Perlindungan Hukum Bagi Pembeli yang Beritikad Baik

perjanjian jual beli dimana pembeli dari semula sudah tahu bahwa si penjual adalah orang yang tidak berhak menjual barangnya. Sebenarnya Pasal 1471 KUH Perdata, menunjukkan bahwa pasal tersebut bermaksud untuk melindungi pembeli yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli dimana pembeli yang beritikad baik tidak mengetahui bahwa penjual bukan pemiliknya dapat menuntut dibatalkannya perjanjian.

C. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli yang Beritikad Baik

KUH Perdata memakai istilah itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 mengenai pelaksanaan perjanjian yang berbunyi: “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh itikad baik. Perkembangan itikad baik dalam hukum kontrak Romawi tidak lepas dari evolusi hukum kontrak itu sendiri. Itikad baik dalam hukum Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak tegas diperjanjikan. 43 43 Ridwan Khairandy, Op.cit., hlm.131-133. Universitas Sumatera Utara Itikad baik artinya bahwa kedua belah pihak harus berlaku yang satu terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain. 44 Baldus membedakan beberapa jenis itikad baik. Hakim dapat menggunakan itikad baik untuk dua tujuan yakni untuk mengetahui apakah kontrak mengikat atau tidak dan untuk mengetahui kewajiban para pihak. 45 Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi. Itikad baik dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah. Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. 46 Dengan fungsinya yang kedua, itikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan perundang- undangan mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. 47 Dalam fungsi itikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Beberapa pakar hukum sebelum perang berpendapat bahwa itikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu perjanjian atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai 44 P.L.Wery, Perkembangan Hukum tentang Itikad Baik di Nederland, Jakarta: Percetakan Negara RI, 1990, hlm.9. 45 Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm.146. 46 Ibid,hlm.216. 47 Ibid, hlm.229. Universitas Sumatera Utara kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam yang keadaan demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar itikad baik. 48 Oleh karena jual beli adalah salah satu bentuk perikatan yang bersumber pada persetujuan, dimana para pihak yang melaksanakan perjanjian jual beli tersebut diberikan kesempatan untuk mengadakan kesepakatan konsensus tentang isi dari perjanjian yang sesuai dengan keinginan para pihak, akan tetapi tidak selamanya perjanjian yang dibuat dengan persetujuan berjalan di atas nilai- nilai kejujuran dan kepatutan yang hidup di tengah-tengah masyarakat kadangkala Perhubungan hukum yang terjalin sebagai akibat perbuatan hukum, di samping diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebahagian lagi diatur atau dibentuk atas perjanjian atau persetujuan diantara pihak yang berkepentingan. Peraturan perundang-undangan ciptaan manusia, tidak ada yang dapat mencapai kesempurnaan secara utuh seluruhnya masih terdapat ketimpangan-ketimpangan serta kekurangan-kekurangan di sana sini. Demikian juga dalam suatu perjanjian, tidak mungkin dimuat aturan-aturan yang dapat meliputi segala kemungkinan- kemungkinan yang akan timbul di belakang hari, selalu ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia ketika ia melakukan perjanjian seperti inilah peranan kejujuran atau itikad bak sangat dibutuhkan, sehingga akan tercapai perjanjian yang benar-benar sesuai dengan kemauan serta perasaan hukum para pihak yang membuat perjanjian tersebut. 48 Ibid, hlm.231. Universitas Sumatera Utara ada pihak yang mencari keuntungan sendiri dalam melaksankan suatu perjanjian dengan mencari kelemahan dan kekurangan dari perjanjian tersebut. Dalam perjanjian jual beli sering terjadi adanya gangguan pihak ketiga, dimana pihak pembelilah yang selalu dirugikan, sehingga pembeli akan terhalang untuk menikmati apa yang dibelinya dan lebih jauh dari itu berdasarkan putusan hakim, bahwa pihak ketiga tersebut yang dinyatakan sebagai pemilik dari benda atau barang yang baru dibeli olehnya dengan sendirinya benda atau barang tersebut kembali kepada pemilik asalnya. Di dalam Pasal 1488 KUH Perdata, menyebutkan bahwa: Dalam semua hal dimana si pembeli berhak meniadakan pembelian, si penjual diwajibkan selainnya mengembalikan harga barang jika itu telah diterimanya, juga mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan pembelian dan penyerahan, sekedar si pembeli menurut persetujuan telah dibayarnya. Karena tindakan si penjual, maka si pembeli menuntur ganti rugi yang bersumber pada Pasal 1488 KUH Perdata untuk membatalkan perjanjian jual beli. Dan selanjutnya dalam Pasal 1496 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1512 KUH Perdata, adalah sebagai sebab dan tata cara yang dapat ditempuh melalui penetapan hakim. Masalah ganti rugi dalam perjanjian jual beli, pihak pembeli lebih diperhatikan dan dilindungi kepentingannya. Hal ini disebabkan karena dimana lahirnya perjanjian jual beli itu dikarenakan kemauan dan kehendak penjual mengoperkan barang miliknya pada orang lain artinya kedudukan si pembeli itu ada, setelah adanya si penjual. Universitas Sumatera Utara Memang tidak jarang terjadi bahwa di dalam praktek adakalanya pihak pembeli yang mencari suatu barang atau motivasi dari jual beli itu dari pembeli. Namun pada asasnya penjual merupakan pihak pertama dan pembeli sebagai pihak kedua. Dalam hal si penjual sebagai pihak pertama yang memiliki motivasi, maka diartikan bahwa banyak yang dapat dilakukan oleh si penjual itu yang dalam proses jual beli itu. Dengan berdasarkan inilah maka undang-undang sangat memperhatikan melindungi kepentingan pembeli, terlebih-lebih apalagi si pembeli itu dapat membuktikan bahwa ia beritikad baik. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN