Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
BAB II PERPEKTIF HUKUM INDONESIA
TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING
A. Peraturan mengenai tindak Pidana Illegal logging
A.1 ketentuan pidana di bidang kehutanan Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang
ternyata Pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Pada
saat diberlakukannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka berdasarkan ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, Pasal 83 mencabut Undang-Undang
No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan Semakin berkembang dan kompleksnya kejahatan di bidang kehutanan
dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk di pertahankan. Melihat keadaan ini maka
Pemerintah Presiden bersama DPR memberlakukan UU No.. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam UU No. 5 tahun 1967 tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan namun diatur dalam Peraturan Pelaksananya berdasarkan Pasal
15 UU No. 5 tahun 1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 41 Tahun 199 disebutkan bahwa: “ Semua peraturan pelaksana dari peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan dikeluarkannya Peratuaran Pelaksana yang berdasarkan
undang-undang ini”.
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
Untuk menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan pada umumnya dan kejahatan Illegal logging pada khususnya maka ketentuan
pidana yang dapat diterapkan pada kejahatan illegal logging antara lain pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk menerapkan sanksi
pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan
dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Dalam penjelasan umum paragraf ke 18 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dikatakan, diberikannya sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera
bagi pelanggar hukum di bidang Kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan akan tetapi
juga kepada orang lain, yang mempunyai kegiatan di dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya
berat. Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yaitu; 1.
Pidana Penjara 2.
Pidana denda 3.
Pidana Perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.
Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. jenis
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yangmelakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999.
Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, yang berbunyi: “ Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak Menguasai dari Negara ini dalam tingkatan tertinggi :
a. mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaannya. b.
Menentukan dan mengatur hak-hak yang mempunyai atas bagian dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
17
Berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, maka dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku di Indonesiayang mengatur mengenai Illegal
logging, yang akan di uraikan satu persatu di bawah ini:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria UUPA
Pada dasarnya undang-undang ini tidak secara tegas mengatur secara khusus tentang Kehutanan, tetapi yang diatur hanyalah hubungan-hubungan hukum yang
17
Ap. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 43
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum dalam Pasal 46 UUPA, yang berbunyi:
1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh Warga
Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Pemerintah 2.
Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara tidak sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia terutama yang memenuhi syarat untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan,
getah dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan tanahnya tetap dikuasai oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kehutanan
Undang-Undang Pokok Kehutanan UUPK terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal yang ditur dalam UUPK, adalah : 1 pengertian hutan, hasil
hutan,kehutanan, hutan menurut pemilikannya, dan fungsinya; 2 perencanaan hutan; 3 pengurusan hutan; 4 pengusahaan hutan ; 5 perlindungan hutan; dan
6 ketentuan pidana dan penutup. UUPK dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, seperti : a.
PP Nomor 22 Thun 1967 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan
b. PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan. c.
PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
d. PP Nomor 18 Tahun 975 tentang Perubahan Pasal 9 PP No. 21 tahun 1970
tentang hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan. e.
PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan f.
PP Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri g.
Kepres Nomor 66 tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan
h. Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang Kebijaksanaan di Bidang Pemberian
Hak Pengusahaan Hutan i.
Kepres Nomor 19 Tahun 1974 Tentang berlakunya Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan Untuk Seluruh
Wilayah RI. j.
Kepres Nomor 48 tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.
k. Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Penggunaan Dana Simpanan Wajib
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu. l.
Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang Perubahan atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan
dan Eksportir Kayu m.
Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pembangunan Taman Wisata Curug Dago sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda.
n. Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang Perubahan Kepres Nomor 15 tahun
1984 tentang Susunan Organisasi Departemen. o.
Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
p. Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentangt Pengelolaan Kawasan Hutan
Lindung q.
Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri.
3. Undang-Undang Nomor 41 Thun 1999 sebagai Pengganti dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.
Ada empat pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang ini yaitu: a.
Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah dari Tuahan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai
oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga
kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
b. Bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaanya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya
secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profsional, serta bertanggung-gugat;
c. Bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia
harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum
nasional; d.
Bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8sudah tidak
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
hal-hal yang ditur dalam Undang-Undang ini, yaitu ; a.
Ketentuan Umum b.
Status dan Fungsi Hutan Pasal 5 sd Pasal 9 c.
Pengurusan Hutan Pasal 10 d.
Perencanaan Kehutanan Pasal 11 sd Pasal 20 e.
Pengelolaan Hutan Pasal 21 sd Pasal 51 f.
Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan Pasal 52 sd Pasal 65
g. Penyerahan wewenang Pasal 66
h. Masyrakat hukum adat Pasal 67
i. Peran serta masyarakat Pasal 68 sd Pasal 69
j. Gugatan Perwakilan Pasal 71 sd Pasal 73
k. Penyelesaian sengketa Kehutanan Pasal 74 sd Pasal 76
l. Penyidikan Pasal 77
m. Ketentuan Pidana Pasal 78 sd Pasal 79
n. Ganti rugi dan sanksi adaministratif Pasl 80
o. Ketentuan Peralihan Pasal 81 sd Pasal 82
p. Ketentuan Penutup Pasal 83 sd Pasal 84
UU No 41 tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5
Tahun 1967. hal-hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan class action, yaitu gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupn masyarakat; penyelesaian sengketa Kehutanan; ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi
administratif. UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundangan lainnya.
Peraturan Perundangan yang dimaksud seperti : a.
Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
b. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
c. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
d. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
e. Instruksi Presiden No. 4 Athun 2005 tentang Pemberantasan Penebanagn
Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
f. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu illegal Illegal logging dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung
Putting.
4. Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Ada lima pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang ini, yaitu; a.
Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang
bagi kehidupan dalam aspek kemanusiaan sesuai dengan Wawasan Nusantara.
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
b. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.
c. Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. d.
Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunagn hidup telah
berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berawasan lingkungan hidup.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang ini, yaitu; a.
Ketentuan umum Pasal 1 sd Pasal 2 b.
Azas, tujuan dan sasaran Pasal 3 sd Pasal 4 c.
Hak, Kewajiban dan Peran serta masyarakat Pasal 5 sd Pasal 7 d.
Wewenang Pengelolaan lingkungan hidup Pasl 8 sd Pasal 13 e.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup Pasal 14 sd Pasal 17 f.
Persyaratan penataan lingkungan hidup Pasal 18 sd Pasal 29
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
g. Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup Pasal 30 sd 39
h. Penyidikan Pasal 40
i. Ketentuan pidana Pasal 41 sd Pasal 48
j. Ketentuan Peralihan Pasal 49
k. Ketentuan Penutup Pasal 50 sd Pasal 52
5. Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang
Ada tiga pertimbanagn Undang-Undang ini di tetapkan, yaitu ; a.
Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang
telah ada sebelum berlakunya Undang Undang tersebut; b.
Bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang di kawasan hutuan terutama bagi investor yang
telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit
dalam mengembangkan iklim investasi; c.
Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta
kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
A.2. Ketentuan pidana lain terkait dengan illegal logging
Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Kejahatan illegal
logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut
pengelolaan hasil hutan
18
1. Pengrusakan
Pada dasarnya kejahatn illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompkkan dalam
beberapa bentuk kejahatansecara umum yaitu:
Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa
yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa barang terangkat, namun barang- barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan
umum. Unsur Pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging berangkat
dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawassan terhadap hutan, untuk tetap
menjamin kelestarian fungsi huutan. Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai denagn Pasal 412 KUHP paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp.
4500 empat ribu lima ratus rupiah yaitu bagi pengrusakan terhadap rumahgedung atau kapal. Hukuman itu di tambah sepertiganya apabila dilakukan bersama-sama.
2. Pencurian
18
IGM Nurjana, Op Cit, hal 119
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab Undang-Undang hukum Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.
b. Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu
diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku. c.
Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara
maupun hutan negara yang tidak dibebani hak. d.
Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebanagn kayu dilakukan dengan sengaja
dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut untuk dimiliki.
Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 Tujuh sampai sembilan
tahun, Pasal 365 lima belas tahun. 3.
Pemalsuan Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276, pemalsuan materai dan
merk diatur dalam Pasal 253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan
semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.
Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering di gunakan oleh pelaku dalam melekukan kegiatannya adalah
Pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH, pemalsuan tanda
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.
Ancaman hukuman terhadap terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal
266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materai dan merk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun.
4. Penggelapan
Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam Penjelasan pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang
yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di dalam kekuasaannya untuk dimiliki dengan melawan hak.
Modus penggelapan dalam kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi
target kuota yang adaover capasity. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 sembilan ratus rupiah. 5.
Penadahan Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain dari perbuatan persekongkolan
atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480 dijelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang ytang
diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual , menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari
kejahatan
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2007.
USU Repository © 2009
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil illegal logging yang nyata-
nyata diketahui oleh para pelaku baik penjual maupun pembeli. Ancaman pidana dalam Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 900 sembilan ratus rupiah
B. Penyidikan tindak Pidana Illegal logging