Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peredaran, produksi dan penyalahgunaan narkoba dikalangan masyarakat Indonesia kini semakin memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya korban narkoba dari tahun ketahun. Hasil survey nasional pada tahun 2004 menunjukan bahwa angka pengguna narkoba sebesar 1,75 dari total populasi penduduk, yang kemudian meningkat menjadi 1,99 pada tahun 2008 atau 3,3 juta orang. Keadaan tersebut menjadi semakin serius bila diperhatikan bahwa sebagian besar pengguna narkoba adalah generasi muda dan berada dalam usia produktif yang merupakan aset bangsa. 1 Pengguna narkotika sangat beragam dan menjangkau semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam hingga artis bahkan hingga pejabat publik. Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik maupun psikis. 2 Karena itu, peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat, karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, 1 Tim Penyusun, Standar dan Prosedur NSP Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Narkotika Nasional. 2009. h.1 2 Ibid h.1 2 penyebaran narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok, daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika, lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang mulanya tidak mengenal narkotika, sebagian dari mereka justru menjadi korban narkotika. Salah satu upaya pemerintah dalam melindungi anak supaya tidak menjadi korban narkotika, adanya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pemidanaan anak di bawah umur. Pemidanaan anak adalah pelaksana kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997. Meskipun sebagai pengadilan khusus, pengadilan anak bukan seperti berdiri sendiri. Keberadaan peradilan anak tetap dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu sesuai dengan yang tersebut dalam pasal 14 Tahun 1970 yang menegaskan hanya ada empat lingkungan dalam peradilan, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. 3 Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak sidang anak pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa sidang anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. 4 Salah satu tolok ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah umur. 3 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika 2008. h.101 4 Ibid 101 3 Dalam hal itu masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. 5 Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan sebagai berikut: a. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. b. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan diajukan kesidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 dua puluh satu tahun, tetap diajukan ke sidang anak. Jelaslah rumusan di atas, bahwa batas umur anak nakal minimum adalah 8 delapan tahun dan maksimum adalah 18 delapan belas tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 delapan belas tahun, dan belum pernah kawin. 6 Sedangkan menurut hukum pidana Islam batasan umur yang termasuk ke dalam anak terdiri dari tiga fase, yaitu fase tidak adanya kemampuan berpikir idrak. Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia 5 Ibid 101 6 Ibid h.102 4 dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibi hukuman untuk mendidik. Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas misalnya membunuh atau melukai. Kedua, fase kemampuan berpikir lemah, dimulai si anak menginjak usia tujuh tahun sampai dia mencapai usia baligh. Dalam fase ini, anak kecil telah mumayiz, tidak bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang ia lakukan. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud, bila ia mencuri atau berzina. Dia juga tidak dihukum qishas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bertsifat mendidik atas pidana yang dilakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi untuk mendidik bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik ta’dib si anak tidak dapat dianggap sebagai residivis pengulang kejahatan meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Si anak juga tidak boleh dijatuhi hukuman ta’zir kecuali hukuman yang dianggap mendidik, seperti pencelaan dan pemukulan 7 . Ketiga fase Kekuatan Berpikir Penuh sempurna, dimulai sejak menginjak kecerdasan dewasa, yaitu kala menginjak usia lima belas tahun menurut pendapat mayoritas fuqaha, berusia delapan belas tahun menurut Imam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab maliki. Pada fase ini seseorang dikenai tanggung 7 Ibid h.2 5 jawab pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud, apa bila dia berzina atau mencuri, dikenakan qishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir 8 . Berdasarkan dari dua perspektif hukum di atas hukum Islam dan hukum Positif terhadap anak yang melakukakan tindak pidana narkotika, jelas ada perbedaan yang signifikan, antara hukum Positif dengan hukum Islam dalam penetapan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Dalam hal ini hukum Islam menjelaskan ketika anak sudah menginjak lima belas tahun, maka ia harus dikenakan sanksi hudud atau pidana termasuk di dalamnya yang melakukan tindak pidana pengedaran narkotika. Berbeda dengan hukum Positif yang berlaku di Indonesia, yaitu pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, dalam pasal tersebut batas usia anak dibawah umur sampai batas usia 18 tahun, maka ini suatu kontradiktif yang harus di cari akar masalahnya, kenapa sampai berbeda. Dengan kata lain anak dalam batasan umur tersebut tidak bisa dikenai hukuman. Di lain pihak setelah saya melakukan observasi di pengadilan negeri Tangerang, ada suatu kasus tindak pidana narkotika anak yang bernama X, dia berumur 17 tahun, tidak tanggung-tanggung dia dijerat pasal 82 Undang-undang No.22 Tahan 1997, tentang pengedaran narkotika. Ia sebagai pengedar bukan pemakai yang dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 5 bulan ditambah denda Rp 500.000,00,. Maka dalam hal ini antara norma hukum yang berlaku dengan fakta hukum di lapangan 8 Ibid h.4 6 ada sebuah distingsi atau perbedaan yang menarik dianalisisis. Dari hasil uraian di atas terdapat beberapa masalah diantaranya a Pengadilan memberikan dispensasi kepada anak yang melakukan anak di bawah umur. b Tindakan yang harus dilakukan oleh aparat kepolisian untuk menanggulangi tindak pidana narkotika. c Peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya supaya terhindar dari narkotika. d Hukuman yang adil terhadap orang yang melakukan tindak pidana narkotika. e Perbandingan hukum Islam dan hukum Positif dalam kasus pengedar narkotika anak dibawah umur. Atas dasar perbedaan-perbedaan dan permasalahan itulah, alasan penulis mengambil tema analisis putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana narkotika yang di lakukan oleh anak di bawah umur dalam perspektif dua hukum hukum Islam dan hukum Positif dengan melihat dan mengaitkan kepada suatu putusan pengadilan dalam kasus pengedaran narkotika. Maksudnya adalah penulis ingin menulis realitas hukum secara komprehensif, antara norma hukum dan fakta hukum di lapangan. Studi ini penting dilakukan, karena kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak di bawah umur sudah marak terjadi di negeri kita tercinta ini, bahkan ironisnya kategori anak di bawah umur sudah berani mengedarkan narkotika, sebagaimana saya uraikan diatas. Kasus pengedar narkotika anak 7 dibawah umur terjadi di daerah tangerang. Dalam hal ini peneulis melihat keunikan dalam kasus ini, yaitu kasusnya yang tergolong kasus besar dan berbahaya, baik bagi diri sendri maupun orang lain, akan tetapi dilakukan oleh seorang anak di bawah umur, maka disinilah penulis akan menganalisis sebuah putusan pengadilan dalam perkara pengedaran narkotika yang dilihat dalam dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum Positif. Adapun judul skripsi yang penulis angkat yaitu, “TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” Studi Analisis Putusan Pengadilan No. 1409PID.B2009PN. Tangerang.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah