2.1.2 Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan
Antara rukun dan syarat perkawinan terdapat perbedaan dalam pengertiannya. Dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakekat dari
perkawinan itu sendiri, tetapi pengertian dari syarat perkawinan adalah syarat yang harus dipenuhi dari rukun-rukun perkawinan tersebut dan apabila syarat
tersebut tidak dapat dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Rukun dari perkawinan sebagaimana dikemukakan dalam pasal 14
Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Calon suami;
2. Calon isteri; 3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi dan; 5. Ijab dan qabul.
Hal-hal yang harus diperhatikan dari rukun perkawinan di atas adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan isteri, bahwa dalam perkawinan harus ada calon mempelai seorang pria dan seoarng wanita untuk hidup bersama sebagai
suami isteri. Perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Perkawinan
yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Perkawinan juga harus didasarkan atas
persetujuan calon mempelai tidak ada paksaan. 2. Adanya wali nikah, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Syarat-syarat wali sebagai berikut:
a. Islam; b. Baligh;
c. Berakal; d. Merdeka;
e. Laki-laki; f. Adil;
g. Tidak sedang ihramumrah Sudarsono, 1994:50.
3. Adanya dua orang saksi, ketentuan saksi di dalam perkawinan harus ada dua orang dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi secara komulatif, yaitu:
a. Baligh; b. Berakal;
c. Merdeka; d. Laki-laki;
e. Islam; f. Adil;
g. Mendengar dan melihat tidak bisu; h. Mengerti maksud ijab dan qabul;
i. Kuat ingatannya; j. Berakhlak baik;
k. Tidak sedang menjadi wali Sudarsono, 1994:52.
4. Adanya Ijab dan qabul, hakekat ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan sebagai kehendak untuk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai
suami sah. Sedangkan qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon pengantin laki-laki atau ijab calon mempelai perempuan.
Suatu perkawinan yang sah, bilamana memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan khususnya yang diatur dalam pasal 6
adalah sebagai berikut: 1. Perkawianan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai; 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua;
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat 2,3 dan 4 pasal ini;
6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan, menyatakan bahwa: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dari perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannnya itu termasuk ketentuan peraturan perundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan pasal 2 ayat
1 Undang-undang perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku pasal 2 ayat 2. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan
seseorang,misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan Kansil
C.S.T, 1989:227. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan
dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 Sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti tentang syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan. Setelah itu, pegawai pencatat mengumumkan dan
menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Pengumuman memuat: nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai
dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu dan memuat hari,
tanggal, dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
2.1.3 Tujuan Perkawinan