and uplifts Hassel

Health hassel Uplifts Health uplift

0,51 ± 0,06 0,62 ± 0,09 0,84 ± 0,07 1,12 ± 0,12

0,55 ± 0,02 0,64 ± 0,03 0,84 ± 0,03 1,14 ± 0,04

0,50 ± 0,02 0,57 ± 0,03 0,86 ± 0,03 1,09 ± 0,05

0,59 ± 0,04 0,66 ± 0,06 0,89 ± 0,05 1,05 ± 0,08

0,50 ± 0,05 0,60 ± 0,07 0,89 ± 0,06 1,13 ± 0,10 Simptom inventori Anxietas Somatisasi Sensitivitas interpersonal Psikositism Paranoid Depresi Hostilitas Anxietas fobia Obsesif kompulsif

0,38 ± 0,07 0,25 ± 0,05 0,64 ± 0,08 0,25 ± 0,06 0,57 ± 0,08 0,30 ± 0,08 0,37 ± 0,06 0,16 ± 0,05 0,78 ± 0,08

0,51 ± 0,02 0,32 ± 0,02 0,56 ± 0,03 0,31 ± 0,02 0,55 ± 0,03 0,47 ± 0,03 0,44 ± 0,02 0,18 ± 0,02 0,77 ± 0,03

0,46 ± 0,03 0,28 ± 0,02 0,49 ± 0,03 0,29 ± 0,02 0,52 ± 0,03 0,44 ± 0,03 0,43 ± 0,02 0,18 ± 0,02 0,70 ± 0,03

0,42 ± 0,05 0,28 ± 0,03 0,44 ± 0,05 0,27 ± 0,04 0,50 ± 0,05 0,46 ± 0,05 0,49 ± 0,04 0,16 ± 0,03 0,62 ± 0,05

0,52 ± 0,05 0,28 ± 0,04 0,55 ± 0,06 0,32 ± 0,04 0,56 ± 0,06 0,46 ± 0,06 0,48 ± 0,05 0,19 ± 0,04 0,72 ± 0,06 Coping

Coping berdasarkan masalah* Coping berdasarkan emosi* Strategi kurang efektif

13,27 ± 0,37 11,92 ± 0,30 5,92 ± 0,17

13,52 ± 0,13 12,34 ± 0,11 6,09 ± 0,06

12,97 ± 0,14 11,87 ± 0,12 5,85 ± 0,06

13,31 ± 0,25 11,9 ± 0,20 6,06 ± 0,11

12,78±0,29 11,76±0,24 5,86 ± 0,13 * Perbedaan yang signifikan dalam skor rata-rata psikososial antara berbagai tingkat keparahan kehilangan


(24)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Tabel 2. Skor Psikososial (Mean ± SE) yang disesuaikan dengan Keparahan Kehilangan

Tulang Alveolar. (Genco, et al. J Periodontol 1999;70: 716)

Skala Psikososial Kehilangan Tulang alveolar

Sehat Kurang Sedang Parah

Kejadian hidup Jumlah kejadian Rating kontrol Rating pengaruh

2,81 ± 0,13 0,25 ± 0,01 0,23 ± 0,01

2,47 ± 0,14 0,24 ± 0,01 0,22 ± 0,01

2,50 ± 0,18 0,24 ± 0,01 0,23 ± 0,01

2,18 ± 0,20 0,24 ± 0,02 0,22 ± 0,01 Tegangan harian

Tegangan kerja Tegangan finansial* Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang* Tegangan anak-anak Peranan komposit tegangan

2,12 ± 0,02 1,80 ± 0,04 1,91 ± 0,09 1,91 ± 0,05 1,88 ± 0,03 1,93 ± 0,02

2,09 ± 0,03 1,83 ± 0,04 1,87 ± 0,04 1,87 ± 0,05 1,90 ± 0,03 1,91 ± 0,02

2,09 ± 0,04 1,98 ± 0,05 1,94 ± 0,05 1,80 ± 0,06 1,86 ± 0,04 1,97 ± 0,03

2,19 ± 0,05 1,99 ± 0,06 1,88 ± 0,06 1,63 ± 0,07 1,88 ± 0,04 1,94 ± 0,03

Hassel and uplifts Hassel Health hassel Uplifts Health uplift

0,58 ± 0,02 0,68 ± 0,04 0,84 ± 0,03 1,09 ± 0,05

0,48 ± 0,02 0,55 ± 0,04 0,82 ± 0,03 1,07 ± 0,05

0,54 ± 0,03 0,61 ± 0,05 0,95 ± 0,04 1,21 ± 0,07

0,51 ± 0,04 0,59 ± 0,06 0,89 ± 0,05 1,14 ± 0,08 Simptom inventori

Anxietas Somatisasi

Sensitivitas inter personal Psikositism Paranoid Depresi Hostilitas Anxietas fobia Obsesif kompulsif

0,49 ± 0,03 0,32 ± 0,02 0,56 ± 0,03 0,29 ± 0,02 0,57 ± 0,03 0,44 ± 0,03 0,45 ± 0,02 0,17 ± 0,02 0,78 ± 0,03

0,49 ± 0,02 0,31 ± 0,02 0,49 ± 0,03 0,55 ± 0,02 0,45 ± 0,03 0,43 ± 0,03 0,44 ± 0,02 0,17 ± 0,02 0,71 ± 0,03

0,46 ± 0,04 0,23 ± 0,03 0,46± 0,04 0,26 ± 0,03 0,47 ± 0,04 0,40± 0,04 0,41 ± 0,03 0,16 ± 0,02 0,64 ± 0,04

0,51 ± 0,04 0,30 ± 0,03 0,53 ± 0,05 0,33 ± 0,03 0,52 ± 0,05 0,49 ± 0,05 0,48 ± 0,04 0,20 ± 0,03 0,68± 0,05 Coping

Coping berdasarkan masalah

Coping berdasarkan emosi Strategi kurang efektif

13,32 ± 0,15 12,23 ± 0,13 6,07 ± 0,07

13,03 ± 0,16 11,96 ± 0,13 5,91 ± 0,07

13,44 ± 0,21 11,92 ± 0,17 5,86 ± 0,09

13,00 ± 0,23 11,87± 0,19 5,93± 0,10

* Perbedaan yang signifikan dalam skor rata-rata psikososial antara berbagai tingkat keparahan kehilangan


(25)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Tabel 3. Hubungan antara Skor Tegangan Harian dengan Keparahan Kehilangan

Perlekatan. (Genco, et al. J Periodontol 1999;70: 718).

Sifat-sifat Kehilangan Perlekatan

Odds Rasio * 95% C.l.

Coper berdasarkan emosi (tinggi) Tegangan kerja

Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 1.30 2.24 † 1.06 0.60 0.59 1.29

0.58 – 2.88 1.15 – 4.38 0.46 – 2.42 0.23 – 1.56 0.27 – 1.30 0.50 – 3.33 Coper berdasarkan emosi (rendah)

Tegangan kerja Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 0.56 1.91 0.88 0.35 † 0.96 1.52

0.27 – 1.16 0.97 – 3.76 0.43 – 1.80 0.13 – 0.91 0.45 – 2.09 0.68 – 3.39 Coper berdasarkan masalah (tinggi)

Tegangan kerja Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 1.22 1.49 1.06 0.53 0.53 1.05

0.53 – 2.78 0.76 – 2.92 0.45 – 2.49 0.19 – 1.45 0.24 – 1.19 0.43 – 2.62 Coper berdasarkan masalah (rendah)

Tegangan kerja Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 0.63 2.21 † 0.96 0.51 1.10 1.29

0.31 – 1.27 1.11 – 4.38 0.48 – 1.93 0.21 – 1.24 0.52 – 2.30 0.56 – 2.98 * Sampel meliputi semua dekade, jenis kelamin, dan level merokok.

† Data Signifikan (P ≤0,05)

(Untuk Kehilangan Perlekatan : kelompok Parah dan Tinggi dibandingkan dengan kelompok Sehat dan Rendah)

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada subjek dengan coping berdasarkan emosi ”tinggi” dan ”rendah”, banyaknya tekanan finansial mempunyai resiko yang lebih besar terhadap keparahan kehilangan perlekatan (OR=2.24, 95% CI = 1.15 s/d 4.38) dan rendahnya tekanan masa lajang mempunyai resiko lebih kecil terhadap keparahan kehilangan perlekatan (OR=0.35, 95% CI = 0,13 s/d 0,91) daripada yang memiliki sedikit


(26)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

tekanan finansial. Hasil yang sama juga didapatkan pada coping berdasarkan masalah ”rendah” (OR = 2.21, 95% CI = 1.11 – 4.38). 1

Tabel 4. Hubungan Antara Skor Tegangan Harian dengan Keparahan Kehilangan Tulang

Alveolar. (Genco, et al. J Periodontol 1999;70: 718).

Sifat-sifat Kehilangan Tulang alveolar

Odds Rasio * 95% C.l.

Coper berdasarkan emosi (tinggi) Tegangan kerja

Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 1.02 1.91 † 0.88 0.50 0.26 1.01

0.56 – 1.83 1.15 – 3.17 0.47 – 1.62 0.24 – 1.03 0.71 – 2.26 0.51 – 1.99 Coper berdasarkan emosi (rendah)

Tegangan kerja Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 1.08 1.76 † 0.90 0.76 1.43 0.79

0.63 – 1.86 1.06 – 2.91 0.52 – 1.54 0.38 – 1.51 0.81 – 2.52 0.43 – 1.44 Coper berdasarkan masalah (tinggi)

Tegangan kerja Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit 1.04 1.49 0.82 0.51 1.54 1.02

0.56 – 1.91 0.89 – 2.47 0.44 – 1.53 0.25 – 1.48 0.85 – 2.78 0.52 – 2.02 Coper berdasarkan masalah (rendah)

Tegangan kerja Tegangan finansial Tegangan dari pasangan Tegangan masa lajang Tegangan anak-anak Tegangan komposit

1.18 2.12 †

1.03 0.84 1.33 0.67

0.69 – 2.00 1.28 – 3.51 0.60 – 1.76 0.44 – 1.59 0.77 – 2.30 0.36 – 1.23 * Meliputi semua dekade, jenis kelamin dan level merokok.

† Data Signifikan (P ≤0,05)

(Untuk Kehilangan Tulang Alveolar : kelompok Parah dan Sedang dibandingkan dengan kelompok Sehat dan Rendah)

Dari tabel 4 kita melihat subjek dengan coping berdasarkan emosi ”tinggi” dan ”rendah”, tekanan finansial tinggi pada coping berdasarkan emosi ”tinggi” memiliki resiko lebih tinggi terhadap kehilangan tulang alveolar (OR = 1.91, 95% CI=1.1.5 s/d 3.17) dan hal yang sama juga didapat pada tekanan finansial coping berdasarkan emosi ”rendah” (OR = 1.76, 95% CI = 1.06 s/d 2.91). Tingginya resiko dapat juga dilihat pada


(27)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

coping berdasarkan masalah ”rendah”, pada tekanan finansial (OD = 2.21, 95% CI = 1.28 – 3.51). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa resiko terhadap penyakit periodontal untuk semua subjek lebih besar pada orang dengan tekanan finansial tinggi.1

3.2 Hubungan Strategi Coping dengan Penyakit Periodontal

Untuk melihat hubungan antara penyakit periodontal dengan berbagai bentuk kebiasaan stres pada pasien periodontitis, Wimmer et al.melakukan penelitian terhadap sampel sebanyak 89 pasien dengan berbagai bentuk yang ringan dari periodontitis kronis sebagai kelompok uji, kelompok kontrol terdiri dari 63 orang petugas kesehatan. Dalam

analisa faktor dengan faktorisasi dan rotasi Varimax, muncul 5 faktor dari 19 subtest,

dimana 5 faktor tersebut terdiri dari faktor 1 ”mundur” (resign), faktor 2 ”aktif” (active), faktor 3 ”pengalihan” (distractive), faktor 4 ”bertahan” (defensive), faktor 5 ”melawan / dengan obat-obatan” (Pharmaceuticals / aggression).7

Hasil evaluasi terhadap data penelitian menunjukkan bahwa pada pasien periodontal (kelompok uji) berbeda dalam strategi coping dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel5). Hasil penelitian menunujukkan bahwa antara kelompok uji dan kelompok kontrol pada faktor 2 (coping aktif) dan faktor 3 (coping pengalihan) terdapat perbedaan yang signifikan. Pada faktor 4 (coping bertahan) dan faktor 5 (coping dengan obat), terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kelompok uji dan kelompok kontrol.


(28)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Tabel 5. Perbandingan Strategi Coping antara Kelompok Uji dan Kontrol. (Wimmer, et

al. J Periodontol: 2002; 73: 1348)

Strategi/Kelompok Rata-Rata SD P

Faktor 1 Mundur Uji Kontrol 0.029 - 0.050 0.10 0.116 NS Faktor 2 Aktif

Uji Kontrol - 0.122 0.199 0.868 0.926 0.040* Faktor 3 Pengalihan

Uji Kontrol - 0.116 0.204 0.877 0.825 0.033* Faktor 4 Bertahan

Uji Kontrol 0.259 - 0.331 0.869 0.774 0.000 † Faktor 5 Melawan / dengan obat

Uji Kontrol 0.167 - 0.217 0.735 0.120 0.007 † * Signifikan dan † sangat signifikan perbedaan coping kelompok antara uji dan kontrol

Tabel 6. Perbandingan Strategi Coping dalam Kelompok Pasien. (Wimmer, et al. J

Periodontol: 2002; 73: 1348)

Strategi/CAL N Rata-Rata SD P

Faktor 1 Mundur Ringan/ Sedang Parah 53 26 0.07 - 0.23 0.85 1.19 NS Faktor 2 Aktif

Ringan/ Sedang Parah 53 26 - 0.10 - 0.18 0.93 0.75 NS Faktor 3 Pengalihan

Ringan/ Sedang Parah 53 26 - 0.10 - 0.15 0.96 0.69 NS Faktor 4 Bertahan

Ringan/ Sedang Parah 53 26 0.13 0.53 0.81 0.94 0.04* Faktor 5 Melawan / dengan obat

Ringan/ Sedang Parah 53 26 0.19 0.12 0.75 0.71 NS * Perbedaan yang signifikan antar kelompok

Hubungan strategi coping dengan kelompok penyakit periodontal antara kelompok uji dan kontrol, terlihat bahwa coping pertahanan berperan penting (tabel 6). Keparahan penyakit periodontal digolongkan dengan melihat banyaknya kehilangan perlekatan, dan pasien dibagi menjadi 2 grup, yaitu grup 1 (ringan =1 atau 2 mm kehilangan perlekatan


(29)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

atau sedang = 3 atau 4 mm kehilangan perlekatan), grup 2 (parah = ≥5 mm). Analisis antara strategi terhadap masing-masing coping menunjukkan bahwa hanya untuk faktor pertahanan terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal strategi coping antara kelompok periodontitis ringan/sedang dengan periodontitis parah.7


(30)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 4

PENGARUH STRESS TERHADAP PERAWATAN PERIODONTAL

Stress berperan penting dalam menentukan beratnya penyakit periodontal, besarnya rasa nyeri, dan proses penyembuhan luka. Orang dengan prilaku stress yang inadekuat lebih beresiko mengalami penyakit dibanding orang tanpa prilaku stress. Pasien yang mengalami stress kemungkinan sulit untuk sembuh dengan cepat dari perawatan bedah periodontal dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami stress. Penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan stress menyebabkan perluasan inflamasi periodontal. Hasil ini dikarenakan peningkatan interleukin 1, 4, dan 8, yang menyebabkan destruksi periodontal yang lebih besar.4,5

Keefektifan perawatan periodontal telah tampak dalam beberapa studi klinis yang memperlihatkan penyembuhan yang baik oleh prosedur bedah dalam perawatan periodontal. Studi klinis tersebut berfokus terutama pada hasil perawatan klinis objektif seperti pertambahan level perlekatan, kemanjuran metode-metode, dan hubungan antara saku periodontal dan perlekatan periodontal dan jarang mengenai bagaimana perawatan ini mempengaruhi psikososial pasien dan jumlah rasa nyeri yang dialami.5

Kloostra et al. 5 melakukan penelitian di Michigan pada 70 pasien (34 pria dan 36 wanita, usia rata-rata 54,79 tahun), 21 pasien dirawat dengan skeling dan penyerutan akar sedangkan 49 pasien lainnya dilakukan peraawatan bedah. Faktor-faktor psikososial (yakni kecemasan, depresi, stress yang dirasakan, dan kesehatan) diukur dengan skala yang distandarisasikan. Para dokter memantau penyembuhan luka mereka 2 minggu


(31)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

setelah perawatan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam perawatan bedah maupun non bedah, faktor-faktor psikososial berpengaruh negatif terhadap hasil perawatan dan aspek penyembuhan luka. Faktor psikososial juga berpengaruh terhadap persepsi rasa nyeri yang dialami.

Tabel 7. Skor rata-rata kecemasan, depresi, stress, kesehatan pada perawatan bedah dan

non-bedah pada hari pasien menjalani perawatan. ( Kloostra et al. J Periodontol 2006; 77 : 1256).

Faktor Psikososial Bedah Non-Bedah P

Kecemasan * 1,55 (SD=0,319) (N=43) 1,85 (SD = 0,493) (N=17) 0,018

Depresi † 1,31 (SD=0,249) ( N=47) 1,51 (SD=0,353) (N=20) 0,013

Stress ‡ 2,20 (SD=0,484) (N=48) 2,50 (SD=0,475) (N=20) 0,023

Perasaan Sehat § 3,98 (SD=0,651) (N =49) 3,40 (SD=0,671) (N=21) 0,001

* skala jawaban respon kecemasan 4 poin(4dari 1=”kecemasan rendah” sampai 4=”kecemasan tinggi”) † skala jawaban respon depresi 3 poin (dari 1= ”pernah terdepresi” dan 3=”sering terdepresi”)

‡ skala jawaban respon stress 5 poin (dari 1= “tidak pernah” sampai 5=”selalu stress”)

§ skala jawaban respon perasaan sehat 5 poin (dari 1=”kesehatan rendah” sampai 5= “kesehatan tinggi”)

Data pada tabel 7 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perawatan bedah dan non bedah dalam hal kecemasan, depresi, stess dan kesehatan. Pasien yang menerima perawatan bedah pada umumnya secara signifikan mengalami sedikit kecemasan. Bahkan pasien dalam kelompok bedah mengalami perasaan sehat yang lebih besar daripada pasien dalam kelompok non bedah. 5


(32)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Tabel 8. Korelasi antara Faktor psikososial dan rasa nyeri dan obat anti nyeri digunakan selama minggu ke2, setelah 2 minggu, selama minggu ke4, dan setelah 4 minggu dan penilaian dokter gigi terhadap penyembuhan ~ 2 minggu setelah perawatan. (Kloostra et al. J Periodontol 2006; 77 : 1258)

Kecemasan Depresi Stress Perasaan Sehat

Selama minggu ke 2 Obat : tipe* Obat : jumlah† Obat : frekuensi‡

0.385 -0.210 0.050 0.528 (P=0.012) 0.083 0.497 (P=0.030) 0.237 -0.319 0.160 -0.032 0.425(P=0.055) -0.019 Setelah 2 minggu

Obat : tipe* Obat : jumlah †

0.138 -0.128 0.503 (P=0.017) 0.471 (P=0.027) 0.071 -0.009 0.167 -0.095 Penilaian dokter gigi

Level penyembuhan luka§

Pembengkakan Epitelisasi ¶ Integritas luka #

-0.316 (P=0.047) -0.124 -0.214 -0.226 -0.256 (P=0.094) -0.166 -0.294(P=0.053) -0.288(P=0.064) -0.196 -0.032 -0.208 -0.306(P=0.046) 0.314 0.311(P=0.035) 0.267(P=0.073) 0.279(P=0.067) Selama minggu ke 4

Nyeri : Keparahan ** Level nyeri†† Obat : Jumlah† Obat : Frekuensi‡

0.363 0.412 (P=0.079) 0.153 0.153 0.561(P=0.007) 0.569(P=0.006) 0.614(P=0.002) 0.689(P=0.000) 0.439(P=0.041) 0.405(P=0.062) 0.354 0.271 -0.350 -0.214 -0.143 0.253 Setelah 4 minggu

Nyeri : keparahan** Level nyeri†† Obat : tipe* Obat : jumlah†

0.391 (P=0.098) 0.432 (P=0.065) -0.158 -0.125 0.297 0.301 0.650(P=0.001) 0.503(P=0.017) 0.423(P=0.050) 0.345(P=0.116) 0.179 0.060 -0.226 -0.033 -0.130 -0.028

P nilai korelasi belum dikoreksi untuk keseragaman. Untuk menerapkan koreksi Bonferroni, melipatgandakan nilai P dengan 68.

* 0=tidak; 1= diluar perhitungan; 2= resep obat † Jumlah pil per dosis.

‡ Jumlah dosis per hari § 1= primer; 2 = sekunder

1= tidak; 2= ringan; 3= sedang; 4= parah ¶ 1= lengkap; 2= tidak lengkap

# 1= tidak ada pelepasan jaringan; 2= pelepasan jaringan minor hanya pada tepi luka; 3= pelepasan jaringan mayor

** 0= tidak; 1= ringan; 2= tidak nyaman; 3= distress; 4= mengerikan; 5= siksaan †† dari 0= tidak nyeri sampai 10= kemungkinan paling nyeri.

Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil pemakaian obat selama minggu ke 2 memperlihatkan bahwa lebih terdepresi pasien maka lebih kuat obat anti nyeri yang digunakan (r = 0,528; P= 0,012) dan semakin sering menggunakan obat anti nyeri (r= 0,497 ; P= 0,030). Dua minggu setelah perawatan, depresi berhubungan dengan tipe obat


(33)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

anti nyeri yang digunakan (r = 0,503; P = 0,017) dan jumlah obat yang digunakan (r = 0,471; P = 0,027). 5

Pada jadwal follow-up 2 minggu, para dokter mengevaluasi penyembuhan luka pasien. Pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa kecemasan pasien secara signifikan berhubungan dengan level penyembuhan luka (r = -0,316; P = 0,047). Stress secara signifikan berhubungan dengan integritas luka (r = -0,306; P = 0,046), dan perasaan sehat berhubungan dengan pembengkakan (r = 0.311; P = 0,035). Kesimpulannya, terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan, depresi, stress dengan beberapa indikator yang digunakan untuk mengkaji penyembuhan luka yang memperlihatkan bahwa peningkatan level kecemasan, depresi, dan stress dapat mempengaruhi beberapa faktor penyembuhan luka. 5

Selama minggu ke 4 setelah perawatan, level depresi pasien memperlihatkan hubungan yang kuat dengan keparahan nyeri (r= 0,561, P = 0,007), level nyeri (r=0,569, P = 0,006), jumlah obat yang digunakan (r = 0,614; P = 0,002), dan juga dengan frekuensi pemakaian obat (r = 0,689; P = 0,000). Bahkan, level stress pasien juga memiliki hubungan yang signifikan dengan keparahan nyeri yang dialamai (r=0,439; P = 0,041). Empat minggu setelah perawatan, level depresi dari pasien masih memiliki hubungan yang signifikan dengan tipe obat yang digunakan (r = 0,650; P = 0,001) dan jumlah obat yang digunakan (r = 0,503; P = 0,017).5


(34)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 5

DISKUSI & KESIMPULAN

Stress merupakan suatu kondisi reaksi psiko-fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan emosional atau fisik yang mengganggu homeostasis. Stress psikologis, depresi dan kebiasaan coping yang tidak adekuat dapat memperparah penyakit periodontal dengan mempengaruhi respon imun yang merupakan dasar terjadinya perubahan patologis. Species bakteri periodontal yang paling patogen yaitu Porphyromonas gingivalis. Stress memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Sel inang (host), T limfosit dan makrofag merupakan sel-sel yang penting dalam pengaturan proses imun-inflamasi.

Respon psikologis terhadap pemicu stress dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin, respon akibat stress dihantarkan melalui tiga jalur yaitu ke aksis hipotalamo-pituitari-adrenal (HPA) ke sistem saraf simpatik dan ke saraf sensonic peptidergic,. Hormon stress yaitu CRH, ACTH dan Glukokortikoid dapat mempengaruhi respon imun sehingga mengakibatkan resorpsi tulang, kerusakan jaringan, kehilangan perlekatan, serta dapat menghambat penyembuhan luka.

Resiko terhadap penyakit periodontal untuk semua subjek lebih besar pada orang dengan tekanan finansial tinggi, ditandai dengan level keparahan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang alveolar yang lebih tinggi dibandingkan oleh tekanan yang lain. Untuk merespon stress, individu melakukan strategi coping. Strategi coping yang dapat meningkatkan keparahan penyakit periodontal yaitu coping pertahanan dan coping agresi.


(35)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Pasien yang mengalami stress, depresi, kecemasan dalam perawatan periodontal baik bedah maupun non bedah dapat mempengaruhi faktor penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka menjadi lebih lambat daripada pasien tanpa beban psikologis. Tingginya level beban psikologis yang dialami pasien dapat meningkatkan rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien, dan juga dapat meningkatkan jumlah, tipe dan frekuensi obat anti nyeri yang dikonsumsi.

Tingginya level stress disertai dengan kurangnya kesehatan rongga mulut dapat menimbulkan kondisi periodontal yang lebih parah. Hal ini ditandai dengan peningkatan kehilangan perlekatan, kehilangan tulang alveolar yang parah dan pendarahan pada gingiva yang meningkat. Selain itu, stress psikologis juga dapat mempengaruhi keberhasilan dan jalannya perawatan penyakit periodontal. Oleh karena itu, diharapkan agar dokter gigi dapat menciptakan komunikasi yang baik dan menyenangkan dengan pasien terutama pada saat melakukan perawatan periodontal sehingga keberhasilan perawatan dapat maksimal.


(1)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 4

PENGARUH STRESS TERHADAP PERAWATAN PERIODONTAL

Stress berperan penting dalam menentukan beratnya penyakit periodontal, besarnya rasa nyeri, dan proses penyembuhan luka. Orang dengan prilaku stress yang inadekuat lebih beresiko mengalami penyakit dibanding orang tanpa prilaku stress. Pasien yang mengalami stress kemungkinan sulit untuk sembuh dengan cepat dari perawatan bedah periodontal dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami stress. Penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan stress menyebabkan perluasan inflamasi periodontal. Hasil ini dikarenakan peningkatan interleukin 1, 4, dan 8, yang menyebabkan destruksi periodontal yang lebih besar.4,5

Keefektifan perawatan periodontal telah tampak dalam beberapa studi klinis yang memperlihatkan penyembuhan yang baik oleh prosedur bedah dalam perawatan periodontal. Studi klinis tersebut berfokus terutama pada hasil perawatan klinis objektif seperti pertambahan level perlekatan, kemanjuran metode-metode, dan hubungan antara saku periodontal dan perlekatan periodontal dan jarang mengenai bagaimana perawatan ini mempengaruhi psikososial pasien dan jumlah rasa nyeri yang dialami.5

Kloostra et al. 5 melakukan penelitian di Michigan pada 70 pasien (34 pria dan 36 wanita, usia rata-rata 54,79 tahun), 21 pasien dirawat dengan skeling dan penyerutan akar sedangkan 49 pasien lainnya dilakukan peraawatan bedah. Faktor-faktor psikososial (yakni kecemasan, depresi, stress yang dirasakan, dan kesehatan) diukur dengan skala yang distandarisasikan. Para dokter memantau penyembuhan luka mereka 2 minggu


(2)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

setelah perawatan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam perawatan bedah maupun non bedah, faktor-faktor psikososial berpengaruh negatif terhadap hasil perawatan dan aspek penyembuhan luka. Faktor psikososial juga berpengaruh terhadap persepsi rasa nyeri yang dialami.

Tabel 7. Skor rata-rata kecemasan, depresi, stress, kesehatan pada perawatan bedah dan

non-bedah pada hari pasien menjalani perawatan. ( Kloostra et al. J Periodontol 2006; 77 : 1256).

Faktor Psikososial Bedah Non-Bedah P

Kecemasan * 1,55 (SD=0,319) (N=43) 1,85 (SD = 0,493) (N=17) 0,018 Depresi † 1,31 (SD=0,249) ( N=47) 1,51 (SD=0,353) (N=20) 0,013 Stress ‡ 2,20 (SD=0,484) (N=48) 2,50 (SD=0,475) (N=20) 0,023 Perasaan Sehat § 3,98 (SD=0,651) (N =49) 3,40 (SD=0,671) (N=21) 0,001

* skala jawaban respon kecemasan 4 poin(4dari 1=”kecemasan rendah” sampai 4=”kecemasan tinggi”) † skala jawaban respon depresi 3 poin (dari 1= ”pernah terdepresi” dan 3=”sering terdepresi”)

‡ skala jawaban respon stress 5 poin (dari 1= “tidak pernah” sampai 5=”selalu stress”)

§ skala jawaban respon perasaan sehat 5 poin (dari 1=”kesehatan rendah” sampai 5= “kesehatan tinggi”)

Data pada tabel 7 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perawatan bedah dan non bedah dalam hal kecemasan, depresi, stess dan kesehatan. Pasien yang menerima perawatan bedah pada umumnya secara signifikan mengalami sedikit kecemasan. Bahkan pasien dalam kelompok bedah mengalami perasaan sehat yang lebih besar daripada pasien dalam kelompok non bedah. 5


(3)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Tabel 8. Korelasi antara Faktor psikososial dan rasa nyeri dan obat anti nyeri digunakan selama minggu ke2, setelah 2 minggu, selama minggu ke4, dan setelah 4 minggu dan penilaian dokter gigi terhadap penyembuhan ~ 2 minggu setelah perawatan. (Kloostra et al. J Periodontol 2006; 77 : 1258)

Kecemasan Depresi Stress Perasaan Sehat Selama minggu ke 2

Obat : tipe* Obat : jumlah† Obat : frekuensi‡

0.385 -0.210 0.050 0.528 (P=0.012) 0.083 0.497 (P=0.030) 0.237 -0.319 0.160 -0.032 0.425(P=0.055) -0.019 Setelah 2 minggu

Obat : tipe* Obat : jumlah †

0.138 -0.128 0.503 (P=0.017) 0.471 (P=0.027) 0.071 -0.009 0.167 -0.095 Penilaian dokter gigi

Level penyembuhan luka§

Pembengkakan Epitelisasi ¶ Integritas luka #

-0.316 (P=0.047) -0.124 -0.214 -0.226 -0.256 (P=0.094) -0.166 -0.294(P=0.053) -0.288(P=0.064) -0.196 -0.032 -0.208 -0.306(P=0.046) 0.314 0.311(P=0.035) 0.267(P=0.073) 0.279(P=0.067) Selama minggu ke 4

Nyeri : Keparahan ** Level nyeri†† Obat : Jumlah† Obat : Frekuensi‡

0.363 0.412 (P=0.079) 0.153 0.153 0.561(P=0.007) 0.569(P=0.006) 0.614(P=0.002) 0.689(P=0.000) 0.439(P=0.041) 0.405(P=0.062) 0.354 0.271 -0.350 -0.214 -0.143 0.253 Setelah 4 minggu

Nyeri : keparahan** Level nyeri†† Obat : tipe* Obat : jumlah†

0.391 (P=0.098) 0.432 (P=0.065) -0.158 -0.125 0.297 0.301 0.650(P=0.001) 0.503(P=0.017) 0.423(P=0.050) 0.345(P=0.116) 0.179 0.060 -0.226 -0.033 -0.130 -0.028

P nilai korelasi belum dikoreksi untuk keseragaman. Untuk menerapkan koreksi Bonferroni, melipatgandakan nilai P dengan 68.

* 0=tidak; 1= diluar perhitungan; 2= resep obat † Jumlah pil per dosis.

‡ Jumlah dosis per hari § 1= primer; 2 = sekunder

1= tidak; 2= ringan; 3= sedang; 4= parah ¶ 1= lengkap; 2= tidak lengkap

# 1= tidak ada pelepasan jaringan; 2= pelepasan jaringan minor hanya pada tepi luka; 3= pelepasan jaringan mayor

** 0= tidak; 1= ringan; 2= tidak nyaman; 3= distress; 4= mengerikan; 5= siksaan †† dari 0= tidak nyeri sampai 10= kemungkinan paling nyeri.

Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil pemakaian obat selama minggu ke 2 memperlihatkan bahwa lebih terdepresi pasien maka lebih kuat obat anti nyeri yang digunakan (r = 0,528; P= 0,012) dan semakin sering menggunakan obat anti nyeri (r= 0,497 ; P= 0,030). Dua minggu setelah perawatan, depresi berhubungan dengan tipe obat


(4)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

anti nyeri yang digunakan (r = 0,503; P = 0,017) dan jumlah obat yang digunakan (r = 0,471; P = 0,027). 5

Pada jadwal follow-up 2 minggu, para dokter mengevaluasi penyembuhan luka pasien. Pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa kecemasan pasien secara signifikan berhubungan dengan level penyembuhan luka (r = -0,316; P = 0,047). Stress secara signifikan berhubungan dengan integritas luka (r = -0,306; P = 0,046), dan perasaan sehat berhubungan dengan pembengkakan (r = 0.311; P = 0,035). Kesimpulannya, terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan, depresi, stress dengan beberapa indikator yang digunakan untuk mengkaji penyembuhan luka yang memperlihatkan bahwa peningkatan level kecemasan, depresi, dan stress dapat mempengaruhi beberapa faktor penyembuhan luka. 5

Selama minggu ke 4 setelah perawatan, level depresi pasien memperlihatkan hubungan yang kuat dengan keparahan nyeri (r= 0,561, P = 0,007), level nyeri (r=0,569, P = 0,006), jumlah obat yang digunakan (r = 0,614; P = 0,002), dan juga dengan frekuensi pemakaian obat (r = 0,689; P = 0,000). Bahkan, level stress pasien juga memiliki hubungan yang signifikan dengan keparahan nyeri yang dialamai (r=0,439; P = 0,041). Empat minggu setelah perawatan, level depresi dari pasien masih memiliki hubungan yang signifikan dengan tipe obat yang digunakan (r = 0,650; P = 0,001) dan jumlah obat yang digunakan (r = 0,503; P = 0,017).5


(5)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

BAB 5

DISKUSI & KESIMPULAN

Stress merupakan suatu kondisi reaksi psiko-fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan emosional atau fisik yang mengganggu homeostasis. Stress psikologis, depresi dan kebiasaan coping yang tidak adekuat dapat memperparah penyakit periodontal dengan mempengaruhi respon imun yang merupakan dasar terjadinya perubahan patologis. Species bakteri periodontal yang paling patogen yaitu Porphyromonas gingivalis. Stress memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Sel inang (host), T limfosit dan makrofag merupakan sel-sel yang penting dalam pengaturan proses imun-inflamasi.

Respon psikologis terhadap pemicu stress dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin, respon akibat stress dihantarkan melalui tiga jalur yaitu ke aksis hipotalamo-pituitari-adrenal (HPA) ke sistem saraf simpatik dan ke saraf sensonic peptidergic,. Hormon stress yaitu CRH, ACTH dan Glukokortikoid dapat mempengaruhi respon imun sehingga mengakibatkan resorpsi tulang, kerusakan jaringan, kehilangan perlekatan, serta dapat menghambat penyembuhan luka.

Resiko terhadap penyakit periodontal untuk semua subjek lebih besar pada orang dengan tekanan finansial tinggi, ditandai dengan level keparahan kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang alveolar yang lebih tinggi dibandingkan oleh tekanan yang lain. Untuk merespon stress, individu melakukan strategi coping. Strategi coping yang dapat meningkatkan keparahan penyakit periodontal yaitu coping pertahanan dan coping agresi.


(6)

William : Hubungan Stres Dengan Penyakit Dan Perawatan Periodontal, 2008. USU Repository © 2009

Pasien yang mengalami stress, depresi, kecemasan dalam perawatan periodontal baik bedah maupun non bedah dapat mempengaruhi faktor penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka menjadi lebih lambat daripada pasien tanpa beban psikologis. Tingginya level beban psikologis yang dialami pasien dapat meningkatkan rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien, dan juga dapat meningkatkan jumlah, tipe dan frekuensi obat anti nyeri yang dikonsumsi.

Tingginya level stress disertai dengan kurangnya kesehatan rongga mulut dapat menimbulkan kondisi periodontal yang lebih parah. Hal ini ditandai dengan peningkatan kehilangan perlekatan, kehilangan tulang alveolar yang parah dan pendarahan pada gingiva yang meningkat. Selain itu, stress psikologis juga dapat mempengaruhi keberhasilan dan jalannya perawatan penyakit periodontal. Oleh karena itu, diharapkan agar dokter gigi dapat menciptakan komunikasi yang baik dan menyenangkan dengan pasien terutama pada saat melakukan perawatan periodontal sehingga keberhasilan perawatan dapat maksimal.