Kategori Gramatikal Verba
3.2 Kategori Gramatikal Verba
Karakteristik Bahasa Jepang yang berkaitan dengan kosakata dibagi menjadi 3 jenis yaitu wago, kango, dan gairaigo, sedangkan berdasarkan gramatikanya dibagi menjadi 10 kelompok kelas kata, yaitu doushi ‘verba’, i-keiyoshi ‘ajektiva-i’, na- keiyoushi ‘ajektiva-na’, meishi ‘nomina’, fukushi ‘adverbia’, reintaishi ‘prenomina’, setsuzokushi ‘konjungsi’, kandooshi ‘interjeksi’, jodooshi ‘verba bantu’, dan joshi ‘partikel’.
Verba atau doushi adalah salah satu kelas kata (hinshi bunrui) yang berperan sebagai predikat dalam sebuah kalimat. Takahashi (2003) menyatakan doushi sebagai berikut: 動詞は、言語的意味において運動を表して、文の述語となることを第一の任務
Doushi ha, gengoteki imi ni oite undou wo arawashite, bun no jutsugo tonaru koto wo daiichi no ninmu to shi, sono koto to musubitsuite, gokei wo henka saseru tango no guruupu de aru. Soshite, sono shotokuchou no naka de, undou wo arawasu koto to jutsugo ni naru koto ga yori kihonteki dearu.
‘Verba atau doushi adalah kelas kata yang menyatakan gerakan dalam arti leksikal , berperan utama sebagai predikat dalam kalimat serta mengubah bentuk kata. Di antara berbagai keistimewaannya, menyatakan gerakan dan berperan sebagai predikat adalah hal yang paling mendasar’.
Dari 10 kelompok kelas kata diatas doushi merupakan kata yang sering digunakan di dalam Bahasa Jepang. Menurut Masuoka (1993:12) doushi dibagi menjadi 3 jenis yaitu 1) doutaidoushi – joutaidoushi, 2) jidoushi – tadoushi, 3) ishidoushi – muishidoushi. Doutaidoushi adalah kata kerja yang menunjukkan suatu gerakan seperti aruku, taoreru, dan lain-lain, sedangkan joutaidoushi adalah kata kerja yang menunjukkan suatu keadaan dan kepunyaan seperti aru, iru. Tadoushi adalah kata kerja yang menggunakan pelengkap seperti meishi + partikel wo, sedangkan jidoushi tidak menggunakannya. Ishidoushi dan muishidoushi yaitu kata kerja yang menunjukkan ada atau tidaknya kemauan dan biasanya berhubungan dengan gerak orang. Kesulitan yang dirasakan oleh pemelajar Bahasa Jepang dalam menggunakan doushi yaitu karena ada beberapa doushi di dalam sebuah kalimat yang mempunyai arti yang sama seperti morau dan kureru.
Ichikawa (2000:2) menyebutkan bahwa doushi (verba) adalah kelas kata (hinshi) yang berfungsi sebagai predikat, letaknya sejajar atau setara dengan voice, tense, aspek, dan mood. Sehubungan dengan hal tersebut, Ichikawa membagi kelas kata sebagai berikut.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa doushi termasuk ke dalam jutsugo yang dalam bahasa Indonesia berarti predikat.
Menurut Kindaichi, predikat kata kerja dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Joutaisou (状態相) Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata kerja keadaan.
2. Dousasou (動作相) Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kata kerja perbuatan.
Kindaichi juga membagi kata kerja (doushi) menjadi empat macam berdasarkan bisa Kindaichi juga membagi kata kerja (doushi) menjadi empat macam berdasarkan bisa
1. Joutai Doushi (状態動詞)
Adalah kata kerja yang menerangkan kondisi atau keadaan. Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai ‘kata kerja keadaan.’ Bentuk kata kerja ini tidak bisa dirubah kedalam bentuk 「ている」.
Contoh: 「ある」(「机がある」)、(「本棚がある))、「でござる」、 「出来る」、「出来ない」、「できる」、「切れる」、「話せる」、 「見える」、(「強そうに見える)」、「言う」、(「という人))、「要
する」、「 値 する」dan lain-lain.
2. Keizoku Doushi (継続動詞)
Adalah kata kerja yang menunjukkan suatu perbuatan yang berlangsung secara berkelanjutan. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menadi ‘kata kerja berkelanjutan atau kontinuatif.’ Bentuk kata kerja ini dapat dirubah menjadi bentuk 「ている」dan menyatakan suatu keadaan yang tengah berlangsung. Contohnya:
- Kegiatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu:
「読む」、「書く」、「泣く」、「歌う」、「聞く」、「食べ る」、「飲む」dan lain-lain.
- Yang menyatakan fenomena alam, yaitu:
「散 る」、「降る」、「揺れる」、「燃 える」、dan lain-lain.
3. Shunkan Doushi (瞬間動詞)
Adalah kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang selesai dalam sesaat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘kata kerja sesaat.’ Bentuk kata kerja
ini dapat dirubah menjadi bentuk 「 て い る 」 dan menunjukkan hasil setelah ini dapat dirubah menjadi bentuk 「 て い る 」 dan menunjukkan hasil setelah
「忘れる」、「 失 う」dan lain-lain.
4. Daiyonshu no Doushi (第四種の動詞)
Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘kata kerja tipe empat.’ Bentuk kata kerja ini menunjukkan keadaan ruang dan berfungsi untuk menunjukkan suatu kondisi. Memiliki bentuk 「ている」
Contohnya: 「すぐれる」、「おもだつ」、「ありふれる」、「にやける」、
「高い鼻する」、「丸顔 する」dan lain-lain.
Sama halnya dengan Sudjianto (2007:149) yang menyebutkan bahwa doushi dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Dalam bentuk kamus, doushi selalu diakhiri dengan vokal /u/ dan memiliki bentuk perintah. Doushi juga dapat mengalami perubahan dan dapat menjadi predikat bahkan dengan sendirinya memiliki potensi untuk menjadi sebuah kalimat. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa doushi berperan utama sebagai predikat dalam kalimat, menyatakan gerakan dalam arti leksikal, serta dapat dipakai untuk menyatakan keberadaan, aktivitas, dan keadaan sesuatu.
Klasifikasi doushi dalam bahasa Jepang bisa dikatakan bervariasi tergantung dasar pemikirannya. Doushi bisa diklasifikasikan berdasarkan hubungan keaspekannya, makna gramatikal maupun yang lainnya.
Dedi Sutedi (2003:93) menyatakan bahwa jika dilihat dari hubungan keaspekannya, verba atau doushi dapat dibagi menjadi empat macam yaitu shunkan doushi, keizoku doushi, joutai doushi, dan daiyonshu no doushi. Shunkan doushi disebut juga henka doushi dan keizoku Dedi Sutedi (2003:93) menyatakan bahwa jika dilihat dari hubungan keaspekannya, verba atau doushi dapat dibagi menjadi empat macam yaitu shunkan doushi, keizoku doushi, joutai doushi, dan daiyonshu no doushi. Shunkan doushi disebut juga henka doushi dan keizoku
Keizoku Doushi yaitu verba yang menyatakan suatu aktivitas atau kejadian yang memerlukan waktu tertentu , dan pada setiap bagian waktu tersebut terjadi suatu perubahan. Sehingga waktu kapan dimulai dan kapan berakhirnya aktivitas atau kejaidan tersebut akan terlihat jelas, contohnya kaku ‘menulis’, hashiru ‘berlari’, yomu ‘membaca’.
Joutai doushi, yaitu verba yang menyatakan keadaan sesuatu , jika dilihat dari titik waktu tertentu, sama sekali tidak akan terlihat terjadinya suatu perubahan, contohnya aru atau iru ‘ada’, dekiru ‘bisa’, iru ‘perlu’, kakeru ‘bisa menulis’. Sama halnya dengan Sutedi, Machino (2012) juga mengklasifikasikan doushi berdasarkan aspek.
Doushi berdasarkan aspek dibagi menjadi joutai doushi dan dousa doushi. Dousa doushi terdiri dari shunkan doushi dan keizoku doushi. Namun Machino membagi shunkan doushi menjadi 2 tipe yaitu tipe pengulangan atau hanpukukei dan tipe mendekat atau sekkinkei. Hanpukukei contohnya mabataki suru ‘berkedip’, bakuhatsu suru ‘meledak’, dan unazuku ‘mengangguk’. Sekkinkei contohnya ochiru ‘jatuh’, wasureru ‘lupa’, dan kusaru ‘membusuk’.
Daiyonshu doushi, yaitu verba yang menyatakan keadaan sesuatu secara khusus, dan selalu dinyatakan dalam bentuk sedang (TE IRU). Pada verba ini pun jika dilihat dari titik waktu tertentu , tidak akan terjadi suatu perubahan, karena memang sudah menjadi suatu kondisi yang tetap, contohnya sugureru ‘unggul’, niru ‘mirip’ dan sobieru ‘menjulang tinggi’.
Berbeda dengan Sutedi dan Machino, Yamaura (1987:2) menyatakan bahwa doushi
diklasifikasikan berdasarkan makna gramatikal, yaitu jidoushitadoushi, ishisei-muishisei, keizokusei-shunkansei, dan joutaisei no doushi. Jidoushi adalah verba intransitif, yaitu verba yang tidak memerlukan partikel wo untuk menunjukkan objeknya contohnya kuru ‘datang’, okiru ‘bangun’, deru ‘keluar’, sedangkan tadoushi adalah verba transitif, yaitu verba yang memerlukan partikel wo, contohnya motsu ‘membawa’, miru ‘melihat’, dan akeru ‘membuka’. Ishisei no doushi adalah verba yang menunjukkan tindakan yang dikehendaki manusia, contohnya benkyou suru ‘belajar’, yomu ‘membaca’. Muishisei no doushi adalah verba yang menyatakan suatu hal yang tidak dapat dikontrol menurut kehendak manusia, contohnya wasureru ‘lupa’, taoreru ‘jatuh’ dan lain-lain.
Pengklasifikasian verba dalam bahasa Jepang ada berbagai macam. Salah satunya menurut Yoshikawa (2010:70) adalah sebagai berikut:
Verba dalam bahasa Jepang terdiri atas jidoushi-tadoushi 自 動 詞 ・ 他 動 詞 ,keizoku doushi-shunkan doush 継続動詞・瞬間動詞 atau keizoku doushi disebut juga dousa doushi 動 作 動 詞 dan shunkan doushi disebut juga henka doushi 変化動詞(untuk selanjutnya digunakan penamaan dousa doushi dan henka doushi), dan 意志動詞・無意志動詞 ishi doushi-muishi doushi.
Verba yang tidak menggunakan partikel Ada yang berpasangan
‘verba
「を」wo yang menunjukkan objek.
dengan tadoushi; ada yang
intransitif’
Contoh: ドアが開きます。
hanya jidoushi; ada yang
Tadoushi
Verba yang menggunakan partikel Ada yang berpasangan
‘verba
「を」wo yang menunjukkan objek.
dengan jidoushi; ada yang
transitif’
Contoh: 私は新聞を読みます。
hanya tadoushi, ada yang
Ishi doushi-muishi doushi(意志動詞・無意志動詞 )
Ishi doushi Verba yang menunjukkan perbuatan yang bergantung pada kehendak manusia.
Contoh: 私はテレビを見ます。
Muishi doushi Verba yang menunjukkan perbuatan yang terjadi di luar kehendak manusia. Contoh: 暑いときにのどがかわきます。
Atsui toki ni nodo ga kawakimasu. ‘Ketika panas terasa haus.’
Dousa doushi-henka doushi dan joutai doushi
Verba Bentuk Kamus Dousa doushi
Verba
Gerakan
Hal yang Ditunjukkan
perbuatan dan peristiwa Henka doushi
ada
perbuatan dan peristiwa
masa datang Joutai doushi
ada
perubahan keadaan
tidak ada
keadaan yang statis
keadaan sekarang
Ichikawa (2000:2) menyebutkan bahwa jidoushi dan tadoushi masuk ke dalam kelompok doushi (動詞). Kemudian, Ichikawa menyebutkan arti dan fungsi jidoushi dan tadoushi sebagai berikut. Jidoushi berfungsi dan berarti suatu gerak atau suatu tindakan yang tidak menyertakan pelaku dalam melakukan suatu perbuatan.
Contoh kalimat jidoushi adalah
1. 窓が開いた (Jendela tersebut terbuka),
2. 水が流れる(Air mengalir), dan
3. 子供が泣く(Anak tersebut menangis).
Sedangkan fungsi dan arti tadoushi adalah melakukan pekerjaan atau menciptakan. Contoh kalimat jidoushi adalah
1. 田中さんが窓を開けた (Tuan Tanaka membuka jendela)
2. 家を建てる (Saya membangun rumah). Masih dalam sumber yang sama, Ichikawa (2000:147) menjelaskan bahwa
Tadoushi wa tsuujou [mokutekigo + wo] wo tori, jidoushi wa toranai.
“Pada umumnya tadoushi mempunyai pola (objek+o) akan tetapi hal tersebut tidak berlaku pada jidoushi.”
Diperkuat pula oleh pernyataan Suzuki (2000:40) yakni,
Tadoushi no baai wa [wo] o tori, jidoshi no baai wa [ga] o toru no ga futsuu da
ga, dochira ga tadoushi de, dochira ga jibun ka o kubetsu suru no ga gaikokujin ni hijou ni muzukashii.
‘Memang sesuatu hal yang umum dalam menyertakan partikel “o” dalam kalimat tadoushi dan menyertakan partikel “ga” dalam kalimat jidoushi. Namun, sangat sulit bagi orang asing untuk membedakan mana kalimat tadoushi dan mana kalimat jidoushi.
Oleh karena itu, jidoushi dan tadoushi harus benar-benar dimengerti dan dipelajari dengan seksama agar lebih mudah membedakan dan mengaplikasikan jidoushi dan tadoushi di dalam kehidupan sehari-hari.
3.2.1 Tei, Futei dan Kazu
I. Tei ‘Takrif’ dan Futei ‘Tak Takrif’ Menurut Kridalaksana (1993: 107) takrif atau ketakrifan adalah hal yang bersangkutan dengan nomina atau frase nominal yang referennya atau acuannya telah
ditentukan atau dianggap sama-sama diketahui oleh pembicara dan pendengar dalam situasi komunikasi. Takrif atau disebut pula ketakrifan dalam bahasa Inggris disebut definiteness.
Bagian yang takrif biasanya mengandung hal tersebut, sedangkan sebagiannya atau berupa nama diri. Dalam bahasa Indonesia contohnya:
1. Ia tinggal di rumah (tak takrif)
2. Ia tinggal di sebuah rumah (tak takrif)
3. Ia tinggal di rumah Amin (takrif)
4. Ia tinggal di rumah itu (takrif) Dalam bahasa Jepang tei (takrif) adalah ko no tairitsu gainen ni motozoku bunpou
hanchuu no hitotsu (Tanaka, 1987:151) ‘salah satu kategori gramatika berdasarkan konsep yang berlawanan dari referensinya.’ Dari kedua pendapat tersebut terdapat titik singgung, yaitu yang disebut dengan ketakrifan adalah persamaan konsep dari pembicara (penulis) dan mitra wicara (pembaca) terhadap referensnya.
Contoh:
1. Utouto to shite me ga sameru to onna wa itsu no manika, tonari no jiisn to hanashi o hajimete iru. (Koizumi, 1999: 112) (takrif)
‘Begitu terjaga dari kantukku entah sejak kapan perempuan itu mulai berbicara dengan kakek-kakek yang ada disebelahnya.’
2. Utouto toshite me ga sameru to onna ga itsu no manika, tonari no jiisan to hanashi o hajimete iru (modifikasi Koizumi, 1999: 112) (tak takrif)
‘Begitu terjaga dari kantukku entah sejak kapan perempuan itu mulai berbicara dengan kakek-kakek yang ada di sebelahnya’
Di dalam Tata Bahasa Bahasa Indonesia (2000: 43-44) dikatakan bahwa pengacuan/referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud yang meliputi benda atau hal yang berada di dunia yang diacu oleh satuan bahasa itu. Jika frase nomina yang mengacu pada kekhususan yang terindentifikasi maka itu merupakan pengacuan yang takrif.
Sedangkan menurut Kindaichi (1978:1315) takrif atau ketakrifan adalah:
定監視の一つ名詞の前に付け、指示や限定を示す。英語の [the] フランス語の [le]、 ドイツ語の [der] など。
Tei kanshi no hitotsu meishi no mae ni tsuke, shiji ya gentei o shimesu, Eigo no the, Furansu go no le, Doitsu go no der nado.
‘Artikel takrif yang menempel di depan salah satu nomina, dan merupakan kata yang membatasi dan menunjukkan, dalam bahasa Inggris the, bahasa Perancis le, bahasa Jerman der dan lain-lain’.
Dalam buku Kyouiku Jiten:202) dijelaskan bahwa kopula da/desu juga dapat menjadi pemarkah takrif yang bersifat penentu/penunjuk (shitei no jodoshi).
Contoh:
1. Tanaka san wa gakusei da. ‘Tanaka adalah seorang murid.’
Kemudian menurut Kunihiro (227-229) ketakrifan dalam bahasa Jepang terbentuk dengan pemakaian ko, so a (kono, sono, ano) untuk mengacu pada sesuatu dan juga dapat terbentuk dari kasus kepemilikan pronomina (daimeishi no shoyu kaku).
Kata bilangan atau numeralia secara semantis juga mengacu kepada pengungkap kuantitas. Frase nomina yang menggunakan kata bilangan sebagai unsur pembentuknya dapat mempengaruhi takrif dan tak takrif sebuah tuturan. Dalam kata bilangan ada pengertian takrif , misalnya:
1. Koko ni mikan ga futatsu arimasu ‘Disini ada dua buah jeruk.’
II. Kazu/suu ‘jumlah’ Numeralia (jumlah) atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang atau barang) dan konsep. (Alwi, 1998: 275). Pada
dasarnya dalam bahasa Indonesia ada tiga macam numeralia, yaitu:
I. Numeralia Pokok Adalah bilangan dasar yang menjadi sumber dari bilangan-bilangan yang lain.
Numeralia pokok juga disebut numeralia kardinal. Numeralia pokok terbagi menjadi 6 macam, yaitu:
1. Numeralia Pokok Tentu Adalah numeralia yang mengacu pada bilangan pokok, yakni:
a. 0 = nol 10 = sepuluh
b. 1 = satu
200 = dua ratus
c. 2 = dua
1000 = seribu
d. 3 = tiga
7.450 = tujuh ribu empat ratus lima puluh
e. 4 = empat
1.000.000 = satu juta
f. 5 = lima
1. 000.000.000 = satu miliar, dst.
2. Numeralia Pokok Klitika Disamping numeralia pokok yang telah disebutkan, ada pula numeralia lain yang
dipungut dari bahasa Jawa Kuno, tetapi numeralia itu umumnya berbentuk proklitika. Jadi, numeralia semacam ini dilekatkan di muka nomina yang bersangkutan.
Contoh:
a. Eka ‘satu’
ekamatra
‘satu dimensi’
b. Dwi ‘dua’
dwiwarna
‘dua warna’
c. Tri ‘tiga’
triwulan
‘tiga bulan’
d. Catur ‘empat’
caturwulan ‘empat bulan’
e. Panca ‘lima’
pancasila
‘lima sila’
f. Sapta ‘tujuh’ saptamarga ‘tujuh peraturan prajurit’
g. Dasa ‘sepuluh’ dasalomba ‘sepuluh perlombaan
3. Numeralia Ukuran Dalam bahasa Indonesia mengenal pula beberapa nomina yang menyatakan ukuran,
baik yang berkaitan dengan berat, panjang-pendek, maupun jumlah. Misalnya, lusin, kodi, meter, liter, atau gram.
II. Numeralia Tingkat Numeralia tingkat hampir sama dengan numeralia kolektif yang dibentuk dengan menambahkan ke, bedanya terletak bagaimana cara penggunaannya. Kalau numeralia
kolektif, numeralia ini diletakkan di di muka nomina yang diterangkan sedangkan numeralia tingkat, ia diletakkan di belakang belakang nomina yang diterangkan.
Contoh: Contoh:
Tingkat
b. Ketiga pemain
pemain ketiga
c. Kedua jawaban itu
jawaban kedua itu
d. *kesatu suara
suara kesatu
e. *pertama suara
suara pertama
Pada numeralia kolektif, tidak ada bentuk kesatu atau pertama, sedangkan pada numeralia tingkat ada.
III. Numeralia Pecahan Tiap bilangan pokok dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil yang dinamakan
numeralia pecahan. Cara membentuk numeralia ini adalah dengan memakai kata per- diantara bilangan pembagi dan penyebut. Dalam bentuk huruf, per-ditempelkan pada bilangan yang mengikutinya. Dalam bentuk angka, dipakai garis yang memisahkan kedua bilangan itu.
Contoh:
1/2= seperdua, setengah, separuh
1/10 = sepersepuluh
7/16= tujuh perenam belas, dst
Jumlah pada dasarnya merujuk pada nomina. Dalam bahasa Jepang kehadiran sufiks-tachi dalam kodomotachi ‘anak-anak’, onnatachi ‘kaum perempuan’ dan sufiks-ra dalam karera ‘mereka (laki-laki) banyak’, atau kanojora ‘mereka (perempuan) banyak’, shokun ‘anda sekalian’, shokoku ‘berbagai negara’ menunjukkan bahwa sesuatu yang dilekati tersebut Jumlah pada dasarnya merujuk pada nomina. Dalam bahasa Jepang kehadiran sufiks-tachi dalam kodomotachi ‘anak-anak’, onnatachi ‘kaum perempuan’ dan sufiks-ra dalam karera ‘mereka (laki-laki) banyak’, atau kanojora ‘mereka (perempuan) banyak’, shokun ‘anda sekalian’, shokoku ‘berbagai negara’ menunjukkan bahwa sesuatu yang dilekati tersebut
Contoh:
1. Kyoushitsu ni gakusei ga sannin imasu ‘Di kelas ada tiga orang mahasiswa’
2. Sannin no gakusei wa kyoushitsu ni imasu ‘Tiga orang mahasiswa ada di kelas’
3. Gakusei wa minna mou soroimashita ‘Mahasiswa semuanya sudah terkumpul’
4. Zen’in mo kite imasu ‘Semuanya telah datang’
5. Subete wa anata ni makasemasu ‘Semuanya saya serahkan kepada anda’
Penunjuk jumlah pada kalimat (1) dan (2) berupa numerialia. Tetapi secara struktur dalam kalimat (1) numerialia tersebut muncul setelah nomina sebelum predikat. Sedangkan dalam kalimat (2) muncul di awal sebagai keterangan dari mahasiswa. Jumlah dalam kalimat (3) ditandai oleh nomina sedangkan dalam kalimat (4) ditandai oleh prefiks zen yang memiliki, dan kalimat (5) ditandai oleh adverbia. Penandaan-penandaan jumlah kalimat (3), (4), dan (5) tersebut semuanya memiliki ‘makna seluruh’.
Selain itu, satuan lingual yang menunjukkan jumlah yang bersifat leksikal yang lain dapat ditandai pula dengan kata sapaan minnasama ‘hadirin’ dalam kalimat minasama ohayou gozaimasu ‘hadirin selamat pagi.’
Penandaan jumlah selain satuan lingual yang bersifat leksikal maupun gramatikal, juga dapat ditemui pula dalam proses morfemis yaitu dalam reduplikasi, seperti kata yama
‘gunung’ diulang menjadi yamayama ‘gunung-gunung’, hito ‘orang’ diulang menjadi hitobito ‘orang-orang’, dst.
3.2.2 Sei dan Kaku
1. Sei ‘jenis/gender’ (自制) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:353) kata gender berarti jenis kelamin.
Dalam Webster,s New World, Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki- laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku, sedangkan dalam Women,s Stdies Encyclpedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakterisk emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Mansour Fakih (1999 : 8), mengungkapkan bahwa konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan kaum laki-laki mempunyai sifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat – sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya laki-laki dapat bersifat emosional, lemah lembut, keibuan sebaliknya perempuan dapat bersifat kuat, rasional, dan perkasa.
Kemudian menurut Munjin (dalam www.wordpress.co) ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan. Dari berbagai penelitian di bidang bahasa, kaitannya dengan kehidupan sosial politik dan budaya masyarakat, terlihat bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Budaya patriarki mendudukkan posisi laki-laki menjadi lebih superior pada gilirannya akan melahirkan Kemudian menurut Munjin (dalam www.wordpress.co) ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan. Dari berbagai penelitian di bidang bahasa, kaitannya dengan kehidupan sosial politik dan budaya masyarakat, terlihat bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Budaya patriarki mendudukkan posisi laki-laki menjadi lebih superior pada gilirannya akan melahirkan
Ada dua hal yang dianggap andil dalam pembentukan perbedaan ini, yang pertama, masalah hubungan sosil. Perkawinan dan bermain yang sejenis pada masa anak-anak dan kemudian berlanjut sampai pershabatan dewasa akan melahirkan kelompok laki-laki dan perempuan yang mempunyai sub-budaya sendiri. Pada masing-masing sub-budaya tersebut juga mempunyai pola-pola dan gaya bahasa yang hanya cocok untuk kelompok mereka. Masalah akan timbul manakala kedunya ingin berkomunikasi. Kedua, adalah hal yang berkaitan dengan faktor biologis dan sosialisasi. Sebagai contoh, anak laki-laki dilarang main dengan bunga karena bunga melambangkan suatu yang lembut, dan lembut itu adalah perempuan. Sebaliknya perempuan dilarang pakai celana, main bola, pedang-pedangan, karena permainan itu milik anak laki-laki dan bila ada anak perempuan yang tetap bermain, ia akan dijuluki perempuan tomboy.
Dalam bahasa Jepang, kategori gramatikal terkait sei ‘jenis’ dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu jenis yang terkait secara alamiah (shizensei) dan jenis yang terkait secara gramatikal (bunpousei). Jenis yang disebutkan pertama banyak ditemukan berkategori nomina secara leksikal, seperti chichi ‘bapak’, otousan ‘bapak’, kare ‘dia laki-laki’, kanojo ‘dia perempuan’, haha ‘ibu’ dan okaasan ‘ibu’.
Jenis secara gramatikal (bunpousei) ditemukan dalam verba yang berkolerasi dengan nominanya. Dalam bahasa Jepang secara gramatikal nomina dapat dikelompokkan menjadi nomina hidup dan nomina mati. Eksistensi kedua nomina ini ditandai oleh verba eksistensi iru ‘ada’, dan aru ‘ada.
Contoh :
1. Obaasan no ie ni neko ga nihiki iru ‘Di rumah nenek ada dua ekor kucing’
2. Obaasan no ie ni furui mono ga takusan aru ‘Di rumah nenek ada banyak benda kuno’
3. Obaasan wa okusan ga futari iru/aru ‘Nenek memiliki dua anak’
4. Takushi ga iru ‘Ada taksi’
5. Takushi ga aru ‘Ada taksi’
6. Mada shuuden ga iru kana ‘Masih adakah kereta terakhir’
Kalimat (1) keberadaan neko ‘kucing’ ditandai oleh verba iru ‘ada untuk benda hidup’, sedangkan keberadaan furui mono ‘barang kuno’ dalam kalimat (2) ditandai oleh verba aru ‘ada untuk benda mati’. Keberadaan dalam kalimat (3) ditandai oleh kedua verba eksistensi tersebut. Verba eksistensi iru ‘ada’ dalam kaliamt (3) sama dengan kalimat (1), sedangkan aru ‘ada’ dalam kalimat tersebut menunjukkan makna posesif.
Begitu pula dalam kalimat (4) dan (5). Iru ‘ada’ dalam kalimat (4) menunjuk keberadaan untuk sopir taksi sedangkan aru ‘ada’ dalam kalimat (5) menunjuk pada taksi yang masih berada di tempat parkir di perusahaan atau sudah rusak ada dipinggir jalan.
Dan iru ‘ada’ dalam kalimat (6) pun bukan menunjuk pada kereta api, tetapi merujuk pada masinis atau merujuk ke kereta terakhir yang masih beroperasi.
Dalam bahasa Jepang, ikhwal ‘jenis’ selain hal di atas dapat ditemukan pula dalam bentuk perbedaan penggunaan partikel akhir dalam tuturan laki-laki dan perempuan.
Contoh:
1. Hen da ‘aneh’
2. Hen da na ‘aneh’
3. Hen da wa ‘aneh’
4. Hen yo ‘aneh’
5. Iku ze ‘pergi’
6. Iku zo ‘pergi’
7. Iku na ‘pergi’
8. Iku wa ‘pergi’ Kalimat (2), (5), (6), dan (7) merupakan tuturan laki-laki, sedangkan (3), (4), dan (8)
tuturan dari perempuan.
III. Kaku ‘kasus’ Kasus merupakan kategori gramatikal dari nomina, frasa nominal, pronomina yang
memperlihatkan hubungannya dengan kata lain dalam kontruksi sintaksis. Yang dimaksud dengan kata lain adalah verba (selanjutnya ditulis V) yang berfungsi sebagai predikat (selanjutnya ditulis P) dalam sebuah kalimat yang memiliki valensi atau hubungan yang bersumber dari V dan dapat dilihat dalam wujud peran. Peran secara semantis dapat berupa agentif, objektif, benefaktif, dan lain-lain. Lebih sederhananya, kasus dapat dikatakan bahwa nomina (N) melakukan apa yang dinyatakan (V) dan apa akibat dari hasil perbuatan N memperlihatkan hubungannya dengan kata lain dalam kontruksi sintaksis. Yang dimaksud dengan kata lain adalah verba (selanjutnya ditulis V) yang berfungsi sebagai predikat (selanjutnya ditulis P) dalam sebuah kalimat yang memiliki valensi atau hubungan yang bersumber dari V dan dapat dilihat dalam wujud peran. Peran secara semantis dapat berupa agentif, objektif, benefaktif, dan lain-lain. Lebih sederhananya, kasus dapat dikatakan bahwa nomina (N) melakukan apa yang dinyatakan (V) dan apa akibat dari hasil perbuatan N
a. Kasus Lokasional Adalah kasus yang menandai makna lokasi atau tempat pada nomina. Jenis-jenis
kasus lokasional antara lain:
1. Kasus lokasional tipe satu
Nomina (tempat) o (partikel kasus)
V (gerak-alih)
Contoh: ü Ano hito wa michi o wataru
‘Orang itu menyeberang jalan ’ ü Seitotachi wa koen o hashiru
‘Para siswa berlari di taman’
Kasus tipe satu nomina diduduki oleh tempat bervalensi dengan verba yang bermakna gerak-alih (idou doushi). Partikel o wajib digunakan karena bermakna ‘tempat yang dilalui’ (tsuuka suru basho). Verba wataru, hashiru, aruku, oyogu dan tobu menunjukkan adanya gerakan dari satu tempat ke tempat lain.
2. Kasus lokasional tipe dua Nomina dalam kasus ini berupa nomina yang bermakna tempat atau kendaraan. Nomina
ini bervalensi dengan verba yang bersifat menjauh dari nomina tersebut. Antara nomina dan verba tersebut bervalensi pula dengan partikel o dan partikel kasus ini bermakna ‘berpisah atau menjauh dari objek’ (hanareru taishou).
Nomina (tempat, kendaraan)
V (yang bersifat menjauh dari dari ...)
Contoh:
ü Fune wa minato o hanareru ‘Kapal menjauh dari pelabuhan’
ü Joukyaku wa basu o oriru ‘Para penumpang turun dari bus’
3. Kasus lokasional tipe tiga Kasus tipe ini ditandai dengan nomina (tempat) yang bervalensi dengan verba statis. Nomina dan verba statis ini bervalensi dengan partikel ni ‘di’ yang menunjukkan eksistensi
sesuatu. Verba statis yang menunjukkan keberadaan atau eksistensi suatu benda yaitu ‘iru’ dan aru ‘ada’
Tempat ni
Nomina ga
V (statis)
Contoh;
ü Toshokan ni gakuseitachi ga imasu Di perpustakaan ada mahasiswa ü Kouen ni hana ga arimasu Di taman ada bunga
4. Kasus lokasional tipe empat
Tempat
de V(dinamis)
Contoh:
ü Gakusei wa kyoushitsu de benkyou suru ‘Mahasiswa belajar di kelas’
ü Chichi wa ousetsuma de shinbun o yonde iru
‘Ayah sedang membaca koran di ruang tamu
b. Kasus yang berkolerasi dengan waktu yang dilalui Kasus ini ditandai dengan nomina yang berwujud waktu (kikan). Nomina ini bervalensi
dengan verba yang memiliki semantis verba ‘waktu yang dilalui’. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kasus ‘o’ yang bermakna waktu yang dilalui (keika suru jikan).
wa
Nomina (kurun waktu) o
V(waktu yang dilewati)
Contoh:
ü Watashi wa obaasan no ie de yasumi o sugosu ‘Saya menghabiskan waktu liburan di rumah nenek’
ü Tsumaranai jinsei o ikiru ‘Menjalani kehidupan yang membosankan’
c. Kasus yang berkolerasi dengan arah Menunjukkan korelasi antara nomina yang ditandai dengan nomina yang menunjukkan
arah dengan verba. Dalam bahasa Jepang, kasus ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Kasus yang berkolerasi dengan arah (dousa no houkou) Menunjukkan korelasi antara nomina yang ditandai dengan nomina yang menunjukkan arah. Nomina ini bervalensi dengan verba yang digerakkan oleh indra
penglihatan untuk menunjuk suatu pandangan dan arah, seperti muku ‘menghadap’, miru ‘melihat’. Nomina dan verba ini bervalesi dengan partikel kasus ‘o’ yang memiliki mkna arah.
Nomina (arah) o V(menuju arah) Contoh: ü Ue o muku
‘Menengadah’ ü Shita o muite kudasai
‘Silakan menghadap ke bawah’ ü Mae no hyou o mite kudasai
‘Perhatikan (melihat) ke depan’
2. Kasus yang berkolerasi dengan arah pergerakan (idou no houkou) Menunjukkan korelasi antara nomina yang menunjukkan tempat atau arah. Nomina
ini bervalensi dengan verba mukau ‘menuju’, kuru ‘datang’. Verba-verba ini menunjukkan adanya perpindahan dari suatu gerakan untuk menuju suatu tempat atau arah. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kasus ‘o’ yang memiliki makna arah pergerakan (idou no houkou) dari suatu aktifitas atau gerakan.
Nomina(tempat/arah) ni
V(gerak-alih/perpindahan suatu aktifitas
Contoh: ü Jakaruta ni mukau
‘Menuju jakarta’ ü Watashi no hou ni kuru
‘Datang ke arah saya’ ü Watashi ni tsikazuite kita
‘Mendekat ke saya’ ü Kanojo wa omawarisan ni chikayotte itta
‘Dia mendekat ke arah polisi’
d. Kasus yang menyatakan ketibaan Kasus ini terdapat dua jenis, pertama ditandai oleh nomina yang berupa tempat yang
bervalensi dengan verba gerak alih (idou doushi), seperti iku ‘pergi’ dan kuru ‘pulang’.
Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kasus ni ‘di’ yang menunjukkan titik terminatif (touchakuten).
Contoh:
ü Nihon ni ikimasu ‘Pergi ke Jepang’
ü Ie ni kite kudasai ‘Datanglah ke rumah’
Kedua, kasus yang menyatakan ketibaan yang lain ditandai dengan nomina yang menyatakan tempat yang bervalensi dengan verba yang menunjukkan ketibaan (touchakuten). Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kasus e ‘ke’.
Nomina (tempat)
e V(ketibaan/terminatif)
Contoh:
ü Argo Wilis densha wa maiasa Yogyakarta e yoji ni tsuku
‘Kereta api Argo Wilis setiap pagi tiba di Yogya pada pukul 4.00’
e. Kasus datif Merupakan kasus yang menandai bahwa nomina adalah penerima suatu perbuatan. Kasus
ini ditandai oleh nomina yang menunjukkan manusia. Dan nomina ini bervalensi dengan verba beri-terima. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kasus ni ‘kepada’.
N/penerima suatu perbuatan
ni
Objek o
V(beri-terima)
Contoh:
ü Imouto ni hon o ageru ‘Memberikan buku kepada adik perempuan’
ü Haha wa musuko ni okane o ataeta. ‘Ibu memberikan uang kepada anak laki-lakinya’
ü Gakusei ni shukudai o dasu ‘Memberikan PR kepada mahasiswa’
ü Hana ni mizu o yaru ‘Menyiram bunga’
f. Kasus translatif Kasus yang menandai makna perubahan keadaan pada nomina atau pronomina. Dalam
bahasa Jepang kasus ini ada dua macam pertama: kasus translatif yang menandai kondisi hasil perubahan pada nomina (henka kekka) yang ditandai oleh nomina yang memiliki salah satu medan makna ‘berubah’, misalnya lampu lalu lintas. Nomina ini senantiasa berubah- ubah sesuai dengan aturan. Nomina seperti ini bervalensi dengan verba yang menyatakan perubahan pula. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel ni ‘menjadi berubah’.
Nomina (hasil perubahan)
ni
V(yang menyatakan perubahan
Contoh:
ü Ima kare wa chichioya ni natta. ‘Sekarang, Ia telah menjadi ayah’
ü Shingou ga aka ni kawaru ‘Lampu lalu lintas berubah menjadi merah’
ü Senzai o tsukatte, yunifoomu wa masshiro ni kawatta.
‘Dengan menggunakan sabun, baju seragam ini berubah menjadi putih sekali’ Kasus translatif yang kedua ditandai dengan valensi nomina terhadap verba yang menyatakan perubahan terhadap nomina. Valensi ini ditandai oleh partikel kasus kara ‘dari’, yaitu dari kondisi sebelumnya menjadi kondisi hasil (sesudahnya).
N ga ...... kara ..... ni V (yang menyatakan perubahan) (kondisi sebelum perubahan) Kondisi setelah terjadi perubahan Contoh:
ü Shingou ga aka kara ao ni kawaru
‘Lampu lalu lintas berubah warna merah menjadi warna hijau’ ü Shatsu wa chairo kara masshiro ni kawatta
‘Baju berubah dari warna coklat menjadi warna putih’ ü Gakusei kara kaishain ni natta
‘Dari mahasiswa menjadi pegawai perusahaan’
g. Kasus yang menyatakan sumber Adalah kasus yang menyatakan sumber pada nomina. Nomina pada kasus ini ditandai
oleh nomina yang berupa orang. Nomina ini bervalensi dengan verba. Nomina dan verba ini bervalensi pada partikel kasus yang menandai sumber (dedokoro), yaitu ni ‘dari ’.
Nomina(orang/sumber)
ni
V(sumber/asal)
Contoh:
ü Watashi wa chichi ni maitsuki okane o morau ‘Saya setiap bulan menerima uang dari ayah’
ü Sensei ni sono nyuusu o kikimashita ‘Telah mendengar berita itu dari bapak guru’
h. Kasus yang berkolerasi dengan waktu Kasus ini ditandai dengan nomina yang diduduki oleh waktu. Nomina ini bervalensi
dengan verba yang menyatakan suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu waktu. Nomina dan verba tersebut bervalensi pula dengan partikel kasus ni ‘pada’.
Nomina (waktu) ni
V(dinamis)
Contoh:
ü Watashi wa mainichi goji ni okiru ‘Setiap pagi saya bangun pada pukul lima’
ü Nihon no gakusei wa Soekarno Hatta no kuukou de hachiji ni tsuku yotei desu ‘Mahasiswa Jepang rencananya akan tiba di Bandara Soekarno Hatta pada pukul 08.00.’
i. Kasus perbandingan Kasus perbandingan pertama ditandai oleh nomina yang bermakna jumlah. Nomina ini
bervalensi dengan verba dinamis. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel ni’yang bermakna perbandingan.’
Nomina (jumlah)
ni
perbandingan Vdinamis
Contoh:
ü Watashi wa futsuka ni ichido sentaku shimasu ‘Saya mencuci pakaian dua hri sekali’
ü Haha wa ikkagetsu ni ikkai inaka e kaeru
‘Ibu saya satu kali dalam sebulan pulang ke kampung halaman’ Kasus perbandingan berikutnya menyatakan perbandingan pada nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang berupa tempat, hal, benda sebagai pembanding. Nomina ini bervalensi dengan adjektiva yang bermakna bandingan. Nomina dan adjektiva ini bervalensi dengan partikel kasus yori ‘daripada’.
Nomina (yang dibandingkan) wa
N (pembanding)
ü Jakaruta wa Bandon yori nigiyaka desu
‘Jakarta lebih ramai daripada Bandung’ ü Niku wa sakana yori takai desu
‘Daging lebih mahal daripada ikan.’
j. Kasus bahan Kasus ini memperhatikan hubungan antara nomina yang bermakna bahan bervalensi dengan verba yang menyatakan verba proses. Nomina dan verba ini bervalensi dengan
partikel kasus de ‘dari’ dan atau kara ‘dari’ yang memiliki makna ‘bahan’. Partikel kasus de ‘dari’ menunjukkan bahan yang yang dinyatakan nomina sebagai bahan tersebut mengalami perubahan sehingga tidak terlihat bahan dasarnya.
Bahan dasar de/kara O
Contoh:
ü Nendo de osara o tsukuru ‘Membuat piring dari tanah liat’
ü Kecap wa daizu kara tsukutta. ‘Kecap terbuat dari kacang kedelai’
k. Kasus instrumental Merupakan kasus yang menandai alat pada nomina atau dengan kata lain nomina dalam
kasus ini ditandai oleh nomina yang menyatakan alat. Nomina ini bervalensi dengan verba dinamis. Nomina dan verba ini pun bervalensi dengan partikel kasusu de ‘dengan alat’.
Alat de O
Contoh:
ü Pasokon de ronbun o kaku ‘Menulis tugas akhir dengan menggunakan komputer’
ü Basu de daigaku ni kayotte iru ‘Pulang pergi ke sekolah dengan bus’
ü Naifu de niku o kiru ‘Memotong daging dengan pisau’
l. Kasus sebab Kasus ini adalah kasus yang menandai penyebab yang ditandai oleh nomina yang
bervalensi dengan verba. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kasus de ‘sebab’. Nomina
de topik ga V
Contoh:
ü Ooyuki de densha ga tomaru ‘Kereta berhenti karena salju yang lebat’
ü Tsunami de Aceh ga tsubureta ‘Aceh hancur karena tsunami’
ü Kaze de hashi ga kuzureta ‘Jembatan ambruk karena angin’
m. Kasus limit Adalah kasus yang menandai limit yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang berupa masa (kikan). Nomina ini bervalensi dengan verba yang
memiliki makna semantis ketuntasan seperti oeru ‘selesai’, shiageru ‘selesai/tuntas’. Nomina dan verba dalam kasus ini bervalensi dengan partikel kasus de yang menyatakan ‘limit’. n. Kasus konklusi
Adalah kasus yang menandai konklusi yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang berupa kapasitas (ryou). Nomina ini bervalensi dengan Adalah kasus yang menandai konklusi yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang berupa kapasitas (ryou). Nomina ini bervalensi dengan
Jumlah de
V(dinamis)
Contoh:
ü Hitori de yuushoku o taberu ‘Makan malam sendirian’
ü Minna de kaigai ryokou o shita ‘Wisata ke luar negeri dengan semuanya’
o. Kasus isi Adalah kasus yang menandai isi yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini
ditandai oleh nomina yang berupa isi suatu hal (naiyou). Nomina ini bervalensi dengan verba dinamis. Dan diantara keduanya pun bervalensi dengan partikel kasus de ‘menunjukkan isi atau materi’.
Nomina (isi/materi)
de nomina (sumber)
V(dinamis)
Contoh:
ü Shingaku no koto de sensei ni soudan suru ‘Berdiskusi dengan dosen perihal melanjutkan sekolah’
ü Miai no koto de oya ni soudan shita ‘Berdiskusi tentang pernikahan dengan orang tua.’
p. Kasus komitatif Adalah kasus yang menandai makna menemani yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang bervalensi dengan partikel kasus to ‘dengan yang
menunjukkan seseorang atau sesuatu yang menemani.’
Nomina (orang/binatang yang menemani) to
V (dinamis)
Contoh:
ü Wanchan to mori ni hairimashita. ‘Masuk ke hutan bersama anjing’
ü Kazoku to kaigai ryokou o shita ‘Berwisata ke luar negeri bersama keluarga’
q. Kasus yang menyatakan persamaan atau perbedaan Adalah kasus yang menandai makna adanya persamaan atau perbedaan yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang berupa orang, binatang, dan
atau sesuatu yang dibandingkan. Nomina ini bervalensi dengan verba yang menyatakan persamaan atau perbedaan. Nomina dan verba dalam kasus ini bervalensi dengan partikel kasus to ‘dengan’ yang menunjukkan persamaan atau perbedaan.
Nomina (pembeda)
to
V (persamaan/perbedaan)
Contoh:
ü Otousan to nite iru ‘Mirip dengan bapak’
ü Kono ko wa otousan to kao ga chigau ‘Anak ini wajahnya berbeda dengan wajah ayahnya ’
r. Kasus dasar penilaian/bahan pertimbangan Adalah kasus yang menandai makna dasar penilaian/bahan pertimbangan yang dinyatakan oleh nomina. Nomina dalam kasus ini ditandai oleh nomina yang berupa sesuatu
yang dapat menjadi bahan penilaian atau pertimbangan. Nomina ini bervalensi dengan verba yang menyatakan pertimbangan atau penilaian pula. Nomina dan verba dalam kasus ini bervalensi dengan partikel kasus kara ‘dari yang disebutkan nomina.’
Nomina (yang menjadi bahan pertimbangan) kara V (yang bermakna penilaian)
Contoh: ü Chousa no kekka kara kangaeru to kondo mo mata oojishin ga okoru to
omowareru ‘Kalau dipikir berdasarkan hasil pemeriksaan, nanti juga akan terjadi gempa besar’
ü Kare no seikaku mite, sono youna koto wa shinai to omou ‘Dilihat dari sifatnya, saya kira ia tidak akan melakukan hal seperti itu.’
s. Kasus penyebab tidak langsung Merupakan kasus yang menyatakan tidak langsung pada nomina. Nomina dalam kasus ini
ditandai oleh nomina yang berupa penyebab. Nomina ini bervalensi dengan verba yang menunjukkan akibat. Nomina dan verbanya juga bervalensi dengan kasus kara ‘karena.’
Nomina (penyebab tidak langsung)
kara
V (menunjukkan akibat)
Contoh:
ü Hi no fushimatsu kara kaji ni naru
‘Karena kealfaan terhadap api (kompor), terjadi kebakaran.’ ü Tojimari no futsui kara dorobou ni hairarete shimatta
‘Karena tidak hati-hati dalam menutup pintu dan jendela, rumah kami kemasukan maling.’
t. Kasus titik muncul/awal dan titik ketibaan Adalah kasus yang menandai makna munculnya atau awalnya sesuatu pada nomina.
Kasus ini merupakan kasus yang menandai makna ketibaan pada nomina. Nomina dalam kasus ini diduduki oleh tempat dan waktu. Nomina tempat bervalensi dengan gerak alih, sedangkan nomina waktu bervalensi dengan verba dinamis. Nomina dan verba ini bervalensi dengan partikel kara yang memiliki makna ‘dari.’
Nomina (tempat)
kara
N (tempat) made
V (gerak alih)
Nomina (waktu)
kara