Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

INDRA REZA

NIM : 070200269

Departemen : Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Medan

2012


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

INDRA REZA

NIM : 070200269

Departemen : Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

SYAMSUL RIZAL, S.H. M.Hum

NIP. 19 6402161989111001 NIP. 196101181988031010 ZULKIFLI SEMBIRING, SH

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Medan

2012


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis mengucapkan Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kemudian Salawat serta salam penulis ucapkan kepada Rasullah Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan bagi seluruh umatnya.

Telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis melakukan kewajiban sebagaimana mestinya untuk menyusun suatu skripsi dengan judul

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BERLANGGANAN

MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada para pihak yang telah memberikan dukungan, pengetahuan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasyim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Malem Ginting SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

7. Ibu Yerizawati, S.H, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik, dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Dan seluruh para staf pengajar, staf pegawai, staf pendidikan serta staff kepustakaan yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

9. Kedua orang tua Penulis, Ayahanda M.Masril, SH, M.Hum dan Ibunda Elmita yang tercinta, yang telah mendidik dan membesarkan penulis serta memberikan dorongan moril, spiritual dan materil kepada penulis. Terima kasih buat Ayah dan Ibu yang telah memberikan motivasi kepada penulis memberikan motivasi dan inspirasi penulis untuk menjalankan hidup menjadi lebih baik dan lebih sukses dari apa yang telah ayah dan ibu berikan kepada penulis. Terima kasih buat ayah dan ibu atas segala dukungan selama ini. 10. Kepada Kakanda Elmas Eka Muliani, SH dan Abangda Putra Masduri, SH,


(5)

bisa memberikan yang terbaik dan selalu menjadi motivator untuk tetap maju kedepan. Selalu memberikan bantuan moril dan materil dalam proses pembuatan penulisan skripsi ini. Sukses buat kakak dan abang

11. Kepada Adinda Elmas Yuliantri dan Adinda Elmas Catur Rizky Ramadhan, terima kasih untuk semangatnya dan doanya agar skripsi ini terselesaikan dengan baik. Dan terima kasih buat adik-adik yang telah membantu dalam menulis skripsi ini. Semoga sukses dalam kuliah dan sekolah nya.

12. Untuk para teman – teman khususnya Desicha Ratna Dewi, Novrilanimisy, Pratiwi Utami P, W. Erja Marcsalita, Yunita Maria Intan, Evelin Adelina Sagala, yang selalu ada dimanapun dan kapanpun penulis membutuhkan. Dan terima kasih telah memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13. Dan juga terima kasih buat teman-teman Departemen Hukum Perdata Program kekhususan BW. Khusus nya buat Sylvia Annisa Pratiwi, Emiliana Sembiring, Zaky Siraj Hasibuan. Yang telah Barengan ngajukan Judul kemaren dan membantu selama di Departemen Hukum Perdata Program Kekhususan BW.

14. Terima kasih buat seluruh teman-teman Stambuk 2008 Khususnya anak-anak grup E di semester I-II, anak-anak-anak-anak Grup D di semester III-IV, anak-anak – anak Grup C di semester V- VI, dan anak- anak Grup B di semester VII. 15. Terima kasih buat narasumber yang telah meluangkan waktu nya untuk


(6)

16. Terima kasih buat semua dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun diterima dengan tangan terbuka demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah memberikan Rahmat dan Ridhonya untuk kita semua.

Medan, 2012 Penulis


(7)

A B S T R A K

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT

Oleh: Indra Reza

Perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit adalah suatu perjanjian antara masyarakat pelanggan televisi dengan sebuah perusahaan penyiaran televisi, dimana perjanjian tersebut meletakkan kewajiban yang bertimbal balik antara para pihak.

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan multimedia televisi berbasis satelit dalam hukum komunikasi di Indonesia serta bagaimana karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit menurut hukum perjanjian

Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Untuk mengkaji permasalahan di atas maka diadakan metode pengumpulan data yang dalam penelitian ini dilakukan secara kepustakaan dan juga penelitian atas perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit yang diterapkan di PT. Astro.

Setelah dilakukan pengolahan terhadap data-data sebagaimana yang dimaksudkan di atas maka diketahui bahwa pengaturan multimedia televisi berbasis satelit dalam hukum komunikasi di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Lembaga Penyiaran dari mulai Pasal 25 sampai dengan Pasal 29. Ketentuan pengaturan tersebut menjelaskan kedudukan lembaga jasa penyiaran televisi berbasis dalam sistem hukum Indonesia, sistem penyiaran yang dilakukan, pembiayaan, serta media penyiaran yang dipakai, baik itu satelit, kabel ataupun terestrial. Karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit menurut hukum perjanjian dapat digolongkan sebagai perjanjian obligatoir karena merupakan perjanjian bertimbal balik, yang memuat jelas hak dan kewajiban pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ini juga dibuat dalam bentuk baku dan hal tersebut dapat dibenarkan oleh hukum perjanjian selama tidak adanya ketentuan atau klausula yang menjelaskan kedudukan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Kepada instansi berwenang yang mengawasi penyiaran yaitu Komisi Penyiaran Indonesia hendaknya dapat melakukan pengawasan secara ketat lembaga penyiaran multimedia televisi berlangganan ini sehingga hal-hal buruk yang diakibatkan dari dunia penyiaran dapat diantisipasi.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penuisan ... 5

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA ... 9

A. Pengertian Perjanjian ... 9

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 14

C. Jenis-Jenis Perjanjian ... 22

D. Akibat Hukum Dari Perjanjian ... 25

BAB III SIARAN TELEVISI MULTIMEDIA BERBAYAR SATELIT . 28 A. Pengertian dan Fungsi Televisi ... 28

B. Sejarah Pertelevisian di Indonesia ... 31

C. Televisi Berbayar Satelit ... 35 D. Pengaturan Multimedia Televisi Berbayar Satelit Dalam


(9)

Hukum Komunikasi di Indonesia ... 37

BAB IV PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT ... 45

A. Karakteristik /Ciri Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit Menurut Hukum Perjanjian ... 45

B. Penyelesaian Perselisihan Bila Terjadi Wanprestasi Dalam Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit ... 52

C. Berakhirnya Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar satelit ... 58

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA


(10)

A B S T R A K

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT

Oleh: Indra Reza

Perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit adalah suatu perjanjian antara masyarakat pelanggan televisi dengan sebuah perusahaan penyiaran televisi, dimana perjanjian tersebut meletakkan kewajiban yang bertimbal balik antara para pihak.

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan multimedia televisi berbasis satelit dalam hukum komunikasi di Indonesia serta bagaimana karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit menurut hukum perjanjian

Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Untuk mengkaji permasalahan di atas maka diadakan metode pengumpulan data yang dalam penelitian ini dilakukan secara kepustakaan dan juga penelitian atas perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit yang diterapkan di PT. Astro.

Setelah dilakukan pengolahan terhadap data-data sebagaimana yang dimaksudkan di atas maka diketahui bahwa pengaturan multimedia televisi berbasis satelit dalam hukum komunikasi di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Lembaga Penyiaran dari mulai Pasal 25 sampai dengan Pasal 29. Ketentuan pengaturan tersebut menjelaskan kedudukan lembaga jasa penyiaran televisi berbasis dalam sistem hukum Indonesia, sistem penyiaran yang dilakukan, pembiayaan, serta media penyiaran yang dipakai, baik itu satelit, kabel ataupun terestrial. Karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit menurut hukum perjanjian dapat digolongkan sebagai perjanjian obligatoir karena merupakan perjanjian bertimbal balik, yang memuat jelas hak dan kewajiban pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ini juga dibuat dalam bentuk baku dan hal tersebut dapat dibenarkan oleh hukum perjanjian selama tidak adanya ketentuan atau klausula yang menjelaskan kedudukan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Kepada instansi berwenang yang mengawasi penyiaran yaitu Komisi Penyiaran Indonesia hendaknya dapat melakukan pengawasan secara ketat lembaga penyiaran multimedia televisi berlangganan ini sehingga hal-hal buruk yang diakibatkan dari dunia penyiaran dapat diantisipasi.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan akan tatanan dan tuntutan hukum di dalam masyarakat memberikan akibat dari perkembangan hukum itu sendiri, termasuk halnya di bidang perkembangan sarana hiburan melalui layar kaca (televisi). Televisi sebagai suatu media penyebaran informasi dan juga hiburan bagi mayarakat luas pada dasarnya memiliki aspek-aspek pembentuk tatanan sosial kemasyarakatan, prilaku, dan juga wadah bagi pengembangan sarana komunikasi. Pelaksanaan penyiaran perlu dikuasai negara sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 Angka (14) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyebutkan “Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran”. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (1) undang-undang yang sama menyebutkan bahwa “Jasa penyiaran terdiri atas :

1. Jasa penyiaran radio dan, 2. Jasa penyiaran televisi.

Salah satu perkembangan dunia penyiaran yang sangat menonjol sekali adalah jasa penyiaran televisi. Hal ini ditandai dengan banyaknya lembaga penyiaran swasta berkembang baik secara nasional dan lokal. Selain lembaga-lembaga penyiaran swasta tersebut turut pula meramaikan pasar jasa penyiaran televisi adalah televisi berbayar satelit atau lebih dikenal dengan istilah televisi kabel.

Ada dua perusahaan terkemuka yang melakukan operasionalnya di Indonesia dalam hal jasa penyiaran televisi kabel ini yaitu Indovision dan Astro (PT. Direct Vision), dan yang terakhir adalah Telkom Vision. Suatu watak yang ditemukan dalam hal jasa penyiaran televisi kabel ini adalah tawaran acara yang disuguhkan sedemikian menariknya melalui beberapa channel pilihan yang ditawarkan kepada masyarakat. Masing-masing channel tersebut memiliki disiplin yang tinggi terhadap siaran yang dilakukannya. Misalnya Planet Animal sebagai salah satu channel yang terdapat dalam televisi kabel untuk siarannya selama 24 jam menawarkan siaran keanekaragaman hewan. Channel HBO dan Cinemax adalah channel-channel yang menawarkan hiburan film selama 24 jam, demikian juga dengan channel-channel lainnya, Music Television (MTV) dan Television Visual (TV V) menawarkan hiburan nyanyian.


(12)

ini pada dasarnya sangat berhubungan sekali pemirsanya. Dalam keadaan ini maka dapat dipahami suatu kenyataan jika ingin menyaksikan siaran televisi berlangganan masyarakat harus membayarnya. Hal ini berlainan dengan jasa penyiaran televisi komersial swasta seperti RCTI, SCTV dan lain sebagainya yang dapat disaksikan tanpa adanya pembayaran dari pemirsanya.

Ditemukan suatu kenyataan dalam praktek jasa penyiaran televisi kabel yaitu adanya perjanjian antara perusahaan penyiaran tersebut dengan pemirsanya. Perjanjian tersebut pada dasarnya meliputi jenis-jenis channel yang dapat direspon oleh televisi di rumah pemirsa, besarnya biaya tagihan atas chanel yang direspon oleh pemirsa serta tata cara pelaksanaan pembayaran dan juga akibat hukum jika pemirsanya tidak melakukan kewajibannya.

Perjanjian berlangganan multimedia televisi berbayar satelit memberikan syarat kepada calon pelanggannya untuk memberlakukan perjanjian tersebut selama setahun. Jika pelanggan berkeinginan membatalkan perjanjian dan usia perjanjian belum mencapai usia setahun maka pelanggan tersebut dapat dikenakan pinalti berupa pembayaran denda kepada perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan berbayar satelit.

Keadaan prasyarat perjanjian berlanggaran televisi di atas memberikan kondisi bahwa konsumen tetap memiliki nilai tawar yang rendah terhadap perilaku pasar (pengusaha), padahal di sisi lain untuk syahnya suatu perjanjian maka asas konsensualitas harus dipenuhi dimana pada asas tersebut keadaan-keadaan atau klausula-klausula yang diadakan oleh konsumen keadaannya harus setaraf dengan klausula yang ditawarkan pengusaha. Untuk hal yang demikian maka dalam keadaan ini penulis ingin mengulas masalah perjanjian berlangganan televisi ini khususnya terhadap klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian itu sendiri.

Masalah lainnya yang dapat dilihat dalam praktek penyiaran televisi ini yaitu soal sosial dan budaya. Televisi berlangganan pada dasarnya adalah lembaga penyiaran swasta yang terdiri dari beberapa channel. Channel tersebut biasanya dikelola oleh Lembaga Penyiaran Asing yang tidak berkedudukan di Indonesia dan melakukan siaran sesuai dengan kondisi negara dimana lembaga penyiaran tersebut berada. Jadi ada beberapa acaranya yang kurang sesuai dengan adat ketimuran dan juga nilai sopan santun bangsa Indonesia. Penulis dalam hal ini ingin melihat kondisi tersebut dihubungkan dengan kewenangan Komisi Penyiaran Nasional khususnya dalam memfungsikan televisi sebagai sarana hiburan dan informasi yang memiliki jiwa Indonesia.


(13)

B. Rumusan Masalah

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

1. Bagaimana pengaturan multimedia televisi berbayar satelit dalam hukum komunikasi di Indonesia

2. Bagaimana karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbayar satelit menurut hukum perjanjian

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui pengaturan multimedia televisi berbayar satelit dalam hukum komunikasi di indonesia.

2. Untuk mengetahui karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbayar satelit menurut hukum perjanjian

D. Manfaat Penuisan

Sedangkan yang menjadi faedah penelitian dalam hal ini adalah :

1. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum itu sendiri khususnya dalam kaitannya dengan lembaga penyiaran televisi. 2. Melalui tulisan ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil


(14)

hak-hak masyarakat dalam hal mendapatkan pelayanan hiburan maupun informasi melalui televisi berlangganan berbayar satelit.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa

ketentuan-ketentuan tentang perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer berupa buku-buku bacaan, hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil penelitian yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi keperpustakaan (library Research) untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku bacaan hasil karya ilmiah para sarjana.

3. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh disusun secara sistematis dan kemudian substansinya di analisa secara yuridis untuk memperoleh gambaran mengenai pokok permasalahan.


(15)

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi yang bertemakan mengenai pertelevisian memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi dengan kaitannya dengan berbayar satelit ini belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan serta Sistematika Penulisan.

BAB II. PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian dan akibat hukumnya seperti


(16)

Pengertian Perjanjian, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian serta Akibat Hukum Dari Perjanjian.

BAB III. SIARAN TELEVISI MULTIMEDIA BERBASIS SATELIT Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang Siaran Televisi Multimedia Berbasis Satelit, yaitu keterangan-keterangan tentang: Pengertian dan Fungsi Televisi, Sejarah Pertelevisian Indonesia, Televisi Berbayar Satelit serta Pengaturan Multimedia Televisi Berbayar Satelit Dalam Hukum Komunikasi di Indonesia. BAB IV. PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI

BERBAYAR SATELIT

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan suatu perjanjian berlangganan multimedia televisi berbayar satelit, yaitu: Karakteristik /Ciri Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit Menurut Hukum Perjanjian, Penyelesaian Perselisihan Bila Terjadi Wanprestasi Dalam Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit serta Berakhirnya Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar satelit

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(17)

BAB II

PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

E. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.1

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian “Suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terallu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

1

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.


(18)

prestasinya”.2

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang dapat timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum /

rechtshandeling. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh

pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban

Menurut pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang

(persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.

Kalau demikian, perjanjian adalah hubungan hukum / rechtbetrekking

yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan / person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum perdata.

2


(19)

untuk menunaikan prestasi.

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari

verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser

atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak.

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht / hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorrwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht


(20)

1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

2. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “ inviolable et sacre “ dan memiliki droit de

suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya

Undang-Undang Pokok Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, buku II KUH Perdata tidak dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan juwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.


(21)

Seperti yang dikemukakan, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian :

1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan. 2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,

dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).3

Verbintenis / perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban / prestasi yang mereka perjanjikan.

Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis

3


(22)

mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Kekecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak mekasa. Jadi natuurlijk verbintenis

adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara : 1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjnajian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya. 2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.4

F. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

4


(23)

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang – orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, di pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .5

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal - hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.

Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

6

5

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 7.

6

Ibid, hal. 17.

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.


(24)

Mengenai kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang – barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak—pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya”.7

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.Syarat kedua untuk sahnya Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.

7


(25)

suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan:

1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan 3. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak


(26)

yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat pada orang – orang yang tidak di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat


(27)

tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum “.8

“ Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu kedaan belaka. Dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu “.

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

9

G. Jenis-Jenis Perjanjian

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

“ Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang “ .

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :10

1. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberi

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 94.

9

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1984, hal. 36.

10


(28)

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

Perjanjian tas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian bernama (benoemd, specified) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd, unspecified).

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di masyarakat.

Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian campuran (contractus sui generis).

Sehubungan dengan perbedaan di atas perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham.

a. Mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generis).

b. Mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorpsi).

c. Mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).


(29)

5. Perjanjian obligatoir.

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan perjanjian jual belinya itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan (levering). Penyerahnnya sendiri merupakan perjanjian kebendaan.

6. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst).

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan / diserahkan (Transfer of title) kepada pihak lain.

7. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikian di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan Hukum Romawi.

8. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding) Pasal 1438 KUH Perdata. b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian

antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH Perdata.


(30)

d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah (Keppres No. 29 tahun 1984).

H. Akibat Hukum Dari Perjanjian

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan istilah semua pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bersama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama. Di dalam istilah semua itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonomie. 11

1. Isi perjanjian,

Dengan istilah sesecara sah pembentuk undang-undang hendak menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Yang dimaksud dengan secara sah disini ialah bahwa perbuatan perjanjian harus mengikuti apa yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Akibat dari apa yang diuraikan pada ayat 1 tadi melahirkan apa yang disebut pada ayat (2), yaitu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali kesepakatan antara keduanya. Dalam ayat 1 dan ayat 3 terdapat asas kedudukan yang seimbang diantara kedua belah pihak.

Undang-undang mengatur tentang isi perjanjian dalam Pasal 1329 KUH perdata. Dari dua ketentuan ini, disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut :

11


(31)

2. Kepatuhan 3. Kebiasaan.

Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu. Kepatuhan adalah ulangan dari kepatuhan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Kebiasaan adalah yang diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata berlainan dengan yang terdapat dalam Pasal 1347 KUH Perdata. Kebiasaan yang tersebut dalam Pasal 1339 KUH Perdata bersifat umum, sedangkan yang disebut Pasal 1327 KUH perdata ialah kebiasan yang hidup di tengah masyarakat khusus (bestending gebruikelijk beding), misalnya pedagang.

Yang dimaksud dengan undang di atas adalah undang-undang pelengkap, undang-undang-undang-undang yang bersifat memaksa tidak dapat dilanggar oleh para pihak.

Urutan isi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata, mengenai keputusan peradilan mengalami perubahan sehingga urutan dari elemen isi perjanjian menjadi sebagai berikut :

1. Isi perjanjian 2. Undang-undang 3. Kebiasaan 4. Kepatuhan


(32)

BAB III

SIARAN TELEVISI MULTIMEDIA BERBAYAR SATELIT

A. Pengertian dan Fungsi Televisi

Media massa secara garis besarnya dikelompokkan menjadi : 1. Media massa tradisional seperti pertunjukan teater tradisonal seperti

wayang, ludruk, randai, kentongan dan lain-lain.

2. Media massa modern, yaitu media elektronika yang terdiri dari radio, televisi dan film dan media cetak yang lazim disebut pers.12

Berdasarkan urut-urutan kemunculannya di tengah masyarakat yang pertama adalah pers, lalu film, radio dan yang terakhir adalah televisi. Yang disebut pers yaitu surat kabar, majalah, jurnal dan penerbitan lainnya.

Televisi merupakan salah satu alat komunikasi massa yang sering dipergunakan orang. Namun kenyataan menunjukkan bahwa televisi justru yang paling cepat mengalami kemajuan. Seiring kemajuan teknologi para ahli terus melakukan inovasi di bidang pertelevisian hingga televisi kini semakin hebat saja baik warna, suara, gambar dan bahkan bentuk dan ukurannya. Demikian pula perangkat pendukung penyiaran ikut mengalami kemajuan.

Hofmann mengatakan televisi berasal dari kata tele yang artinya jauh dan visi (vision) yang artinya pengelihatan. Segi jauhnya mengikuti prinsip radio dan segi pengelihatannya oleh gambar.13

Dalam Bahasa Inggris disebut television, berasal dari perkataan Yunani: Tele artinya jauh, ditambah vision, yang berasal dari bahasa Latin Visio artinya melihat. Jadi artinya secara harfiah adalah “melihat jauh”. Hal ini sesuai dengan kenyataannya bahwa pada saat sekarang kita dapat melihat siaran langsung dari Jakarta atau kota lainnya dari rumah kita masing-masing.14

12

Ruedi Hofmann, Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi, Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 18.

13

Ibid., hal. 19.

14

Ibid., hal. 21.


(33)

Televisi adalah salah satu mass media yang memancarkan “suara” dan “gambar” yang berarti sebagai reproduksi daripada

kenyataan yang disiarkannya, melalui gelombang-gelombang elektronik, sehingga dapat diterima oleh pesawat-pesawat penerima di rumah.

Televisi sebagai media massa, mempunyai banyak kelebihan dalam penyampaian pesan-pesannya, dibandingkan dengan media massa lainnya, karena pesan yang disampaikan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, sangat cepat dan aktual, terlebih lagi dalam siaran langsung (life broadcast), serta dapat menjangkau ruang yang sangat luas.

Sebagai komunikasi massa televisi memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan dan kelemahan televisi tersebut.

Menurut Soehoet kelebihan televisi : 1. Efisiensi biaya

Salah satu keuntungan, televisi adalah kemampuannya

menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Televisi dapat menjangkau khalayak sasaran yang tidak dapat dijangkau oleh media lain. Juga khalayak yang tidak terjangkau oleh media lainnya. Jangkauan massa ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala.

2. Dampak yang kuat

Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan sekaligus dua indeks pengalihan dan pendengar televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerja-pekerja kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, derama dan humor.

3. Pengaruh yang kuat

Televisi juga mempunyai kemampuan yang kuat untuk

mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat menghabiskan


(34)

waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan.15

Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Acara-acara yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam penyiarannya. Kelemahan televisi,

1. Biaya yang besar

Kelemahan yang paling sering dalam siaran televisi adalah biaya yang besar dalam memproduksi suatu acara, walaupun biaya untuk menjangkau khalayak lebih rendah.

2. Khalayak yang tidak selektif

Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk

menjangkau sasaran yang lebih selektif itu tetap sebuah media yang tidak selektif, segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah.

3. Kesulitan teknis

16

a. Fungsi menyiarkan informasi.

Sebagai media komunikasi, maka televisi memiliki fungsi sebagai berikut :

Melalui layar televisi orang mendapat informasi tentang berbagai peristiwa yang terjadi di permukaan bumi, gagasan dan pemikiran orang lain, apa yang dilakukan, diucapkan, dilihat oleh orang lain dan sebagainya.

b. Fungsi mendidik.

Televisi adalah sarana pendidikan massa. Televisi menyiarkan acara-acara yang bersifat ilmiah dan mengandung ilmu pengetahuan.

c. Fungsi menghibur.

Televisi bisa menjadi teman di saat senang atau susah dan kesepian.

d. Fungsi mempengaruhi.

Acara televisi seringkali isinya mengandung ajakan secara halus, misalnya ajakan untuk menjaga kebersihan, ajakan untuk berpartisipasi membayar pajak dan lain sebagainya.

15

Hoeta Soehoet, Media Komunikasi, Yayasan Kampus IISIP, Jakarta, 2003, hal. 41.

16


(35)

Secara kenyataan, fungsi-fungsi tersebut tidak bisa dipisahkan secara jelas. Suatu tayangan pendidikan sekaligus memberikan hiburan dan informasi. Sedangkan tayangan yang dimaksudkan sebagai hiburan di dalamnya terkandung informasi dan pendidikan. Bahkan iklan yang jelas-jelas adalah informasi mengandung hiburan agar menarik.

B. Sejarah Pertelevisian di Indonesia

Pada awalnya perkembangan televisi sangat tersendat-sendat, hal itu terjadi karena negara-negara yang saat awal televisi diketemukan dan diupayakan untuk dikembangkan, sedang mengalami perpecahan, yang menjadikan timbulnya Perang Dunia II, sehingga akibatnya penemuan-penemuan sistem televisi yang berkaitan dengan perkembangan teknologi militer, sangat tersendat bahkan terhenti.

Karena itu kebangkitan televisi sangat dirasakan setelah tahun 1950, di mana teknologi pembuatan radar dan penggunaan pemancar berkekuatan tinggi seperti, Very High Frequency (VHF) dan Ultra High Frequency (UHF), yang tadinya dimonopoli pihak militer, diizinkan untuk dikembangkan bagi kepentingan sipil.

Teknologi itulah yang digunakan untuk mengembangkan sistem televisi dan pesawat penerimanya, sehingga harganya murah dan terjangkau oleh masyarakat luas, karena dapat diproduksi secara massal, apalagi dengan penemuan transistor, Intgrated Circuit (IC) serta sistem Digital seperti sekarang ini, yang menggantikan sistem tabung hampa, praktis telah mendorong harga pesawat penerima lebih murah.

Demikian halnya yang dilakukan oleh John Loggie Baird, yang dikenal sebagai penemu televisi modern yang pertama di dunia.. baik di depan anggota-anggota dari Institut Pengetahuan Nasional Inggris, mendemonstrasikan sebuah peralatan hasil penemuannya. Walaupun gambarnya masih kabur dan tidak jelas, namun hasil penemuannya


(36)

merupakan tonggak terpenting dalam perkembangan sejarah televisi.17

(1)National Television System Committee (NTSC) yang menggunakan 525

lines dan dipakai secara luas di Amerika Serikat, Jepang, Korea, Philipina, Hongkong dan negara-negara Amerika Latin.

Sedang di Amerika Serikat, siaran televisi yang bersifat eksperimental, beralih ke siaran komersial, di mana saat Presiden Roosevelt membuka New York Fair pada tanggal 30 April 1939. Saat itu siaran langsung melalui jaringan televisi National Broadcasting Commision (NBC). Siaran ini dengan maksud untuk menyaingi popularitas Hitler di Eropa. Namun keberhasilan siaran ini kurang ditunjang secara finansiil, sehingga tersendat-sendat kelangsungannya.

Sebagai akibat terjadinya Perang Dunia II, perkembangan televisi mengalami penundaan, karena teknologi elektronika dialihkan untuk kepentingan militer, seperti radar dan visual monitoring.

Demikian pula sistem televisi mengalami perkembangan, dalam hal

scanning linesnya, dan yang kita kenal sampai sekarang adalah:

(2)Phase Alternating in Lines (PAL) yang diciptakan oleh DR. Walter

Burch dari Jerman, seperti diuraikan di muka, menggunakan 625 lines

dan dipakai di Eropa Barat, Inggris, Australia, Asia termasuk Indonesia.

(3)System En Couleurs A Memoire (SECAM) yang diciptakan di Perancis,

dengan menggunakan 740 lines dan dipakai di Perancis dan negara-negara Eropa Timur.18

Gagasan konkret untuk memiliki siaran televisi di Indonesia, lahir setelah pada tahun 1961 Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, tentu saja proyek media

17

Darwanto, Televisi Sebagai Media Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 71.

18


(37)

massa ini sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang kemanfaatannya.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 20/E/M/1961, dibentuklah Panitia Persiapan Pembangunan Televisi di Indonesia, kemdian berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 215/1963, dibentuklah Yayasan Televisi Republik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 Oktober 1963.

Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran di bumi pertiwi Indonesia, pada tanggal 24 Agustus 1962. Meskipun saat awalnya hanya mempunyai jangkauan siaran terbatas serta jumlah pesawat penerima terbatas pula.

Meskipun lambat tetapi pasti, perkembangan terus berjalan, hampir semua daerah tingkat I telah memilih stasiun TVRI dan bahkan ada beberapa stasiun produksi keliling.

Pemerintah Indonesia di samping mengembangkan secara kuantitatif jumlah stasiun penyiarannya, tidak dilupakan juga mengembangkan jaringan siarannya dan sampai saat ini telah dibangun lebih dari 300 stasiun pemancar dan penghubung, ini dimaksudkan agar siaran televisi mampu menjangkau ke seluruh wilayah Nusantara.

Pada tahun 1969, TVRI memasuki era satelit komunikasi internasional, dengan menggunakan stasiun bumi di Jatiluhur, hal ini menunjukkan bukan saja televisi berjalan terus sesuai dengan perkembangan teknologi, tetapi Indonesia telah mampu memberikan pelayanan di bidang telekomunikasi, melalui hubungan telepon, telegram, faksimili, pengiriman data dan penyaluran siaran radio maupun televisi, sehingga peristiwa di belahan bumi mana pun dapat


(38)

diikuti dengan baik.

Perkembangan berjalan terus yang akhirnya pada tahun 1976, Indonesia memasuki era Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa, dengan tujuan sebagai jalan pintas yang memungkinkan dalam waktu yang singkat seluruh wilayah Indonesia sudah terjangkau oleh siaran televisi, maupun sistem komunikasi sekaligus.

Pekermbangan pertelevisian di Indonesia semakin marak, kalau semula TVRI merupakan pilihan satu-satunya bagi khalayak penonton, seiring perkembangan teknologi komunikasi, pemilik modal melirik untuk memanfaatkan media massa sebagai lahan baru usaha bisnis mereka.

Dalam relatif singkat berdiri beberapa stasiun televisi swasta nasional yang bersifat komersial di Indonesia, didahului Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) diikuti sejumlah televisi swasta nasional lainnya. Beberapa waktu kemudian, didirikan beberapa stasiun televisi daerah, ikut meramaikan bursa per televisian Indonesia. Hal ini tentu saja yang diuntungkan khalayak penonton, karena mempunyai berbagai altenatif pilihan program siarannya.

Undang-Undang Siaran Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002, Pada Pasal 3 ditegaskan bahwa :

Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk merperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. (UU Siaran, 2002. Pasal : 3)

Dengan merujuk pada Undang-Undang siaran tersebut, berarti arah kebijaksanaan siarannya, tidak boleh menyimpang dari tujuan dari pasal tadi.


(39)

Sebagai industri penyiaran diharapkan mampu memperluas jangkauan siaran ke seluruh wilayah Nusantara, sehingga kesejahteraan masyarakat bisa benar-benar merata.

C. Televisi Berbayar Satelit

Untuk memberikan pengertian tentang multimedia televisi berbayar satelit maka akan diuraikan terlebih dahulu pengertian secara etimologi atas kata-kata yang terdapat dalam “multimedia televisi berbayar satelit”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Multimedia diartikan sebagai: berbagai jenis sarana, usaha pembangunan untuk dunia komunikasi, pendidikan dan sebagainya, penyediaan informasi pada komputer yang menggunakan suara, grafika, animasi dan teks”. Sedangkan multimedia yang dimaksudkan disini adalah multimedia dalam bidang komunikasi massa seperti surat kabar, radio, dan televisi sendiri.19

Dalam sumber yang sama televisi berbasis multimedia satelit diartikan sebagai “sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui perantara satelit (angkasa) dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar”.20

19

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 762.

20

Ibid., hal. 1162.

Perihal televisi berbasis multimedia satelit dapat juga ditemukan pengaturannya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dimana dalam Pasal 26 bahwa salah satu lembaga penyiaran berlangganan adalah lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit.

Perihal televisi yang melakukan penyiaran melalui satelit menurut ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah “Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:


(40)

a. Memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia.

b. Memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia. c. Memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia. d. Menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia dan e. Menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

D. Pengaturan Multimedia Televisi Berbayar Satelit Dalam Hukum Komunikasi di Indonesia

Dalam membahas hasil penelitian ini penulis akan menyajikan studi perbandingan dengan perjanjian berlangganan Indovision. Indovision Nusantara adalah jasa menjadi sasaran pemasaran adala

Indovision Nusantara dioperasikan perusahaan bernama PT. Direct Vision, yang dibentuk pada satelit bernama juga mengoperasika

Pada saat ini, Indovision menyediakan 48 pilihan saluran termasuk di dalamnya 5 saluran yang diproduksi khusus oleh Indovision Indonesia melalui perusahaan penyedia isi siaran PT Adhi Karya Visi, yaitu Indovision Ceria


(41)

(untuk anak), Indovision Aruna (untuk sinetron Indonesia dan perempuan), Indovision Kirana (untuk film non-Hollywood), Indovision Xpresi (untuk gaya hidup anak muda dan infotainment), dan Indovision Awani (untuk informasi dan gaya hidup). Indovision ceria, Indovision Kirana, dan Indovision Aruna juga disiarkan di Indovisi Pada ta diluncurkan kapasitas channel berlipat ganda berkat teknologi dengan menambah satu lagi saluran baru yait adalah saluran Indovision yang menayangkan program-program yang bernafaskan agama Islam

Untuk wilayah Kota Medan Indovision telah menyediakan kantor pelayanan pelanggan yang terletak di Jalan Zainul Arifin Medan dekan PT. Bank Sumut. Kantor ini semata-mata merupakan kantor pelayanan pelanggan dan dipimpin oleh seorang Branch Manager.

Hukum komunikasi yang mengatur perihal televisi berbasis satelit dalam hukum Indonesia ditemukan dalam Undang-undang No. 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran Bagian Ketujuh Pasal 25 sampai dengan Pasal 29. Meskipun demikian dalam Pasal 13 Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ada juga menyebutkan istilah tentang


(42)

lembaga penyiaran berlangganan. Secara spesifiknya Pasal 13 tersebut berbunyi:

(1) Jasa penyiaran terdiri atas: a. Jasa penyiaran radio, dan. b. Jasa penyiaran televisi.

(2) Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayar (1) diselenggarakan oleh:

a. Lembaga penyiaran publik. b. Lembaga penyiaran swasta.

c. Lembaga penyiaran komunitas, dan. d. Lembaga penyiaran berlangganan.

Dari ketentuan isi Pasal 13 khususnya pada ayat (2) huruf d, maka dapat dijelaskan bahwa lembaga penyiaran berlanggaranan diakui oleh undang-undang ini sebagai salah satu bentuk dari jasa penyiaran televisi.

Selain ketentuan dalam Pasal 13 di atas maka Pasal 25 menyebutkan:

(1) Lembaga Penyiaran berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

(2) Lembaga penyiaran berlangganan sebagaimana dimakdsud dalam ayat (1) memancar luaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multimedia, atau media informasi lainnya.

Isi Pasal 25 di atas lebih menekankan bentuk badan hukum Indonesia, dengan spesifikasi usaha jasa penyiaran berlangganan. Ketentuan ini juga menjelaskan bahwa badan hukum dalam usaha penyiaran berlangganan di Indonesia tunduk pada ketentuan hukum


(43)

Indonesia khususnya ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Badan hukum itu seperti manusia. Satu jelmaan yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan hukum (eineleiblichgeistigelebenssceinheit). Badan hukum itu menjadi suatu “ verband personlijchkeit “ yaitu suatu badan hukum yang membentuk kemauannya dengan perantaraan alat-alat

(orgamen) yang ada pada misalnya pengurusnya sepeti manusia.

Pendeknya berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan berfungsinya manusia.21

Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiadalah lain merupakan suatu pengertian, dimana suatu badan yang sekalipun bukan berupa seorang manusia namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para anggotanya, dan merupakan pendukung dari hak-hak dan kewajiban seperti seorang manusia.

Lebih lanjut dikatakan oleh Abdul Muis, bahwa :

22

1. Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan

Hakekat yang demikianlah yang dianggap kepada suatu badan hukum dapat dipersamakan sebagaimana manusia layaknya dalam pergaulan hukum.

Badan hukum yang bukan manusia mempunyai unsur-unsur:

2. Mempunyai tujuan sendiri

3. Mempunyai alat perlengkapan (organisasi).

Permasalahan pendirian suatu badan hukum tentulah mempunyai alasan tersendiri.

Salah satu motivasi pembentukan badan hukum antara lain terletak pada “pertanggungjawabannya” yang terbatas. Dalam suatu badan hukum, maka harta kekayaan perorangan yang tergabung dalam badan hukum tersebut. Artinya, setiap tagihan atas badan ini semata-mata hanya dapat

21

Abdul Muis, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, Fak. Hukum USU, Medan, 1991, hal. 29-30.

22

Abdul Muis, Hukum Persekutuan dan Perseroan, Fak. Hukum USU, Medan, 1995, hal. 16.


(44)

ditujukan kepada harta kekayaan badan ini dan tidak akan sampai dipertanggung-jawabkan pada harta kekayaan pribadi para perorangan yang tergabung di dalamnya. 23

Badan hukum tidak dapat melakukan sendiri perbuatannya, karena badan hukum bukan manusia yang mempunyai daya pikir dan kehendak. Badan hukum bertindak dengan perantaraan manusia (natuurlijk persoon), akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya melainkan untuk dan atas nama pertanggung-jawaban badan hukum. Salah satu badan hukum itu Dikemukakan pula bahwa Badan hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hukum, pendeknya diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia.

Pembahasan perihal badan hukum ini amat penting untuk mengetahui kedudukan sebuah bentuk usaha khususnya badan usaha penyiaran, sehingga dike-

tahui apakah sebuah badan usaha penyiaran tersebut memiliki hak dan kewajiban dalam bidang hukum sebagaimana layaknya manusia biasa.

Dari keterangan di atas jelas diakui badan hukum tersebut dapat juga bukan manusia tetapi dapat berbentuk sebuah perusahaan atau organisasi seperti yayasan. Akan tetapi badan hukum mempunyai sifat-sifat khusus. Badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan-perbuatan dalam bidang tertentu.

23


(45)

adalah Perseroan Terbatas pada perusahaan lembaga penyiaran khususnya penyiaran berlangganan.

Perseroan atau PT yang merupakan badan hukum atau “artificial

person” mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui wakilnya. Oleh

karena itu perseroan atau PT juga merupakan subjek hukum, yaitu subjek hukum mandiri (persona standi in judicio).24

(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 terdiri dari:

Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Akan tetapi, untuk dapat diakui sebagai subjek hukum, dia harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana disebutkan dalam undang-undang.

Dari uraian di atas maka jelaslah apa yang dimaksudkan oleh Pasal 25 Undang-undang Penyiaran, dimana dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa lembaga penyiaran berlangganan adalah sebuah badan hukum yang tunduk kepada ketentuan hukum Indonesia khususnya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Selanjutnya Pasal 26 Undang-undang Penyiaran menjelaskan:

a. Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit. b. Lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel dan. c. Lembaga penyiaran berlangganan melalui terestrial.

(2) Dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga penyiaran berlangganan harus.

a. Melakukan sensur internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan.

b. Menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta dan.

c. Menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu kanal saluran siaran produksi dalam negeri.

(3) Pembiayaan lembaga penyiaran berlangganan berasal dari:

24

IG. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Mega Point, Jakarta, 2003, hal. 8.


(46)

a. Iuran berlangganan, dan b. Siaran iklan dan/atau

c. Usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.

Isi Pasal 26 di atas khususnya ayat (1) menjelaskan bahwa lembaga penyiaran berlangganan tersebut dalam melakukan kegiatannya di bidang penyiaran mempergunakan berbagai media sebagai sarana sehingga siarannya dapat terjangkau oleh pelanggan. Sarana tersebut dapat melalui satelit, kabel, atau terestrial. Kesemua media tersebut ditujukan bagi efektivitas dari hasil siaran yang dilakukan memiliki kualitas yang baik yang diterima oleh pemirsanya.

Sedangkan isi Pasal 26 ayat (2) lebih terfokus kepada ketentuan tentang siaran yang layak siar sehingga tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum yang hidup dalam rezim ketimuran. Jadi dengan adanya sensor siaran tersebut menjadi patut dan layak untuk disaksikan oleh pemirsanya.

Sedangkan perihal pemuatan 1 kanal berbanding 10 siaran produksi luar negeri adalah sebagai faktor perimbangan sehingga pemirsa tidak dilarutkan dengan informasi-informasi dari luar negeri melulu tetapi dikondisikan sehingga pemirsa juga mengetahui jenis produksi dalam negeri yang memiliki watak Indonesia.

Perihal pembiayaan lembaga penyiaran berlangganan ditentukan dalam Undang-undang penyiaran adalah sekedar menjelaskan kepada publik tentang asal muasal dari biaya yang diterima televisi penyiaran berlangganan dalam usahanya melakukan penyiaran.

Pasal 27 Undang-undang Penyiaran menyebutkan:

Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia.


(47)

b. Memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia. c. Memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia. d. Menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia, dan e. Menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

Efektivitas keberadaan Pasal 27 di atas pada dasarnya lebih menekankan pada hasil kualitas siaran dari lembaga penyiaran berlangganan yang mempergunakan satelit sebagai media penyampaian siaran kepada pemirsanya. Penggunaan satelit dalam hal ini juga ditujukan bagi efektivitas usaha jasa penyiaran di Indonesia, sehingga usaha jasa penyiaran televisi berlangganan mampu meningkatkan teknologi penggunaan satelit. Pemakaian satelit sebagai media penyiaran juga diperuntukkan bagi penerimaan siaran oleh pelanggan yang tersebar di seluruh Indonesia.


(48)

BAB IV

PERJANJIAN BERLANGGANAN MULTIMEDIA TELEVISI BERBAYAR SATELIT

A. Karakteristik /Ciri Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar Satelit Menurut Hukum Perjanjian

Berbicara tentang karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit berarti berbicara tentang bagaimana hukum perjanjian itu diterapkan di dalam perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit tersebut, atau dengan perkataan lain bagaimana sebenarnya hukum perjanjian tersebut ditemukan dalam pelaksanaan perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit ini.

Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa aspek hukum kesepakatan dalam perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit ini adalah terjadinya perjanjian antara pengelola televisi berbasis satelit dengan pelanggannya.

Perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit sebagai suatu aspek hukum kesepakatan disyahkan dengan bentuk perjanjian tertulis. Pihak perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan menentukan persyaratan yang dituangkan dalam sebuah surat perjanjian, dengan menggunakan formulir-formulir tertentu yang telah disediakan oleh perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan untuk itu, sehingga memudahkan dalam membuat perjanjian


(49)

berlangganan multimedia televisi berbasis satelit.

Bentuk surat perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit telah dibakukan dalam bentuk formulir dan diperbuat sepihak oleh perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan, sedangkan pihak yang satunya lagi yaitu calon pelanggan hanya tinggal mengisi dan menandatanganinya saja.

Pemakaian surat perjanjian yang telah dibakukan dipandang sebagai salah satu bentuk dari efisiensi kerja perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan. Penggunaan surat-surat perjanjian dalam bentuk formulir terjadi secara berulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, dan menimbulkan suatu kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan kemudian dibakukan, seterusnya dicetak dalam bentuk formulir dengan jumlah yang banyak, sehingga memudahkan pemakaian setiap saat bila dibutuhkan. Perjanjian baku ini diperuntukkan bagi setiap debitur yang satu dengan yang lain.

Istilah perjanjian baku diambil dari bahasa Belanda yaitu Standaard contract atau Standaard Voor warden. “perjanjian baku dapat diartikan sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir”.25

Contoh perjanjian baku yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-Untuk keperluan tersebut pihak perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan mempersiapkan isi perjanjian yang dituangkan dalam bentuk formulir, sehingga memudahkan pemakaian jika dibutuhkan.

25


(50)

hari: formulir atau surat tanda terima cuci cetak fhoto, dituliskan bahwa apabila film dicucikan rusak atau hilang, hanya dapat digantia dengan film baru.

Formulir tersebut banyak persyaratan yang dicantumkan dan ini merupakan perjanjian antara pihak yang mencuci film dengan pihak yang filmnya dicucikan.

Keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat akhir-akhir ini dipertanyakan landasan berlakunya. Karena tidak sesuai dengan Pasal 1319 KUH perdata yang berbunyi “semua persetujuan baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tak dikenal suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum”. Pada perjanjian baku ini tidak ada kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya karena ternyata isi perjanjian itu telah dibuat oleh salah satu pihak saja, sedang pihak lainnya hanya tinggal menandatangani perjanjian baku itu bila ia setuju untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut.

Oleh karena itu para ahli hukum mempertanyakan apakah perjanjian baku ini mencerminkan asas konsensualitas yang terkandung di dalam hukum perjanjian (Buku III KUH Perdata).

Untuk menjawab masalah ini Mariam Darus Badrulzaman memberikan pandangannya bahwa “meninjau masalah yang ada pada perjanjian baku, maka secara teoritis juridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang


(51)

dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) KUH Perdata”.26

Walaupun secara teoritis juridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan hukum perjanjian dan oleh beberapa ahli hukum menolak keberadaannya, seperti Sluiter, ia berkata bahwa “ perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wegever)”.

Melihat kepada posisi para pihak yang berbeda ketika membuat perjanjian, pihak debitur yang menandatangani perjanjian baku tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian yang ditanda tanganinya sehingga tidak terlihat adanya real bargaining (permintaan atau permohonan yang nyata) antara debitur dengan pihak pengusaha (kreditur), keinginan dan kepentingan debitur kurang diperhatikan.

Dengan tidak adanya kebebasan debitur untuk menentukan isi perjanjian baku ini, hal itu jelas tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit yang dibuat dengan perjanjian baku itu tidak sah, sehingga tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Untuk ini kita harus mencari jawaban konkrit.

27

Namun melihat kenyataan akan kebutuhan masyarakat pada perjanjian

26


(52)

baku ini, kelihatan berlawanan dengan arah yang diinginkan hukum, disini lahir lagi pertanyaan apakah kebutuhan masyarakat harus menghindarkan diri terhadap hukum atau sebaliknya.

Hukum pada dasarnya bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat, dan bukan untuk mengekang masyarakat, maka keberadaan perjanjian baku dapat diterima, dan ia memiliki daya mengikat bagi yang menandatangani. Dan kenyataan bahwa masyarakat telah banyak menggunakan perjanjian baku ini dan telah menjadi kebutuhannya.

Di negara Eropah dapat dipersaksikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perjanjian baku ini didukung oleh jurisprudensi. Kemudian diterimanya keberadaan dan keabsahan perjanjian baku ini, dilatar belakangi prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi yang ditandatanganinya, jika seorang menandatangani sebuah perjanjian baku, maka ia dianggap telah mengetahui dan menghendaki isi perjanjian itu.

Perjanjian baku lahir karena perkembangan dan tuntutan zaman, dimana dalam melaksanakan hubungan perjanjian antara satu pihak dengan pihak yang lainnya dibutuhkan efisiensi serta tindakan yang cepat dalam merealisasikan perjanjian tersebut. Dalam hal ini dapat dimisalkan perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan dalam hal pelaksanaan perjanjian multimedia televisi berbasis satelit memakai perjanjian baku. Adapun maksud pihak perusahaan

27


(53)

jasa penyiaran televisi berlangganan memberlakukan perjanjian baku dalam perjanjian multimedia televisi berbasis satelit ini adalah agar terciptanya efisiensi pelaksanaan administrasi pelayanan perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan kepada nasabahnya terutama kepada pihak pelanggan dapat terselenggara secara cepat dan efisien.

Kita dapat membayangkan bagaimana lambannya pelaksanaan suatu perjanjian apabila tidak dibuat secara baku. Apabila seorang calon pelanggan datang kepada pihak perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan, kemudian pihak perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati baru membuat perjanjian secara tertulis yang berbeda antara satu calon pelanggan dengan calon pelanggan lainnya, hal ini tentunya akan memperlambat pelaksanaan pelayanan perperusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan.

Apabila kita hubungkan perkembangan perjanjian baku di atas dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata terutama di dalam buku III KUH Perdata maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya apabila perjanjian baku yang disepakati tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan maka perjanjian baku tersebut dapat diterapkan dan tidak bertentangan dengan undang-undang.

Tetapi apabila kita hubungkan keberadaan perjanjian baku dengan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata maka perjanjian baku tersebut bertentangan dengan azas konsensuil karena pada dasarnya di dalam hal ini pihak pengusaha atau perusahaan jasa penyiaran televisi berlangganan yang menentukan isi


(1)

Melalui ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu :

1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau.

2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan di dalam pengadilan (peradilan umum) maupun di luar pengadilan. Gugatan dapat dilakukan oleh seorang konsumen yang dirugikan atau gugatan kelompok yang dilakukan oleh:

a. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, b. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Dalam Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan : Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Selanjutnya diterangkan dalam penjelasannya bahwa bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen.

C. Berakhirnya Perjanjian Berlangganan Multimedia Televisi Berbayar satelit

Sebagaimana layaknya suatu perjanjian, maka perjanjian berlangganan multimedia televisi berbayar satelit juga tunduk pada ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata yang menerangkan ada 10 (sepuluh) hal untuk berakhirnya suatu perjanjian yaitu :


(2)

b. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

c. Karena pembaharuan hutang

d. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi. e. Karena percampuran hutang

f. Karena pembebasan hutang.

g. Karena musnahnya barang yang terutang h. Karena kebatalan atau pembatalan.

i. Karena berlakunya suatu syarat-syarat batal yang diatur dalam bab kesatu buku ini.

j. Karena lewatnya waktu.

Bab III Bab IV KUH Perdata mengatur berbagai cara tentang hapusnya suatu perikatan, baik perikatan itu bersumber dari perjanjian maupun dari undang-undang. Pada Pasal 1381 KUH Perdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatan-perikatan dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.

Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUH Perdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak.

Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal 1381 KUH perdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara keenam yaitu pembebasan hutang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada empat cara yang terakhir dari Pasal 1381 KUH Perdata maka kreditur tidak menerima prestasi karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan terhadap judul yang diajukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Pengaturan multimedia televisi berbasis satelit dalam hukum komunikasi di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Lembaga Penyiaran dari mulai Pasal 25 sampai dengan Pasal 29. Ketentuan pengaturan tersebut menjelaskan kedudukan lembaga jasa penyiaran televisi berbasis dalam sistem hukum Indonesia, sistem penyiaran yang dilakukan, pembiayaan, serta media penyiaran yang dipakai, baik itu satelit, kabel ataupun terestrial.

2. Karakteristik/ciri perjanjian berlangganan multimedia televisi berbasis satelit menurut hukum perjanjian dapat digolongkan sebagai perjanjian obligatoir karena merupakan perjanjian bertimbal balik, yang memuat jelas hak dan kewajiban pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ini juga dibuat dalam bentuk baku dan hal tersebut dapat dibenarkan oleh hukum perjanjian selama tidak adanya ketentuan atau klausula yang menjelaskan kedudukan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya.


(4)

B. Saran

Ada beberapa permasalahan yang perlu dipecahkan dari hasil penelitian ini yang diberikan dalam bentuk saran. Adapun saran tersebut adalah :

1. Kepada instansi berwenang yang mengawasi penyiaran yaitu Komisi Penyiaran Indonesia hendaknya dapat melakukan pengawasan secara ketat lembaga penyiaran multimedia televisi berlangganan ini sehingga hal-hal buruk yang diakibatkan dari dunia penyiaran dapat diantisipasi. 2. Jalan penyelesaian secara musyawarah sudah sangat tepat dilakukan,

sehingga disarankan hendaknya pemilihan media penyelesaian perselisihan tersebut sudah tepat dan perlu dipertahankan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Muis, Hukum Persekutuan dan Perseroan, Fak. Hukum USU, Medan, 1995.

____________, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, Fak. Hukum USU, Medan, 1991.

Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Prenada, Jakarta, 2004.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2000. Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2000.

Darwanto, Televisi Sebagai Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007. Hermin Indah Wahyuni, Televisi dan Intervensi Negara, Media Pressindo,

Yoyakarta, 2000.

Hoeta Soehoet, Media Komunikasi, Yayasan Kampus IISIP, Jakarta, 2003.

IG. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Mega Point, Jakarta, 2003.

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001.

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2004. ______________, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1993.

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Ruedi Hofmann, Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi, Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta, 1999.


(6)

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1991.

Undang-Undang :

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 Tentang

Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.