Dalam keadaan demikian, fuqaha meninggalkan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode maslahah
mursalah. Praktek perbankan yang tidak mengandung zhulum malahan menjadi sarana untuk saling tolong menolong sesama manusia dan hal ini sangat sesuai
dengan maqashid syariah ammah. Contoh lainnya adalah tentang kesaksian anak-anak yang belum baligh,
atas dasar kemaslahatan, kesaksian anak-anak dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam satu perkara, walaupun tidak ada ketetapan syara’. Asy-syari’ hanya
mengatakan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiayaan yang terjadi dikalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian
orang dewasa, maka dalam hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan pertimbangan.
Bila diperhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para sahabat, tabi’in dan para Ulama itu semuanya adalah merupakan hasil ijtihad
dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
D. Pendapat Para Ulama Tentang al-Maslahah al-Mursalah
Dalam hal penggunaan dan pemakaian mursalah mursalah sebagai dalil syariat dalam mengistinbathkan atau menetapkan hukum, maka penulis akan
memaparkan pendapat para Ulama yang dibatasi pada pendapat beberapa Imam mazhab dan Ulama terkenal lainnya.
Maslahah menurut Najmuddin at-Thufi
Menurut beliau, maslahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum dan ia tidak membagi maslahat itu
sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur ulama. Ada tiga prinsip yang dianut at- Thufi tentang maslahah yang menyebabkan pandangannya berbeda dengan
jumhur ulama, yaitu:
22
1.
Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Untuk menentukan –termasuk mengenai
kemaslahatan dan kemudharataan-cukup dengan akal. Pandangan ini berbeda
dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemudharatan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemaslahatan itu harus
mendapatkan dukungan dari nash atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu,
untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena maslahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata.
3. Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan,
adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, seperti shalat dhuhur empat rakaat, puasa selama ramadhan satu bulan dan
lain-lain, tidak termasuk objek maslahah, karena masalah-masalah seperti ini merupakan hak Allah semata.
Maslahah menurut Hasbi ash-Shiddieqy
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, tidak ada perselisihan dikalangan ulama bahwa penetapan-penetapan hukum tasyri’ dimaksudkan untuk melahirkan
kemaslahatan manusia, yang bersifat dharuriyat, hajiyat, maupun tahsiniyat.
22
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, Cet III, hal. 126-127
Karena maksud hendak memberikan kemaslahatan itulah, maka ada bagian dalam fiqh yang dinamakan siyasah syar’iyyah, yakni kebijaksanaan untuk
membuat masyarakat lebih dekat dan gemar kepada kebajikan serta menjauhi dan membenci keburukan dan kerusakan. Menurut Hasbi, siyaasah syar’iyyah pada
hakikatnya sama dengan maslahah mursalah. Maslahah mursalah inilah yang digali melalui qiyas, kaidah umum hukum dan istihsan. Selain itu, jumhur ulama
pun sepakat, bahwa yang dinashkan oleh syara’ yang didasarkan atas illat tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Hasbi
berpendapat: “Berhujjah dengan maslahah mursalah dan membina hukum diatasnya,
adalah satu keharusan. Inilah yang sesuai dengan keumuman syariat dan dengan demikianlah hukum-hukum Islam dapat berjalan seiringan dengan masa dan
inilah yang ditempuh oleh para sahabat. Menolak maslahah mursalah berarti membekukan syariat, karena aneka maslahat yang terus tumbuh tidak mudah
didasarkan pada satu dalil tertentu”.
23
Maslahah menurut mazhab Maliki, Hambali dan Syathibi
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang
dirinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan
23
Wahidul Kahhar, Ibid, hal. 69
bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah bersifat pasti qath’I, sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni relatif.
24
24
Op. Cit. Harun Nasroen, hal. 125-126
BAB III SEPUTAR BISNIS FRANCHISE
A. Pengertian Waralaba
Kata “Franchise” berasal dari bahasa Perancis kuno yang berarti “bebas”. Pada abad pertengahan franchise diartikan sebagai “hak utama” atau “kebiasaan”,
saat itu pemerintahan setempat atau lord gelar kebangsawanan di Inggris biasanya dimiliki oleh tuan tanah setempat memberikan hak khusus seperti untuk
mengoperasikan kapal Feri atau untuk berburu tanahnya. Konsep franchise berkembang di Jerman sekitar tahun 1840-an, pada saat itu mulai diberikan hak
khusus untuk menjual minuman, hal ini merupakan konsep awal dari franchising. Konsep franchise mengalami perkembangan yang sangat pesat di Amerika, pada
tahun 1951 yaitu perusahaan mesin jahit Singer di Amerika mulai memberikan distribution franchise
25
untuk penjualan mesin-mesin jahit. Singer membuat perjanjian distribution franchise secara tertulis, sehingga Singer dapat disebut
sebagai pelopor dari perjanjian franchise modern. Pengertian franchise ini masih sederhana, franchise hanya dikenal sebagai pemberian hak untuk
mendistribusikan produk serta menjual produk-produk hasil manufaktur.
26
25
Distribution franchise adalah hak yang diperoleh franchisee untuk mendistribusikan atau menjual produk suatu produsen atau pemasok.
26
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis; Dalam persepsi Manusia Modern, Bandung, PT. Rineka Aditama, 2004, hal. 122