keharumannya dipercaya memungkinkan untuk memancing suatu reaksi emosional tertentu dari konsumen.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa lingkungan dengan aroma tertentu memiliki pengaruh terhadap perilaku dan penilaian
positif dari subjek penelitian, akan tetapi sifat aroma tidak menjadi masalh dalam hal ini. Tetapi pemberian aroma dapat gagal dalam
memberikan pengaruh yang diinginkan jika aroma tersebut tidak sesuai dengan pilihan atau harapan konsumen, sehingga ketika peritel tidak
ingin mengambil resiko maka pemilihan aroma harus melewati pertimbangan yang matang sebelum peritel menerapkannya sebagai
stimulus untuk lingkungan tokonya.
2.1.4. Gaya Hidup
Menurut Sutisna 2002:145: “Gaya hidup secara luas didefinisikan sebagai cara hidup yang
diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka aktivitas, apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya
ketertarikan, dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya pendapat”.
Menurut Philip Kotler Kevin Lane Keller 2006:224: “gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang terungkap pada
aktivitas, minat, dan opininya”. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Gaya hidup lifestyle adalah pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam keadaan psikografisnya. Gaya hidup melibatkan
pengukuran dimensi AIO utama pelanggan-activities kegiatan pekerjaan, hobi, belanja, olahraga, acara social, interest minat makanan, pakaian,
keluarga, rekreasi, dan opinions pendapat tentang diri mereka, masalah sosial, bisnis, produk. Gaya hidup menangkap sesuatu yang lebih dari
sekedar kelas sosial atau kepribadian seseorang. Gaya hidup menampilkan profil seluruh pola tindakan dan interaksi seseorang di dunia. Jika
digunakan dengan cermat, konsep hidup dapat membantu pemasar memahami nilai konsumen yang berubah dan bagaimana gaya hidup
mempengaruhi perilaku pembelian. Bergaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup
setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unik tersendiri. Walaupun demikian, gaya hidup akan sangat relevan dengan usaha-usaha pemasar
untuk menjual produknya. Pertama, kecenderungan yang luas dari gaya hidup seperti perubahan peran pembelian dari pria ke wanita, sehingga
mengubah kebiasaan, selera dan perilaku pembelian. Dengan kata lain, perubahan gaya hidup suatu kelompok akan mempunyai dampak yang luas
pada berbagai aspek konsumen.
Belanja menjadi tolak ukur jati diri hidup manusia sebab terkait dengan banyak aspek. Aspek psikologis, misalnya, di mana belanja ada
hubungan dengan rasa gengsi. Aspek sosial, dengan belanja bisa menunjukkan status orang tertentu. Belum lagi aspek ekonomi, budaya,
politik,dan seterusnya. Singkatnya, melalui belanja, seseorang tidak lagi mementingkan apa yang dapat diperbuat dengan barang tersebut,
melainkan apa yang dikatakanbarang itu perihal dirinya sebagai konsumen. Berbelanja shopping agaknya telah menjadi ciri-ciri manusia
yang hidup di zaman kontemporer dewasa ini. Bila berbelanja semula menjadi “perpanjangan” manusia yang
hendak mengonsumsi sesuatu, pada perkembangan berikutnya, belanja justru menjadi kegiatan mengonsumsi itu sendiri. Belanja berubah menjadi
kebutuhan bagi manusia yang tak cukup diri. Di sinilah letak konsumerisme dalam arti mengubah “konsumsi yang seperlunya” menjadi
“konsumsi yang mengada-ada”. Dalam arti ini, motivasi seseorang untuk berbelanja tidak lagi guna memenuhi kebutuhan dasariah yang ia perlukan
sebagai manusia, melainkan terkait dengan hal lain, yakni identitas. Orang membeli makanan dan minuman bukan lagi semata-mata guna memenuhi
kebutuhan alami, yakni makan-minum. Ini pasti. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah guna sebuah harga diri. Seseorang akan merasa
“lebih baik” bila mampu makan soto ayam di restoran ternama daripada di warteg warung tegal, misalnya. Singkatnya,manusia tidak lagi hanya
membeli barang-barang, melainkan merek ternama yang terkandung di
dalam barang tersebut. Jati diri manusia terukur dari kemampuannya memperoleh sesuatu.
Ketika belanja menjadi berlebihan di situlah orang mulai berkata tentang konsumtif dan ujung-ujungnya konsumeris. Konsumerisme, pada
awalnya adalah consumer-ism, sebuah aliran yang hendak melindungi konsumen dari gempuran barang-barang produksi. Dalam perkembangan
selanjutnya, sebagaimana telah disampaikan dalam paragraph sebelumnya, konsumerisme beralih kepada suatu pola pikir dan tindakan di mana
konsumen yang dilindungi itu membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang tersebut, melainkan karena tindakan membeli itu
sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Dengan kata lain, bisa saja seseorang yang terjangkit konsumerisme selalu merasa bahwa ia belanja
karena ia membutuhkan barang tersebut, meskipun pada momen refleksi berikutnya, ia sadar bahwa ia tak membutuhkan barang tersebut.Inilah
akar konsumerisme, yaitu agar ekonomi bisa terus berjalan dengan baik,anggota masyarakat harus terus membeli. “Membeli”, dalam konteks
ini, merupakan suatu kewajiban dan suatu tindakan individual dan berangkat dari kebutuhan.
2.1.4.1. Sembilan gaya hidup konsumsi
Terdapat sembilan gaya hidup konsumsi menurut John C. Mowen Michael Minor 2002:295 antara lain sebagai berikut:
1. Functionalist. Menghabiskan uang untuk hal-hal yang penting. 2. Nurturers. Muda dan berpendapatan rendah.
3. Aspirers. Berfokus pada menikmati “gaya hidup tinggi” dengan membelanjakan sejumlah uang diatas rata-rata untuk barang-barang
berstatus-khususnya tempat tinggal. 4. Experiential. Membelanjakan jumlah diatas rata-rata terhadap
barang-barang hiburan, hobi, dan kesenangan convenience. 5. Succeeders. Rumah tangga yang mapan. Berusia setengah baya dan
berpendidikan tinggi. Menghabiskan uang diatas rata-rata untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.
6. Moral majority. Pengeluaran yang besar untuk oraganisasi pendidikan, masalah politik, dan gereja.
7. The Golden Years. Kebanyakan adalah para pensiunan, tetapi pendapatannya tertinggi ketiga. Melakukan pengeluaran yang besar
pada produk-produk padat modal dan hiburan. 8. Sustainers. Pendapatan dibelanjakan untuk untuk kebituhan sehari-
hari dan alcohol. 9. Subsisters. Tingkat social ekonomi rendah. Persentase kehidupan
pada kesejahteraan diatas rata-rata.
Faktor-faktor untuk mengukur gaya hidup antara lain: 1. outer directed merupakan gaya hidup konsumen yang jika dalam
membeli sesuatu produk harus sesuai dengan nilai-nilai dan norma- norma tradisional yang telah terbentuk.
2. inner directed, membeli produk untuk memenuhi keinginan dari dalam dirinya untuk memiliki sesuatu, dan tidak terlalu memikirkan norma-
norma budaya yang berkembang. 3. need driven, konsumen yang membeli sesuatu didasarkan atas
kebutuhan dan bukan keinginan berbagai pilihan yang tersedia.
2.1.5. Pembelian Impulsif Impulse Buying