Macam-macam al-Maslahah Pengertian dan macam-macam al-Maslahah

Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk kepada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat dan hawa nafsu. Sedangkan pada maslahah dalam artian syara’ yang menjadi titik bahasan dalam Ushul Fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kebahagiaan dan menjauhkan dari kesengsaraan. Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahah mursalah telah terjadi perbedaan di kalangan ulama Ushul Fiqh. Sebagian ulama ada yang menyebutkan dengan istilah: al-Mun āsib al-Mursal, al-Istidlāl al-Mursal, al- Qiyas al-Maslahi, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutnya dengan nama “ al- Istishl āh “. 7

2. Macam-macam al-Maslahah

Maslahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan. Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan –secara langsung atau tidak langsung- dengan lima prinsip pokok kehidupan bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, 7 Drs. H. A. Mukri Aji, MA., Op. Cit. hal. 40 keturunan dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut. 8 Pertama, dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah ada tiga macam, yaitu: a. Maslahah Dharuriyah, adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak ada apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri. Memeluk agama adalah hak dan fitrah individu setiap manusia yang tidak dapat dipungkiri dan sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut Allah mensyariatkan agama yang wajib di pelihara oleh umat manusia, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Dalam hal ini adalah kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia, Allah telah mensyariatkan berbagai hukum yang terkait dengan hidup dan penghidupan manusia, seperti melarang membunuh untuk memelihara jiwa dengan adanya hukuman qishash. Demikian pula halnya akal, wajib untuk dipelihara dan dijaga, karena merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu Allah melarang meminum minuman keras, karena minuman keras dapat merusak akal dan hidup manusia. 8 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 327 Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan umat manusia di muka bumi, oleh karena itu Allah mensyariatkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya dan melarang berzina untuk memelihara keturunan. Kemudian harta, hal ini pun merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup dan penghidupan manusia. Dan untuk mendapatkannya Allah mensyariatkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara seseorang. Allah mensyariatkan hukuman bagi kejahatan yang dilakukan manusia seperti mencuri dan merampok. b. Maslahah al-hājiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima dharuri, tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Seperti dalam bidang ibadah, orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh musafir dalam bulan Ramadhan, diberi keringanan rukhshah oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau setelah kembali dari perjalanannya. Firman Allah dalam Quran Surat al-Baqarah 2: 184: ... ☺ ⌧ ⌧ ... Artinya: “...Dan siapa saja diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan musafir hendaklah ia berpuasa di hari-hari yang lain....” Dalam bidang muamalah diperbolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan Bay’ al-Salam, kerjasama dalam pertanian muz āra’ah dan perkebunan mus āqah. Semuanya ini disyariatkan oleh Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-Mashalih al-Khamsah diatas. c. Maslahah Tahsiniyah, adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai pada tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia. Dalam masalah ibadah misalnya, disyariatkan bersih atau memelihara kebersihan, menutup aurat, berhias dan berbagai hal yang baik lainnya. Dalam lapangan kemanusiaan, telah disyariatkan pula prinsip mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan berupa sedekah dan amalan baik lainnya. Dalam dunia keluarga, telah ditetapkan masalah-masalah kafa’ah dalam memilih pasangan hidup dan juga etika pergaulan antara keduanya. Dalam bidang muamalah, Islam menganjurkan agar orang tidak melakukan jual beli benda-benda yang najis, benda-benda yang kotor yang merusak kesehatan. Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya, yang kuat adalah maslahah dharuriyah, kemudian maslahah hajiyah, dan berikutnya adalah maslahah tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan adalah; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya, dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji dan didahulukan haji atas tahsini. Kedua , dari segi kandungan maslahah, ulama Ushul Fiqh membaginya kepada dua bagian, yaitu: 9 a. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. b. Maslahah al-khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang mafqud. Ketiga, dari segi eksistensinya keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada tiga macam, yaitu: 10 a. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain kemaslahatan yang diakui syar’i secara tegas dengan dalil yang khusus baik langsung 9 Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara, Thesis, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003, hal. 23 10 . Drs. Romli SA, M. Ag., Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet I, hal. 162 mupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari langsung tidak langsungnya petunjuk dalil terhadap maslahah tersebut, maslahah terbagi dua, yaitu: 11 Munaasib mu’atstsir, yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum Syari’ yang memperhatikan maslahah tersebut. Contoh dalil yang menunjuk langsung kepada maslahah ialah tidak baiknya “mendekati” perempuan yang sedang haid dengan alasan itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit” itu yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munaasib. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Quran Surat al-Baqarah 2: 222: ☺ ☺ ... Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid....” Q.S.al-Baqarah 2: 222 Mun āsib Mula’im, yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap maslahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk 11 . Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 329 menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis. Contohnya; Berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak gadisnya itu “belum dewasa“. “Belum dewasa“ ini menjadi alasan bagi hukum yang sejenis dengan perwalian dalam harta milik anak kecil. b. Maslahah al-Mulghah, yaitu maslahah yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahah yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contoh yang sering diangkat oleh ulama Ushul Fiqh yaitu menyamakan pembagian harta warisan antara perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamaan antara seorang perempuan dengan laki-laki tentang warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan ketentuan nash yang jelas dan rinci, sebagaimana firman Allah dalam Quran Surat an-Nisaa’4: 11 ⌧ ... Artinya: “Untuk anak-anak kamu Allah telah menetapkan bagi kamu tentang pembagian harta pusaka, yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan....” Q.S. an-Nisaa 4: 11 Ayat ini secara tegas menyebutkan pembagian harta warisan, dimana seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. Misalnya sekarang adalah bagaimana jika harta warisan itu dibagi sama rata, intinya seorang anak laki-laki sama bagiannya dengan anak perempuan, dengan alasan ingin menciptakan kemaslahatan. Penyamaan anak laki-laki dengan anak perempuan, dengan kemaslahatan seperti inilah yang disebut dengan Maslahah al- Mulghah, karena bertentangan dengan nash yang sharih. c. Maslahah al-Mursalah, yang juga biasa disebut Istishlah, yaitu maslahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun, baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya. Secara lebih tegas maslahah mursalah ini termasuk jenis maslahah yang didiamkan oleh nash. maslahah mursalah ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat. Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah: 12 1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan maslahah sebagai berikut: “Apa-apa maslahah yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.” 2. Abdul Wahab Khallaf memberi rumusan berikut: “Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.” 12 Ibid, hal 333 3. Muhammad Abu Zahrah memberi rumusan sebagai berikut “Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat islam dan petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.” Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut: a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia. b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengetahuinya. Maslahah mursalah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan “maslahah muthlaqah”, ada pula yang menyebutnya “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah”. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.

B. Syarat-syarat al-Maslahah al-Mursalah