Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan
e. Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, bahasa Peraturan Perundang –undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
Terkait detail mengenai bahasa peraturan perundang-undangan, sepenuhnya diatur dalam Lampiran II Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Bab III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ragam bahasa perundang-undangan adalah gaya bahasa yang dipergunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga ia merupakan bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia, akan tetapi didalamnya terkandung ciri-ciri khusus yaitu, adanya sifat keresmian, kejelasan makna, dan kelugasan.
(1) Sifat keresmian . Sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada kaidah bahasa.
(2) Sifat kejelasan makna . Sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
(3) Sifat kelugasan . Sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai.
Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain: (1) Lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
(2) Bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; (3) Objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan
atau maksud); (4) Membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten; (5) Memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; (6) Penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam
bentuk tunggal; Contoh:
buku-buku ditulis buku murid-murid ditulis murid
270 | Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
(7) Penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/ lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Contoh: Pemerintah
Wajib Pajak Rancangan Peraturan Pemerintah
(8) Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Contoh:
Pasal 34
(1) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Rumusan yang lebih baik:
Pasal 34
(1) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir bathin. (9) Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan
kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
Pasal 5 (1) Permohonan berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 271
(10) Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.
Contoh : Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan
istilah minuman beralkohol. (11) Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perandang-undangan, gunakan kaidah
tata bahasa Indonesia yang baku. Contoh kalimat yang tidak baku:
a. Rumah itu pintunya putih.
b. Pintu rumah ita warnanya putih.
c. lzin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
a. Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih.
b. Pintu ramah itu (berwarna) putih. Warna pintu rumah itu putih.
c. Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya.
(12) Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh: Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan direksi
badan usaha milik daerah. (13) Untuk mempersempit pengertian kata istilah isilah yang sudah diketahui umum
tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi. Contoh Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
(14) Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh : Pertanian meliput pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Rumusan yang baik: Pertanian meliputi perkebunan, peternakan, dan perikanan
272 | Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa
(15) Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama hindari penggunaan: 1)
Beberapa isfilah yang berbeda untuk menyatakan satu. ContoJ: Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian
penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.
2) Satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan
atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
(16) Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari;
(17) Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau akronim.
Contoh:
Menteri adalah Menteri Keuangan
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah…
Tentara Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah…
Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES.
(18) Jika dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang- undangan yang dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut;
(19) Untuk menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang yang bersangkutan.
Contoh:
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 273
Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang…(misalnya, bidang ketenagakerjaan)
(20) Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaanya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut:
Mempunyai konotasi yang cocok.
Lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia.l
Mempunyai corak internasional.
Lebih mempermudah tercapainya kesepakatan.
Lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Contoh:
a. Devaluasi (penurunan nilai uang)
b. Devisa (alat pembayaran luar negeri)
(21) Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu Penggunaan kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan peraturan perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
a. Penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
b. Penggabungan (merger)