Syarat-syarat al-Maslahah al-Mursalah GAMBARAN UMUM AL-MASLAHAH AL-MURSALAH

3. Muhammad Abu Zahrah memberi rumusan sebagai berikut “Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat islam dan petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.” Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut: a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia. b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengetahuinya. Maslahah mursalah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan “maslahah muthlaqah”, ada pula yang menyebutnya “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah”. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.

B. Syarat-syarat al-Maslahah al-Mursalah

Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena dikhawatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan yang benar dalam memperggunakannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain: 13 1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau menolak mudharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan, contoh maslahah ini adalah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim qadhi saja dalam segala keadaan. 2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan maslahah yang bersifat perseorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi bahwa dalam pembentukan ukuran suatu kejadian dapat mendatangkan manfaatkan kepada umat manusia, atau dapat menolak mudharat dari mereka dan bukan hanya memberikan manfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja. Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat disyariatkan sebagai sebuah hukum. 3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa 13 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Rineka Citra, 1990, hal. 101, Lihat: Amir Syarifuddin, Op. Cit. hal. 337, Lihat Juga: Jurnal Ahkam, Op. Cit., hal. 41, dan Lihat: Drs. Romli SA, M. Ag., Op. Cit., hal. 165-166 maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu berjalan dengan tujuan syara’ serta tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ yang telah ada. 4. Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesulitan hidup, dalam arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan. Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakannya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain: 14 1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan. 2. Maslahah itu haruslah bersifat semesta, yakni kemaslahatan kaum muslimin secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan tertentu. 3. Maslahah tersebut harus bersifat qath’I pasti atau mendekati itu. Sedangkan syarat-syarat maslahah mursalah menurut asy-Syatibi adalah sebagai berikut: 15 1. Maslahah itu secara hakiki harus masuk akal. 14 Dr. Yusuf Qardhawi, Keluwesan Dan Keluasan Syariat Islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman, Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus, 1996, Cet I, hal. 24 15 . Ibid, hal. 26 2. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan-tujuan umum syariat, tidak bertentangan dengan salah satu prinsip pokok atau dalil qath’I nya. 3. Maslahah itu dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang bersifat dharuri atau menghilangkan kesulitan dalam agama. Selanjutnya Imam Malik juga memiliki versi tersendiri dalam mempergunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, syarat-syarat tersebut antara lain: 16 1. Adanya kesesuaian antara maslahah yang diperhatikan dengan maqashid syariah, dimana maslahah tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil syara’ meskipun hanya satu. 2. Maslahah tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat rasional yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat, sehungga tidak ada tempat untuk maslahat dalam masalah ta’abuddiyyah dan perkara-perkara syara yang sepertinya. 3. Hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan terhadap perkara yang dharuri primer menurut syara’ dan meniadakan kesempitan dalam agama. Bila kita perhatikan persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang memakai dan menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah cukup berhati- hati dalam menggunakannya, karena meski bagaimanapun juga apa yang 16 . Wahidul Kahhar, Op. Cit., hal. 36 dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.

C. Lapangan dan Contoh Penggunaan al-Maslahah al-Mursalah