Tindak Pidana Dalam Hukum Positif 1. Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif 1.

18 pelaksanaan. 19 Jarimah perseorangan ialah suatu jarimah, dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat. e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah menjadi biasa dan jarimah politik. Syari’at Islam mengadakan pemisahan antara jarimah biasa dengan jarimah politik. Pemisahan tersebut didasarkan atas dasar kemaslahatan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan atas pemeliharaan sendi-sendinya. Sebenarnya corak kedua macam jarimah tersebut tidak berbeda, baik mengenai macam maupun cara perbuatannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada motif faktor pembangkitnya. 20

B. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif 1.

Pengertian Tindak pidana Dalam ilmu hukum pidana, istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda Strafbaarfiet yang merupakan istilah resmi dalam wetboekVan Starfrecht yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, yang masih berlaku di Indonesia 19 Ibid h.21 20 Ibid h.21 19 sampai saat sekarang ini. 21 .

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Perbuatan manusia, baik perbuatan aktif maupun pasif b. Perbuatan tersebut bertentangan atau melawan hukum. c. Perbuatan tersebut harus tersedia ancaman hukumannya di dalam undang- undang. d. Harus terbukti adanya perbuatan pada orang yang berbuat yaitu orangnya harus dipertanggung jawabkan e. Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang cakap hukum dan dapat dipertanggungjawabkan 22

C. Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif 1.

Anak Dalam Hukum Islam Kedudukan seorang anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga berperilaku sebagaimana yang dituntut agama. Jika terjadi penyimpangan dari perilaku anak, Islam dalam kadar tertentu masih memberikan kelonggaran. Seperti yang disyariatkan oleh hadits yang menyatakan “ketidak berdosaan” raf’ul kalam seorang anak hingga mencapai aqil baligh yang ditandai dengan timbulnya “mimpi” pada laki-laki dan haid 21 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008., h.59 22 Ibid h.28 20 pada perempuan. 23 Meski dalam kitab-kitab fiqh ditegaskan bahwa tidak benarkan menyeret anak ke meja hijau, tetap saja mereka harus dihukum jika bersalah, Cuma hukumannya berbeda dengan orang dewasa. Dalam bahasa fiqh disebutnya ta’dib pembinaan, bukan ta’zir atau had hukuman seperti yang berlaku bagi orang dewasa baligh. Bentuk pelaksanan ta’dib ini beragam, tergantung kepada kemampuan fisik dan jiwa anak. Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana. Hukum Islam, juga yang pertama yang melakukan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang baru dalam hal pertanggung jawaban anak kecil belum dewasa pada masa sekarang ini. 24 Menurut hukum pidana Islam ancaman hukuman pidana anak-anak yang melakukan kejahatan dibedakan menurut perbedaan umurnya. Berdasarkan tahapan umur inilah hukum pidana Islam memberikan hukuman sanksi terhadap tindak kejahatan jarimah anak dengan: 25 23 Abdurrahman al-Jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-arb’ah Beirut: Dar al-Fikr ,Tth. Cet. Ke-1, h. 11 24 Ibid, h.11 25 Abdul Qodir Audah, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, II h. 255 21 a Fase Tidak Adanya Kemampuan Berpikir Idrak Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibi hukuman untuk mendidik. Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir, apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas misalnya membunuh atau melukai. Walaupun demikian, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap anak kecil bukan berarti membebaskan dari tanggung jawab perdata atas semua tindak pidana anak yang dilakukanya. Ia bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain. Tanggung jawab perdata tidak dapat hilang, tidak seperti tanggung jawab pidana yang dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam, darah dan harta benda itu maksum tidak dihalalkanmendapat jaminan keamanan dan juga uzur-uzur syar’i tidak menafikan kemaksuman. Ini berarti uzur-uzur syar’i tidak dapat menghapuskan dan menggugurkan ganti rugi meski hukumannya digugurkan. 26 b Fase Kemampuan Berpikir Lemah Fase ini dimulai si anak menginjak usia tujuh tahun sampai dia mencapai usia baligh. Dalam fase ini, anak kecil telah mumayiz tidak 26 Ibid h.256 22 bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang ia lakukan. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina. Dia juga tidak dihukum qishas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bertsifat mendidik atas pidana yang dia lakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi untuk mendidik bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik ta’dib si anak tidak dapat dianggap sebagai residivis pengulang kejahatan meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Si anak juga tidak boleh dijatuh hukuman ta’zir kecuali hukuman yang dianggap mendidik, seperti pencelaan dan pemukulan 27 c Fase Kekuatan Berpikir Penuh sempurna fase ini dimulai sejak menginjak kecerdasan dewasa yaitu kala menginjak usia lima belas tahun, menurut pendapat mayoritas fuqaha, atau berusia delapan tahun menurut Iamam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab maliki. Pada fase ini seseorang dikenai tanggung jawab pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apa bila dia berzina atau mencuri diqishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir. Hukuman bagi anak kecil yang belum mumayiz adalah hukuman untuk mendidik murni ta’dibiyah khalishah, bukan hukuman pidana. Ini karena, anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Hukuman Islam tidak 27 Ibid h. 257 23 menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan kepada anak kecil. Hukum Islam memberikan hak kepada wali al-amr penguasa untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandanganya. Para fuqaha menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai hukuman mendidik. 28 Pembagian hak kepada penguasa untuk menentukan hukuman agar ia dapat memelih hukuman yang sesuai dengan anak kecil disetiap waktu dan tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman : 1 Memukul Si anak 2 Menegur dan mencelanya. 3 Menyerahkan kepada wali al-amr atau orang lain. 4 Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal. 5 Menempatkanya disuatu tempat dengan pengawasan khusus, dan lai-lain 29 Jika hukuman bagi si anak dipandang sebagai hukuman untuk mendidik ta’dibiyah bukan hukuman pidana, ia tidak dianggap sebagai residivis ketika ia kembali melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan sebelum baligh pada waktu ia telah baligh. Ketentuan inilah yang membantunya untuk menjalani jalan yang lurus dan memudahkannya untuk melupakan masa lalu. 30 Seorang anak tidak dikenakan hukuman had, karena kejahatan yang dilakukannya. Karena tidak ada tanguang jawab atas seorang anak yang berusia berapapun sampai dia mencapai puber. Qhadi hakim hanya akan tetap berhak 28 Ibid h.258 29 Ibid h. 258 30 Ibid, h.259 24 untuk menegur kesalahannyamenetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari berbuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al-qarawani, seorang ulama mazhab maliki, tetap tidak akan ada hukuman had bagi anak-anak kecil, bahkan juga dalam hal tuduhan zina qadzaf atau justru si anak sendiri yang melakukannya. 31 Bahwa anak yang belum baligh bila melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka tidak wajib dikenakan sanksi had, atau pun ta’zir. Sebab ia belum termasuk mukallaf dewasa dan belum belum mengetahui hak dan kewajiban. Dalam Islam para puqaha telah sepakat bahwa seorang anak yang belum mencapai usia baligh tidak wajib dikenakan hukuman, bila anak tersebut melakukan perbuatan dosa. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: ا ر : ا ن ا و ا و ا ا و ر او ح , او او ي., او دواد او ير 0 1اور 2 3 Artinnya : “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis manusia, orang yag tidur sampai ia bangun, anak yang kecil sampai ia baligh dan orang gila sampai ia sembuh‘’ H. R. Bukhari. Abu Daud, Al- Tirmidzi, An-nasai,ibnu majah dan Al daruquthni dari Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib. 32 31 Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syri’at Islam Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997 Cet ke-1 h. 16 32 Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta: PT. Ichtiar Saru Islam Hoeve, 1997 Cet., h. 82 25

2. Anak Dalam Perspektif Hukum Positif

a. Ketentuan umur anak di bawah umur Salah satu tolok ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah umur. Dalam hal itu masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan sebagai berikut. 1 Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 dua puluh satu tahun, tetapi diajukan ke sidang anak. 2 Jelaslah rumusan diatas, bahwa batas umur anak nakal minumum adalah 8 delapan tahun dan maksimum adalah 18 delapan belas tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai 26 umur 18 delapan belas tahun, dan belum pernah kawin. 33 Bagaimana apabila tersangka tersebut belum berumur 8 delapan tahun?, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan demi kepentinganperlindungan anak, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 5 menentukan sebagai berikut. 1 Jika anak belum mencapai umur 8 delapan tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. 2 Apabila penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 3 Jika penyidik berpendapat bahwa anak tersdebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyarankan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dan pembimbing kemasyarakatan. 34 b. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Dibawah Umur 1 Pengadilan anak dan perlindungan anak Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya pemerintah bersama DPR adalah terbitnya 33 Ibid. h. 49 34 Ibid. h. 49 27 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak. Undang-Undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 lembaran Negara 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668, dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu tanggal 3 januari 1998. Adanya kekhususan dan hal-hal yang relatif baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, melahirkan perbedan dalam proses pidana dan pemidanaan. Perbedaan itu melingkupi hal yang berkaitan dengan jenis-jenis pidana dan tindakan maupun prosedur peradilannya yang bagi anak nakal menjadi wewenang Pengadilan Anak. 35 Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang. Pembuat laporan sosial yang dilakukan oleh sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak. Yang sudah berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas BISPA Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengatahuan Anak. Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan anak yang berupa: a Masalah sosialnya; b Kepribadiannya; 35 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. h. 3-5 28 c Latar belakang kehidupannya, misalnya: riwayat sejak kecil, pergaulan di dalam dan diluar rumah, hubungan antara bapak, ibu dan si anak, hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain, dan latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut. 36 Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 berlaku tanggal 3 januari 1998 atau satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan undang-undang tersebut. Pengadilan anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembanagan fisik, mental, dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang berlaku KUHAP diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Vide Pasal 40. 37 Ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana antara lain sebagai berikut. a Pidana yang dapat dijatuhkan palaing lama ½ satu perdua dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa vide pasal 26 ayat 1. b Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling 36 Wagiarti Soetojo, Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama. 2006. Cet ke-1. h.45 37 Bambang Waluyo h.102 29 lama 10 sepuluh tahun vide pasal 26 ayat 2. c Apabila belum mencapai umur 12 dua belas tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan berupa menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja vide Pasal 26 ayat 3 jo. Pasal 24 ayat 1 huruf b. d Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan paling lama ½ satu perdua dari maksimum ancaman piadana bagi orang dewasa vide Pasal 27. e Pidana denda yang dapat dfijatuhkan paling banyak ½ satu perdu dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa vide Pasal 28 ayat 1. 38 2 Kedudukan dan Kewenangan pengadilan anak Pengadilan anak adalah pelaksana kehakiman yang berda di lingkungan peradilan umum pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Meskipun sebagai pengadilan khusus, pengadilan anak bukan seperti berdiri sendiri. Keberadaan peradilan anak tetap dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu sesuai dengan yang tersebut dalam pasal 14 Tahun 1970, yang menegaskan hanya ada empat lingkungan dalam peradilan, yaitu 38 Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 Jakarta: Asa Mandiri 2008 30 peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak sidang anak pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa sidang anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. 39 Pada prinsipnya kewenangan pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara pidana lainnya. Meski prinsipnya sama, namun yang tetap harus diperhatikan adalah perlindungan anak merupakan tujuan utama. 40 39 Bambang Waluyo h.102 40 Ibid h.49 31

BAB III PENGEDAR NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF