Hak danKewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Berlangganan Air Bersih Antara PDAM Tirtabina Labuhan Batu Rantau Perapat dengan Konsumen

(1)

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTABINA

LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG UNDANG NO. 8 TAHUN 1999

SKIRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh : NIM : 080200164 ROCKY ARDIANSYAH. S

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan segenap pihak terkait atas terselesaikannya penulisan hukum skripsi ini yang berjudul ”HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999”. Salah satu tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Perdata Universitas sumatera Utara..

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapakan terima kasih dengan segala kerendahan hati kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini, terutama kepada:

1.Bapak Prof .Dr Runtung Sitepu ,SH,M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara yang telah mengorbankan segenap tenaga dan pikiran demi kemajuan Fakultas Hukum USU .

2. Bapak Dr. H. Hasyim Purba SH, M.Hum Selaku Ketua Departemen Hukukum Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara.

3 Ibu Rabiatul Syahriah SH,M.Hum selaku pembimbing skripsi I yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmu, dan arahan serta selalu memotivasi penulis di kala penulis mengalami kebingungan.


(5)

4 Bapak Azwar Mahyuzar SH selaku pembimbing skripsi II yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmu, dan arahan serta selalu memotivasi penulis di kala penulis mengalami kebingungan.

5. Bapak Amin Prasetya,MM selaku Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuhan Batu Rantauperapat, dan segenap karyawan yang telah memberikan informasi, memberikan ijin kepada penulis untuk mengambil data dan membantu penulis dalam penelitian ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar di Fakultas Hukum USU serta seluruh pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara, atas pendidikan, pengajaran, dan ilmu yang diberikan untuk penulis.

7. Bapak Drs, H. Iriyanto Siregar M.Pd ayahanda tercinta yang telah mendidik, mencurahkan kasih sayang, tiada henti dari lahir hingga saat ini dan seterusnya.

8. Ibu Dra Hj Rosdani nasution ibunda tersayang, motivator terhebat, yang selalu mengajarkan hidup dan menjalani kehidupan dengan cara yang luar biasa dengan

9. Seluruh Keluarga besarku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu semoga ukhuwah dan tali silaturahim ini membawa kita dalam kesuksesan dunia akhirat.

10. Semua pihak yang telah banyak membantu sampai penulisan skripsi ini terselesaikan dengan baik. Semoga menjadi amal kita semua, Amin. Penulisan skripsi ini masih belum sempurna, namun demikian mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, 15 Mei 2013 Penulis


(6)

ABSTRAK Rocky Ardiansyah, 2013.

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999.

Fakultas Hukum USU. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara PDAM Tirta Bina Labuhan Batu Rantauperapat dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data deduktif. Dari hasil penelitian bahwa : (1) PDAM Tirta Bina Labuhanbatu sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pendistribusian air bersih kepada masyarakat atau konsumen, maka sebagai pelaku usaha telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik sesuai dengan standar yang ditetapkan dan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Bentuk atau tindakan PDAM Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat dalam memenuhi kewajibannya selaku pelaku usaha telah dilakukan. Dilihat dari sisi kualitas air minum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat telah memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 907 tahun 2002 tentang Kualitas Air Minum dan lulus ujicoba laboraturiom klinis terkait serta selalu melakukan pengawasan kualitas air minum dengan melakukan pemeriksaaan laboratorium terhadap contoh-contoh air secara berkala. Pada aspek yuridis, tindakan yang dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat telah sesuai berdasarkan apa yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kemudian Peraturan Daerah mengenai kebijakan dan wewenang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat, perjanjian yang dilakukan dengan pelanggan air minum, serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. (2) Jika konsumen melakukan pelanggaran yang membawa kerugian bagi pihak PDAM Tirta Bina Labuhanbatu, maka pihak PDAM Tirta Bina Labuhanbatu berhak menuntut ganti rugi kepada konsumen tersebut yang diatur secara umum di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebaliknya sebagai konsekuensi dari pelanggan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap pelanggaran yang diajukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen. Dengan demikian jelaslah bahwa baik konsumen maupun pelaku usaha wajib untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Undang-Undang, sehingga baik konsumen maupun pelaku usaha mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI ……… v

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang ... . 1

B. Permasalahan ... . 5

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... . 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II. GAMBARAN UMUM TENTANGPERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA……….... 16

A. Pengertian Perjanjian ... … 16

B. Pengertian Hak dan Kewajiban ... . 20

C. Asas Umum dalam Perjanjian ... . 22

D. Syarat Sahnya Perjanjian………. 25

E. Wanprestasi………. 28

F. Berakhirnya Perjanjian……… 31

BAB III. GAMBARAN UMUM TENTANG KONSUMEN……… 39

A. Pengertian Konsumen ... .. 39

B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen ... .. 41

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... .. 43

D. Hak dan Kewajiban Konsumen ... .. 46


(8)

BAB IV. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN

MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999 ... 50

A. Profil PDAM Tirta Bina Labuhan Batu Rantauperapat………... 50

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Menurut UU No. 08 Tahun 1999………….. 51

C. Akibat Hukum Jika Terjadi Wanprestasi………. 65

D. Penyelesaian Sengketa antara PDAM dengan Konsumen………... 78

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 82

A. Kesimpulan………... 82

B. Saran………... 83


(9)

ABSTRAK Rocky Ardiansyah, 2013.

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999.

Fakultas Hukum USU. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara PDAM Tirta Bina Labuhan Batu Rantauperapat dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data deduktif. Dari hasil penelitian bahwa : (1) PDAM Tirta Bina Labuhanbatu sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pendistribusian air bersih kepada masyarakat atau konsumen, maka sebagai pelaku usaha telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik sesuai dengan standar yang ditetapkan dan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Bentuk atau tindakan PDAM Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat dalam memenuhi kewajibannya selaku pelaku usaha telah dilakukan. Dilihat dari sisi kualitas air minum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat telah memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 907 tahun 2002 tentang Kualitas Air Minum dan lulus ujicoba laboraturiom klinis terkait serta selalu melakukan pengawasan kualitas air minum dengan melakukan pemeriksaaan laboratorium terhadap contoh-contoh air secara berkala. Pada aspek yuridis, tindakan yang dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat telah sesuai berdasarkan apa yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kemudian Peraturan Daerah mengenai kebijakan dan wewenang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bina Labuahan Batu Rantauperapat, perjanjian yang dilakukan dengan pelanggan air minum, serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. (2) Jika konsumen melakukan pelanggaran yang membawa kerugian bagi pihak PDAM Tirta Bina Labuhanbatu, maka pihak PDAM Tirta Bina Labuhanbatu berhak menuntut ganti rugi kepada konsumen tersebut yang diatur secara umum di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebaliknya sebagai konsekuensi dari pelanggan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap pelanggaran yang diajukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen. Dengan demikian jelaslah bahwa baik konsumen maupun pelaku usaha wajib untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Undang-Undang, sehingga baik konsumen maupun pelaku usaha mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Air merupakan sarana yang sangat vital bagi kelangsungan hidup, baik itu manusia, binatang maupun tumbuhan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan Kabupaten Labuhan Batu baik di sektor pembangunan maupun industri yang terus meningkat mengakibatkan kebutuhan akan air bersih terus bertambah. Air yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang mengandung suatu nilai universal, dimana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi, dielemindir sebagian dan atau seluruhnya, kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, yang bisa diartikan bahwa keberadaan air bagi rakyat banyak tidak bisa lagi dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku di sebuah negara, misalkan dibatasi dengan keberadaan oleh adanya Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDa)1

1

Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDa).

.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diselengggarakan oleh Negara, karena salah satu sektor yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah air. Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap makhluk hidup, dan tanpa air orang tidak dapat hidup. Karena sifatnya yang penting dan merupakan kebutuhan hajat hidup orang banyak, maka Negaralah yang menguasainya.


(11)

Hal ini diperkuat dengan dasar hukum yang telah ditetapkan, dapat kita lihat dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara2

Hal ini diperkuat oleh Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 29 ayat 1

”.

Tujuan untuk dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak oleh Negara adalah antara lain bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Dikhawatirkan apabila tidak dikuasai oleh negara akan terjadi penindasan terhadap masyarakat, terutama masyarakat golongan rendah.

Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Dalam hal ini masyarakat disebut sebagai pemakai (konsumen), sebagaimana konsumen memiliki hak dan kewajiban untuk pelayanan dan perlindungan.

3

2

Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara

3

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 29 ayat 1 tentang perlindungan konsumen

mengatakan : “ Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan komsumen yang


(12)

menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.

Pembangunan di bidang ekonomi yang berorientasi pertumbuhan ekonami yang tinggi tersebut telah menghasilkan konglomerasi di bidang usaha. Namun ironisnya pada saat yang sama ada kepentingan yang terasa belum secara utuh menjadi bagian dari kegiatan bidang ekonomi, yaitu aspek-aspek perlidungan konsumen.

Demikian halnya dalam bidang pelayanan berlangganan jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hak konsumen yaitu masyarakat pengguna jasa Perusahaan Daerah Air Minum yang dalam kegiatan sehari-harinya selalu mengguanakan air minum untuk kelangsungan hidupnya, maka pihak Perusahaan Daerah Air Minum dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi.

Dengan demikian dalam hal ini Perusahaan Air Minum sangat diharapkan dapat memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya pada pengguna air Perusahaan Daerah Air Minum tersebut yaitu para konsumen yang harus diperhatikan haknya sebagai pengguna air Perusahaan air minum tersebut.

Konsumen kerap kali menjadi korban sepihak. Pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab meraup keuntungan besar tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang dialami konsumennya akibat mengkonsumsi air yang dijual. Misalnya tentang mutu kualitas dan layanan jasa, para pihak perusahaan yang tidak bertanggung jawab menempatkannya pada posisi prioritas kedua setelah keuntungan usaha. Telah banyak bukti yang terjadi di masyarakat selama bertahun-tahun tentang hal ini, sehingga menimbulkan ketimpangan baik sosiologis maupun hukum.


(13)

Berdasarkan kenyataan yang ada, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan baik Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Bina Labuhan Batu maupun pihak konsumen, terutama dalam hal memberikan pelayanan kepada konsumen yang kurang baik misalnya masyarakat banyak mengeluh pelayanan yang diberikan oleh pihak Perusahaan Daerah Air Minum sering terjadi keluhan terhadap kelancaran air yang kurang baik terutama pada siang hari disaat masyarakat membutuhkannya, dan air yang keluar tersebut tidak jernih seperti halnya air bersih.

Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen adalah pada dasarnya penegasan dari hak masyarakat yang dilayani itu, untuk mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Para pengelola penyedia air minum mencermati dengan baik hal itu dan mempersiapkan diri tentang datangnya tutntutan nyata tentang kualitas pelayanan yang harus diterima masyarakat.

Bagaimana pun pada kenyataannya harus diakui pelayanan seperti yang dimaksud belum dapat dilakukan oleh semua Perusahaan Daerah Air Minum. Dapat dikatakan sebagian kecil Perusahaan Daerah Air Minum saja yang sudah mencapai tingkat pelayanan seperti yang diharapkan masyarakat dan pelanggan.

Undang-undang ini diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat produsen dan konsumen menjadi mandiri, dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing yang pada gilirannya akan mendorong iklim usaha yang sehat, kondusif, dan bertanggung jawab.

Upaya ini merupakan sesuatu hal yang penting untuk mendidik produsen agar mereka mengerti harus memberi apa atas imbalan yang mereka terima sekaligus


(14)

mendidik konsumen untuk mengetahui mereka mendapatkan apa atas sejumlah harga yang bibayarkan. Bila posisi ini dipahami dan dilaksanakan masing-masing pihak maka sinergi produsen-produsen dalam memberi peluang yang sehat akan terbuka luas.

Dengan demikian dalam perjanjian berlangganan air bersih antara pelanggan dengan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Bina Labuhanbatu jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut gati rugi pada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Air Bersih antara PDAM Tirta Bina Labuhanbatu dengan Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999”.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang terjadi adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara Konsumen dengan Perusahaan Daerah Air Minum berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?


(15)

2. Kendala apa yang dihadapi konsumen dan PDAM Tirta Bina labuhanbatu dalam melaksanakan hak dan kewajiban berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?

C. TUJUAN PENULISAN DAN MANFAAT PENULISAN

Adapun maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan-bahan dan data-data yang diperlukan dalam rangka penulisan skripsi untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara

1. Tujauan Penulisan.

Tujuan dari penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara Konsumen dengan Perusahaan Daerah Air Minum berkaitan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi konsumen dan PDAM Tirta Bina Labuhanbatu dalam melaksanakan hak dan kewajiban pelaku usaha berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

c. Untuk mengetahui bagimana tanggapan konsumen tentang pelaksanaan kewajiban pelaku usaha sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(16)

Manfaat dari penulisan ini adalah:

a. Bagi perusahaan, penulis berharap hasil penelitian dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi perusahaan dalam melaksnakan kewajiban pelaku usaha berkaitan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Bagi pihak lain diharapkan dapat menjadi bahan sumbangan pemikiran yang dapat membantu apabila ingin melaksanakan penelitian lebih lanjut dan menambah wawasan bagi rekan-rekan mahasiswa lain dalam hal perjanjian berlangganan air terutama di Perusahaan Daerah Air Minum, khususnya kewajiaban pelaku usaha berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.

D. KEASLIAN PENULISAN

Andry fahrizal (2001) telah melakukan penelitian mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pengguna jasa air minum ditinjau dari undang undang no 8 tahun 1999 4

Susanti Idris (1993) telah melakukan penelitian mengenai tinjauan hukum tentang pelaksanaan perjanjian asuransi kesehatan (askes) dan dana pension karyawan di PDAM Tirtanadi Medan

(studi kasus di PDAM Tirtanadi cabang Diski).

5

4

Andry fahrizal. 2001. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pengguna jasa air minum ditinjau dari undang undang no 8 tahun 1999. Medan : USU

5

Susanti Idris. 1993. Tinjauan hukum tentang pelaksanaan perjanjian asuransi kesehatan (askes) dan dana pension karyawan di PDAM Tirtanadi Medan. Medan : USU


(17)

Engko (2008) telah melakukan penelitian mengenai kinerja finansial Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Asahan periode tahun 2004-20086

Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti maka penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto (2006) bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum normatif , dengan menganalisis pengelolaannya, kemungkinan pengembangan dan menghitung common

size, indeks,efektivitas, rentabilitas, likuiditas dansolvabilitas. Kesimpulan yang

diperoleh adalah common size dan neraca indeks menunjukkan jumlah aktiva pada tahun 2004-2008 cukup baik, kinerja keuangan pada tahun 2004-2008 kurang sehat, dan secara operasional belum berhasil.

Sedangkan pada penelitian ini penulis membahas mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara PDAM Tirta Bina Labuhanbatu dengan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999.

E. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

6

Engko. 2008. Kinerja finansial Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Asahan periode tahun 2004-2008. Medan : USU.


(18)

atau penelitian hukum kepustakaan7

a. Penelitian terhadap asas- asas hukum

. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:

b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Penelitian terhadap perbandingan hukum

e. Penelitian terhadap sejarah hukum (Soerjono Soekanto 2006)

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang mendasari dalam tulisan ini, menurut penulis termasuk dalam penelitian Preskriptif atau terapan. Hal tersebut merujuk pada teori Peter Mahmud Marzuki, yakni ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai- nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum8

3. Pendekatan Penelitian

. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum. Dalam penelitian ini akan mengulas lebih jauh mengenai sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan oleh PDAM atas hak-hak konsumen, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan Perundang-undangan. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum

7

Soerjono, Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

8


(19)

yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Jhonny Ibrahim, 2008) Untuk itu menurut Haryono sebagaimana dikutip oleh Jhonny Ibrahim, penelitian harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut9

a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lain secara logis.

:

b. All-inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum.

c. Systematic, bahwa disamping bertautan satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi penelitian

Sebelum melakukan penelitian perlu di tetapkan lokasi penelitian. Adapun tempat penelitian ini adalah di PDAM Tirta Bina Rantauprapat. Adapun alasan peneliti memilih melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara Konsumen dengan Perusahaan Daerah Air Minum berkaitan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Waktu penelitian

9


(20)

Waktu penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2013 sampai dengan bulan April 2013.

Penelitian direncanakan selama sekitar 4 bulan dengan perincian :

No Kegiatan Bulan

Februari Maret April Mei

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Persiapan

penelitian/proposal

2 Pengumpulan data

melalui studi

kepustakaan


(21)

yang diperoleh

disusun sesuai

penelitian

4 Penyusunan laporan

penelitian skripsi

5. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data

a. Jenis dan sumber data

1. Jenis data.

Jenis data penelitian ini data sekunder, dimana data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan primer, yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan khusus perjanjian berlangganan air bersih antara PDAM Tirta Bina Rantauprapat dengan pelanggan. Sedangkan data primer penelitian ini antara lain berupa wawancara dengan pimpinan PDAM Tirta Bina Rantauprapat.

2. Sumber data

Sumber data merupakan tempat dimana, dapat ditemukannya data-data untuk menjawab dari obyek penelitian. Sumber data-data dari penelitian ini


(22)

adalah: Sumber Data Sekunder. Dalam penelitian ini, sumber data sekunder adalah sejumlah data-data keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung melalui studi pustaka yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sedangkan data primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli atau pertama dan bukan berasal dari pengumpulan data yang pernah dilakukan sebelumnya. Sumber data sekunder dibidang hukum dapat diperoleh dari bahan-bahan hukum yang dibedakan menjadi:

a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang utama dalam penelitian ini meliputi: 1. Peraturan dasar UUD 1945

2. Undang-undang Nomor Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

b. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu memahami dan menganalisa bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder meliputi: 1. Buku-buku ilmiah di bidang hukum

2. Makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana c. Bahan Hukum Tersier


(23)

Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini meliputi:

1. Surat Kabar 2. Internet

b. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian data ini, digunakan teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan atau dokumentasi. Studi dokumentasi ini sebagai metode pengumpulan data yang utama dan dokumen-dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi nara sumber yang dapat memecahkan permasalahan penelitian. Di dalam melakukan metode dokumentasi, penulis menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih luas, dokumen bukan hanya yang berwujud tulisan saja tetapi dapat berupa benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol.

c. Teknik analisis data

Dalam penelitian ini, akan dianalisis dengan logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat


(24)

khusus), dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan atau conclusion10(Peter Mahmud Marzuki, 2008). Pada logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangakan menurut Jhonny Ibrahim, yang mengutip pendapat Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual11

10

Peter, M. Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

11

Jhonny, Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia

(Jhonny Ibrahim, 2008). Dalam hal ini, data yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui sebarapa jauh PDAM menerapkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dalam usahanya memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen PDAM.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu sebagai berikut :


(25)

Bab I Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu : Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan dan manfaat penulisan, Keaslian penulisan, Metode Penelitian, Sistematika penulisan.

Bab II Gambaran umum tentang perjanjian menurut kitab undang undang hokum perdata yang terdiri dari sub bab, yaitu : Pengertia perjanjian, Pengertian hak dan kewajiban, Asas umum dalam perjanjian, Syarat sahnya perjanjian, Wanprestasi, Berakhirnya perjanjian.

Bab III Gambaran umum tentang Konsumen meliputi : Pengertian konsumen, Dasar hukum perlindungan konsumen, Asas dan tujuan perlindungan konsumen, Hak dan kewajiban konsumen, Prinsip-prinsip perlindungan konsumen.

Bab IV Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara PDAM tirta bina Labuhan Batu Rantauperapat dengan konsumen menurut undang undang no. 08 tahun 1999 yang meliputi : Profil PDAM tirta bina Labuhan Batu Rantauperapat, Hak dan kewajiban para pihak menurut undang undang no. 08 tahun 1999, Akibat hukum jika terjadi wanprestasi, Penyelesaian sengketa antara PDAM tirta bina Labuhan Batu Rantauperapat dengan konsumen.

Bab V Penutup sebagai layaknya dalam penulisan skripsi, maka dalam penulisan ini membuat suatu kesimpulan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.


(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

A. PENGERTIAN PERJANJIAN

Pengertian perjanjian terdapat dalam KUH Perdata, terdapat dalam buku III yaitu mengatur tentang perikatan (Verbintenis), dimana setiap perikatan-perikatan yang timbul dari suatu perjanjian. Hal itu diatur dalam pasal 1313 s/d 1351. Pada Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan “ suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih12

Perjanjian (sering disebut kontrak dalam pergaulan bisnis sehari-hari) diliputi oleh berbagai istilah yang bagi banyak pihak dapat menimbulkan kebingungan atau malah dianggap sama, pada hal hakekatnya berbeda. Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam kitab undang-undang hukum perdata ( KUH Perdata). Pada dasarnya KUH Perdata tidak secara tegas memberikn defenisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata yang didefenisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hukum perjanjian dalam KUH Perdata menganut asas konsensualisme. Konsensualisme berasal dari akar kata konsensus yang berarti sepakat. Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu. Menurut pendapat R. Subekti

.

12


(27)

(1992) bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13

Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

Perikatan merupakan suatu perjanjian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosdibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah perikatan. Jadi kedua istilah tersebut adalah sama artinya.

Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjian itu atau diantara para pihak yang bersepakat di dalam perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber perikatan lainnya. Perjanjian disebut sebagai persepakatn atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya menyetujui atau menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksankan sesuatu prestasi tententu.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah merupakan hal yang nyata atau suatu peristiwa konkrit. Sebab perikatan tidak dapar terlihat secara nyatamelainkan hanya dapat dibayangkan sedangkan perjanjian pada umumnya terlihat jika itu dalam bentuk tertulis dan jika hanya lisan saja, maka perjanjian dapat didengar isinya atau perkataan-perkataan yang mengandung janji tersebut.

13


(28)

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Secara sepintas, dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual, mengingat terms and cinditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak. Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat-syarat oleh pihak lainnya dapat diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan diri untuk menerima persyaratan-persyaratan dimaksud.

Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa

terms and cindition teresbut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan

dan perlidungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapar berupa tidak adanya alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak adanya waktu yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and cindition atau posiis tawar yang relatif lebih lemah baik karena kedudukan monopolistis atau karena sifat barang dan atau jasa yang menjadi objek perjanjian.

Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan tersebut timbul mengingat sifat-sifat dan transaksi seperti berulang-ulang dan relatif hmogen, berlaku umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan dalam dunia perdagangan. Namun demikian, Undang-Undang membatasi kebebasan dari satu pihak untuk mendiktekan dan sayarat-syaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum pada perikatan. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 dalam konsideransnya


(29)

menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindumgi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.

Selain itu juga dalam pasal 3 dinyatakan bahwa penting untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. Berdasarkan pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku jstru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal itu.

Selengkapnya bunyi pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap konsumen dan atau perjanjian apabila :

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;


(30)

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yamh letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagiamana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini. Sebenarnya pengaturan perundang-undangan perlindungan konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada perikatan dalam KUH Perdata, apada pasal 1493 dan pasal 1494 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 1493 kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh


(31)

Undang-Undang ini bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apa pun.

B. PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN

Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban, ada baiknya kita memahami dulu apa pengertian hak itu. Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindumgi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum. Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri.

Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib. Dalam penelitian ini hak dan kewajiban ditujukan kepada konsumen dan pelaku usaha sebagai pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih.

Janus Sidabalok (2006) dalam bukunya Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia menyebutkan bahwa ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya14

1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kita lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas.

, yakni :

14

Janus, Sidabalok. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.


(32)

2. Hak yang lahir dari hukum, yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya hak untuk memberi suara dalam Pemilu.

3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual, yaitu hak ini didasarkan pada perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya pada peristiwa jual beli, Hak pembeli adalah menerima barang sedangkan hak penjual adalah menerima uang.

C. ASAS UMUM DALAM PERJANJIAN 1. Asas-asas umum perikatan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perikatan dapat timbul dari dua hal yaitu karena perjanjian dan atau karena undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian adalah perikatan yang timbul aras dasar sepakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak antara para pihak. Kesepakatan tersebut berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dengan kesepakatan tersebut (pasal 1338 KUH Perdata).

Terlepas dari sumber timbulnya perikatan, setiap perikatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut 15

15

R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa.


(33)

a. Hubungan hukum. hubungan hukum tersebut melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. Pelanggaran oleh satu pihak atas hubungan tersebut, menempatkan hukum untuk berperan dalam pemenuhan atau pemulihannya.

b. Kekayaan dan immaterialitas. Hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang merupakan suatu perikatan. Namun, sekalipun hubungan hukum tidak dapat dinilai dengan uang, apabila rasa keadilan masyarakat menghendaki agar suatu hubungan diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.

c. Pihak-pihak pada setiap perikatan setidak-tidaknya harus ada satu pihak yang bertindak sebagai kreditur dan satu pihak sebagai debitur. Kreditur dan debitur dalam hal ini adalah pengertian yang luas menyangkut kepada prestasi yang dituntut dan kontraprestasi yang diharapkan. Satu kreditur dapat menjadi debitur pada saat yang sama, namun dengan prestasi dan kontraprestasi yang resiprokal. Misalnya seorang penjual adalah kreditur terhadap harga penjualannya namun adalah merupakan debitur yang mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang dan jasa yang diperjanjikan. Hal yang sebaliknya berlaku bagi pembeli.

d. Prsetasi (objek hukum) Pasal 1234 KUHPerdata membedakan prestasi dalam bentuk :

1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu


(34)

3. Tidak berbuat sesuatu16

(R. Subekti. 1992)

2. Asas-asas umum perjanjian

Asas-asas umum perjanjian ini pada umumnya berlaku secara universal baik dalam sistem hukum anglo saxon. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisist maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III KUHPerrdata tentang perikatan asas-asas hukum perjanjian adalah :

a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi) para pihak bebas menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun perudang-undangan.

b. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak) timbulnya berdasarkan perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas tertentu.

c. Asas kepercayaan.

d. Asas kekuatan mengikat, mengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan daharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.

e. Asas persamaan hukum. 16


(35)

f. Asas keseimbangan, adalah asas yang menghendaki kedi\ua belah pihak memenuhi dan melakasanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui kekayaan debitur. Debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

g. Asas kepastian hukum. h. Asas morali.

i. Asas kepatutan. j. Asas kebiasaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa klausula Baku adalah setiap aturan atua ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Mengingat kedudukan para pihak dalam penentuan terms and

conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen)

berada pada posisi take it or leave it, maka perjanjian baku diharapkan tetap memenuhi asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad baik dan tidak ada cacat tersembunyi serta memanuhi rasa keadilan hukum bagi konsumen 17

Ketentuan yang mengatur hak-ha dan kewajiaban antara konsumen (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan ait minum),

(R.Subekti. 1992).

17


(36)

merupakan perjanjian baku, yaitu perjanjian yang telah diberlakukan sepihak dan dianggap diterima oleh pihak lain seketika pihak lain tersebut menerima penawaran jasa dimaksud. Prosedur baku dalam pelayanan PDAM adalah PDAM dengan konsumen (pelanggan) ini tergolong perjanjian baku (standard contract).

Kalusula perjanjian dituangkan dalan bentuk formulir, yang berlaku secara masal untuk semua orang yang mengikatkan diri. Mengingat kedudukan para pihak dalam penentuan terms and conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen) berada pada posisi take it or leavi it, maka perjanjian baku diharapkan tetap memenuhi asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad baik dan tidak ada cacat.

D. SYARAT SAHNYA DALAM PERJANJIAN

KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah. Adapun empat syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.


(37)

Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau setia sekata mereka mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, misalnya seorang penjual suatu benda untuk mendapatkan uang sedang si pembeli menginginkan benda itu dari yang menjualnya. Dalam hal ini kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.

ad. 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian

Kecakapan disini orang yang cakap yang dimaksud adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami. Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami setelah dikeluarkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor. 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap dimuka pengadilan tanpa seizin suami.


(38)

ad. 3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya adalah sekurang-kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sedah ditentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kg adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya, sedangkan jual beli beras 100 kg tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan.

ad. 4. Suatu sebab yang halal

Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tdak halal adalah berlawanan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.

“Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian”.

Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang yang halal jika dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.


(39)

Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan :

1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Dengan demikian, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus menaati isi perjanjian itu seperti mereka menaati undang-undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar undang-undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya18

Menurut pendapat M.Yahya Harahap (1992) dalam bukunya Segi-Segi Hukum Perjanjian, yang dimaksud dengan wanprsetasi adalah : Pelaksanaan kewajiaban yang

(R. Subekti. 1992).

E. WANPRESTASI

18


(40)

tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kata tidak tepat waktunya dan kata tidak layak apabila dihubungkan dengan kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak menempati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama19

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. .

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam kategori yaitu sebagai berikut:

2. Melakukan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.

Debitur yang oleh pihak kreditur dituduh lalai, dapat menajukan pembelaan diri atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan yaitu :

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa. 2. Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi.

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Yang dimaksud pihak kreditur melepaskan haknya atas tuntutannya kepada pihak debitur adalah bahwa pihak kreditur telah mengetahui bahwa ketika pihak debitur

19


(41)

mengembalikan barang yang diperjanjikan. Pihak kreditur telah mengetahui bahwa waktu pengembalian barang sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas keterlambatan tersebut pihak kreditur tidak mengajukan keberatan ataupun sanksi maka terhadap debitur yang terlambat mengembalikan barang, dapat diartikan bahwa pihak kreditur telah telah melepaskan haknya untuk pihak debitur yang telah nyata wanprestasi.

Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan wanprestasi, dapat digugat didepan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Pokoknya hutang itu harus ditagih dahulu. Baiasanya peringatan (sommatie) itu dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilah, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau cukup dengan surat tercatat, asal saja jangan sampai dengan mudah dipungkiri oleh si berhutang. Menurut Undang-undang memang peringatan tersebut harus tertulis (pasal 1238 : “ si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri. ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus


(42)

dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan ditentukan”), sehingga hakim tidak akan menganggap sah suatu peringatan lisan.

Peringatan tidak perlu, jika si berutang pada suatu ketika sudah dengan sendirinya dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal perjanjian untuk membuat pakaian mempelai, tetapi pada hari perkawinan pakaian itu ternyata belum selesai. Dalam hal ini meskipun prestasi itu dilakukan oleh si berhutang, tetapi karena tidak menurut perjanjian, maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya dapat dianggap suatu kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau dalam hal-hal mana si berhutang dapat dianggap lalai. Disini tidak diperlukan suatu sommatie atau peringatan.

F. BERAKHIRNYA PERJANJIAN

Undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan/perjanjian. Mengenai peraturan tentang berakhirnya perjanjian diatur di dalam Bab XII Buku III KUHPerdata. Peraturan untuk itu adalah perlu bagi kedua belah pihak, baik untuk menentukan sikap selanjutnya maupun untuk memperjelas sampai dimana batas perjanjian tersebut.

Di dalam pasal 1381 KUHPerdata disebutkan sebagai berikut :

1. Karena pembayaran,

2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan penitipan, 3. Karena pembaharuan utang,


(43)

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi, 5. Karena percampuran utang,

6. Karena pembebasan utangnya,

7. Karena musnahnya benda yang terutang, 8. Karena kebatalan/pembatalan,

9. Karena berlakunya syarat batal, 10.Karena kedaluarsa atau lewat waktu.

Yang dimaksud oleh Undang-undang dengan perkataan pembayaran ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak

dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan pembayaran itu oleh undang-undang

tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikannya dikatakan membayar.

Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang bersangkutan saja. Namun pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, tetapi yangpenting adalah hutang itu harus dibayar. Tetapi pasal ini selanjutnya menerangkan, juga seorang pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat membayar secara sah, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama si berhutang, atau bilamana ia bertindak atas namanya sendiri, asal saja ia tidak menggantikan hak-haknya si berpiutang. Jikalau dipikir benar-benar sebetulnya kalimat “asal saja ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”, tidak perlu disebutkan. Sebab


(44)

jika orang yang membayar hutang itu menggantikan hak-hak si berpiutang, tidak dapat dikatakan perikatan hutang-piutang itu sudah dihapuskan, karena ia sebenarnya masih hidup, hanyalah penagihnya saja yang berganti.

Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan, bahwa pasal 1382 itu membolehkan siapa saja membayar dan si berpiutang diharuskan menerimanya, meskipun belum tentu pembayaran itu juga akan membebaskan si berhutang. Hanya untuk perjanjian-perjanjian dimana slah satu pihak diharuskan melakukan sesuatu perbuatan tentu saja asas tersebut itu tidak akan berlaku. Misalnya saja dalam suatu perjanjian bekerja, tidak dapat seorang pekerja dengan begitu saja digantikan oleh temannya yang mungkin tidak sepadan kecakapannya.

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong debitur. Dalam hal ini si kreditur menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditur menolak menerima pembayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi, yakni dengan menitipkan uang atau barang kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur untuk melaksanakan pembayaran. Jika kreditur menolak, maka dipersilahkan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga, maka hal ini dapat dicatat dalam berita acara tersebut, hal ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitut meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitur terbebas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus.


(45)

Pembaharuan hutang (novasi) adalah peristiwa hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengan perjajian lain. Dalam hal para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang batu. Dalam hal ini terjadinya perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditur dan debitur saling mempunyai hutang piutang, maka mereka mengadakan perjumpaan hutang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini terjadi jika antara kedua hutang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika.

Pencampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditur dan debitur pada orang. Dengan bersatunya kedudukan debitur pada satu orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi pencampuran hutang sesuai dengan pasal 1435 KUHPerdata. Pembebasan hutang terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidk menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitur. Jika si debitu menerima pernyataan si kreditur maka berakhirlah perjanjian hutang piutang diantar mereka.

Dengan terjadinya musnah barang-barang yang menjadi hutang debitur, maka perjanjian juga dapat dihapus. Dalam hal demikian debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut adalah diluar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga meskipun ditangan kreditur. jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti semula, hal ini disebut dengan resiko. Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu pembatalan ataupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau batal demi


(46)

hukum. Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu dihapuskan dan para pihak kembali kepada keadaan semula.

Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula yaitu, tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi. Daluarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang20

Pihak PDAM menetapkan secara sepihak termasuk kelompok mana pelanggan tersebut, dan juga menetaplkan secara sepihak kelompok tarif yang harus dibayar nantinya oleh pihak pelanggan. Perjanjian penyambungan dalam bentuk formulir ini

(pasal 1946 KUHPerdata).

Perjanjian baku dam jual beli air minum antara konsumen dengan PDAM Kota Rantauprapat. Perjanjian jual beli air minum terjadi apabila ad permintaan sambungan baru air minum oleh calon pelanggan. Calon pelanggan mengisi formulir yang telah disediakan terlebih dahulu oleh pihak PDAM. Setelah pengisian formulir, dan syarat-syarat administrasi dipenuhi, maka dilakukan peninjauan ke lapangan oleh pihak PDAM, guna menetapkan kedalam golongan mana pelanggan itu dimasukkan.

20


(47)

adalah perjanjian jual beli air minum antara PDAM sebagai penjual (pihak pertama) dan pelanggn sebagai pembeli (pihak kedua).

Para pihak bersepakat untuk mengadakan perjanjian jual beli air minum dengan ketentuan sebagai berikut :

Pertama pihak kedua setuju :

a. Jika kemudian hari timbul sengketa mengenai hak milik perizinan tanah maupun bangunan hinggga mengakibatkan pipa harus dibongkar, maka hal ini di luar tanggungjawab PDAM Kota Rantauprapat dan pemohon tidak menuntut kerugian apapun.

b. Setuju dan tidak akan menggugat jika pipa saluran kota dengan pipa dinas yang dipasang dialamatkan tersebut di atas yang kami biayai, setelah dipasang menjadi hak milik PDAM dan PDAM berhak memperluas maupun menghubungkan pemasangan baru pada saluran air tersebut.

c. Jika kemudian hari terjadi perubahan jaringan pipa dalam persil yang tidak sesuai gambar yang diizinkan maka sambungan pipa dinas dapat dicabut tanpa dapat kami tuntut ganti rugi dalam bentuk apapun.

d. Akan memenuhi semua peraturan yang berlaku sebagai pelanggan PDAM Kota Rantauprapat.

Untuk penyambungan air minum sebagaimana yang dimaksud dalam surat perjanjian, maka pihak kedua wajib membayar biaya penyambungan. Baiaya penyambungan yang telah dibayar pihak kedua kepada pihak pertama selanjutnya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak kedua, meskipun pihak kedua mengakhiri perjanjian


(48)

itu atau perjanjian berakhir dengan sebab apapun. Kedua belah pihak menerima hak dan melakukan kewajiban masing-masing, antara lain :

a. Pihak kedua berkewajiban melaksanakan pembayaran rekening air setiap bulannya dan biaya keterlambatan pembayaran rekening air jika pembayaran rekening air melewati batas waktu pembayaran.

b. Pihak pertama berhak melakukan pemutusan sementara tanpa pemberitahuan lebih dahulu kepada pihak kedua.

c. Pihak pertama berkewajiban melakukan penyambungan kembali setelah pihak kedua melunasi semua tunggakan , denda (biaya keterlambatan) dan biaya-biaya yang ditentukan.

d. Pihak kedua berkewajiban untuk melaporkan kerusakan-kerusakan serta gangguan-gangguan pada pipa dinas, pipa persil, meter air yang berada dalam persilnya. e. Pihak kedua dilarang untuk melakukan penyedotan air dengan pipa hidup langsung

dari pipa air minum, mengambil air minum, mengambil air sebelum meter air atau merusak meter, mengadakan perubahan dan perluasan instalasi yang telah dipasang tanpa izin tertulis dari PDAM Kota Rantauprapat, merusak segel yang sudah dipasang oleh PDAM Kota Rantauprapat.

Apabila terjadi perselisihan pendapat dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Jika penyelesaian perselisihan pendapat dengan cara musyawarah tidak tercapai, kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada pengadilan.


(49)

Sedangkan dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengenai klausul baku untuk tetap tegaknya asas kebebasan berkontrak berbunyi antara lain sebagai berikut : Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 :

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila :

a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha

b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya keguanaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Skripsi ini akan mengkaji dan menguji secara hukum apakah ketentuan yang tercetak pada perjanjian baku tersebut telah memenuhi asas-asas umum hukum perjanjian dan perlindungan bagi konsumen berdasarkan asas-asas yang hidup di masyarakat.


(50)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KONSUMEN

A. PENGERTIAN KONSUMEN

Dalam kamus bahasa, istilah konsumen merupakan alih bahasa dari

consumer (Inggris-Amerika) yang secara harfiah berarti seseorang yang

membeli barang atau menggunakan jasa, atau seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu. Ada pula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen yang berarti setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.

Sekalipun semua orang mengerti bahwa sangat sulit untuk membuat suatu batasan tentang pengertian konsumen tanpa memuat berbagai kekurangan didalamnya. R. Setiawan (1999) mencoba memberikan batasan pengertian konsumen sebagai setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang/jasa untuk suatu kegunaan tertentu21

Dengan demikian yang dimaksud dengan setiap orang dalam batasan diatas adalah orang alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum). Unsur mendapatkan juga digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau jasa oleh konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual beli, sewa menyewa, pinjam-pakai dan sejenisnya), tetapi juga mungkin terjadi karena pemberian sumbangan, hadiah-hadiah atau yang lain, baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersial maupun dalam hubungan lainnya (non-komersial). Mendapatkan secara sah

.

21


(51)

adalah mendapatkan suatu barang atau jasa dengan cara-cara yang tidak bertentangan dan atau /melawan hukum. Selanjutnya unsur kegunaan tertentu memberikan tolok ukur pembeda antara berbagai konsumen yang dikenal (konsumen antara dan konsumen akhir). Tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memproduksi barang atau jasa lain dan atau untuk dijual kembali (tujuan komersial), maka kita akan berhadapan dengan konsumen antara. Apabila kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual kembali (tujuan non-komersial), maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir.

Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada pasal 1 butir 2 menyatkan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Secara umum, konsumen dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

2) Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/ jasa lain untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/ jasa lain untuk diperdagangkan (untuk tujuan komersial);

3) Konsumen-akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang/ jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan


(52)

hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-komersial).

The UN Guidelines for Consumer protection yang diterima dengan suara

bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resololusi PBB No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1995 tentang Perlindungan Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Hal yang diperjuangkan oleh guidelines tersbut adalah struktur kelompok-kelompok konsumen yang independen, dimana dinyatakan dalam paragraf pertama bahwa pemerintah-pemrintah sepakat untuk memfasilitasi/ mendukung perkembangan kelompok-kelompok konsumen22

B. DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

(Yusuf Sofie, 2003).

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang

22

Yusuf, Sofie. 2000. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti


(53)

diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya 23

Di

(Shidarta. 2004).

mengajukan perlindungan adalah:

1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat

(1), Pasal 27 , dan Pasal 33, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821. Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.

3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.

23


(54)

4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa

5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota

7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen24

C. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Asas Perlindungan Konsumen

Wijaya. G (2001) membedakan antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen25

24

. Hukum konsumen adalah asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

25

Gunawan, Wijaya. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama


(55)

yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan masalah penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi dari perlindungan konsumen itu sendiri dapat ditemukan dalam pasal 1 butir 1 UU nomor 8 Tahun 1999 yaitu: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dalam penjelasan psal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni sebagai berikut:

a. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.

c. Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentinagn konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.

d. Asas Keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen


(56)

dalm penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barnag dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas Kepastian Hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Diperlukan suatu perlindungan bagi pelaku usaha maupun konsumen yang mengadakan hubungan hukum untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Perlindungan tersebut tidak hanya diberikan kepada pelaku usaha guna menghindari campur tangan pihak lain dalam hubungan hukum yang terjadi dengan konsumen, tapi juga diberikan kepada konsumen guna melindunginya dari perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha yang dapat merugikan kepentingannya.

Secara umum, perlindungan konsumen yang diatur dalam Pasal 3 Undang-unang Perlindungan Konsumen, yang diberikan kepada konsumen bertujuan untuk:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barand dan/ atau jasa;


(57)

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

D. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

1. Hak Konsumen

Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu apa pengertian hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti, diantaranya: milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam bahasa hukum hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan lainnya.


(58)

Menurut Abdurahman (1991) dikatakan bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum26

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;

. Adapun hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UU PK, yakni:

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

26

Abdurahman. 1991. Ensiklopedoa Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita


(59)

Menurut Ahmadi (2007) hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 196227

1. Hak memperoleh keamanan;

, yaitu terdiri atas:

2. Hak memilih;

3. Hak mendapat informasi; 4. Hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of

Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen

lainnya, yaitu:

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu

27

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.


(60)

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.

2. Kewajiban Konsumen

Sedangkan kewajiban yang diatur dalam pasal 5 UU PK adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan Barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut28

E. PERINSIP-PERINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN

. (Ahmadi Miru dan Sutarman. 2007).

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen yaitu:

28

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.


(61)

1. Let the buyer beware. Prinsip kehati-hatian ada pada konsumen. Hal ini dengan adanya asumsi bahwa kedudukan konsumen dan pelaku usaha adalah seimbang, sehingga konsumen tidak perlu ada proteksi. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai yang selanjutnuya mampu untuk menentukan pilihan terhadap produk konsumen baik barang dan/atau jasa.

2. The due care theory. Prinsip ini menyatkan bahwa pelaku usaha mempunyai

kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk. Selama berhati-hati dengan produknya ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, pasal 1865 KUHPerdata, yang secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunju kepada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

3. The privity of contract. Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai

kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Artinya konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi.29

29


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PROFIL PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT

Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1975 tanggal 25 April 1975, disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Ringkat I Sumatera Utara dengan Surat Keputusan Nomor 554/I/GSU tanggal 10 September 1975 dan diundangkan dalam Lembaran Derah Kabupaten Tingkat II Labuhanbatu Nomor 2 tanggal 22 Desember 1975.

Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat mempunyai kegiatan mengolah dan menyelenggarakan penyediaan air minum guna memenuhi kebutuhan masyarakat di Kabupaten Labuhanbatu. Adapun jumlah pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat saat ini mencapai 8.502 Nomor Pelanggan Aktif (NPA). Untuk melayani pelanggan sejumlah 8.502 nomor pelanggan aktif tersenut Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat mempunyai karyawan sejumlah 88 orang mulai dari level direksi sampai dengan karyawan diunit-unit pelayanan Kecamatan.

Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat mempunyai sruktur Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat yang dikeluarkan oleh Keputusan Direksi Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Rantauprapat Nomor 828/201/PDAM-TB/2002 yang menagacu kepada Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 700 tahun 1997 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum Titra Bina Tingkat II Labuhanbatu. Keputusan


(1)

ADR yang paling umum dilakukan adalah dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, maka dapatlah penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. PDAM Tirta Bina Rantauprapat yang ada di Kab. Labuhan Batu Sumut, yang merupakan Pihak Pelaku Usaha harusnya menyediakan air bersih bagi Masyarakat Konsumennya, karena Masyarakat Konsumen merupakan termasuk “cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak”. PDAM Tirta Bina Rantauprapat mempunyai kewajiban memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada Pelanggan, menyalurkan dan mendistribusikan air bersih kepada Pelanggan. Dengan demikian haruslah diupayakan solusi-solusi penyehatan dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan kinerja PDAM Tirta Bina Rantauprapat. Maka sebagai bagian dari upaya peningkatan efisiensi dan pelayanan PDAM Tirta Bina Rantauprapat, harus juga didisain mekanisme partisipasi Masyarakat dimana Masyarakat atau Pelanggan dapat ikut mengontrol kinerja PDAM Tirta Bina Rantauprapat tersebut.

2. Konsumen/Pelanggan adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang disajikan PDAM Tirta Bina Rantauprapat, hendaknya juga beritikad wajib menjalankan kewajibannya sebagai Pihak Konsumen baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain berupa melaksanakan segala peraturan-peraturan yang telah disepakat baik itu berupa pembayaran


(3)

tagihan secara rutin dan tepat waktu agar pelaksanaan kinerja PDAM Tirta Bina Rantauprapat dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.

3. Apabila Pihak pelanggan/Konsumen melakukan sesuatu hal yang menyebabkan dirinya dalam keadaan wanprestasi, maka dapat dikenakan denda atau tagihan susulan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan olehnya. Sedangkan pihak PDAM Tirta Bina Rantauprapat dapat juga dinyatakan lalai atau wanprestasi apabila ia tidak memenuhi prestasi atau pun kewajibannya yang telah ditetapkan dalam bentuk kontrak pendistribusian air bersih. dan Pihak PDAM Tirta Bina Rantauprapat sendiri dapat terkena sanksi yang dituliskan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen.

B. SARAN

Adapun saran yang diajukan Penulis dari kesimpulan di atas sebagai berikut: 1. Hendaknya Pihak Pelaku Usaha yaitu PDAM Tirta Bina Rantauprapat dapat

mengupayakan solusi-solusi penyehatan dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan kinerja PDAM Tirta Bina Rantauprapat sehingga mutu dan kualitas pelayanan dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. 2. Sejalan dengan pelaksanaan mekanisme pendistribusian PDAM Tirta Bina

Rantauprapat, PDAM Tirta Bina Rantauprapat harus memberantas atau mencegah pencurian air bersih dengan cara meningkatkan pengawasan dan pengontrolan pemakaian instalasi air bersih kepada pelanggan serta meningkatkan staf serta karyawan PDAM Tirta Bina Rantauprapat untuk lebih disiplin dan jujur dalam melaksanakan pengawasan dan pengontrolan.


(4)

3. Diharapkan juga kepada Masyarakat pengguna jasa pelayanan air bersih PDAM Tirta Bina Rantauprapat untuk dapat bekerja sama dan agar tidak segan-segan untuk melapor kepada kepolisian apabila melihat adanya gejala-gejala tidak baik yang dapat menjurus kepada atau ke arah terjadinya kriminalitas seperti pencurian air bersih secara illegal, sehingga secara cepat mencegah terjadinya kejahatan di tengah-tengah masyarakat.

4. Bagi pihak Konsumen dapat melaksanakan segala peraturan-peraturan yang telah disepakati, baik itu berupa pembayaran tagihan secara rutin dan tepat waktu agar pelaksanaan kinerja PDAM Tirta Bina Rantauprapat dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman. 1991. Ensiklopedoa Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Andry fahrizal. 2001. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pengguna jasa air minum ditinjau dari undang undang no 8 tahun 1999. Medan : USU

Engko. 2008. Kinerja finansial Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Asahan

periode tahun 2004-2008. Medan : USU

Gunawan, Wijaya. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Harahap, M. Yahya. 1992. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : Pen Alumni.

2013.

Jhonny, Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia.

Janus, Sidabalok. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Peter, M. Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Shidarta. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. Soerjono, Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

Susanti Idris. 1993. Tinjauan hukum tentang pelaksanaan perjanjian asuransi kesehatan (askes) dan dana pension karyawan di PDAM Tirtanadi Medan. Medan : USU

R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa.

R. Setiawan. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam. Bandung : Putra A Bardin.


(6)

Yusuf, Sofie. 2000. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

__________. 2003. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.