KATEGORI GRAMATIKA NOMINA

2.3 Aspek

Menurut Chaer (2007: 259), aspek atau aspektualitas adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara internal di dalam suatu situasi, keadaan, kejadian atau proses. Aspek sering dibandingkan dan erat kaitannya dengan kala/tense. Kala merupakan kategori gramatikal yang menyatakan tentang waktu untuk menegaskan kegiatan verba yang dilakukan, misalnya: dengan dibubuhi kata kinou ‘kemarin’, kyou ‘hari ini’, atau ashita ‘besok.’ Aspek hanya menerangkan kegiatan yang dilakukan tersebut tanpa dikaitkan oleh waktu. Namun, pembahasan mengenai aspek sangat sedikit dibandingkan dengan kala. Hal ini dikarenakan dibandingkan dengan kala, aspek memiliki banyak jenis.

Aspek dalam bahasa Jepang disebut アスペクト asupekuto atau 相 sou. Menurut Katou, dkk (1989:146) aspek adalah:

Hanashite ga settei shita wadai no jiten ni oite, wadai no kotogara ga hajimaru kaidan ni Hanashite ga settei shita wadai no jiten ni oite, wadai no kotogara ga hajimaru kaidan ni

‘Aspek adalah kategori gramatikal yang menunjukkan apakah topik pembicaraan baru akan dimulai, sudah dimulai dan berlanjut atau sudah berakhir, dilihat dari titik waktu pembicaraan.’

Aspek menurut Sutedi (2003: 86) adalah kategori gramatikal dalam verba yang menyatakan kondisi suatu perbuatan atau kejadian apakah baru dimulai, sedang berlangsung, sudah selesai atau berulang-ulang.

Menurut Kindaichi (1976: 60) , Aspek adalah keadaan dari berlangsungnya suatu perbuatan. Dan aspek tidak memakai kyougusei ‘sifat keadaan’. Misalnya : kata benda kotoshi : tahun ini, kinou: kemarin, dll, dalam kata kerja misalnya: kuru: datang, yaru : melakukan, iku : pergi , dll. Aspek merupakan sifat kedudukan dari keadaan atau perbuatan yang ditunjukkan oleh predikat. (Inoue, 1976: 6). Aspek merupakan subkategori semantik fungsional yang mempelajari bermacam-macam sifat unsur waktu internal situasi (peristiwa, proses, atau keadaan), yang secara lingual (bahasa) terkandung dalam semantik verba. Terdiri dari dua, yaitu :

(1). Aspek Perfektif

Aspek yang menggambarkan perbuatan selesai. Ditandai dengan morfem terikat ~te shimatta.

Contoh : 昨日この映画を見てしまった。”Kemarin film ini telah selesai ditonton”

(2). Aspek Imperfektif

Aspek yang menggambarkan perbuatan yang belum selesai. Ditandai morfem terikat ~ta, ~da dan ~te iru.

Contoh : - 昨日この映画を見た。”kemarin film ini telah ditonton”

- 昨日この本を読んだ。”kemarin membaca buku ini”

- 車が止まっている。”mobil mati/ berhenti/ tidak jalan”

Kelompok aspek dalam bahasa Jepang terbatas pada morfem [ru], [ta], morfem rangkap [te iru] dan morfem rangkap [te ita].

Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara internal dalam suatu situasi, keadaan, kejadian atau proses. Bentuk ~te iru adalah salah satu aspek hyougen yang berkenaan dengan waktu (jikan wo arawasu hyougen).

Teramura (1988:119) membagi aspek bahasa Jepang menjadi 3 bagian yaitu:

A. Aspek Suru (mizen ‘tidak lampau’) dan shita (kizen ‘lampau’) Bentuk suru yang digunakan untuk menyatakan kegiatan yang belum terjadi

sedangkan bentuk shita digunakan untuk menyatakan kegiatan telah terjadi. Bentuk aspek ini sering disamakan dengan bentuk kala. Untuk membedakan kedua bentuk ini (kala dan aspek), kala sering ditandai dengan keterangan waktu dalam kalimat, sedangkan aspek sering ditandai dengan kata keterangan mou ‘sudah.’

B. Aspek verba bentuk ~te + verba bantu (hojodoushi) verba bantu yang mengikuti verba utama (bentuk ~te) meliputi:

a. Verba bantu ~te iru, ~te aru, ~te shimau, ~te iku, ~te kuru

b. Verba bantu ~te oku, ~te miru, ~te miseru

c. Verba bantu ~te yaru/ageru, ~te morau/itadaku, ~te kureru/kudasaru

C. Aspek verba bentuk renyou + verba (fukugoudoushi)

Aspek ini dibagi menjadi ke dalam 3 bentuk, yaitu:

a. Menyatakan aspek waktu, terdiri dari:

1. Menyatakan dimulainya suatu aksi, meliputi: verba ~hajimeru, ~dasu, ~kakeru

2. Menyatakan keberlangsungan suatu aksi, meliputi: verba ~tsuzukeru, ~tsudzuku.

3. Menyatakan selesainya suatu aksi, meliputi: verba ~owaru, ~oeru, ~yamu

b. Menyatakan aspek ruang, terdiri dari:

1. Menyatakan arah pergerakan ke atas dan ke bawah, meliputi: verba ~ageru, ~agaru, ~orosu, ~kudaru, ~sagaru, ~sageru, ~ochiru

2. Menyatakan arah pergerakan keliling, bagian dalam dan bagian luar, meliputi: verba ~komu, ~komeru, ~dasu, ~mawasu

3. Menyatakan pergerakan pada suatu sasaran, meliputi: verba

~kakeru, ~kakaru,

~tsukeru, ~tsuku, ~~kaeru, ~au

4. Menyatakan aspek tingkat, derajat, kekuatan, makna dan penyelesaian suatu aksi, meliputi : verba ~nuku, ~~kiru, ~komu, ~toosu, ~tsumeru, ~tsukusu

Menurut Sutedi (2003 :108) untuk menyatakan aspek dalam bahasa Jepang, secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi menjadi 2 macam, yaitu:

1. Menggunakan verba bentuk te + verba bantu (hojo-doushi)

2. Menggunakan verba selain bentuk te Verba bantu (hojo-doushi) yang mengikuti verba utama (hondoshi) bentuk Te yang

berhubungan dengan aspek, yaitu: iru, kuru, iku, aru, oku dan shimau. Setiap aspek tersebut digunakan seperti berikut: berhubungan dengan aspek, yaitu: iru, kuru, iku, aru, oku dan shimau. Setiap aspek tersebut digunakan seperti berikut:

1. Menyatakan aktivitas/kejadian yang sedang berlangsung Contoh:

Kodomotachi wa niwa de asonde imasu

‘Anak-anak sedang bermain di halaman ’ (tengah berlangsung)

2. Menyatakan kondisi hasil suatu perbuatan/kejadian Contoh:

ドアが閉まっている。 Doa ga shimatte iru.

‘Pintu (dalam keadaan ) tertutup’ (kondisi/keadaan)

3. Keadaan yang terjadi secara alami Contoh:

Kono michi ga magatte iru.

‘Jalan ini membelok.’ (keadaan kondisi alam)

4. Pengalaman Contoh:

Ano kyouju wa hon o takusan kaite iru.

‘Profesor itu banyak menulis buku.’

5. Pengulangan (perbuatan yang dilakukan berulang-ulang). Contoh:

Ie ni wa mainichi nagashi ga kite iru.

‘Ke rumah saya setiap hari datang pengamen.’ (terus menerus).

b. ...Te Kuru dan ... Te Iku (~てくる・~ていく)

1. Proses muncul dan hilangnya sesuatu Contoh:

Kotoba wa ningen no seikatsu no naka kara umarete kuru.

‘Bahasa lahir dari dalam kehidupan manusia’ あの選手は力を失っていった。

Ano senshu wa chikara o ushinatte itta.

‘Atlit itu telah kehabisan tenaga.’

2. Proses terjadinya perubahan sesuatu

Contoh:

Onaka ga suite kita.

‘Perut menjadi lapar.’ 父の病気はますます重くなっていった。

Chichi no byouki wa masumasu omoku natte itta.

‘Penyakit ayah semakin berat.’

3. Bermulanya suatu aktifitas/kejadian (untuk Te Kuru) Contoh:

Ame ga futte kita.

‘Hujan mulai turun.’

4. Aktifitas/kejadian yang terus berlangsung 母は今日まで苦しい生活をしてきた。

Haha wa kyou made kurushii seikatsu o shite kita.

‘Ibu saya sampai hari ini hidup dalam kesusahan’ お前達はいつかに死ぬことを考えて生きていくべきだ。

Omae tachi wa itsuka ni shinu koto o kangaete ikite iku beki da.

‘Kamu semua semestinya (terus) hidup dengan memikirkan bahwa suatu saat akan mati.’

e. ...Te Shimau (~てしまう)

1. Menyatakan aktivitas/kejadian yang dilangsungkan sampai tuntas

Contoh:

Kanojo wa ringo o mittsu tomo tabeshite shimatta.

‘Dia (wanita) telah menghabiskan apel 3 buah.’

2. Perbuatan yang tidak disengaja (tidak diharapkan) terlanjur terjadi

Contoh:

Sake o nomisugite shimatta.

‘Terlalu banyak minum sake.’

Selain aspek yang menggunakan verba bentuk ~Te diatas, adapula aspek yang tidak menggunakan jenis verba selain bentuk ~Te, diantaranya dengan menggunakan sufiks pada verba majemuk, atau menggunakan bentuk verba yang lainnya.

Sufik dalam verba majemuk yang bisa digunakan untuk menyatakan aspek, yaitu ‘...hajimeru, ...dasu, ...kakeru, ...tsudzukeru, ...toosu, ...owaru, ...ageru’. Akhiran ---hajimeru dan ---dasu digunakan untuk menyatakan dimulainya suatu kegiatan atau kejadian, sedangkan ---kakeru, ---tsudzukeru dan ---toosu digunakan untuk menyatakan aspek sedang Sufik dalam verba majemuk yang bisa digunakan untuk menyatakan aspek, yaitu ‘...hajimeru, ...dasu, ...kakeru, ...tsudzukeru, ...toosu, ...owaru, ...ageru’. Akhiran ---hajimeru dan ---dasu digunakan untuk menyatakan dimulainya suatu kegiatan atau kejadian, sedangkan ---kakeru, ---tsudzukeru dan ---toosu digunakan untuk menyatakan aspek sedang

Selain itu, untuk menyatakan dimulainya suatu kegiatan/kejadian bisa digunakan verba bentuk ‘you/ou + to suru, verba bentuk ru + tokoro, atau verba bentuk (masu) + sou da.’ Masih ada cara lain untuk menyatakan tengah berlangsungnya suatu perbuatan/kejadian, seperti dengan menggunakan verba bentuk (masu) + tsutsu aru.

Bagi pembelajar bahasa Jepang sebagai bahasa asing, masalah aspek dan kala sering menjadi penghambat. Salah satu penyebabnya antara lain karena kedua hal tersebut dapat dinyatakan dengan dua bentuk verba yang sama. Misalnya verba bentuk TA selain digunakan untuk menyatakan kala lampau, bisa digunakan untuk menyatakan aspek selesai (kanryou).

Contoh:

Mou shukudai o yatta ka?

Mada, yaranai.

Mada, yatte inai.

まだ、*やらなかった。 Mada, *yaranakatta.

Kinou shukudai o yatta ka?

Kinou, *yaranai.

昨日、*やっていない。 Kinou, *yatte inai.

Kinou, yaranakatta.

Pada contoh (1) berhubungan dengan aspek, sedangkan contoh (2) merupakan kala bentuk lampau. Pada contoh (1) ditanya dengan ‘Sudah mengerjakan PR?’, hal ini tidak berhubungan dengan kala (lampau, sedang, atau akan), sehingga ada dua jawaban yang memungkinkan yaitu : ‘yaranai atau yatte inai’ yang kedua-duanya menyatakan arti ‘belum dikerjakan’. Lain halnya dengan pertanyaan (2), dengan diberikan ruang lingkup waktu, yaitu kata kinou (kemarin), maka jawabannya hanya satu yaitu: yaranakatta (tidak mengerjakan) dalam bentuk lampau.

Aspek sering dibandingkan dan erat kaitannya dengan kala/tense. Kala merupakan kategori gramatikal yang menyatakan tentang waktu untuk menegaskan kegiatan verba yang dilakukan, misalnya: dengan dibubuhi kata kinou ‘kemarin’, kyou ‘hari ini’, atau ashita ‘besok.’ Aspek hanya menerangkan kegiatan yang dilakukan tersebut tanpa dikaitkan oleh waktu. Namun, pembahasan mengenai aspek sangat sedikit dibandingkan dengan kala. Hal ini dikarenakan dibandingkan dengan kala, aspek memiliki banyak jenis.

Menurut Kindaichi (1989:66), pembagian aspek hyougen ada dua macam, yaitu:

1. Joutaisou no asupekuto (aspek yang berdasarkan keadaan)

2. Dousasou no asupekuto (aspek yang berdasarkan aktivitas) Berdasarkan jenisnya, joutaisou no asupekuto atau aspek yang berdasarkan keadaan

dibagi menjadi 7 macam, yaitu: ~te iru, ~te aru, ~te oku, ~tsutsuaru, ~te kuru, ~te iku, dan ~te tsudzukeru.

Sedangkan dousasou no asupekuto atau aspek yang berdasarkan aktifitas, ada 8 macam, yaitu: ~kakeru, ~kakaru, ~hajimeru, ~dasu, ~owaru/oeru, ~tsukusu, ~kiru, ~te shimau

Aspek ~teiru termasuk dalam joutaisou no asupekuto, dan diklasifikasikan makna dan cara pemakaiannya menjadi 5 jenis, yaitu:

1. Dousa /Saiyou no Keizoku (aktivitas atau kejadian yang sedang berlangsung) Contoh:

子供がそとで遊んでいます。 Kodomo ga soto de asonde imasu.

‘Anak-anak sedang bermain diluar’

2. Kekka no Joutai (hasil dari suatu keadaan) Contoh: 木が倒れている。

Ki ga taorete iru ‘Pohon dalam keadaan tumbang’

3. Joutai no Keizoku (keadaan yang terjadi secara alami) Contoh:

この道は曲がっている。 Kono michi ga magatte iru

‘Jalan ini membelok’

4. Keiken (pengalaman) Contoh: 彼は二年前に大学を卒業している。

Kare wa ninen mae ni daigaku o sotsugyou shite iru. ‘Laki-laki itu lulus dari perguruan tinggi 2 tahun yang lalu.’

5. Kurikaeshi (kejadian yang berulang-ulang) Contoh:

あそこの夫婦は毎日喧嘩している。 Asoko no fuufu wa mainichi kenka shite iru.

Menurut Kindaichi aspek dalam bahasa Jepang terbatas pada morfem [ru], morfem [ta] , morfem rangkap [te iru] dan morfem rangkap [te ita], yaitu:

1. Aspek keadaan sedang berlangsung

2. Aspek keadaan sedang berlangsung berulang-ulang

3. Aspek keadaan sederhana

4. Aspek perbuatan sederhana

5. Aspek perbuatan terus-menerus

6. Aspek perbuatan terus menerus berulang-ulang Menurut Chaer (2007:259) dari berbagai bahasa dikenal adanya berbagai macam aspek ,

antara lain:

1. Aspek kontinuatif, yaitu yang menyatakan perbuatan terus berlangsung.

2. Aspek inseptif, yaitu yang menyatakan peristiwa atau kejadian baru mulai.

3. Aspek progresif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sedang berlangsung.

4. Aspek repetitif, yaitu yang menyatakan perbuatan itu terjadi berulang-ulang.

5. Aspek perfektif, yaitu yang menyatakan perbuatan sudah selesai.

6. Aspek imperfektif, yaitu yang menyatakan perbuatan berlangsung sebentar.

7. spek sesatif, yaitu yang menyatakan perbuatan berakhir. Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan aspek perfektif digunakan unsur leksikal

sudah seperti pada kalimat (1); untuk menyatakan aspek inseptif, baru mulai, digunakan partikel pun dan lah seperti dalam kalimat (2); dan untuk menyatakan aspek repetitif

Menurut kridalaksana aspek terdiri dari 18 macam ( 2008:21), yaitu :

1. Aspek Augmentatif, aspek yang menggambarakn perbuatan meningkat.

2. Aspek Diminutif, aspek yang menggambarkan perbuatan mengurang.

3. Aspek fequentatif, aspek yang menggambarkan perbuatan berulang berkali-kali.

4. Aspek Habituatif, aspek yang menggambarkan pembuatan yang menjadi

kebiasaan.

5. Aspek Inperfektif (aspek inkompletif),

6. Aspek Inkoatif, aspek yang menggambarkan perbbuatan mulai.

7. Aspek inkompletif, aspek yang menggambarkan belum selesai

8. Aspek Inseptif (aspek inkoatif)

9. Aspek Kompletif, aspek yang menggambarkan perbuatan selesai.

10. AspekKontinuatif, aspek yang menggambarkan perbuatan berlangsung.

11. Aspek Momentan, aspek yang menggambarkan perbuatan sebentar.

12. Aspek perspektif ( aspek kompletif).

13. Aspek Permansif, aspek yang menggambarkan keadaan permanen sebagai akibat dari perbuatan yang selesai.

14. Aspek Progresi (aspek kontinuatif)

15. Aspek Pungtiliar, aspek yang menggambarkan perbuatan yang dipandang sebagai satuan temporal tunggal.

16. Aspek Repertitif, aspek yang menggambarkan perbuatan berulanag.

17. Aspek Sesatif, aspek yang menggambarkan perbuatan berakhir.

18. Apek Simulfaktif, aspek yang menggambarkan perbuatan berlangsung serentak. Aspek bisa dilakukan secara morfemis, yaitu dengan sufiks –i seperti tampak pada kalimat

(3) berikut.

(1) Dia sudah makan. (2) Dia pun (1) Dia sudah makan. (2) Dia pun

Selain itu, dalam bahasa Indonesia ada juga aspek yang sudah dinyatakan secara inferen oleh tipe verbanya. Misalnya, verba mengiris seperti dalam kalimat (4) dan verba memukul seperti dalam kalimat (5) sudah menyatakan aspek momentan, perbuatan berlangsung sebentar.

(1) Ibu mengiris bawang itu (2) Dia memukul adiknya

2.4 Modalitas

Modalitas merupakan salah satu fenomena kesemestaan bahasa. (Alwi, 1992). Hal ini berarti setiap bahasa di dunia, mempunyai modalitas, yakni penggambaran sikap pembicara terhadap apa yang dikemukakan dalam tuturannya. Modalitas dalam bahasa Indonesia meliputi: ingin, berkeinginan, mengingini, menghendaki, dan mendambakan. Sedangkan modalitas dalam bahasa Jepang meliputi bentuk verba –tai, hoshii, te hoshii, te moraitai, te itadakitai, dan mai. Pemodifikasian bentuk tai dan hoshii menjadi ~tagatte imasu dan hoshii rashii.

Contoh:

a. Watashi wa kamera o kaitai desu ‘Saya ingin membeli kamera.’

b. Kare wa kamera o kaitagatte imasu ‘Dia ingin membeli kamera’

c. Watashi wa kamera ga hoshii desu.

‘Saya ingin kamera’

d. Kare wa kamera ga hoshii rashii desu. ‘Dia sepertinya ingin kamera’

Modalitas merupakan salah satu cara pembicara menyatakan sikap terhadap suatu situasi dalam suatu komunikasi interpersonal. Seperti menginformasikan, menyuruh, melarang, meminta, dsb.

Nitta ( 1991:18 ) memberikan definisi modalitas yaitu : 〈モダリティ〉とは,現実との関わりにおける,発話時の話し手の立場から

Modarity to wa, genjitsu to no kakawarini okeru, hatsuwa doki no hanashite no tachiba karashita, gen omoto jidai mo taisuru haoku no shi hou, oyobi, sorerani tsuite no hanashite no hatsuwa-dentatsu tekitaidou no ari hou no arawashi wakenikakawaru bunpouteki hyougen de aru.

‘Modalitas adalah cara pandang terhadap keadaan tertentu dan ungkapan tata bahasa berdasarkan sikap si penutur dalam berkomunikasi’.

Sedangkan menurut Masuoka (1989:104) menggolongkan modalitas kedalam beberapa jenis:

(1). Kakugen

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang dianggap pasti atas keyakinan pembicara. Biasa diungkapkan dengan kalimat pernyataan.

Contoh : 人間は死ぬものだ。 ”Manusia adalah mahluk yang akan mati“.

(2). Meirei

Modalitas yang digunakan untuk memerintah lawan bicara agar melakukan sesuatu.

Contoh : 早くいけ! ”Cepat pergi !“.

(3). Kinshi-kyoka

Modalitas untuk menyatakan larangan dan ijin untuk melakukan suatu perbuatan.

Contoh : この薬を飲むな。 ”Jangan minum obat ini“.

明日来なくてもかまわない。 ”Besok tidak datang juga tidak apa-apa“

(4). Irai

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan permohonan kepada orang lain, agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Contoh : 窓を閉めてください。 ”Tolong tutup jendela“.

(5). Toui

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan keharusan atau saran kepada seseorang.

Contoh : 明日七時に学校にこなければならない.”Besok harus datang ke kampus pukul 7“

早く結婚したほうがいい。”Sebaiknya cepat menikah“

(6). Ishi-moushide-kanyuu

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan maksud melakukan sesuatu, menawarkan sesuatu, dan mengajak sesuatu pada orang lain.

Contoh : 私は日本へ行くつもりです。”Saya bermaksud pergi ke Jepang”

タクシーを呼びましょうか。 “Mari, saya panggilkan taksi“

一緒に行きませんか。 “Maukan pergi bersama-sama“

(7). Ganbou

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan keinginan, baik berupa perbuatan yang ingin dilakukan sendiri, maupun menginginkan orang lain melakukan sesuatu perbuatan.

Contoh : その映画が見たい。”Saya ingin menonton film itu“

私は田中さんも来てほしい。 ”Saya ingin Tanaka juga datang“

(8). Gaigen

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan dugaan atau suatu kemungkinan terhadap suatu hal, karena pembicara merasa tidak yakin; atau menyampaikan suatu berita yang pernah didengarnya.

Contoh : たぶん、ニダさんも来るだろう。”Mungkin, Nida juga kan datang“

試合は終わったそうです。 ”Katanya pertandingan sudah berakhir“

(9). Setsumei

Modalitas yang digunakan untuk menyatakan suatu alas an ketika menjelaskan sesuatu hal.

Contoh : 太郎は,そのとき、入院しています。つまり、彼は試験を受けなかったわ

けです。 ”Taro saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Dengan kata lain, ia tidak mengikuti ujian“

2.5 Kesantunan

Kesantunan dalam bahasa, misalnya dalam bahasa Indonesia sangat dipengaruhi oleh strategi interaktif ketika bertindak tutur karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang memiliki tingkat tutur secara ketat dengan menerapkan subsistem honorifiks pada tataran leksikal, morfologis, dan sintaktis seperti dalam bahasa Jepang. Kesantunan dalam penggunaan bahasa Jepang adalah pilihan bahasa otomatis dan wajib karena konsep kesantunan ditempatkan sebagai bentuk pengacuan sosial. Wakimae merupakan keharmonisan sosiopragmatik, yaitu perilaku kesantunan kebahasaan seseorang didikte oleh posisi sosialnya dan hubungan sosialnya dengan petutur. Dalam bahasa Indonesia, tidak ada sistem tata bahasa Indonesia yang secara tetap digunakan untuk menunjukkan kesantunan seperti yang ada dalam sistem bahasa Jepang, yang secara tegas membagi tingkat (undak usuk) bahasa mereka ke dalam dua tingkat, yaitu tuturan santun (polite speech) dan tuturan akrab (familiar speech). Wakimae bukanlah kemauan karena hal tersebut tidak bergantung pada kebebasan penutur, tetapi merupakan pilihan (bentuk gramatikal) verbal yang wajib secara sosial. Bertindak menurut wakimae berarti menunjukkan makna tempat atau peran seseorang secara verbal (dan nonverbal) dalam situasi tertentu menurut konvensi sosial.

Perbedaan antara discerment atau wakimae dengan volition (kemauan) dapat dijelaskan sebagai berikut. Discerment direalisasikan terutama melalui berbagai bentuk kebahasaan formal, yang merupakan pilihan wajib, yang mengimplisitkan pesan tentang pemahaman penutur atas situasi sosial. Hal itu melibatkan berbagai bentuk formal seperti honorifik, pronomina, bentuk sapaan, tingkat tutur, formula tuturan, dan sebagainya. Karena itu, dalam bahasa Jepang tidak ada bentuk netral secara sosial. Penutur harus selalu memilih antara bentuk honorifiks atau nonhonorifiks dan hal itu selalu menyampaikan informasi tentang hubungan penutur-petutur. Pemakaian bentuk honorifiks menjadi hal yang absolut karena pemakaian honorifiks atau tidak bukanlah kebebasan pribadi yang sesuai dengan keinginan Perbedaan antara discerment atau wakimae dengan volition (kemauan) dapat dijelaskan sebagai berikut. Discerment direalisasikan terutama melalui berbagai bentuk kebahasaan formal, yang merupakan pilihan wajib, yang mengimplisitkan pesan tentang pemahaman penutur atas situasi sosial. Hal itu melibatkan berbagai bentuk formal seperti honorifik, pronomina, bentuk sapaan, tingkat tutur, formula tuturan, dan sebagainya. Karena itu, dalam bahasa Jepang tidak ada bentuk netral secara sosial. Penutur harus selalu memilih antara bentuk honorifiks atau nonhonorifiks dan hal itu selalu menyampaikan informasi tentang hubungan penutur-petutur. Pemakaian bentuk honorifiks menjadi hal yang absolut karena pemakaian honorifiks atau tidak bukanlah kebebasan pribadi yang sesuai dengan keinginan

Dalam bahasa Jepang, tuturan santun biasanya berakhir dalam bentuk santun, yaitu desu dan masu. Dalam tuturan akrab, tuturan diakhiri dengan bentuk biasa, yaitu bentuk adjektiva dan verba seperti dalam kamus dan bentuk da. Perbedaan bentuk santun dan biasa dalam bahasa Jepang tampak pada penggunaan verba, adjektiva, adjektiva semu, nomina, dan perbedaan lain seperti penggunaan partikel. Karena itulah, penutur bahasa Jepang dalam mewujudkan kesantunan verbal tidak bergantung pada pemilihan modifikasi internal seperti dalam bahasa Indonesia

Bertindak menurut wakimae berarti bertindak dengan menunjukkan arti seseorang secara verbal tentang tempat atau peran dalam situasi tertentu menurut konvensi sosial dan bukan kehendak pribadi. Sementara itu, volition dilakukan dengan cara pemilihan strategi interaktif verbal, seperti mencari persetujuan, membuat humor, menunjukkan rasa pesimistis, meminimalisasi tekanan, dan sebagainya. Dalam hal ini, bahasa Indonesia menerapkan konsep volition dan bahasa Jepang menerapkan konsep discerment.

Contoh:

1. Mou sukoshi kuwashiku setsumei shite itadakemasen ka? ‘Bisakah anda menjelaskan lebih detail?’

2. Kore, chotto goran kudasaimasen ka? ‘Maukah anda melihat ini sebentar?’

Ujaran-ujaran diatas memperhalus maksud penutur dalam meminta orang lain untuk melakukan apa yang diperintahkan.

2.7 Voice

Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari segi struktur (sintaksis), makna (semantik), pembentukan kata (morfologi), dan sebagainya. Hal ini selalu menimbulkan kesulitan bagi seseorang dalam proses mempelajari bahasa asing sebagai bahasa keduanya. Salah satunya yaitu tentang diatesis (voice) yang jenisnya berbeda-beda dalam setiap bahasa.

Yang dimaksud diatesis (voice) yaitu sebuah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara subjek atau agen atau pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya. Dari perbuatan atau peristiwa yang dilakukan itulah dapat diketahui apakah subjek gramatikalnya dikenai pekerjaan atau menderita akibat perbuatan tersebut. Dalam Sunarni dan Johana,

(2009: 131-132) diatesis terbagi menjadi tiga, yaitu diatesis aktif [能動態] (noudoutai), diatesis pasif [受動態] (judoutai), dan diatesis resiprokal [相互態] (sougotai).

a. Diatesis aktif おかあさんはBSMへ行きます。

b. Diatesis Pasif 新聞はお父さんに読まれます。

c. Diatesis resiprokal えいたさんと愛子が結婚した。

Persesuaian dan Penguasaan / (Concord and Government)

Persesuaian dalam bahasa Jepang sepadan dengan Icchi to shihai 一致と支配yang bermaksud pada persesuaian antara satu kata dengan kata yang lain untuk menunjukkan Persesuaian dalam bahasa Jepang sepadan dengan Icchi to shihai 一致と支配yang bermaksud pada persesuaian antara satu kata dengan kata yang lain untuk menunjukkan

Penguasaan disebut government. Government atau reaction atau disebut pula syntactic regiment adalah alat sintaksis. Dengan alat ini bentuk infleksi kata tertentu ditentukan (dikuasai) oleh kata lain dalam satu konstruksi. Dengan demikian, kata yang harus dikuasai haruslah mempunyai kasus, modus atau gramatik tertentu. Dalam bahasa Jepang satu kata mengharuskan kesesuaian kata atau partikel yang mengikutinya. Misalnya, verba mengharuskan kesesuaian dengan partikelnya.

Contoh : Verba yang menghendaki munculnya partikel と.

”Tanaka telah memutuskan untuk menikah dengan Natsuko“. 話し合います

”Keduanya telah berbicara tentang kekhawatirannya“.

Verba yang menghendaki munculnya partikel と atau に

母親はむす子のことについてせんせいとそうだんした。 ”Ibu telah berdiskusi dengan gurunya tentang anak laki-lakinya“.

”Besok akan bertemu dengan teman di stasiun Tokyo“. Verba yang menghendaki munculnya partikel が

私は日本語がわかります。 ”Saya mengerti bahasa Jepang“.

”Saya bisa memainkan piano“. Verba yang menghendaki munculnya partikel へいく 私は毎日大学へ行きます。

”Saya tiap hari pergi ke kampus” くる

”Kemarin, pergi ke rumah teman“ かえる

”Minggu depan akan pulang ke kampung halaman“.

Dalam bahasa Indonesia dikenal empat macam diatesis, yaitu diatesis aktif, diatesis pasif, diatesis refleksif, dan diatesis resiprokal. Jika subjeknya melakukan perbuatan (pelaku) diatesis aktif, sedangkan jika subjeknya menjadi sasaran perbuatan tersebut (penderita) disebut diatesis pasif. Diatesis refleksif adalah diatesis yang secara semantis hanya melibatkan satu pihak yang berperan ganda, yaitu sebagai pelaku juga penderita. Diatesis resiprokal adalah diatesis yang secara semantis melibatkan dua argumen yang sama-sama bertindak sebagai pelaku juga penderita. (Sudaryanto,, dkk., 1991).

Menurut Ioiri (2001), dalam gramatikal bahasa Jepang tradisional pada umumnya diatesis hanya terpusat dalam empat jenis, yaitu diatesis aktif (noudoutai), diatesis pasif (judoutai), diatesis kausatif (sieki), dan aksi memberi-menerima (jujudou). Sedangkan menurut Muraki, terdapat 11 macam diatesis yaitu:

1. Noudoutai (Diatesis aktif)

2. Judoutai (Diatesis pasif)

3. Shieki (Kausatif)

4. Kanou (Potensial)

5. Jihatsu (Spontaneus)

6. Taiou-jitadou (Transitif-intransitif)

7. Saiki (Refleksif)

8. Sougouteki nadousa-sayou (Resiprokal)

9. Jujudou (Aksi memberi-menerima)

10. Shite aru (Verba TE+ARU)

11. Shite oku (Verba TE+OKU) Dari 11 macam diatesis diatas, dalam konteks tertentu beberapa diatesis bahasa

Jepang dapat dipadankan hanya kedalam satu jenis diatesis saja, yaitu diatesis pasif.

Diatesis bahasa Indonesia dinyatakan dengan 4 jenis konstruksi yaitu: konstruksi verba di-, konstruksi verba ter-, konstruksi verba zero, dan konstruksi verba ke-an.

Misalnya:

1. Gakusei ga sensei ni homete morau. ‘Siswa dipuji oleh guru’.

2. Yama no ue kara michi ga miemasu. ‘Dari atas gunung terlihat/kelihatan kota’.

3. Koukan ni michi no chizu ga hatte arimasu. ‘Di pos polisi tertempel peta kota’.

4. Watashi wa imouto ni okashi o tsukutte moraimashita. ‘Saya dibuatkan kue oleh adik perempuan saya’.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24