METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian yang dilakukan untuk menguji kausal atau determinan suatu fenomena. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja yang dapat diukur pada saat yang bersamaan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Jumlah pekerja berjumlah 113 orang. Berikut adalah data jumlah pekerja di masing-masing departemen.

Tabel 4.1 Data Pekerja PT X Nama Departemen

Jumlah Pekerja

Departemen Produksi

41 orang Departemen HR-GA

11 orang Departemen Supply Chain

20 orang Departemen Engineering & Maintenance

11 orang Departemen Project & HSE

3 orang Departemen Finance & Admin

7 orang Departemen Sales & Marketing

7 orang Departemen General Resource

5 orang Departemen Lab

8 orang

Sumber: Departemen HR-GA PT X

4.3.2 Sampel

Besar sampel untuk uji hipotesis koefisien korelasi dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Dimana : Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Z = 1.96

Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10 %, maka Z = 1.28 r = korelasi minimal yang dianggap bermakna. Ditetapkan sebesar 0.4

Dengan demikian,

Untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban responden maka jumlah sampel akan dilebihkan sebesar 10 % sehingga jumlah

sampel keseluruhan menjadi 69 responden.

4.3.3 Metode Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random sampling . Systematic random sampling dilakukan agar jumlah sampel yang didapatkan tersebar di seluruh departemen. Adapun perhitungan interval untuk systematic random sampling yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

Berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan interval antar sampel sebesar dua. Sehingga sampel pertama merupakan nama pertama yang terdapat di dalam sampling frame dan untuk sampel selanjutnya akan ditambahkan dua dari nomor urut sampel, yaitu nomor 1, 3, 5, 7, dst.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah NIOSH Generic Job Stress Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia. Pemilihan kuesioner ini karena kuesioner ini memiliki variabel stress kerja yang paling lengkap untuk diukur meliputi variabel yang mempengaruhi stress maupun variabel indikator stress. Daftar pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner tersebut terdiri dari 25 variabel penyebab stress dan 2 indikator stress berupa perubahan psikologis dan fisiologis. Indikator stress berupa perubahan perilaku tidak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan tidak sesuai untuk mengukur stress pada responden di Indonesia.

Setiap item kuesioner menggunakan skala penilaian yang berbeda-beda, ada yang menggunakan 5 skala Likert ada juga yang menggunakan 7 skala Likert. Berikut ini adalah contoh pemberian skoring untuk 5 skala Likert seperti dalam tabel 4.2

Tabel 4.2 Skoring Instrumen NIOSH Generic Job Stress

Questionnaire

Sangat Contoh

Sangat Tidak

Tidak

Setuju Item

Biasa Saja

Setuju Setuju

Setuju

Skor Item

1 2 3 4 5 Positif

Skor Item

5 4 3 2 1 Negatif

Contoh skoring akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk variabel satu misalnya rata-rata nilai yang didapatkan pada satu orang yaitu:

A1 + A2 + A3 + A4 + A5 +A6 + A7/7

Perhitungan nilai rata-rata untuk tiap individu dilakukan dengan membagi antara skor total jawaban dengan jumlah pertanyaan yaitu sebesar 7. Adapun contoh penghitungan total rata-rata dari rata-rata variabel 1 :

1. 5 orang mempunyai rata-rata skor untuk variabel 1 masing-masing sebagai berikut : 2,67 ; 2,33 ; 2,44 ; 2,56 ; 2,67

2. Maka total rata-rata populasi adalah : (2,67 + 2,33 + 2,44 + 2,56 + 2,67)/5 =

3. Begitu seterusnya pada variabel-variabel lainnya.

4. Kemudian rata-rata tersebut nilainya akan dibandingkan dengan nilai median dari setiap total rata-rata minimum dan maksimum untuk tiap variabelnya.

Selain menggunakan kuesioner, instrumen yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah alat luxmeter, termohigrometer, dan alat ukur meteran. Alat luxmeter digunakan untuk mengukur tingkat pencahayaan di lingkungan kerja. Alat termohigrometer digunakan untuk mengukur suhu udara di lingkungan kerja. Alat ukur meteran digunakan untuk mengukur panjang dan lebar ventilasi.

4.5 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

4.5.1 Validitas

Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan alat ukur dapat mengukur objek secara tepat atau tidak. Pengujian validitas kuesioner dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun tidak valid. Item kuesioner yang tidak valid tidak dapat digunakan untuk dilakukan pengukuran dan pengujian. Pengujian validitas dapat menggunakan rumus statistik koefisien korelasi product moment. Hasil analisis yang didapatkan lalu dibandingkan dengan tabel r kritis product moment . Item pertanyaan dapat dianggap valid jika hasil perhitungan statistik > tabel r kritis product moment dan begitu juga sebaliknya (Notoatmodjo, 2010). NIOSH Generic Job Stress Questionnaire disusun untuk mengukur spesifik stressor dan efek stress yang timbul. Kuesioner ini diadaptasi dari berbagai skala yang memiliki reliabilitas dan validitas yang dapat dipercaya sehingga kuesioner ini dapat digunakan untuk Validitas merupakan indeks yang digunakan untuk menunjukkan alat ukur dapat mengukur objek secara tepat atau tidak. Pengujian validitas kuesioner dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun tidak valid. Item kuesioner yang tidak valid tidak dapat digunakan untuk dilakukan pengukuran dan pengujian. Pengujian validitas dapat menggunakan rumus statistik koefisien korelasi product moment. Hasil analisis yang didapatkan lalu dibandingkan dengan tabel r kritis product moment . Item pertanyaan dapat dianggap valid jika hasil perhitungan statistik > tabel r kritis product moment dan begitu juga sebaliknya (Notoatmodjo, 2010). NIOSH Generic Job Stress Questionnaire disusun untuk mengukur spesifik stressor dan efek stress yang timbul. Kuesioner ini diadaptasi dari berbagai skala yang memiliki reliabilitas dan validitas yang dapat dipercaya sehingga kuesioner ini dapat digunakan untuk

4.5.2 Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Reliabilitas biasanya menunjukkan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten bila dilakukan berulang kali dengan menggunakan kuesioner yang sama. Pengujian reliabilitas salah satunya dapat dilakukan dengan rumus statistik alpha cronbach. Hasil analisis reliabilitas tersebut nantinya akan dibandingkan dengan tabel r kritis product moment. Apabila hasil perhitungan statistik > nilai tabel r kritis product moment maka alat ukur yang digunakan dinyatakan reliabel (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan pada petugas pemadam kebakaran di Iran menunjukkan nilai reliabilitas NIOSH Generic Job Stress Questionnaire sebesar lebih dari 0,7 (Kazronian, Zakerian, Saraji, & Hosseini, 2013). Sedangkan reliabilitas NIOSH Generic Job Stress Questionnaire yang digunakan di Jepang memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0,68 (Yasuaki, Takeji, & Yoshihiro, 2012). Berdasarkan hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan didapatkan nilai alpha cronbach sebesar 0,804. Jika dibandingkan dengan nilai r kritis sebesar 0,6 maka kuesioner ini sudah dianggap reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penelitian.

4.6 Pengumpulan Data

1. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh pekerja di PT X dan pengukuran tingkat pencahayaan dan suhu udara. Berikut ini adalah teknik pengumpulan data masing-masing instrumen:

a. Pengisian kuesioner Teknik pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada pekerja yang menjadi sampel penelitian ini dan terlebih dahulu akan dijelaskan maksud dan tujuan penelitian serta cara pengisian kuesioner.

b. Pengukuran tingkat pencahayaan Pengukuran cahaya dilakukan pada area office dan plant. Pengukuran cahaya dilakukan pada penerangan setempat, yaitu pada masing-masing meja kerja responden. Pengukuran dilakukan menggunakan alat luxmeter. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi terlebih dahulu. Kemudian alat tersebut akan diletakkan pada meja responden. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap meja dan hasil akhirnya merupakan rata-rata dari ketiga pengukuran tersebut. Hasil akhir pengukuran dari setiap meja akan dibandingkan dengan batas minimal pencahayaan berdasarkan SNI 03-6197-200 mengenai konservasi energi pada sistem pencahayaan. Adapun batas minimal pencahayaan pada masing-masing ruang kerja adalah sebagai berikut:

1. Lobby

: 100 lux

2. Ruang kerja : 350 lux

3. Laboratorium : 500 lux

4. Plant

: 200lux

c. Pengukuran suhu udara Pengukuran suhu udara dilakukan pada seluruh area kerja responden, yaitu area office dan plant. Pengukuran dilakukan menggunakan termohigrometer. Alat tersebut akan diletakkan di area kerja sekitar pekerja dan didiamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit maka alat akan menunjukkan suhu dan kelembaban udara sekitar. Hasil pengukuran akan dibandingkan dengan persyaratan suhu dan kelembaban ruang kerja berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405 Tahun 2002,

yaitu suhu sebesar 18 o – 28 C dan kelembaban sebesar 40 – 60 %.

d. Pengukuran ventilasi Pengukuran ventilasi dilakukan pada seluruh area kerja responden yaitu di area office. Pengukuran dilakukan menggunakan alat ukur meteran. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui luas ruangan serta luas ventilasi yang terdapat di ruang kerja responden. Hasil pengukuran ini akan dibandingkan dengan persyaratan ventilasi minimum berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405 Tahun 2002, yaitu luas ventilasi minimum 15 % dari luas lantai.

2. Data Sekunder Adapun data sekunder yang digunakan yaitu berupa data hasil pengukuran kadar debu dan kebisingan milik Departemen HSE PT X. Berikut adalah tata cara pelaksanaan pengukuran yang dilakukan: 2. Data Sekunder Adapun data sekunder yang digunakan yaitu berupa data hasil pengukuran kadar debu dan kebisingan milik Departemen HSE PT X. Berikut adalah tata cara pelaksanaan pengukuran yang dilakukan:

b. Pengukuran kadar debu Hasil pengukuran kadar debu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran kadar debu yang dilakukan oleh Departemen HSE PT X pada bulan Mei 2014. Pengukuran kadar debu ini dilakukan pada 17 titik di lingkungan kerja. Pengukuran kadar debu dilakukan dengan menggunakan alat AirChek XR500. Sebelum dilakukan pengukuran, alat akan dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan calibration jar. Kemudian alat tersebut dipasangkan dengan cassette yang berfungsi sebagai wadah penampung debu. Setelah itu, alat tersebut akan diletakkan di lingkungan kerja yang akan diukur selama 8 jam kerja. Setelah pengukuran selesai dilakukan pada seluruh area maka hasilnya akan dianalisis di laboratorium dan didapatkan hasilnya. Hasil analisis tersebut akan dibandingkan dengan NAB kadar debu silika kristalin berdasarkan

Permenaker No 13 Tahun 2011, yaitu sebesar 0,5 mg/m 3 .

4.7 Pengolahan Data

1. Mengkode data (data coding) Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban responden. Hal ini dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah pengolahan data selanjutnya. Coding dilakukan pada pada seluruh bagian dalam kuesioner, yaitu:

Tabel 4.3 Daftar Kode dan Skoring Variabel No

Variabel

Kode dan Skoring

Keterangan

1 Jenis kelamin

Laki-laki = 1

Jenis kelamin perempuan

lebih

Perempuan = 2

berisiko mengalami stress kerja

2 Umur

Umur responden dalam tahun

Semakin muda usia maka semakin berisiko mengalami stress kerja

3 Status pernikahan

Menikah = 1

Status tidak menikah lebih

berisiko

Tidak Menikah = 2

mengalami stress kerja

4 Jumlah Anak

Jumlah anak saat ini

Semakin banyak jumlah anak maka semakin

berisiko mengalami stress kerja

5 Masa Kerja Jumlah masa kerja dalam Semakin lama masa bulan

kerja maka semakin berisiko mengalami stress kerja

6 Kepribadian Tipe A Sangat tidak tepat = 1 Skor total 1-5

Tidak tepat = 2

Semakin tinggi skor maka

semakin

Netral =3

berhubungan dengan

Tepat =4

stress kerja

Sangat Tepat = 5 Untuk

pernyataan

yang

bersifat berlawanan dengan variabel maka pemberian kode dibalik.

No Variabel

Kode dan Skoring

Keterangan

7 Penilaian Diri dan Sangat tidak setuju = 1 Skor total 1-5 Dukungan Sosial

Tidak setuju = 2

Semakin rendah skor variabel tersebut maka

Netral =3

semakin berhubungan dengan stress kerja

Setuju =4 Sangat setuju = 5 Untuk

pernyataan

yang

bersifat berlawanan dengan variabel maka pemberian kode dibalik.

8 Kebisingan

Tidak Bising = 1

Kondisi bising memicu terjadinya stress kerja

Kondisi pencahayaan yang buruk memicu

Buruk = 2

terjadinya stress kerja

10 Suhu

Nyaman = 1

Kondisi suhu yang tidak nyaman memicu

Tidak Nyaman = 2

terjadinya stress kerja

11 Ventilasi

Baik = 1

Kondisi ventilasi yang buruk

memicu

Buruk = 2

terjadinya stress kerja

12 Konflik peran dan Sangat tidak tepat sekali = 1 Skor total 1 –7 ketaksaan peran

Sangat tidak tepat = 2

Semakin tinggi skor variabel tersebut maka

Kurang tepat = 3

semakin berhubungan dengan stress kerja

Tidak tepat = 4 Tepat = 5 Sangat tepat = 6 Sangat tepat sekali = 7 Untuk

pernyataan

yang

bersifat berlawanan maka pemberian kode dibalik.

No Variabel

Kode dan Skoring

Keterangan

13 Konflik

Skor total 1-5 interpersonal,

Sangat tidak setuju = 1

Semakin tinggi skor Ketidakpastian

Tidak setuju = 2

variabel tersebut maka pekerjaan,

semakin berhubungan Kurangnya Kontrol,

Netral =3

dengan stress kerja

Setuju =4

Kurangnya

Kesempatan Kerja, Sangat setuju = 5 Jumlah

Beban

Pemberian kode ini juga

Kerja, Variasi

dilakukan untuk skala sangat

Beban Kerja, tidak yakin – sangat yakin, Tanggung Jawab tidak pernah – sangat sering, terhadap

Pekerja dan sangat tidak tepat – sangat Lain, Kemampuan tepat. yang

Tidak Untuk

bersifat berlawanan dengan variabel maka pemberian kode dibalik.

14 Tuntutan mental

Sangat setuju = 1

Skor total 1-4

Agak setuju = 2

Semakin tinggi skor

Agak tidak setuju = 3

maka semakin berhubungan

dengan

Sangat tidak setuju = 4

stress kerja

Penyataan yang berlawanan dengan

kategori

maka

pemberian kode dibalik

15 Shift Kerja

Tidak Shift = 1

Pekerjaan yang memiliki shift lebih berhubungan

Shift =2

dengan stress kerja

16 Aktivitas di Luar Ya = 1 Skor Total 0 –5 Pekerjaan

Tidak = 0

Semakin tinggi skor maka

semakin

Pertanyaan

bersifat berhubungan dengan negatif maka pemberian kode stress kerja

yang

dibalik

2. Menyunting data (data editing) Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, dan konsistensi pengisian jawaban kuesioner.

3. Memasukkan data (data entry) Memasukkan data dari hasil kuesioner yang sudah diberikan kode pada masing-masing variabel. Data dimasukkan ke dalam program SPSS untuk dianalisis univariat dan bivariat.

4. Membersihkan data (data cleaning) Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan ke program SPSS untuk memastikan kelengkapan data dan siap untuk diolah dan dianalisis.

4.8 Analisis Data

4.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase masing-masing variabel independen dan dependen pada penelitian ini.

4.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis data yang dilakukan menggunakan dua jenis uji yaitu uji Korelasi Pearson untuk seluruh variabel kecuali variabel jenis kelamin, status pernikahan, kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, dan shift kerja menggunakan uji T-Test Independen karena jenis data yang akan diuji berupa data kategorik dengan data numerik .

Adapun rumus uji korelasi adalah sebagai berikut:

Nilai korelasi biasanya berkisar antara -1 sampai dengan 1. Nilai r dapat diartikan sebagai berikut:

r = 0 berarti tidak ada hubungan linear r = -1 berarti hubungan linear negatif sempurna r = 1 berarti hubungan linear positif sempurna

Sedangkan menurut Colton, kekuatan hubungan antara dua variabel dibagi menjadi empat, yaitu:

r = 0 - 0,25 berarti tidak ada hubungan atau hubungan lemah r = 0,26 – 0,50 berarti hubungan sedang r = 0,51 – 0,75 berarti hubungan kuat r = 0,76 – 1 berarti hubungan sangat kuat (Amran, 2012)

4.8.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling dominan berhubungan terhadap variabel dependen. Analisis multivariat yang akan dilakukan yaitu menggunakan analisis regresi linier ganda. Analisis regresi linier ganda ini merupakan analisis hubungan antara beberapa variabel independen dengan variabel dependen. Fungsi dari analisis regresi linier ganda, yaitu memprediksi dan mengestimasi. Fungsi prediksi yaitu untuk memperkirakan variabel dependen dengan menggunakan informasi yang ada pada sebuah variabel. Sedangkan fungsi Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling dominan berhubungan terhadap variabel dependen. Analisis multivariat yang akan dilakukan yaitu menggunakan analisis regresi linier ganda. Analisis regresi linier ganda ini merupakan analisis hubungan antara beberapa variabel independen dengan variabel dependen. Fungsi dari analisis regresi linier ganda, yaitu memprediksi dan mengestimasi. Fungsi prediksi yaitu untuk memperkirakan variabel dependen dengan menggunakan informasi yang ada pada sebuah variabel. Sedangkan fungsi

Untuk melakukan analisis multivariat maka harus dilakukan uji asumsi analisis multivariat yang terdiri dari lima tahap, antara lain:

1. Asumsi Eksistensi Asumsi ini berkaitan dengan teknik pengambilan sampel. Cara mengetahui asumsi ini yaitu dengan melakukan analisis deskriptif variabel residual dari model. Bila residual menunjukkan adanya mean mendekati nol dan sebaran maka asumsi ini terpenuhi.

2. Asumsi Independensi Merupakan suatu kondisi dimana masing-masing nilai variabel dependen bebas satu sama lain. Untuk mengetahui asumsi ini dilakukan dengan uji Durbin Watson. Bila nilai uji Durbin Watson berkisar antara nilai -2 hingga 2 berarti asumsi independensi terpenuhi.

3. Asumsi Liniearitas Nilai mean dari variabel dependen dapat membentuk kombinasi X1, X2, X3, …Xk yang terletak pada garis yang dibentuk dari persamaan regresi. Untuk mengetahui asumsi liniearitas dapat diketahui dari uji Anova bila hasilnya signifikan Pvalue < alpha maka model berbentuk linier.

4. Asumsi Homoscedascity Asumsi ini merupakan varian nilai varibel dependen sama untuk semua nilai variabel independen. Untuk mengetahui asumsi ini dilakukan dengan melakukan pembuatan plot residual. Bila titik tebaran tidak berpola tertentu dan menyebar merata di garis titik nol maka dapat disebut varian homogen pada setiap variabel independen yang artinya asumsi ini terpenuhi. Bila titik tebaran membentuk pola tertentu maka variannya diduga terjadi heteroscedascity.

5. Asumsi Normalitas Pada asumsi ini variabel dependen mempunyai distribusi normal untuk setiap pengamatan variabel independen. Asumsi ini dapat diketahui dari nilai normal P-P plot residual. Bila data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Amran, 2012).

Analisis ini dilakukan dengan memasukkan kandidat variabel yang dianalisis secara multivariat. Kandidat variabel tersebut merupakan variabel yang memiliki nilai Pvalue < 0,25. Selanjutnya setelah dianalisis secara bersamaan maka variabel yang dapat masuk ke dalam model multivariat han ya variabel yang memiliki nilai Pvalue ≤ 0,05. Proses pengeluaran variabel yang memiliki Pvalue > 0,05 dilakukan satu persatu hingga semua variabel memiliki Pvalue ≤ 0,05. Setelah itu, seluruh variabel yang masuk ke dalam model analisis multivariat akan dilakukan Analisis ini dilakukan dengan memasukkan kandidat variabel yang dianalisis secara multivariat. Kandidat variabel tersebut merupakan variabel yang memiliki nilai Pvalue < 0,25. Selanjutnya setelah dianalisis secara bersamaan maka variabel yang dapat masuk ke dalam model multivariat han ya variabel yang memiliki nilai Pvalue ≤ 0,05. Proses pengeluaran variabel yang memiliki Pvalue > 0,05 dilakukan satu persatu hingga semua variabel memiliki Pvalue ≤ 0,05. Setelah itu, seluruh variabel yang masuk ke dalam model analisis multivariat akan dilakukan

Y=a+b n x n

Keterangan: Y : variabel dependen

X : variabel independen

4.9 Penyajian Data

Penyajian data dilakukan untuk menyusun informasi secara baik dan akurat sehingga memudahkan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel disertai uraian mengenai isi tabel tersebut.

BAB V HASIL

5.1 Gambaran Umum Perusahaan

5.1.1 Profil Perusahaan

PT X merupakan anggota dari Sablieres et Carriere Reunies (SCR)- S yang berpusat di Belgia. didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas Emsens. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan mineral terutama silika maka SCR-S mengembangkan usahanya hingga ke beberapa negara termasuk salah satunya Indonesia.

Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT X yang masuk ke dalam anggota regional Asia yang merupakan hasil kerja sama antara UNIMIN Corporation (USA), SCR-S NV (Belgium) dan PT Lautan Luas Tbk. (Indonesia). Hingga saat ini PT X yang berlokasi di Kawasan Industri Jababeka I Cikarang Barat telah memiliki dua daerah penambangan yaitu di Capkala (November 2003) sebagai tempat penambangan clay (tanah liat) dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan silika. Untuk cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat, yaitu Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar serta di Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon. Kemudian pada bulan Juli 2011, PT X mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality Management System (QMS) dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan ISO 9001;2000 oleh LRQA (Lioyd’s Register Quality Assurance) dari badan sertifikasi Amerika Serikat. Selanjutnya sertifikasi ISO 14001 mengenai sistem manajemen lingkungan dan OHSAS 18001 mengenai Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT X yang masuk ke dalam anggota regional Asia yang merupakan hasil kerja sama antara UNIMIN Corporation (USA), SCR-S NV (Belgium) dan PT Lautan Luas Tbk. (Indonesia). Hingga saat ini PT X yang berlokasi di Kawasan Industri Jababeka I Cikarang Barat telah memiliki dua daerah penambangan yaitu di Capkala (November 2003) sebagai tempat penambangan clay (tanah liat) dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan silika. Untuk cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat, yaitu Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar serta di Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon. Kemudian pada bulan Juli 2011, PT X mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality Management System (QMS) dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan ISO 9001;2000 oleh LRQA (Lioyd’s Register Quality Assurance) dari badan sertifikasi Amerika Serikat. Selanjutnya sertifikasi ISO 14001 mengenai sistem manajemen lingkungan dan OHSAS 18001 mengenai

5.1.2 Visi dan Misi

1. Visi To build and organization talents choose to work for and grow a company customer want to associate with (Membangun talenta

organisasi yang bekerja untuk menumbuhkan perusahaan yang menjadi kebanggaan).

2. Misi

a. Global Competencies (Berkompetensi Global)

b. Regional Resources (Sumber daya Regional)

c. Local Excellence (Keunggulan Lokal)

3. Nilai

a. We Grow People (Kami mengembangkan karyawan)

b. We Invest in Minerals Resources (Kami berinvestasi pada sumber daya mineral)

c. We Partner Our Customer (Kami bekerja sama dengan pelanggan kami.

5.1.3 Kebijakan K3

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan fokus utama perusah aan ini dalam mengembangkan bisnis mereka. Slogan “Safety Starts With Me ” merupakan bukti komitmen mereka dalam mengajak para Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan fokus utama perusah aan ini dalam mengembangkan bisnis mereka. Slogan “Safety Starts With Me ” merupakan bukti komitmen mereka dalam mengajak para

X juga berupaya dalam meminimalisasi dampak buruk dari proses produksi yang dapat merugikan bahwa masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.

Sebagai bukti komitmen mereka dalam mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), PT X memiliki tiga kebijakan utama yang berkaitan dengan K3L, antara lain:

1. PT X adalah perusahaan di bidang industri mineral yang bertujuan untuk memuaskan atau melebihi harapan pelanggan melalui pengembangan secara terus menerus dalam kualitas produk dan pelayanan

2. Perusahaan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan kerja untuk mencegah insiden dan kesakitan, mencegah pencemaran lingkungan, mengendalikan sumber daya, dan meningkatkan hubungan sosial sebagai bagian yang utuh dari keseluruhan aktivitas

3. Manajemen berkomitmen untuk meningkatkan efektivitas sistem manajemen perusahaan secara terus menerus, menentukan dan meninjau kembali target dan objektif perusahaan secara periodik, dan memenuhi seluruh perundangan dan peraturan lainnya.

5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Stress Kerja

Pada penelitian ini stress kerja yang diteliti yaitu stress kerja akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis, emosional, dan psikologis. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi pada variabel dependen stress kerja:

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stress Kerja Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel

Mean ± SD Min-Max

95% CI n

Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan hasil distribusi frekuensi bahwa rata-rata tingkat stress kerja yang dialami responden, yaitu sebesar 1,42 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 1,33-1,51.

5.2.2 Faktor Individual

Pendeskripsian faktor individual yang berkaitan dengan stress kerja terdiri dari tujuh variabel, antara lain jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi faktor individual pada pekerja di PT X:

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel

Kategori

9 13 Jenis Kelamin

15 21,7 Status Pernikahan

Tidak Menikah

Menikah

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel

Mean ± SD

Masa Kerja

69 Tipe A

1. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa dari jumlah pekerja laki-laki yang menjadi responden pada penelitian ini lebih banyak dibandingkan pekerja perempuan, yaitu sebanyak 60 responden (87 %) dari 69 responden.

2. Status Pernikahan

Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan hasil bahwa jumlah responden yang telah berstatus menikah, yaitu sebanyak 54 responden (78,3 %) dari 69 responden.

3. Umur

Rata-rata umur responden, yaitu sebesar 33,09 tahun dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 31,62 – 33,09.

4. Jumlah Anak

Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden, yaitu sebesar 1 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 0,71 – 1,15.

5. Masa Kerja

Rata-rata masa kerja yang telah dilalui oleh responden, yaitu sebesar 71,64 bulan dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 57,72 – 85,56.

6. Kepribadian Tipe A

Rata-rata skor kepribadian tipe A yang dimiliki responden, yaitu sebesar 3,24 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,19 – 3,29.

7. Penilaian Diri

Rata-rata skor penilaian diri terhadap diri responden, yaitu sebesar 3,59 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,48 – 3,69.

5.2.3 Faktor Pekerjaan

Pendeskripsian faktor pekerjaan yang berkaitan dengan stress kerja terdiri dari enam belas variabel, antara lain kebisingan, pencahayaan, suhu, Pendeskripsian faktor pekerjaan yang berkaitan dengan stress kerja terdiri dari enam belas variabel, antara lain kebisingan, pencahayaan, suhu,

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi dan Shift Kerja Pada Pekerja di PT X

Tidak Bising

Tidak Nyaman

30 43,5 Shift Kerja

Shift

Tidak Shift

Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Kadar Debu dan Ventilasi Pada Area Kerja PT X Tahun 2014

Jenis

% Pengukuran

Hasil Pengukuran

43 62,3 Kebisingan

Sesuai standar

Tidak sesuai standar

26 36,8

32 46,4 Pencahayaan

Sesuai standar

Tidak sesuai standar

37 53,6

41 59,4 Suhu

Sesuai standar

Tidak sesuai standar

28 40,6

69 100 Kadar Debu

Sesuai standar

Tidak sesuai standar

60 86,96 Ventilasi

Sesuai standar

Tidak sesuai standar

9 13,04

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Pekerjaan Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel

Mean ± SD Min - Max

69 n Pekerjaan

Kurangnya Kesempatan

69 Beban Kerja

69 Beban Kerja

Tanggung Jawab

Pekerja Lain Kemampuan

yang Tidak

69 Digunakan

1-5

Tuntutan

69 Mental

2,2 - 4

1. Kebisingan

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa area kerja mereka tidak bising, yaitu sebanyak 37 responden (53,6 %). Adapun berdasarkan tabel 5.5, dari hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan, jumlah responden yang bekerja pada area tidak bising yaitu sebanyak 43 responden (62,3 %).

2. Pencahayaan

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa pencahayaan di area kerja mereka baik, yaitu sebanyak 52 responden (75,4 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran pencahayaan pada tabel 5.5 didapatkan bahwa jumlah responden yang bekerja di area kerja dengan tingkat pencahayaan tidak sesuai standar mencapai 37 responden (53,6 %).

3. Suhu

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa suhu udara di area kerja mereka tidak nyaman, yaitu sebanyak 38 responden (55,1 %). Sedangkan dari hasil pengukuran suhu udara pada tabel 5.5 didapatkan hasil bahwa jumlah responden yang bekerja di area kerja dengan suhu udara yang sesuai standar mencapai 41 responden (59,4 %).

4. Ventilasi

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa ventilasi di area kerja mereka buruk, yaitu sebanyak

48 responden (69,6 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran kadar 48 responden (69,6 %). Adapun berdasarkan hasil pengukuran kadar

5. Shift Kerja

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki sifat pekerjaan yang tidak shift, yaitu sebanyak 39 responden (56,5 %).

6. Konflik Peran

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor konflik peran yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,56 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada rentang nilai 3,36 - 3,76.

7. Ketaksaan Peran

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor ketaksaan peran yang dimiliki responden, yaitu sebesar 2,48 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang skor 2,3 – 2,66.

8. Konflik Interpersonal

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor konflik interpersonal yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,27 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,12 – 2,42.

9. Ketidakpastian Pekerjaan

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor ketidakpastian pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,7 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,48 – 2,92.

10. Kurangnya Kontrol

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya kontrol yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,93 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,75 – 3,11.

11. Kurangnya Kesempatan Kerja

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kurangnya kesempatan kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,29 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,09 – 3,48.

12. Jumlah Beban Kerja

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor jumlah beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,26 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,17 – 3,35.

13. Variasi Beban Kerja

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor variasi beban kerja yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,62 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 3,48 – 3,76.

14. Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tanggung jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh responden, yaitu Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tanggung jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh responden, yaitu

15. Kemampuan yang Tidak Digunakan

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor kemampuan yang tidak digunakan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,55 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,36 – 2,74.

16. Tuntutan Mental

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan hasil bahwa rata-rata skor tuntutan mental yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,09 dengan tingkat kepercayaan 95 % pada rentang skor 2,99 – 3,19.

5.2.4 Faktor Aktivitas di Luar Pekerjaan

Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Aktivitas di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti masalah keuangan, penikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Berikut ini adalah hasil analisis univariat faktor di luar pekerjaan pada pekerja di PT X:

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas di Luar Pekerjaan Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel Mean ± SD Min-Max 95% CI n

Aktivitas di 2,19 ± 1,17

69 Luar Pekerjaan

0-5

Berdasarkan tabel 5.7 rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 2,19 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 1,91 – 2,47.

5.2.5 Faktor Dukungan Sosial

Hubungan yang baik antara individu dengan orang lain di lingkungannya akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan individu tersebut. Hal ini yang kemudian menjadikan dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dapat terjadi dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Berikut ini adalah hasil analisis univariat faktor pendukung pada pekerja di PT X:

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Pada Pekerja

di PT X Tahun 2014

Variabel Mean ± SD Min-Max 95% CI n

Dukungan 3,87 ± 0,67

69 Sosial

2,12 - 5

Berdasarkan tabel 5.8, didapatkan hasil bahwa rata-rata skor dukungan sosial yang dimiliki oleh responden, yaitu sebesar 3,87 dengan tingkat kepercayaan 95 % berada pada rentang nilai 3,71 – 4,03.

5.3 Analisis Bivariat

5.3.1 Hubungan Antara Faktor Individual Dengan Stress Kerja

Faktor individual merupakan faktor instrinsik yang dapat mempengaruhi munculnya stress kerja pada diri seseorang. Adapun faktor individual yang dapat mempengaruhi munculnya stress kerja, yaitu jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara faktor-faktor individual dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.9 dan 5.10

Tabel 5.9 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Status Pernikahan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel

95% CI Pvalue

Perempuan

Jenis Kelamin -0,17 –0,36 0,479

Laki-laki

Tidak

Status

-0,17 –0,26 0,726 Pernikahan

Menikah

Menikah

Tabel 5.10 Hubungan Antara Umur, Jumlah Anak, Masa Kerja, Kepribadian Tipe A, dan Penilaian Diri Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014 Variabel

Pvalue

Umur

0,784 Jumlah Anak

0,607 Masa Kerja

0,946 Kepribadian Tipe A

0,461 Penilaian Diri

1. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja laki- laki yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,374. Sedangkan rata-rata pekerja perempuan yang mengalami stress kerja hanya sebesar 1,34 dengan standar deviasi sebesar 1,348. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,479 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan stress kerja.

2. Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang berstatus menikah yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,38. Sedangkan rata-rata pekerja yang berstatus tidak menikah dan mengalami stress kerja hanya Berdasarkan tabel 5.9 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang berstatus menikah yang mengalami stress kerja lebih besar yaitu 1,43 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,38. Sedangkan rata-rata pekerja yang berstatus tidak menikah dan mengalami stress kerja hanya

3. Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara umur dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah umur maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,784 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara umur dengan stress kerja.

4. Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara jumlah anak dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,607 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara jumlah anak dengan stress kerja.

5. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara masa kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,946 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengan stress kerja.

6. Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kepribadian tipe A dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah kepribadian tipe

A maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,461 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kepribadian tipe A dengan stress kerja.

7. Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.10 didapatkan hasil bahwa hubungan antara penilaian diri dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,007 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara penilaian diri dengan stress kerja.

5.3.2 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap munculnya stess kerja. Faktor pekerjaan yang dapat memengaruhi stress kerja, meliputi kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara faktor-faktor Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap munculnya stess kerja. Faktor pekerjaan yang dapat memengaruhi stress kerja, meliputi kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja. Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara faktor-faktor

Tabel 5.11 Hubungan Antara Kebisingan, Pencahayaan, Suhu, Ventilasi, dan Shift Kerja Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X

Tahun 2014

Variabel

Kategori Mean SD

95% CI Pvalue

Bising Buruk

Pencahayaan -0,21-0,2 0,95

-0,35- - 0,046 0,003

Shift Kerja

Shift

-0,17-0,19 0,92

Tidak

Shift

Tabel 5.12 Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Dengan Stress

Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel

Pvalue

Konflik Peran

0,007 Ketaksaan Peran

0,043 Konflik Interpersonal

0,01 Ketidakpastian Pekerjaan

0,004 Kurangnya Kontrol

0,209 0,085 Kurangnya Kesempatan Kerja

0,208 Jumlah Beban Kerja

0,001 Variasi Beban Kerja

0,19 Tanggung Jawab terhadap Pekerja

Kemampuan yang Tidak Digunakan

0,061 0,617 Tuntutan Mental

1. Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja karena area kerja yang bising lebih besar yaitu 1,46 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,42. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja karena area kerja yang tidak bising hanya sebesar 1,38 dengan standar deviasi 0,32. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,392 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara kebisingan dengan stress kerja.

2. Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat pencahayaan area kerja yang baik lebih besar yaitu 1,42 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,34. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat pencahayaan area kerja yang tidak baik hanya sebesar 1,41 dengan standar deviasi sebesar 0,45. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,95 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara pencahayaan dengan stress kerja.

3. Hubungan Antara Suhu Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat suhu area kerja yang tidak nyaman lebih besar yaitu 1,5 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,43. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat suhu area kerja yang nyaman hanya sebesar 1,32 dengan standar deviasi sebesar 0,26. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,046 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti terdapat hubungan antara suhu dengan stress kerja.

4. Hubungan Antara Ventilasi Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi di area kerja yang buruk lebih besar yaitu 1,47 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,39. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi kerja yang baik hanya sebesar 1,3 dengan standar deviasi 0,28. Dari hasil uji Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi di area kerja yang buruk lebih besar yaitu 1,47 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,39. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat ventilasi kerja yang baik hanya sebesar 1,3 dengan standar deviasi 0,28. Dari hasil uji

5. Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.11 didapatkan hasil bahwa rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat bekerja tidak shift lebih besar yaitu 1,42 dengan nilai standar deviasi sebesar 0,35. Sedangkan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja akibat bekerja secara shift hanya sebesar 1,41 dengan standar deviasi 0,39. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,92 sehingga pada tingkat kepercayaan 5 % berarti tidak terdapat hubungan antara shift kerja dengan stress kerja.

6. Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara konflik peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin meningkat konflik peran maka akan semakin meningkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,007 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara konflik peran dengan stress kerja.

7. Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara ketaksaan peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah ketaksaan peran maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara ketaksaan peran dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah ketaksaan peran maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil

8. Hubungan Antara Konflik Interpersonal Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara konflik interpersonal dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin bertambah konflik interpersonal maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,01 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara konflik interpersonal dengan stress kerja.

9. Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin bertambah ketidakpastian pekerjaan maka akan semakin meningkat tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,004 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja.

10. Hubungan Antara Kurangnya Kontrol Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kurangnya kontrol dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kurangnya kontrol dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas

11. Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola positif berarti semakin besar kurang kesempatan kerja maka akan semakin tinggi tingkat stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,208 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja.

12. Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara jumlah beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin banyak jumlah beban kerja maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,001 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % terdapat hubungan antara jumlah beban kerja dengan stress kerja.

13. Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara variasi beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin banyak variasi beban kerja maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara variasi beban kerja dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin banyak variasi beban kerja maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik

14. Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara tanggung jawab terhadap pekerja lain dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,801 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara tanggung jawab terhadap pekerja lain dengan stress kerja.

15. Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,617 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara kemampuan yang tidak digunakan dengan stress kerja.

16. Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja

Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara tuntutan mental dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin tinggi tuntutan mental maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa hubungan antara tuntutan mental dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin tinggi tuntutan mental maka akan semakin tinggi stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik

5.3.3 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.13

Tabel 5.13 Hubungan Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel

Pvalue

Aktivitas di Luar Pekerjaan

Berdasarkan tabel 5.13 didapatkan hasil bahwa hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin banyak aktivitas di luar pekerjaan maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,297 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja.

5.3.4 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X seperti pada tabel 5.14

Tabel 5.14 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

Variabel

Pvalue

Dukungan Sosial - 0,231 0,056

Berdasarkan tabel 5.14 didapatkan hasil bahwa hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja menunjukkan hubungan yang berpola negatif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,056 artinya pada tingkat kepercayaan 5 % tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja.

5.4 Analisis Multivariat

Untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap stress kerja maka dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi linier ganda. Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam analisis multivariat dengan model prediksi:

1. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat Pada penelitian ini terdapat 25 variabel yang diduga memiliki pengaruh terhadap stress kerja, yaitu faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri), faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja), faktor aktivitas di 1. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat Pada penelitian ini terdapat 25 variabel yang diduga memiliki pengaruh terhadap stress kerja, yaitu faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri), faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja), faktor aktivitas di

Tabel 5.15 Hubungan Antara Faktor Individual, Pekerjaan, Aktivitas di Luar Pekerjaan dan Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja Pada Pekerja di PT X Tahun 2014

1 Faktor Individual Jenis Kelamin

0,479 Umur

0,784 Status Pernikahan

0,726 Jumlah Anak

0,607 Masa Kerja

0,946 Kepribadian Tipe A

0,461 Penilaian Diri

2 Faktor Pekerjaan Kebisingan

0,09 Konflik Peran

0,007 Ketaksaan Peran

0,043 Konflik Interpersonal

Ketidakpastian Pekerjaan 0,004 Kurangnya Kontrol

0,085 Kurangnya Kesempatan Kerja

0,208 Jumlah Beban Kerja

0,001 Variasi Beban Kerja

0,19 Tanggung Jawab terhadap Pekerja Lain

0,801 Kemampuan yang Tidak Digunakan

0,617 Tuntutan Mental

0,428 Shift Kerja

3 Aktivitas di Luar Pekerjaan 0,297

4 Dukungan Sosial 0,056

Berdasarkan tabel di atas terdapat 12 variabel yang memiliki Pvalue < 0,25, yaitu penilaian diri, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, dan dukungan sosial. Dengan demikian, variabel-variabel tersebut masuk ke dalam model prediksi uji regresi linier ganda.

2. Pembuatan model faktor yang paling dominan berhubungan secara statistik dengan variabel stress kerja Dalam pemodelan ini, semua variabel kandidat dianalisis secara bersamaan. Variabel yang dimasukkan ke dalam model selajutnya adalah

variabel yang memiliki pvalue ≤ 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki pvalue > 0,05 dikeluarkan dari model. Pengeluaran model akan dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang memiliki pvalue paling besar. Berikut adalah hasil pembuatan model faktor penentu pada tabel 5.16

Tabel 5.16 Hasil Analisis Variabel Kandidat Model Multivariat Pvalue

Variabel

Penilaian Diri 0,125 0,118 0,117 0,118 0,125 0,143 0,071 - Suhu

- - - Konflik Peran

- - - Ketaksaan Peran 0,979

- - - Konflik

0,08 0,068 0,054 0,038 0,033 0,036 0,049 0,011 Interpersonal

Ketidakpastian 0,622 0,616 0,588

- - - Pekerjaan

0,16 0,167 0,184 0,211 - - Kontrol

Kurangnya Kesempatan

0,006 0,006 0,006 0,005 0,008 0,001 Kerja Jumlah Beban

Variasi Beban 0,052 0,049 0,044 0,042

0,04 0,044 0,047 0,038 Kerja

Dukungan 0,875 0,873

- - - Sosial

Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan hasil bahwa variabel yang dominan berhubungan dengan stress keja, yaitu suhu, konflik interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan variasi beban kerja. Hasil analisis multivariat variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 5.17

Tabel 5.17 Hasil Analisis Model Akhir Variabel Multivariat

Partial Variabel

Suhu 0,171 0,277 Konflik

0,156 0,315 Interpersonal

Kurangnya Kesempatan

Kerja Jumlah Beban

0,623 0,482 Kerja

Variasi Beban -0,188

-0,258 Kerja

Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan hasil bahwa:

1. Hubungan antara variabel tersebut dengan stress kerja memiliki hubungan yang kuat dan berpola positif sehingga semakin tinggi suhu, konflik interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja.

2. Nilai koefisien determinannya adalah 0,386 yang berarti model regresi yang diperoleh dapat menerangkan 38% variasi stress kerja.

3. Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis di atas yaitu sebesar 0,000 artinya pada tingkat kepercayaan 5% dapat dinyatakan bahwa model regresi fit dengan data yang ada.

4. Persamaan garis yang diperoleh dari hasil analisis ini adalah sebagai berikut: Y = α + βx Stress kerja = -1,117 + 0,171 (Suhu) + 0,156 (Konflik Interpersonal) + 0,171

(Kurangnya Kesempatan Kerja) + 0,623 (Jumlah Beban Kerja) – 0,188 (Variasi Beban Kerja)

Artinya dari persamaan garis tersebut, yaitu

a. o Setiap kenaikan suhu sebesar 1

C maka stress kerja akan lebih besar sebesar 0,171 kali.

b. Setiap bertambahnya konflik interpersonal yang terjadi maka stress kerja akan lebih besar sebesar 0,156 kali.

c. Setiap semakin sedikitnya kesempatan kerja yang diberikan maka stress kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,171 kali.

d. Setiap semakin banyaknya jumlah beban kerja yang diberikan maka stress kerja yang terjadi akan lebih besar sebesar 0,623 kali.

e. Setiap penurunan variasi beban kerja maka stress kerja yang dialami akan lebih rendah sebesar 0,188 kali.

5. Berdasarkan hasil partial correlation didapatkan hasil bahwa variabel yang paling dominan berhubungan dengan peningkatan stress kerja adalah variabel jumlah beban kerja.

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Jumlah pertanyaan yang terlalu banyak dapat membuat responden merasa kelelahan sehingga tidak fokus dalam mengisi kuesioner tersebut tetapi hal ini telah ditangani dengan melakukan uji reliabilitas terlebih dahulu.

2. Kuesioner yang digunakan menggunakan tipe self-report sehingga memungkinkan pekerja untuk tidak mengisinya tidak sesuai dengan kondisi aktual.

3. Analisis multivariat menggunakan uji regresi linier ganda untuk variabel dependen yang tidak normal seharusnya menggunakan uji analisis yang lain.

4. Keterbatasan jumlah sampel mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi klasik untuk dilakukannya uji regresi linier ganda.

5. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau sehingga memungkinkan terjadinya bias recall terhadap persepsi pekerja mengenai suhu udara saat musim hujan.

6.2 Stress Kerja

Dalam penelitian ini, pengukuran stress kerja dilakukan dengan melihat hubungan dengan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya stress kerja baik berupa faktor individual, faktor pekerjaan, faktor di luar pekerjaan maupun faktor pendukung. Pengukuran berbagai faktor tersebut dilakukan dengan mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman yang dirasakan oleh responden terhadap berbagai faktor yang mereka hadapi selama bekerja.

Secara umum, gejala stress kerja yang dialami seseorang dapat terlihat dari berbagai perubahan, baik psikologis, fisiologis, dan perilaku (NIOSH, 1999b). Hasil penelitian mengenai gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014 berada pada tingkat yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi stress kerja yang dialami responden, nilai rata-rata skor stress kerja dari seluruh responden yaitu sebesar 1,42 dengan nilai minimum sebesar 0,71 dan nilai maksimum sebesar 2,6. Jika rata-rata skor stress kerja yang didapatkan dibandingkan dengan median rata-rata total skor sebesar 2 maka rata-rata skor yang didapatkan dalam penelitian ini masih di bawah nilai rata-rata total skor. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat stress kerja yang dialami oleh para responden tidak terlalu tinggi.

Meskipun rata-rata tingkat stress kerja yang dialami para responden cenderung tidak tinggi tetapi faktor-faktor yang melatarbelakangi peningkatan tingkat stress kerja tersebut secara statistik terbukti berhubungan signifikan dengan faktor pekerjaan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, terdapat lima variabel yang masuk ke dalam model multivariat, yaitu suhu, konflik interpersonal, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, dan variasi beban kerja. Hal ini membuktikan bahwa pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pencegahan dan pengendalian untuk dapat mengurangi tingkat stress kerja yang dialami para pekerja mereka.

Stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak jangka panjang dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan apabila tidak diatasi dengan baik (Perlmutter & Villoldo, 2011). Berdasarkan hasil studi kohort yang dilakukan pada populasi MONICA/KORA di Jerman menunjukkan bahwa Stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak jangka panjang dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan apabila tidak diatasi dengan baik (Perlmutter & Villoldo, 2011). Berdasarkan hasil studi kohort yang dilakukan pada populasi MONICA/KORA di Jerman menunjukkan bahwa

Selain berdampak bagi kesehatan pekerja, stress kerja yang dialami oleh para pekerja juga dapat berdampak bagi perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Malaysia didapatkan hasil bahwa stress kerja yang dialami para pekerja dapat berdampak besar pada kepuasan kerja yang dirasakan para pekerja. Selain itu, kepuasan kerja ini yang kemudian dapat meningkatkan terjadinya absenteisme dan turnover pekerja di suatu perusahaan (Yahaya, Yahaya, Amat, Bon, & Zakariya, 2010). Pada penelitian lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta dan negeri di Yunani ditemukan bahwa meningkatnya stress kerja yang dialami para pekerja berdampak secara signifikan terhadap menurunnya produktivitas perusahaan. Hal ini dapat terjadi ketika pekerjaan yang mereka miliki sudah mulai mengganggu kehidupan pribadi pekerja maka hal ini akan berdampak negatif bagi produktivitas perusahaan (Halkos & Bousinakis, 2010).

6.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Stress Kerja

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress

serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, respon serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, respon

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan (13 %) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah responden laki-laki (87 %). Pekerja perempuan biasanya mengalami stress kerja yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hal ini terjadi dikarenakan keunikan sumber stress yang biasanya dihadapi oleh pekerja perempuan di tempat kerja, seperti gaji yang kecil, diskriminasi, stereotip, konflik pernikahan maupun di tempat kerja (Crandall & Perrewe, 1995). Selain itu, menurut Almeida et al (2003), efek stress kerja pada pekerja perempuan akan lebih merusak kesehatan dibandingkan dengan pekerja laki-laki (Aldwin, 2007).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel jenis kelamin tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan rata-rata stress kerja yang dialami pekerja laki- laki (1,43) dan perempuan (1,34) tidak begitu signifikan sehingga hal ini dapat mengakibatkan tidak terdapat perbedaan tingkat stress kerja pada pekerja berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan yang tidak signifikan ini dapat disebabkan tidak terdapatnya perbedaan jumlah beban kerja antara kedua jenis kelamin tersebut sehingga jenis kelamin tidak mempengaruhi stress kerja yang mereka alami. Padahal menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu peranan dalam Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel jenis kelamin tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan rata-rata stress kerja yang dialami pekerja laki- laki (1,43) dan perempuan (1,34) tidak begitu signifikan sehingga hal ini dapat mengakibatkan tidak terdapat perbedaan tingkat stress kerja pada pekerja berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan yang tidak signifikan ini dapat disebabkan tidak terdapatnya perbedaan jumlah beban kerja antara kedua jenis kelamin tersebut sehingga jenis kelamin tidak mempengaruhi stress kerja yang mereka alami. Padahal menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu peranan dalam

Kesulitan untuk mengidentifikasi pengaruh jenis kelamin terhadap perbedaan stress yang dialami pekerja berkaitan dengan permasalahan sampling yang seringkali sulit mendapatkan sampel seimbang baik dari segi jumlah maupun jabatan. Sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan di antara kedua jenis kelamin tersebut. Pada penelitian ini terjadi hal yang demikian, dimana jumlah pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan berada pada jumlah yang sangat berbeda. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan stress kerja antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan.

Selama ini bukti mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap gejala stress kerja yang terjadi di tempat kerja sangat sedikit. Perbedaan yang terlihat dari individu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya mekanisme coping. Saat mengalami kondisi stress, pekerja perempuan cenderung mengalami perubahan secara psikologis sedangkan pekerja laki-laki cenderung mengalami perubahan secara fisik (Crandall & Perrewe, 1995).

Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi para pekerja sebaiknya berusaha mengatur stress yang mereka alami dengan cara mengatur waktu yang baik dalam menyelesaikan tugas dan mengontrol situasi antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi sehingga keduanya tidak menimbulkan stress kerja khususnya bagi pekerja perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi. Dengan melakukan langkah pencegahan ini diharapkan tidak akan terjadi stress kerja terutama pada pekerja perempuan di kemudian hari.

6.4 Hubungan Antara Umur Dengan Stress Kerja

Umur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stress yang dialami oleh seseorang. Meskipun demikian, penelitian mengenai pengaruh umur terhadap tingkat stress kerja masih belum jelas dan hasilnya seringkali berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja industri di Jerman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan gejala stress akut (Rauschenbach, Krumm, Thielgen, & Hertel, 2013). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan pada perawat menunjukkan bahwa pekerja yang berusia tua berhubungan secara signifikan dengan terjadinya stress kerja (Golubic, Milosevic, Knezevic, & Mustajbegovic, 2009).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata umur pekerja adalah sebesar 33,09. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rauschenbach dan Hertel (201 1), hubungan antara umur dengan tingkat stress kerja membentuk kurva “U” terbalik. Tingkat stress yang dialami pekerja muda (< 35 tahun ) cenderung rendah dan mulai mengalami peningkatan hingga mencapai puncak stress kerja pada pekerja usia menengah (36-50 tahun) kemudian mengalami penurunan stress ketika pekerja memasuki golongan usia tua (> 50 tahun). Perbedaan tingkat stress ini dipengaruhi oleh tuntutan kerja yang cenderung berbeda pada masing-masing kelompok umur sehingga menghasilkan tingkat stress kerja yang berbeda-beda (Schlick, Frieling, & Wegge, 2013).

Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan bahwa variabel umur berhubungan lemah dan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa peningkatan umur seseorang akan semakin meningkatkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan bahwa variabel umur berhubungan lemah dan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa peningkatan umur seseorang akan semakin meningkatkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang

Meskipun berhubungan secara positif tetapi variabel umur tidak berhubungan signifikan dengan variabel stress kerja. Hal ini dapat terjadi karena faktor umur tidak mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami para pekerja secara signifikan. Pekerja berumur tua cenderung mengalami stress yang lebih tinggi akibat beban kerja dan tanggung jawab yang besar (Juneja, 2004). Pada penelitian ini, faktor tanggung jawab dan beban kerja yang harus diemban oleh pekerja tidak dipengaruhi oleh umur. Baik pekerja yang berusia muda maupun tua memiliki beban kerja yang tidak berbeda sehingga variabel umur tidak berpengaruh dengan tingkat stress kerja.

6.5 Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stress Kerja

Status pernikahan dapat berpengaruh pada tingkat stress seseorang. Individu yang berstatus menikah biasanya memiliki tingkat stress yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya maka stress kerja yang dialaminya akan cenderung karena adanya dukungan dari pasangan (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stress hanya akan berpengaruh positif apabila pernikahan tersebut berjalan dengan baik.

Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa pekerja yang berstatus menikah (78,3 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang berstatus tidak menikah (21,7 %). Status sebuah hubungan terhadap kesehatan merupakan suatu hal yang penting. Akan tetapi, kualitas hubungan tersebut juga berhubungan dengan kesehatan seseorang. Kebahagiaan sebuah pernikahan merupakan salah satu cara memprediksi kebahagiaan secara global sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan yang tidak bahagia akan menyebabkan stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak menikah (Ogden, 2012).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan rata-rata pekerja yang mengalami stress kerja baik pada pekerja yang sudah menikah (1,43) maupun belum menikah (1,39) juga tidak berbeda secara signifikan. Tingkat stress kerja yang cenderung tidak berbeda ini dapat terjadi karena sama tingginya faktor pekerjaan baik pada pekerja yang sudah menikah maupun belum menikah sehingga membuat kedua kelompok pekerja tersebut memiliki tingkat stress kerja yang tidak jauh berbeda. Hal ini yang kemudian mengakibatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pernikahan dengan stress kerja.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja kesehatan dimana terdapat hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja. Pekerja yang berstatus menikah cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan pekerja yang berstatus menikah mendapatkan dukungan emosional Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja kesehatan dimana terdapat hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja. Pekerja yang berstatus menikah cenderung mengalami stress lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang tidak menikah. Hal ini terjadi dikarenakan pekerja yang berstatus menikah mendapatkan dukungan emosional

Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara status pernikahan dengan stress kerja juga dapat disebabkan pada pekerja yang sudah menikah dimana terdapat dukungan yang diberikan pasangan tidak terlalu berpengaruh terhadap stress yang dialami akibat pekerjaannya. Sehingga tingkat stress kerja baik pada pekerja yang berstatus menikah maupun tidak menikah tidak terlalu dipengaruhi oleh adanya keberadaan pasangan.

6.6 Hubungan Antara Jumlah Anak Dengan Stress Kerja

Kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dianggap sebagai penyatu hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi, di lain pihak kehadiran anak dalam sebuah pernikahan dapat mengakibatkan menurunnya kepuasan pernikahan. Menurunnya kepuasan pernikahan ini sebagai dampak adanya transisi menjadi pasangan orang tua sehingga dapat menimbulkan perasaan stress. Hal ini seringkali terjadi setelah kelahiran anak pertama (Shute, 2009).

Dari hasil penelitian ini, rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh para pekerja berjumlah satu orang. Memiliki anak berarti bahwa pekerja memiliki tugas tambahan untuk merawat anak mereka di rumah. Menurut Sonnentag (2001), aktivitas merawat anak merupakan salah satu aktivitas dapat mempengaruhi tingkat stress seseorang (Sonnentag, Perrewe, & Ganster, 2009). Dalam beberapa keluarga, pertambahan jumlah anak dapat membuat tingkat stress menjadi sangat tinggi (Vajdi, 1991).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa jumlah anak berhubungan negatif dan tidak signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Twenge et al (2005) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak lebih dari dua akan memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah serta tingginya stress yang dirasakan oleh orang tua (Hess, 2008).

Dalam penelitian ini, tidak terdapatnya hubungan antara jumlah anak dengan stress kerja dapat terjadi dikarenakan jumlah anak yang dimiliki rata-rata dalam jumlah yang sedikit, yaitu satu orang. Sehingga apabila terdapat efek stress yang timbul akibat jumlah anak maka tingkat stress yang terjadi tidak terlalu signifikan berbeda dengan pekerja yang belum memiliki anak. Adapun stress yang dialami para pekerja lebih mungkin berasal dari faktor pekerjaan seperti tingginya jumlah beban kerja.

6.7 Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stress Kerja

Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Masa kerja yang berhubungan dengan stress kerja berkaitan dalam menimbulkan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja lebih dari lima tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja baru. Kejenuhan ini yang kemudian dapat berdampak pada timbulnya stress di tempat kerja (Munandar, 2001).

Dari hasil penelitian ini, rata-rata pekerja memiliki masa kerja selama 71,64 bulan. Semakin lama masa kerja akan menyebabkan tingkat stress kerja yang dialami seseorang semakin tinggi. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan Dari hasil penelitian ini, rata-rata pekerja memiliki masa kerja selama 71,64 bulan. Semakin lama masa kerja akan menyebabkan tingkat stress kerja yang dialami seseorang semakin tinggi. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja yang lebih banyak dibandingkan

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel masa kerja berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Frone (1998) yang menemukan bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka semakin tinggi stress kerja yang dialami seseorang. Hal ini dikarenakan seseorang dengan masa kerja yang lama cenderung memiliki pengalaman kerja yang baik sehingga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang lebih besar (Barling et al., 2005). Sedangkan pada penelitian ini, masa kerja tidak berhubungan dengan stress kerja bisa terjadi dikarenakan besarnya tanggung jawab yang diberikan kepada pekerja tidak tergantung pada masa kerja. Pekerja baru maupun lama tidak memiliki perbedaan beban kerja yang signifikan. Oleh karena itu, lama atau baru masa kerja pekerja tidak dapat mempengaruhi tingkat stress kerja yang dialami pekerja di PT X.

6.8 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stress Kerja

Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung bersifat kompetitif, ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Individu dengan tipe kepribadian ini selalu berusaha mencapai tujuan mereka tanpa mempedulikan perasaan bahagia dalam diri mereka. Individu yang memiliki tipe kepribadian ini cenderung bereaksi secara berlebihan sehingga memiliki tekanan darah yang tinggi. Selain itu, kepribadian tipe A juga membuat individu mudah marah sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya (McLeod, 2011).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,24 dengan nilai minimum sebesar 2,65 dan nilai maksimum sebesar 4. Jika dibandingkan dengan total skor sebesar 1 – 5 maka rata-rata tersebut sudah melebihi nilai median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Seseorang yang memiliki kepribadian tipe A memiliki pola orientasi untuk berprestasi dan berkompetisi, dan tidak sabar yang terlihat melalui sifat agresif dan bermusuhan dengan orang lain. Menurut Maslach et al (2001) kepribadian tipe A sangat berhubungan dengan kelelahan. Kepribadian tipe A memicu ketidakberdayaan dan keputusasaan. Kepribadian tipe A dapat memicu terjadinya stress kerja yang tinggi ketika kontrol terhadap pekerjaan rendah. Pekerja dengan kepribadian tipe A cenderung mengambil tanggung jawab lebih besar yang mengakibatkan beban kerja berlebih dan ketegangan secara psikologis (Pestonjee & Pandey, 2013).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa variabal kepribadian tipe A berhubungan positif dengan stress kerja sehingga peningkatan sikap yang berkaitan kepribadian tipe A akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami. Meskipun demikian, variabel kepribadian tipe A tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan guru sekola di Haryana yang menunjukkan bahwa kepribadian tipe A dapat memicu terjadinya burnout (Kumari, 2008). Selain itu dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta menemukan bahwa kepribadian tipe A berhubungan stress kerja yang mengakibatkan timbulnya kelelahan dalam bekerja (Aghaei, Asadollahi, Moezzi, Beigi, & Parvinnejad, 2013). Pada Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa variabal kepribadian tipe A berhubungan positif dengan stress kerja sehingga peningkatan sikap yang berkaitan kepribadian tipe A akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami. Meskipun demikian, variabel kepribadian tipe A tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan guru sekola di Haryana yang menunjukkan bahwa kepribadian tipe A dapat memicu terjadinya burnout (Kumari, 2008). Selain itu dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada pekerja sektor swasta menemukan bahwa kepribadian tipe A berhubungan stress kerja yang mengakibatkan timbulnya kelelahan dalam bekerja (Aghaei, Asadollahi, Moezzi, Beigi, & Parvinnejad, 2013). Pada

A maupun tidak memiliki tingkat stress kerja yang hampir sama sehingga stress kerja yang dialami bukan dipengaruhi faktor kepribadian tipe A melainkan faktor pekerjaan lainnya.

6.9 Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stress Kerja

Penilaian diri adalah persepsi individu terhadap kemampuan, keberhasilan, dan kelayakan dirinya. Penilaian individu terhadap dirinya dapat mempengaruhi perilaku (Resnick, 2004). Penilaian diri dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi tekanan yang berasal dari lingkungan. Ketika penilaian seseorang terhadap dirinya baik maka orang tersebut akan berusaha untuk menghadapi dan mengatasi setiap peristiwa yang dihadapinya sehingga tingkat stress yang dialaminya cenderung rendah dan begitu juga sebaiknya (Wijono, 2010).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,59 dengan nilai minimum sebesaar 2,7 dan nilai maksimum sebesar 4,8. Jika dibandingkan dengan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Penilaian diri yang rendah sangat mungkin meningkatkan risiko tress yang dialami seseorang terutama ketika tuntutan pekerjaan dan konflik yang dimiliki cukup tinggi (Lundberg & Cooper, 2011). Selain mempengaruhi tingkat stress, penilaian diri juga dapat mempengaruhi pemilihan metode coping tetapi kesuksesan atau kegagalan coping yang Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 3,59 dengan nilai minimum sebesaar 2,7 dan nilai maksimum sebesar 4,8. Jika dibandingkan dengan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai median sebesar 2,5 sehingga rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Penilaian diri yang rendah sangat mungkin meningkatkan risiko tress yang dialami seseorang terutama ketika tuntutan pekerjaan dan konflik yang dimiliki cukup tinggi (Lundberg & Cooper, 2011). Selain mempengaruhi tingkat stress, penilaian diri juga dapat mempengaruhi pemilihan metode coping tetapi kesuksesan atau kegagalan coping yang

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel penilaian diri berhubungan negatif dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Baumeister et al (2003) yang menemukan bukti bahwa penilaian diri yang baik dapat membantu mengatasi stress dan mencegah kegelisahan ketika mengalami stress bahkan trauma sekalipun (Mruk, 2006). Variabel ini tidak berhubungan dikarenakan meskipun pekerja menilai mereka memiliki kemampuan diri yang baik tetapi penilaian diri tersebut tidak mampu mengurangi perasaan stress yang dialami pekerja faktor pekerjaan yang tinggi. Sehingga hal ini mengakibatkan penilaian diri tidak berhubungan secara signifikan dengan stress kerja.

Penilaian diri yang dimiliki para pekerja sudah cenderung baik. Oleh karena itu, sebaiknya para pekerja tetap berusaha mempertahankan penilaian diri yang baik ini. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penurunan penilaian terhadap diri sendiri yang dapat berdampak pada meningkatnya stress kerja.

6.10 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Stress Kerja

Kebisingan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di tempat kerja. Tingkat kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling tinggi dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah kebisingan, sanitasi lingkungan, substansi berbahaya, pencahayaan dan suhu (ILO, 2003).

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang merasakan tempat kerja mereka bising (46,4%) lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang merasakan bahwa tempat kerja mereka tidak bising (53,6 %). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kebisingan di tempat kerja didapatkan hasil bahwa jumlah pekerja yang terpapar kebisingan seharusnya hanya berjumlah 37,6%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pekerja yang seharusnya tidak terpapar kebisingan tetapi menganggap bahwa tempat kerjanya bising. Karakteristik personal mempengaruhi respon seseorang terhadap kebisingan yang dihadapinya. Seseorang yang menganggap tempat kerja mereka bising biasanya memiliki perasaan yang mudah gelisah. Meskipun demikian, kebisingan dapat diartikan berbeda pada setiap orang baik dari segi intensitasnya, frekuensi mauun reaksinya tergantung dari pengalaman subjektif yang pernah dirasakan orang tersebut (Sutherland & Cooper, 2010).

Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa kebisingan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini bisa terjadi dikarenakan jumlah responden yang menganggap tempat kerja mereka bising lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang menganggap tempat kerja mereka tidak bising. Sehingga tidak terlihat adanya pengaruh signifikan dengan adanya kebisingan terhadap stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen terus berupaya untuk mengendalikan tingkat kebisingan yang terdapat di lingkungan kerja yang diupayakan dengan melakukan pengendalian teknis untuk mencegah terjadinya stress kerja akibat tingkat kebisingan yang tinggi.

6.11 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Stress Kerja

Pencahayaan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di lingkungan kerja. Tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout & Rout, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pekerja yang menganggap tempat kerja mereka memiliki pencahayaan baik (75,4) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat kerja mereka buruk (24,6%). Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran tingkat pencahayaan di tempat kerja, seharusnya pekerja yang terdapat di tempat kerja dengan pencahayaan baik hanya sebesar 46,37 %. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi pekerja terhadap kondisi pencahayaan yang baik lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi aktual. Meskipun persepsi pekerja terhadap pencahayaan di tempat kerja mereka baik tetapi tingkat pencahayaan yang tidak baik dapat memicu terjadinya ketegangan pada otot mata, kerusakan mata, kelelahan mata, sakit kepala, dan frustasi (Sutherland & Cooper, 2010). Oleh karena itu, tingkat pencahayaan yang efektif harus diterapkan karena pencahayaan yang efektif dapat mengurangi stress pada pekerja dan meningkatkan kepuasan kerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja (Leavitt & Leavitt, 2011).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini terjadi dikarenakan tidak terdapat perbedaan rata- rata yang signifikan antara pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat kerja mereka baik (1,42) dengan pekerja yang menganggap pencahayaan di tempat kerja mereka buruk (1,41). Sehingga tingkat stress kerja yang dialami pekerja tidak dipengaruhi oleh faktor pencahayaan di tempat kerja.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pekerja terhadap pencahayaan di tempat kerja mereka cenderung baik. Akan tetapi, jika melihat hasil pengukuran cahaya yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tempat kerja masih memiliki tingkat pencahayaan di bawah batas minimal pencahayaan untuk tempat kerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen melakukan perbaikan pencahayaan di tempat kerja agar sesuai dengan batas minimal pencahayaan baik untuk lobby 100 lux, ruang kerja 350 lus, laboratorium 500 lux, dan plant 200 lux dengan menggunakan pencahayaan alami maupun dengan pencahayaan buatan. Langkah perbaikan ini dilakukan untuk mencegah efek jangka panjang bagi kesehatan pekerja akibat pencahayaan yang buruk.

6.12 Hubungan Antara Suhu Dengan Stress Kerja

Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu, Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu,

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pekerja yang merasakan suhu di tempat kerja tidak nyaman (55,1 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang merasakan suhu di tempat kerja mereka nyaman (44,9 %). Padahal berdasarkan hasil pengukuran suhu udara didapatkan hasil sebanyak 59,4 % pekerja bekerja pada ruangan dengan suhu udara yang nyaman. Hal ini membuktikan bahwa persepsi pekerja terhadap suhu udara di tempat kerja mereka lebih buruk dibandingkan dengan kondisi aktual. Selain itu, berdasarkan nilai rata-rata tingkat ketidaknyamanan suhu yang dirasakan para pekerja hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar dirasakan oleh pekerja yang bekerja di area plant. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suhu udara di area

plant o yang mencapai lebih dari 30 C sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pekerja. Efek suhu udara yang dirasakan seseorang tergantung pada jenis

pekerjaan yang dilakukan, ketebalan pakaian, dan lamanya waktu yang dihabiskan pada suhu udara yang terlalu dingin atau panas (Barling et al., 2005). Hal ini yang kemudian dapat menyebabkan perbedaan persepsi pekerja terhadap kondisi aktual di tempat kerja.

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel suhu udara berhubungan secara signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Dampak umum ketika bekerja dengan kondisi yang terlalu panas dapat membuat pekerja merasa lebih sulit untuk mengatasi stressor lain yang terdapat di tempat kerja dan dapat menyebabkan menurunnya motivasi pekerja. Oleh Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel suhu udara berhubungan secara signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Dampak umum ketika bekerja dengan kondisi yang terlalu panas dapat membuat pekerja merasa lebih sulit untuk mengatasi stressor lain yang terdapat di tempat kerja dan dapat menyebabkan menurunnya motivasi pekerja. Oleh

Selain berhubungan signifikan dengan stress kerja, variabel suhu merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat di rumah sakit di Iran bahwa suhu udara yang nyaman berhubungan dengan kualitas tidur yang baik (Azmoon, Dehghan, Akbari, & Souri, 2012). Penelitian tersebut membuktikan bahwa suhu di tempat kerja dapat mempengaruhi kondisi stress yang dialami seseorang.

Untuk mengatasi ketidaknyamanan pekerja karena suhu udara yang tidak sesuai maka pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pengendalian bagi pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu berupa penurunan suhu udara dan penyesuaian kualitas seragam. Bagi lokasi plant, penurunan suhu udara dapat dilakukan dengan menggunakan ventilasi dilusi. Ventilasi dilusi ini berfungsi untuk menyuplai dan mengeluarkan udara dalam jumlah yang besar dalam suatu area bangunan yang biasanya menggunakan bantuan fan. Selain itu, ventilasi dilusi ini juga dapat digunakan untuk mengendalikan panas di dalam suatu bangunan. Pemasangan ventilasi dilusi ini dapat digunakan untuk menurunkan suhu udara dengan cara menyeimbangkan antara volume ruangan dengan kecepatan udara yang akan dialirkan (CCOHS, 2008). Dengan demikian suhu udara akan menurun serta dapat memberikan Untuk mengatasi ketidaknyamanan pekerja karena suhu udara yang tidak sesuai maka pihak manajemen sebaiknya melakukan langkah pengendalian bagi pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu berupa penurunan suhu udara dan penyesuaian kualitas seragam. Bagi lokasi plant, penurunan suhu udara dapat dilakukan dengan menggunakan ventilasi dilusi. Ventilasi dilusi ini berfungsi untuk menyuplai dan mengeluarkan udara dalam jumlah yang besar dalam suatu area bangunan yang biasanya menggunakan bantuan fan. Selain itu, ventilasi dilusi ini juga dapat digunakan untuk mengendalikan panas di dalam suatu bangunan. Pemasangan ventilasi dilusi ini dapat digunakan untuk menurunkan suhu udara dengan cara menyeimbangkan antara volume ruangan dengan kecepatan udara yang akan dialirkan (CCOHS, 2008). Dengan demikian suhu udara akan menurun serta dapat memberikan

Sedangkan bagi para pekerja disarankan agar apabila merasakan ketidaknyamanan suhu di lingkungan kerja sebaiknya menyampaikannya kepada Departemen HSE setiap safety meeting mingguan dilakukan. Dengan menyampaikan keluhan yang dirasakan nantinya diharapkan akan ada tindak lanjut dari Departemen HSE kepada pihak manajemen untuk dapat melakukan perbaikan terhadap kondisi lingkungan kerja yang dirasa tidak sesuai.

6.13 Hubungan Antara Ventilasi Dengan Stress Kerja

Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik, terlalu banyak orang di ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia (Schroeder, 2013).

Dari hasil penelitian ini, pekerja yang merasakan ventilasi di tempat kerja mereka buruk (69,6 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang menganggap bahwa ventilasi di tempat kerja mereka baik (30,4 %). Padahal

berdasarkan hasil pengukuran kadar debu, seluruh responden sebenarnya berada pada lokasi kerja dengan kadar debu pada tingkat yang aman. Sedangkan berdasarkan hasil pengukuran ventilasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden (86,96 %) berada tempat kerja yang memiliki ventilasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan 1405 Tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kadar debu dan ukuran ventilasi yang terdapat di tempat kerja mereka telah sesuai dengan standar yang ditetapkan tetapi persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di tempat kerja mereka tidak sesuai dengan kondisi aktual. Hal ini bisa terjadi dikarenakan meskipun ventilasi di tempat kerja mereka sudah sesuai dengan standar tetapi pada aktivitas pekerjaan sehari-harinya ventilasi di tempat kerja mereka tidak pernah dibuka. Sehingga pekerja menganggap bahwa sirkulasi udara di tempat kerja mereka tidak baik. Padahal menurut Chandraseker (2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan kesehatan (Ajala, 2012). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Roelofsen (2002) menunjukkan bahwa kualitas udara dan ventilasi memiliki pengaruh yang paling besar dengan kepuasan kerja dan stress kerja (Awbi, 2008). Polusi udara juga dapat mempengaruhi timbulnya emosi negatif, menurunkan interaksi interpersonal dan meningkatkan konflik, dan pada kondisi tertentu bahkan dapat meningkatkan perilaku agresif (Barling et al., 2005).

Meskipun sebagian besar pekerja menganggap ventilasi di tempat kerja mereka buruk, tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan stress kerja yang dialami

para pekerja di PT X. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak terdapatnya perbedaan rata-rata yang signifikan di antara pekerja yang menganggap ventilasi di tempat kerja baik (1,3) maupun buruk (1,47). Sehingga pekerja yang menganggap ventilasi baik maupun buruk tidak memiliki tingkat stress kerja yang berbeda. Akan tetapi sebaiknya pihak manajemen berupaya melakukan perbaikan kondisi ventilasi di tempat kerja. Hal ini dikarenakan persepsi pekerja terhadap ventilasi di tempat kerja mereka cenderung tidak baik. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 1405 Tahun 2002 disebutkan bahwa ruang kerja yang menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan diupayakan agar mendapatkan pergantian udara secara alamiah dengan cara membuka seluruh pintu atau jendela atau dengan menggunakan kipas angin. Selain itu, pemeliharan AC berupa pembersihan filter udara juga harus dilakukan secara periodik minimal satu tahun sekali. Hal ini dilakukan agar sirkulasi udara di ruangan dapat berjalan dengan baik sehingga dapat memperbaiki persepsi pekerja terhadap kondisi ventilasi di tempat kerja mereka. Dengan demikian, sirkulasi udara akan berjalan dengan baik serta dapat mencegah timbulnya stress kerja akibat kondisi ventilasi yang buruk.

6.14 Hubungan Antara Konflik Peran Dengan Stress Kerja

Konflik peran biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu:

1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik

2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda

3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan

4. Banyaknya peran yang harus dilakukan

5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (Hubbard, 1998) Dalam penelitian ini, rata-rata skor konflik peran yang dialami para responden yaitu sebesar 3,56 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5,62. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor variabel konflik peran yaitu sebesar 3,5 maka skor pada variabel ini sudah cenderung tinggi karena sudah melebihi nilai median. Selain itu, nilai maksimum yang dicapai pun sudah cenderung sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa konflik peran yang dialami para pekerja sudah cukup tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada pekerja di perusahaan industri skala kecil dan menengah di India dimana konflik peran berperan dalam meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dapat terjadi ketika pekerja diharuskan memenuhi tuntutan bertentangan peran yang mereka lakukan. Konflik peran tersebut kemudian membentuk harapan yang berlebihan sehingga sangat sulit untuk dicapai dan berujung pada munculnya stress yang dialami para pekerja (Vanishree, 2014b).

Konflik peran yang dialami oleh para pekerja dapat menimbulkan dampak terutama dalam meningkatkan turnover pekerja dan menurunkan performa kerja (Barling et al., 2005). Selain itu, dari hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan Konflik peran yang dialami oleh para pekerja dapat menimbulkan dampak terutama dalam meningkatkan turnover pekerja dan menurunkan performa kerja (Barling et al., 2005). Selain itu, dari hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan

Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil bahwa konflik peran berhubungan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti peningkatan konflik peran yang dirasakan para pekerja dapat meningkatkan tingkat stress kerja yang mereka alami. Apabila konflik peran terjadi secara terus menerus dan dibarengi ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi maka sangat mungkin menyebabkan kelelahan secara emosional yang dapat mempengaruhi kesehatan dan performa kerja. Menurut Schwab (1981) dan Kelloway dan Barling (1991), menyatakan bahwa konflik peran dapat memprediksi terjadi kelelahan emosional secara signifikan. Konsekuensi lain dari konflik peran, yaitu pengasingan diri, rendahnya privasi , frustasi, dan burnout (Harigopal, 1995).

Meskipun variabel konflik peran memiliki kecenderungan skor yang tinggi, tetapi variabel ini tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Hal ini dapat teradi karena dipengaruhi perbedaan karakteristik sampel yang dapat dipengaruhi oleh budaya kerja yang diimplementasikan di suatu negara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika, Norwegia, Turki yang menunjukkan hasil berbeda-beda pada setiap negara tersebut (Perrewe & Ganster, 2011).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel konflik peran tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja. Meskipun demikian,

hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan yang tinggi mengenai konflik peran yang dirasakan para pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pihak manajemen berupaya untuk mengurangi konflik peran yang dirasakan para pekerja. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik peran, yaitu melalui komunikasi efektif dan pelatihan. Peningkatan komunikasi dengan pekerja dapat mengurangi ketidapastian yang menyebabkan terjadinya konflik peran. Semakin banyak informasi yang diberikan mengenai tuntutan, tantangan dan kesempatan kerja maka dapat mengurangi konflik peran yang terjadi. Sedangkan pelatihan diberikan untuk menjelaskan spesifikasi dan memperjelas tanggung jawab pekerjaan sehingga dapat menghindari terjadinya konflik peran (H. Singh, 2009). Dengan tingkat stress yang rendah maka pekerjaan akan berjalan lebih efektif.

6.15 Hubungan Antara Ketaksaan Peran Dengan Stress Kerja

Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga dapat terjadi akibat perubahan teknologi, struktur organisasi, adanya pekerja baru dalam organisasi, perubahan pekerjaan, supervisor baru, atau tempat kerja baru (Barling et al., 2005).

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,48 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum 5,33. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 3,5 maka rata-rata skor tersebut Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,48 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum 5,33. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 3,5 maka rata-rata skor tersebut

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel ketaksaan peran tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X tetapi keduanya berhubungan positif. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan ketaksaan peran yang dirasakan para pekerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang dialami (Ram et al., 2011).

Ketaksaan peran memiliki konsekuensi yang hampir sama dengan permasalahan konflik peran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan ketaksaan peran berdampak pada timbulnya stress kerja yang mengakibatkan menurunnya kepuasan kerja dari anggota organisasi, rendahnya konsentrasi, dan rendahnya kemampuan pengambilan keputusan ( (Vanishree, 2014a) dan (Anton, 2009)). Selain itu, konflik peran dan ketaksaan peran dapat Ketaksaan peran memiliki konsekuensi yang hampir sama dengan permasalahan konflik peran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan ketaksaan peran berdampak pada timbulnya stress kerja yang mengakibatkan menurunnya kepuasan kerja dari anggota organisasi, rendahnya konsentrasi, dan rendahnya kemampuan pengambilan keputusan ( (Vanishree, 2014a) dan (Anton, 2009)). Selain itu, konflik peran dan ketaksaan peran dapat

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara ketaksaan peran dengan stress kerja pada penelitian ini dapat dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang berbeda dengan penelitian lainnya. Pada penelitian Singh (2000) ditemukan hubungan yang signifikan antara ketaksaan peran dengan stress kerja pada para pekerja frontline di bidang jasa. Tetapi, dalam penelitian Lord (1996) dan Narayanan et al (1999), tidak ditemukan hubungan antara ketaksaan peran dengan stress kerja pada pekerja clerical, polisi, dan professor (Sams, 2005).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketaksaan peran tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja. Meskipun memiliki kecenderungan yang rendah sebaiknya dilakukan langkah pencegahan secara dini untuk menghindari terjadinya peningkatan ketaksaan peran di waktu yang akan datang. Pencegahan ketaksaan peran dapat dilakukan melakukan komunikasi yang efektif (H. Singh, 2009). Komunikasi efektif ini dapat dilakukan setiap minggu antara atasan dengan bawahan (manajer dengan supervisor atau supervisor dengan pekerja) ketika meeting setiap departemen dilakukan. Melalui komunikasi yang efektif, para pekerja dapat menyampaikan aspirasi mereka mengenai pekerjaan yang mereka lakukan dan atasan dapat membantu pekerjanya untuk mengatasi hambatan yang dirasakan para pekerja khususnya yang berkaitan dengan ketaksaan peran. Melalui komunikasi ini pekerja juga dapat mengetahui peran dan tanggung jawabnya secara jelas.

6.16 Hubungan Antara Konflik Interpersonal Dengan Stress Kerja

Konflik di tempat kerja merupakan hal yang biasa terjadi dimana ketidaksepakatan atau diskusi yang panas merupakan kondisi yang tidak terelakkan yang terjadi di lingkungan pekerjaan. Beberapa konflik dapat mendorong dalam meningkatkan produktivitas jika pekerja berusaha mencari solusi permasalahan yang kreatif. Akan tetapi, ketika perbedaan dan ketidaksepakatan tersebut memicu terjadinya perasaan sakit hati maka hal ini dapat menimbulkan stress jangka panjang dan perasaan tidak senang (Edelmann, 2000). Hubungan sosial yang baik antar sesama pekerja memang dapat mengurangi perasaan stress di tempat kerja tetapi apabila yang terjadi tidak demikian maka hal ini dapat menyebabkan timbulnya tekanan dalam bekerja (Rout & Rout, 2002).

Dalam penelitian ini, nilai rata-rata skor yang didapatkan untuk variabel ini yaitu sebesar 2,27 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 3,94. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1-5 maka skor tersebut telah masih berada di bawah nilai median sehingga rata-rata skor tersebut memiliki kecenderungan tidak tinggi. Sedangkan konflik interpersonal yang seringkali terjadi yaitu perbedaan pendapat di antara anggota departemen. Meskipun kecenderungan skor dari variabel ini tidak tinggi tetapi dampak adanya konflik interpersonal cukup serius.

Konflik interpersonal memiliki dampak terhadap stress kerja yang sangat nyata terutama dalam jangka waktu yang panjang. Dampak yang paling signifikan akibat adanya konflik interpersonal yaitu perasaan gelisah. Perasaan gelisah merupakan emosi yang muncul untuk mengantisipasi permasalahan dan Konflik interpersonal memiliki dampak terhadap stress kerja yang sangat nyata terutama dalam jangka waktu yang panjang. Dampak yang paling signifikan akibat adanya konflik interpersonal yaitu perasaan gelisah. Perasaan gelisah merupakan emosi yang muncul untuk mengantisipasi permasalahan dan

Secara statistik, konflik interpersonal berhubungan positif dengan stress kerja yang dialami para pekerja berarti semakin tinggi konflik interpersonal yang dialami para pekerja maka akan semakin meningkatkan stress kerja yang mereka alami. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya konflik yang dirasakan oleh para pekerja baik dengan sesama anggota departemen maupun dengan anggota departemen lainnya. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat terjadi ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi misalnya ketika seseorang lupa mengundang rekannya untuk menghadiri sebuah pertemuan yang dianggap penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal merupakan salah satu variabel penting yang dapat berdampak kompleks bagi pekerja yang mengalaminya (Jex & Britt, 2008).

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel konflik interpersonal merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel konflik interpersonal merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan

Untuk mencegah timbulnya dampak yang merugikan akibat adanya konflik interpersonal maka pihak manajemen harus berupaya melakukan langkah pengendalian. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi yang efektif dengan pekerja yang bertikai. Komunikasi efektif ini dilakukan dengan cara melakukan komunikasi dua arah yang menghasilkan umpan balik. Komunikasi yang efektif ini sebaiknya dilakukan secara rutin setiap meeting mingguan tiap departemen untuk mengendalikan bahkan mencegah terjadinya konflik interpersonal antar pekerja. Melalui komunikasi yang efektif, maka pihak manajemen dapat menggali informasi mengenai permasalahan yang dihadapi antar pekerja tersebut. Untuk penyelesaian lanjutannya, pihak manajemen dapat menerapkan strategi manajemen konflik. Strategi yang dapat diterapkan yaitu penyelesaian dengan mengambil jalan tengah atau kompromi atau menggunakan peraturan perusahaan yang berlaku sebagai cara penyelesaiannya (Wijono, 2010).

6.17 Hubungan Antara Ketidakpastian Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Ketidakpastian pekerjaan berkaitan dengan ancaman kehilangan pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang dapat mengakibatkan menurunnya performa kerja dan menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan di tempat lain (Stellman, 1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat direspon berbeda oleh setiap pekerja. Di satu sisi, pekerja akan semakin meningkatkan performanya agar mereka Ketidakpastian pekerjaan berkaitan dengan ancaman kehilangan pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang dapat mengakibatkan menurunnya performa kerja dan menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan di tempat lain (Stellman, 1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat direspon berbeda oleh setiap pekerja. Di satu sisi, pekerja akan semakin meningkatkan performanya agar mereka

Dalam penelitian ini, didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,7 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum mencapai 5. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor tersebut sudah melebih nilai median dan memiliki kecenderungan cukup tinggi. Selain itu, rata-rata tingkat ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan oleh para pekerja cenderung lebih tinggi pada pekerja yang berstatus pekerja tetap (2,77) dibandingkan dengan pekerja tidak tetap (2,43). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pekerja telah berstatus sebagai pekerja tetap tetapi keyakinan para pekerja terhadap masa depan karir mereka di perusahaan ini cenderung rendah. Menurut Filipkowski dan Johnson (2008), ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan para pekerja dapat menyebabkan rendahnya komitmen pekerja terhadap organisasi dan meningkatkan turnover pekerja (Perrewe & Ganster, 2011). Bagi para pekerja, ketidakpastian pekerjaan mereka di masa depan dapat dinilai sebagai ancaman karena hal ini memiliki konsekuensi yang serius yaitu dapat mengubah kehidupan seseorang secara drastis dan merubah gaya hidup secara tidak terduga (Perrewe & Ganster, 2010).

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Akan tetapi, kedua variabel tersebut saling berhubungan secara positif yang berarti apabila terjadi ketidakpastian pekerjaan yang terjadi semakin tinggi maka akan menghasilkan tingkat stress kerja yang lebih tinggi

juga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja dimana hasilnya menunjukkan bahwa ketidakpastian pekerjaan berhubungan signifikan dalam meningkatkan absenteisme pekerja (Chirumbolo & Areni, 2005). Selain itu, hasil penelitian pada pekerja di rumah sakit juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja (Zyl, Eeden, & Rothmann, 2013). Ketidakpastian pekerjaan juga dapat terjadi dikarenakan kemungkinan perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan yang tidak berguna di masa mendatang. Kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan bisa terjadi ketika adanya situasi penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang terjadinya ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu tersebut. Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu, kekhawatiran ini juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja (Robbins, 2009).

Tidak adanya hubungan antara ketidakpastian pekerjaan dengan stress kerja yang dialami para pekerja di PT X dapat dipengaruhi perbedaan karakteristik pekerja di Indonesia. Pada beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan hasil pada pekerja di beberapa negara, seperti Amerika, Jerman, Hungaria, Jepang, Slovenia, Jepang, Korea, Taiwan dan Inggris (Perrewe & Ganster, 2011). Selain itu, ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan pekerja memang cenderung tinggi tetapi variabel ini tidak terlalu berpengaruh jika dibandingkan dengan variabel faktor pekerjaan lainnya yang lebih berpengaruh terhadap stress kerja. Sehingga varibel ini tidak berhubungan dengan stress kerja.

Meskipun tidak berhubungan secara signifikan, tetapi harus diperhatikan bahwa ketidakpastian pekerjaan ini lebih banyak dirasakan oleh para pekerja tetap. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun telah memiliki status pekerjaan yang jelas tetapi mereka cenderung merasa khawatir terhadap pekerjaan mereka saat ini. Untuk itu, sebaiknya pihak manajemen berupaya untuk mengatasi rasa khawatir yang dirasakan para pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan berupa meningkatkan upaya kerja yang stabil baik dari pihak manajemen dan pekerja melalui diskusi, kontrak kerja yang jelas mengenai status pekerja, masa kontrak dan upah yang diberikan, menetapkan kebijakan yang jelas mengenai kepastian pekerjaan serta menghargai hak pekerja (ILO, 2012). Dengan demikian, setelah dilakukan langkah pengendalian diharapkan kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan para pekerja dapat berkurang sehingga mencegah timbulnya stress kerja akibat ketidakpastian pekerjaan.

6.18 Hubungan Antara Kurangnya Kontrol Dengan Stress Kerja

Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005).

Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,93 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 4,88. Jika dibandingkan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 2,93 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 4,88. Jika dibandingkan total skor sebesar 1-5 maka rata-rata skor tersebut sudah

Kurangnya kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka miliki merupakan salah satu faktor yang berkontribusi penting terhadap munculnya stress dan gangguan kesehatan yang dialami pekerja (Karwowski, 2006). Menurut Newton dan Jimmieson (2008), dengan memberikan kesempatan kepada para pekerja untuk mengontrol pekerjaan yang mereka lakukan maka hal ini akan membantu mengurangi stress yang berkaitan dengan pekerjaannya. Kesempatan yang diberikan kepada para pekerja dapat meningkatkan kemudahan bagi para pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dengan begitu, pekerja dapat menggunakan kemampuannya dalam mengatasi setiap hambatan yang dihadapinya sehingga dapat mengurangi perasaan frustasi dan stress di tempat kerja (Lewin, Kaufman, & Gollan, 2011). Selain itu, menurut Logan dan Ganster (2007), kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan juga dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan performa dari para pekerjanya (Perrewe & Ganster, 2010).

Meskipun skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi, tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kesempatan para pekerja untuk mengontrol pekerjaan mereka tidak dapat mempengaruhi stress kerja yang mereka alami. Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan lebih tingginya jumlah Meskipun skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi, tetapi berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kesempatan pekerja untuk mengontrol pekerjaan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kesempatan para pekerja untuk mengontrol pekerjaan mereka tidak dapat mempengaruhi stress kerja yang mereka alami. Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan lebih tingginya jumlah

Meskipun variabel ini sudah memiliki kecenderungan yang baik, tetapi sebaiknya pihak manajemen tetap memastikan bahwa setiap pekerja memiliki kontrol yang baik terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan berupa melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan, cara melakukan pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan mereka bekerja, dan libatkan para pekerja untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi sehingga partisipasi pekerja meningkat (ILO, 2012). Keterlibatan pekerja ini dapat dilakukan ketika pelaksanaan rapat perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kerja. Dengan menjamin bahwa kontrol terhadap pekerjaan dapat dilakukan dengan baik maka hal ini dapat mencegah terjadinya stress kerja akibat kurangnya kontrol pekerja terhadap pekerjaan yang mereka lakukan.

6.19 Hubungan Antara Kurangnya Kesempatan Kerja Dengan Stress Kerja

Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah besar bagi individu. Hal ini dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia dapat memicu terjadinya stress. Ini dapat terjadi dikarenakan munculnya kekhawatiran dalam diri individu terhadap kemungkinan Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah besar bagi individu. Hal ini dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia dapat memicu terjadinya stress. Ini dapat terjadi dikarenakan munculnya kekhawatiran dalam diri individu terhadap kemungkinan

Dalam penelitian ini didapat nilai rata-rata skor untuk variabel kurangnya kesempatan kerja sebesar 3,29 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 1-5 maka nilai rata-rata tersebut sudah melebihi nilai median untuk skor variabel ini yaitu 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa skor yang didapatkan dalam variabel ini sudah memiliki kecenderungan tinggi mendekati skor maksimum. Kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan oleh para pekerja bukan disebabkan faktor internal perusahaan tetapi dikarenakan kekhawatiran mereka terhadap ketersediaan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di perusahaan lain. Kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan oleh para pekerja menyebabkan terjadinya stress kerja yang kemudian memicu terjadinya frustasi (Swain, 2008). Kekhawatiran akibat kurangnya kesempatan kerja yang terjadi terus menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang merasakannya (L. B. Singh, 2006).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara variabel kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja. Hal ini berarti semakin tinggi rasa khawatir para pekerja mengenai kurangnya kesempatan kerja akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami mereka. Dalam penelitian yang dilakukan selama tahun 1997 hingga 2001 pada pekerja di Jerman menemukan bahwa kekhawatiran pekerja akibat masa depan pekerjaan mereka dapat mengakibatkan efek yang merusak bagi kesehatan pekerja, Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara variabel kurangnya kesempatan kerja dengan stress kerja. Hal ini berarti semakin tinggi rasa khawatir para pekerja mengenai kurangnya kesempatan kerja akan semakin meningkatkan stress kerja yang dialami mereka. Dalam penelitian yang dilakukan selama tahun 1997 hingga 2001 pada pekerja di Jerman menemukan bahwa kekhawatiran pekerja akibat masa depan pekerjaan mereka dapat mengakibatkan efek yang merusak bagi kesehatan pekerja,

Selain itu, berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel kurangnya kesempatan kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya keyakinan para pekerja untuk bisa mendapatkan kesempatan bekerja dan ketersediaan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka di tempat lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Warr (1983) yang menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan emosi, dan kecemasan. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Cobb dan Kasl (1977) menunjukkan bahwa meskipun seorang pekerja telah berusaha mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006).

Selain berdampak menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan dan stress, kekhawatiran pekerja terhadap kurangnya kesempatan kerja juga dapat berdampak pada munculnya stress kronis jika terjadi secara terus menerus (Heaney, Israel, & House, 1994). Menurut Vuuren (1990), perasaan khawatir yang terus dirasakan pekerja dapat membahayakan kesejahteraan dan kesehatan pekerja. Seorang pekerja yang mengalami dua kekhawatiran dalam waktu yang bersamaan akan memiliki tingkat kesejahteraan yang buruk.

Selain merugikan bagi pekerja, kekhawatiran yang dialami pekerja juga dapat berdampak buruk bagi perusahaan. Kekhawatiran yang dirasakan para

pekerja dapat menyebabkan menurunnya komitmen mereka terhadap perusahaan, hilangnya kepercayaan terhadap manajemen, perlawanan terhadap perubahan organisasi dan menurunnya performa kerja (Witte, 2005). Oleh karena itu, para pekerja sebaiknya mengatasi perasaan khawatir mereka terhadap keberadaan kesempatan bekerja di tempat lain. Langkah pengendalian yang dapat yaitu berupa manajemen stress. Manajemen stress yang dapat mereka lakukan yaitu dengan selalu berpikir positif terhadap kemampuan yang dimiliki dan mengembangkan keterampilan diri dalam bekerja serta membangun relasi dengan rekan kerja di perusahaan saat ini maupun di tempat lain untuk memudahkan mencari lowongan kerja yang baru. Dengan melakukan langkah pengendalian tersebut diharapkan para pekerja dapat mengatasi perasaan khawatir mereka serta selalu berpikir positif terhadap kesempatan kerja yang akan mereka dapatkan.

6.20 Hubungan Antara Jumlah Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Jumlah beban kerja merupakan suatu kondisi dimana pekerja memiliki sejumlah pekerjaan yang banyak yang harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas sehingga pekerja memiliki ketidakmampuan untuk menangani beban kerja yang dihadapinya (Rahim, 2011). Stress yang diakibatkan jumlah beban kerja dapat terjadi akibat beban kerja yang berlebih maupun beban kerja yang terlalu sedikit. Jumlah beban kerja yang terlalu banyak terjadi ketika beban kerja yang ada sangat banyak atau ketika pekerja diharuskan bekerja di bawah tekanan waktu. Permasalahan jumlah beban kerja merupakan masalah umum yang menyebabkan munculnya stress kerja yang dialami oleh para pekerja di berbagai sektor industri (Karwowski, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 3,26 dengan nilai minimum sebesar 2,55 dan nilai maksimum 4,45. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor yang didapatkan pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Berdasarkan rata-rata skor jumlah beban kerja terdapat tiga departemen yang memiliki rata-rata skor tertinggi, yaitu Departemen Project & HSE, Departemen Engineering & Maintenance, dan Departemen HRGA. Tingginya skor jumlah beban kerja pada penelitian ini berkaitan dengan banyaknya jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu yang terbatas. Menurut Claessens, Van Eerde, Rutte dan Roe (2004), beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan rendahnya produktivitas kerja akibat sulitnya melakukan pengaturan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan yang dimiliki. Selain itu, peningkatan beban kerja dapat menghambat pekerja untuk mencapai sasaran kerja mereka sehingga dapat mengakibatkan terjadinya stress akibat pekerjaan (Perrewe & Ganster, 2010).

Secara statistik, variabel jumlah beban kerja berhubungan sedang dan berpola positif sehingga peningkatan jumlah beban kerja yang dialami para pekerja di PT X dapat meningkatkan terjadinya stress kerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja dapat mengakibatkan gangguang fisik yang cukup serius. Hasil penelitian Buell dan Breslow (1960) menemukan bahwa pekerja yang memiliki jumlah beban kerja yang tinggi dua kali lebih berisiko mengalami kematian akibat penyakit jantung. Selain itu, menurut Rau (2004), tingginya beban kerja berhubungan dengan peningkatan kadar tekanan darah selama bekerja. Tetapi, tekanan darah tersebut akan kembali pada kadar Secara statistik, variabel jumlah beban kerja berhubungan sedang dan berpola positif sehingga peningkatan jumlah beban kerja yang dialami para pekerja di PT X dapat meningkatkan terjadinya stress kerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja dapat mengakibatkan gangguang fisik yang cukup serius. Hasil penelitian Buell dan Breslow (1960) menemukan bahwa pekerja yang memiliki jumlah beban kerja yang tinggi dua kali lebih berisiko mengalami kematian akibat penyakit jantung. Selain itu, menurut Rau (2004), tingginya beban kerja berhubungan dengan peningkatan kadar tekanan darah selama bekerja. Tetapi, tekanan darah tersebut akan kembali pada kadar

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel jumlah beban kerja merupakan variabel yang masuk ke dalam model multivariat dan paling dominan berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Margolis et al (1974), jumlah beban kerja secara signifikan berkaitan dengan munculnya sejumlah gejala stress, seperti rendahnya motivasi kerja, rendahnya penghargaan diri, tingginya absenteisme, serta perilaku minum alkohol (Rose, 1994). Selain itu, dalam penelitian lainnya yang dilakukan de Jonge et al (2000) menemukan bahwa tingginya beban kerja secara signifikan berhubungan dengan timbulnya ketidakpuasan dalam bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi, dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis (Koradecka, 2010). Sehingga secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan teori stress kerja dan penelitian terdahulunya.

Jumlah beban kerja merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap stress kerja yang dialami para pekerja di PT X. Secara statistik, peningkatan beban kerja ini akan semakin meningkatkan stress kerja. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah pengendalian stress kerja yang saat ini dialami oleh para pekerja. Langkah pengendalian ini dapat dilakukan dengan cara mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini dilakukan

untuk mengatur jumlah beban kerja yang diberikan kepada para pekerja serta menyesuaikannya dengan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki pekerja. Selain itu, melalui desain ulang pekerjaan ini juga dapat memberi kesempatan bagi pekerja untuk berdiskusi mengenai penyelesaian pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Dengan melakukan desain ulang pekerjaan ini maka bisa tercipta prosedur dan ekspektasi yang jelas antara atasan dengan bawahannya (Borkowski, 2011). Pengaturan jumlah beban kerja juga harus disertai dengan perencanaan deadline yang bersifat realistis untuk dicapai dan baik bagi kesejahteraan dan produktivitas pekerja (ILO, 2012). Pengaturan jumlah beban kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan oleh atasan terhadap bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor maupun supervisor terhadap pekerja.

6.21 Hubungan Antara Variasi Beban Kerja Dengan Stress Kerja

Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja ketika mereka merasa tidak mampu melaksanakan tugas tersebut. Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas tersebut dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya. Bentuk variasi beban kerja yang biasa terjadi yaitu ketika seorang pekerja dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi dengan setumpuk perfoma kerja yang harus dicapai tetapi pekerja tersebut tidak mampu melakukannya karena kurangnya pengalaman atau pelatihan (Rose, 1994).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 3,62 dengan nilai minimum sebesar 2 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai rata-rata skor sebesar 3,62 dengan nilai minimum sebesar 2 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan nilai median rata-rata total skor sebesar 2,5 maka skor

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel variasi beban kerja berhubungan positif dan signifikan terhadap stress kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Caplan et al (1975) pada 23 negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010). Dalam penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja manufaktur di Jepang menunjukkan hal yang sama bahwa variasi beban kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009).

Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel variasi beban kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil analisis multivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan variasi beban kerja dapat menurunkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kebosanan yang dirasakan oleh para Berdasarkan hasil analisis multivariat, variabel variasi beban kerja merupakan salah satu variabel yang masuk ke dalam model multivariat. Hasil analisis multivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan variasi beban kerja dapat menurunkan tingkat stress kerja yang dialami para pekerja. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kebosanan yang dirasakan oleh para

Salah satu cara yang dapat dilakukan pihak manajemen untuk meningkatkan variasi beban kerja, yaitu dengan cara memperkaya pekerjaan. Memperkaya pekerjaan dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan agar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki pekerja. Proses mendesain ulang ini akan membantu pekerja mengurangi stress yang dirasakannya akibat variasi beban kerja yang dianggap kurang serta menghilangkan kebosanan pekerja akibat beban kerja yang terlalu monoton. Pengaturan jumlah beban kerja ini harus dilakukan saat perencanaan pekerjaan oleh atasan terhadap bawahan mereka baik manajer terhadap supervisor maupun supervisor terhadap pekerja. Dengan peningkatan variasi beban kerja yang baru nantinya dapat meningkatkan motivasi dan tantangan terhadap tugas yang dihadapi sehingga pekerja memiliki tingkat variasi beban kerja yang beragam (H. Singh, 2009).

6.22 Hubungan Antara Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain Dengan Stress Kerja

Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain. Memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain. Memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil nilai rata-rata skor sebesar 2,96 dengan nilai minimum sebesar 1 dan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 1 – 5 maka skor pada variabel ini sudah lebih tinggi dari nilai median total skor sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab terhadap pekerja lain yang dimiliki oleh para pekerja di PT X sudah cukup tinggi.Tanggung jawab terhadap orang lain dapat berkaitan dengan kesuksesan dan keselamatan orang tersebut di lingkungan pekerjaan. Sehingga semakin tinggi tanggung jawab seseorang terhadap orang lain maka dapat memicu terjadinya stress kerja yang tinggi (Karwowski, 2006).

Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa seorang pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang lain akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki tanggung jawab terhadap orang lain juga dapat menyebabkan munculnya rasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada berbagai profesi yang tidak terbatas hanya pada seorang manajer tetapi juga guru, petugas kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel & Schultz, 2012).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel tanggung jawab terhadap orang lain berhubungan negatif dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya tanggung jawab yang

diemban oleh pekerja tidak mempengaruhi peningkatan stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Menurut Karasek dan Theorell (1990), tanggung jawab biasanya selalu beriringan dengan kemampuan pekerja untuk mengontrol pekerjaannya. Tanggung jawab yang tinggi yang disertai dengan kemampuan mengontrol dengan baik akan mampu menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja (Aldwin, 2007). Pada penelitian ini, keduanya telah berjalan beriringan tetapi tingginya beban kerja yang dimiliki para pekerja lebih berpotensi menyebabkan terjadinya stress kerja. Sehingga sekalipun besarnya tanggung jawab yang dibebankan kepada seseorang mampu dikontrol dengan baik tetapi jumlah beban kerja tetap tinggi maka pekerja tetap akan mengalami stress kerja. Untuk itu, sebaiknya pihak manajemen melakukan langkah pengendalian untuk menurunkan besarnya tanggung jawab terhadap orang lain yang dirasakan para pekerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan mendesain ulang pekerjaan. Desain ulang pekerjaan ini dilakukan untuk menyesuaikan antara pekerjaan serta tanggung jawab yang harus diemban pekerja serta disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki pekerja. Jika masih memungkinkan untuk mendelegasikan tanggung jawab terhadap pihak lain yang memiliki pekerjaan lebih sedikit sebaiknya dilakukan agar pekerjaan dan tanggung jawab tersebut tidak menumpuk pada pekerja tertentu saja.

6.23 Hubungan Antara Kemampuan yang Tidak Digunakan Dengan Stress Kerja

Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata skor sebesar 2,55 dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 1 – 5 maka rata-rata skor tersebut sudah melebihi nilai media sebesar 2,5 sehingga variabel ini memiliki kecenderungan yang cukup tinggi. Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat terjadi ketika kemampuan yang dimiliki pekerja tersebut melebihi kualifikasi kemampuan untuk pekerjaannya (Paludi, Vlydegger, & Paludi, 2006). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kemampuan pekerja tidak digunakan dengan baik ketika melakukan pekerjaannya. Apabila kemampuan tersebut benar-benar tidak digunakan maka akan menghasilkan ketidakpuasan bekerja yang dirasakan bekerja (Penn, 1994).

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan penelitian Watari yang menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan secara signifikan dengan peningkatan tingkat stress yang berkaitan dengan tingginya prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi pekerja (Konno & Munakata, 2014). Pada penelitian ini tidak terdapatnya hubungan antara kedua variabel dapat terjadi dikarenakan meskipun kemampuan pekerja tidak digunakan Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan negatif dengan stress kerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan penelitian Watari yang menunjukkan bahwa kemampuan yang tidak digunakan berhubungan secara signifikan dengan peningkatan tingkat stress yang berkaitan dengan tingginya prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi pekerja (Konno & Munakata, 2014). Pada penelitian ini tidak terdapatnya hubungan antara kedua variabel dapat terjadi dikarenakan meskipun kemampuan pekerja tidak digunakan

6.24 Hubungan Antara Tuntutan Mental Dengan Stress Kerja

Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan seorang pekerja (Koradecka, 2010).

Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata tuntutan mental yang dirasakan pekerja yaitu sebesar 3,09 dengan nilai minimum 2,2 dan nilai maksimum 4. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1 – 4 maka rata- rata skor tersebut sudah melewati nilai median sebesar 2. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Beban kerja berlebih yang dimiliki pekerja dapat menyebabkan kurangnya waktu kerja serta sulitnya bagi pekerja untuk mencapai sasaran organisasi. Beban kerja yang disertai dengan tuntutan mental dapat menyebabkan terjadinya stress bahkan burnout. Ketika tuntutan mental yang dihadapi pekerja dalam jumlah yang besar maka mereka akan mengalami frustasi. Menurut Dean Jeffrey Klepfer, frustasi dapat menyebabkan Dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata tuntutan mental yang dirasakan pekerja yaitu sebesar 3,09 dengan nilai minimum 2,2 dan nilai maksimum 4. Jika dibandingkan dengan nilai total skor antara 1 – 4 maka rata- rata skor tersebut sudah melewati nilai median sebesar 2. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rata-rata skor pada variabel ini memiliki kecenderungan yang tinggi. Beban kerja berlebih yang dimiliki pekerja dapat menyebabkan kurangnya waktu kerja serta sulitnya bagi pekerja untuk mencapai sasaran organisasi. Beban kerja yang disertai dengan tuntutan mental dapat menyebabkan terjadinya stress bahkan burnout. Ketika tuntutan mental yang dihadapi pekerja dalam jumlah yang besar maka mereka akan mengalami frustasi. Menurut Dean Jeffrey Klepfer, frustasi dapat menyebabkan

Berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan adanya hubungan yang positif dan sedang antara variabel tuntutan mental dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tuntutan mental yang dihadapi pekerja maka akan semaking meningkatkan stress kerja yang mereka alami. Tuntutan mental secara berlebihan melampaui kemampuan dan kompetensi pekerja dapat menyebabkan terjadinya ketidakmampuan, frustasi bahkan burnout. Pekerjaan dengan tuntutan mental yang baik seharusnya berada pada level tuntutan mental yang nyaman bagi pekerja sehingga sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya(Gryna, 2004). Meskipun demikian, kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pekerja sudah merasa terbiasa dengan tekanan pekerjaan yang dirasakannya sehingga tidak menganggap tuntutan mental sebagai penyebab utama stress yang mereka rasakan akibat pekerjaan. Stress yang dialami pekerja bisa saja lebih dipengaruhi faktor pekerjaan lainnya, seperti jumlah beban kerja yang lebih banyak dibandingkan tuntutan kerja secara mental. Sehingga variabel ini tidak berhubungan secara signifikan terhadap stress kerja.

Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi variabel tuntutan mental berhubungan positif terhadap stress kerja. Oleh karena itu, pihak manajemen sebaiknya melakukan upaya pencegahan terhadap tuntutan mental yang dirasakan para pekerja. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan untuk mencegah tuntutan yang berlebih terhadap pekerja. Desain ulang yang dapat dilakukan berupa pertimbangan ulang Meskipun tidak berhubungan secara signifikan tetapi variabel tuntutan mental berhubungan positif terhadap stress kerja. Oleh karena itu, pihak manajemen sebaiknya melakukan upaya pencegahan terhadap tuntutan mental yang dirasakan para pekerja. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan untuk mencegah tuntutan yang berlebih terhadap pekerja. Desain ulang yang dapat dilakukan berupa pertimbangan ulang

6.25 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Stress Kerja

Shift kerja yang bertentangan dengan pola tidur akan berisiko menimbulkan gangguan kesehatan baik secara psikologis, fisik, dan perilaku. Gangguan yang dapat dialami pekerja shift berupa gangguan pernapasan, detak jantung, tekanan darah, eksresi urin, mitosis sel, produksi hormon, dan gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama pada malam hari akan menyebabkan perubahan kerja dimana para pekerja diharuskan lebih aktif pada waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Selain itu, penyesuaian diri terhadap shift bukan suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di dalam tubuh serta aktivitas sosial lainnya (Authority, 2006).

Dari hasil penelitian ini didapatkan jumlah pekerja yang bekerja secara tidak shift (56,5 %) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang bekerja secara shift (43,5 %). Pekerja yang bekerja secara shift merupakan subjek yang rentan mengalami stress kerja, seperti kelelahan, mudah marah, depresi dan kurang minat bekerja (Speegle, 2013). Menurut hasil penelitian Riber dan Derriennic (1999) masalah kesehatan yang seringkali dirasakan pekerja shift adalah gangguan tidur dan kelelahan. Menurut Akerstedt (1998) tiga dari empat pekerja shift mengalami masalah kesehatan dan mengalami kurang tidur (Sonnentag et al., 2009).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja sengan stress kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dirken (1966) menemukan bahwa meskipun pekerja shift merasakan kelelahan dan malaise lebih tinggi tetapi tidak ditemukan adanya perbedaan gejala berarti dibandingkan dengan pekerja non-shift. Hasil survei literatur yang dilakukan Rutenfranz et al (1977) juga menemukan hal yang serupa yaitu pekerjaan shift tidak memiliki dampak yang signifikan terhdapa penyakit jantung dan saraf (Ivancevich & Ganster, 2014).

Pada penelitian ini, tidak terdapatnya hubungan antara shift kerja dengan stress kerja dapat terjadi karena pekerja shift sudah beradaptasi dengan baik dengan jadwal kerja mereka yang harus bergilir sehingga rata-rata tingkat stress pekerja baik shift (1,41) maupun tidak shift (1,42) tidak berbeda jauh. Selain itu, pengaruh pekerjaan terhadap pekerja yang berbeda shift bisa saja tidak berbeda sehingga stress yang dialami para pekerja tidak dipengaruhi oleh faktor shift kerja tetapi faktor pekerjaan lainnya, seperti beban kerja. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat stress kerja pekerja shift dengan tidak shift.

Walaupun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan stress kerja tetapi sebaiknya pihak manajemen melakukan langkah pengendalian untuk mencegah timbulnya stress kerja akibat pengaruh shift kerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan tetap mempertahankan pola shift kerja pagi-siang-malam untuk mengurangi gangguan tidur , menyesuaikan pencahayaan pada malam hari agar terlihat terang, menyediakan diet makanan yang sehat serta penentuan jam makan yang Walaupun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan stress kerja tetapi sebaiknya pihak manajemen melakukan langkah pengendalian untuk mencegah timbulnya stress kerja akibat pengaruh shift kerja. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan tetap mempertahankan pola shift kerja pagi-siang-malam untuk mengurangi gangguan tidur , menyesuaikan pencahayaan pada malam hari agar terlihat terang, menyediakan diet makanan yang sehat serta penentuan jam makan yang

6.26 Hubungan Antara Aktivitas di Luar Pekerjaan Dengan Stress Kerja

Aktivitas di luar pekerjaan juga dapat berpengaruh dalam menimbulkan kondisi stress bagi seorang pekerja. Pada semua model stress kerja, aktivitas di luar pekerjaan diakui sebagai salah satu sumber stress bagi pekerja. Aktivitas di luar pekerjaan yang dapat mempengaruhi kondisi stress sangat beragam, seperti masalah keuangan, pernikahan, kehidupan sosial, anak, dsb. Sumber stress yang berasal dari aktivitas di luar pekerjaan dapat memperburuk kondisi stress yang dialami pekerja akibat aktivitas pekerjaannya. Oleh karena itu, menghilangkan sumber stress dari aktivitas di luar pekerjaan sebaiknya dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah menurunnya kepuasan kerja seseorang serta menghambat perkembangan reaksi stress dari sumber yang telah didapat ketika bekerja (Hurrell, 1990).

Dari hasil penelitian ini, rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan sebesar 2,19 dengan nilai minimum sebesar 0 dengan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 0 -7 maka rata-rata skor pada variabel ini belum melebihi nilai median sebesar 3,5 sehingga memiliki kecenderungan yang rendah. Stress yang terjadi di tempat kerja juga dapat dipengaruhi oleh tuntutan di luar pekerjaan. Tuntutan di luar pekerjaan dapat berasal dari keluarga maupun tuntutan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sama seperti stress kerja yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga, maka tuntutan di Dari hasil penelitian ini, rata-rata skor aktivitas di luar pekerjaan sebesar 2,19 dengan nilai minimum sebesar 0 dengan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan total skor antara 0 -7 maka rata-rata skor pada variabel ini belum melebihi nilai median sebesar 3,5 sehingga memiliki kecenderungan yang rendah. Stress yang terjadi di tempat kerja juga dapat dipengaruhi oleh tuntutan di luar pekerjaan. Tuntutan di luar pekerjaan dapat berasal dari keluarga maupun tuntutan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sama seperti stress kerja yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga, maka tuntutan di

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel aktivitas di luar pekerjaan berhubungan dengan positif dengan stress kerja. Hal ini berarti bahwa peningkatan aktivitas di luar pekerjaan dapat meningkatkan stress kerja yang dialami para pekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Allen et al (2000) yang menunjukkan bahwa stress kerja berhubungan positif dan sedang dengan konflik keluarga (Schabracq, Winnubst, & Cooper, 2003). Meskipun demikian, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan pada kedua variabel tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan rendahnya aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki para pekerja. Sehingga aktivitas di luar pekerjaan yang mereka miliki cenderung tidak mempengaruhi stress kerja yang dialami. Stress kerja yang dialami para pekerja dapat terjadi dikarenakan lebih tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah beban kerja daripada faktor aktivitas di luar pekerjaan sehingga hal ini yang mengakibatkan faktor aktivitas di luar pekerjaan tidak berhubungan signifikan dengan stress kerja.

6.27 Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stress Kerja

Dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Dalam lingkungan kerja yang rukun Dukungan sosial yang baik dapat berdampak positif bagi kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan lingkungan yang baik dapat mencegah timbulnya faktor yang dapat menyebabkan stress. Dalam lingkungan kerja yang rukun

Dalam penelitian ini, rata-rata skor dukungan sosial yang didapatkan oleh para responden, yaitu sebesar 3,87 dengan nilai minimum sebesar 2,12 dan nilai maksimum sebesar 5. Jika dibandingkan dengan nilai total skor sebesar 1-

5 maka skor yang didapatkan dalam penelitian ini sudah melebihi nilai median total skor. Sehingga dapat dikatakan bahwa dukungan sosial yang didapatkan oleh para responden di tempat kerja sudah cukup baik.

Dukungan sosial sangat baik dalam melindungi pekerja dari kondisi stress akibat pekerjaan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dengan melindunginya dari berbagai dampak negatif akibat stress kerja yang tinggi. Selain itu, deukungan sosial sangat membantu seseorang untuk dapat mengatasi keadaan stress yang dialaminya. Dukungan sosial bekerja dengan dua cara, yaitu seseorang yang terpapar stress kerja tinggi tetapi memiliki dukungan sosial baik maka akan lebih menganggap keadaan stress yang dialaminya sebagai suatu hal yang biasa saja dibandingkan dengan orang lain yang hanya memiliki dukungan sosial yang rendah. Cara yang kedua, yaitu dukungan sosial dapat mengubah respon seseorang terhadap keadaan stress yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh House (1981) yang mengukur mengenai jumlah dukungan sosial yang diterima dari supervisor, rekan kerja, keluarga, dan teman. House menemukan bahwa pekerja yang mendapat dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja Dukungan sosial sangat baik dalam melindungi pekerja dari kondisi stress akibat pekerjaan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dengan melindunginya dari berbagai dampak negatif akibat stress kerja yang tinggi. Selain itu, deukungan sosial sangat membantu seseorang untuk dapat mengatasi keadaan stress yang dialaminya. Dukungan sosial bekerja dengan dua cara, yaitu seseorang yang terpapar stress kerja tinggi tetapi memiliki dukungan sosial baik maka akan lebih menganggap keadaan stress yang dialaminya sebagai suatu hal yang biasa saja dibandingkan dengan orang lain yang hanya memiliki dukungan sosial yang rendah. Cara yang kedua, yaitu dukungan sosial dapat mengubah respon seseorang terhadap keadaan stress yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh House (1981) yang mengukur mengenai jumlah dukungan sosial yang diterima dari supervisor, rekan kerja, keluarga, dan teman. House menemukan bahwa pekerja yang mendapat dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja

Meskipun rata-rata skor yang didapatkan pada variabel ini sudah cukup baik, tetapi secara statistik menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi jika disertai dengan dukungan sosial yang baik maka mampu mencegah dampak stress yang dialami oleh seseorang (Kato, 2008). Hal ini dapat terjadi dikarenakan dukungan sosial yang dimiliki oleh para pekerja tidak mampu mengurangi perasaan stress yang diakibatkan tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah beban kerja yang tinggi, konflik interpersonal, dan kurangnya kesempatan kerja. Meskipun dalam teori lainnya dikatakan bahwa rendahnya dukungan sosial lebih berisiko meningkatkan depresi dibandingkan dengan faktor lainnya, seperti konflik peran, ketaksaan peran dan rendahnya partisipasi. Akan tetapi dalam penelitian ini, dukungan sosial yang baik sekalipun tidak mampu menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja akibat tingginya faktor pemicu stress yang berasal dari faktor pekerjaan. Selain itu, berdasarkan penelitian terdahulu juga ditemukan pengaruh karakteristik pekerjaan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga pada penelitian ini tidak Meskipun rata-rata skor yang didapatkan pada variabel ini sudah cukup baik, tetapi secara statistik menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stress kerja yang dialami oleh para pekerja di PT X. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi jika disertai dengan dukungan sosial yang baik maka mampu mencegah dampak stress yang dialami oleh seseorang (Kato, 2008). Hal ini dapat terjadi dikarenakan dukungan sosial yang dimiliki oleh para pekerja tidak mampu mengurangi perasaan stress yang diakibatkan tingginya faktor pekerjaan, seperti jumlah beban kerja yang tinggi, konflik interpersonal, dan kurangnya kesempatan kerja. Meskipun dalam teori lainnya dikatakan bahwa rendahnya dukungan sosial lebih berisiko meningkatkan depresi dibandingkan dengan faktor lainnya, seperti konflik peran, ketaksaan peran dan rendahnya partisipasi. Akan tetapi dalam penelitian ini, dukungan sosial yang baik sekalipun tidak mampu menurunkan stress kerja yang dialami para pekerja akibat tingginya faktor pemicu stress yang berasal dari faktor pekerjaan. Selain itu, berdasarkan penelitian terdahulu juga ditemukan pengaruh karakteristik pekerjaan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga pada penelitian ini tidak

Dari hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tercipta di lingkungan kerja sudah baik. Oleh karena itu, lingkungan sosial yang baik ini sebaiknya tetap terjaga untuk mencegah timbulnya stress kerja. Dukungan sosial yang baik dapat berupa hubungan yang harmonis antara manajemen dan pekerja, saling memberikan dukungan terhadap sesama pekerja, serta meningkatkan aktivitas sosial dan rekreasi untuk menjaga hubungan yang baik antar pekerja.

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di PT X dapat disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata tingkat stress kerja yang dialami oleh responden, yaitu sebesar 1,42.

2. Gambaran faktor individual adalah sebagai berikut:

a. Responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak, yaitu berjumlah 60 orang (87 %).

b. Responden yang berstatus menikah lebih banyak, yaitu berjumlah 54 orang (78,3 %).

c. Rata-rata umur responden yaitu sebesar 33,09 tahun.

d. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki responden berjumlah satu orang.

e. Rata-rata masa kerja yang telah dilalui responden yaitu selama 71,64 bulan (± 6 tahun).

f. Rata-rata tingkat kepribadian tipe A yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,24.

g. Rata-rata penilaian diri responden terhadap diri mereka yaitu sebesar 3,59

3. Gambaran faktor pekerjaan adalah sebagai berikut:

a. Responden yang memiliki persepsi tempat kerja tidak bising lebih besar yaitu berjumlah 37 orang (53,6 %).

b. Responden yang memiliki persepsi pencahayaan tempat kerja baik lebih besar yaitu berjumlah 52 orang (75,4 %).

c. Responden yang memiliki persepsi suhu di tempat kerja tidak nyaman lebih besar yaitu berjumlah 38 orang (55,1 %).

d. Responden yang memiliki persepsi ventilasi di tempat kerja buruk lebih besar yaitu berjumlah 48 orang (69,6 %).

e. Rata-rata konflik peran yang dirasakan responden yaitu sebesar 3,56.

f. Rata-rata ketaksaan peran yang dirasakan respoden yaitu sebesar 2,48.

g. Rata-rata konflik interpersonal yang dimiliki responden yaitu sebesar 2,27.

h. Rata-rata ketidakpastian pekerjaan yang dirasakan responden yaitu sebesar 2,7.

i. Rata-rata kurangnya kontrol yang dirasakan responden yaitu sebesar 2,93. j. Rata-rata kurangnya kesempatan kerja yang dirasakan responden yaitu sebesar 3,29. k. Rata-rata jumlah beban kerja yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,26. l. Rata-rata variasi beban kerja yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,62. m. Rata-rata tanggung jawab yang dimiliki responden terhadap pekerja lain yaitu sebesar 2,96. n. Rata-rata kemampuan yang tidak digunakan yang dirasakan respoden yaitu sebesar 2,55.

o. Rata-rata tuntutan mental yang dirasakan respoden yaitu sebesar 3,09. p. Responden yang bekerja secara tidak shift lebih besar yaitu berjumlah

39 orang (56,5 %).

4. Rata-rata aktivitas di luar pekerjaan yang dimiliki responden yaitu sebesar 2,19.

5. Rata-rata dukungan sosial yang dimiliki responden yaitu sebesar 3,87.

6. Hubungan antara faktor individual dengan stress kerja adalah sebagai berikut:

a. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja dan kepribadian tipe A dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

b. Ada hubungan antara penilaian diri dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

7. Hubungan antara faktor pekerjaan dengan stress kerja adalah sebagai berikut:

a. Tidak ada hubungan antara kebisingan, pencahayaan, ventilasi, kurangnya kontrol, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental, dan shift kerja dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

b. Ada hubungan antara suhu, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kesempatan kerja dan jumlah beban kerja dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

8. Tidak ada hubungan antara faktor aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X 2014.

9. Tidak ada hubungan antara faktor dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X 2014.

10. Faktor yang masuk model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja, kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi beban kerja dengan faktor yang paling dominan berhubungan yaitu faktor jumlah beban kerja.

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Perusahaan

1. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan antara jumlah beban kerja dengan kemampuan pekerja, mendiskusikan cara penyelesaian pekerjaan bersama dengan pekerja, dan perencanaan deadline pekerjaan yang realistis serta memperkaya jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja sehingga variasi beban kerja yang dimiliki menjadi beragam dan pekerja terhindar dari kebosanan kerja. Desain ulang ini dapat dilakukan pada tahap perencanaan pekerjaan dan dilakukan baik oleh pihak atasan dan bawahan (manajer dengan supervisor atau supervisor dengan pekerja).

2. Melakukan komunikasi yang efektif secara rutin setiap meeting mingguan tiap departemen untuk mendiskusikan masalah yang terjadi di dalam departemen serta menerapkan strategi konflik dengan cara kompromi atau menggunakan peraturan untuk menyelesaikan konflik interpersonal antar pekerja.

3. Menurunkan suhu udara di area plant dengan menggunakan ventilasi dilusi hingga mencapai suhu udara yang nyaman bagi pekerja (18-

28 o C) serta menyesuaikan kualitas seragam dengan menggunakan material alami, seperti katun dan wool dan ukuran yang longgar untuk

memudahkan penguapan keringat.

4. Mengendalikan kebisingan di lingkungan kerja dengan melakukan pengendalian teknis, seperti pemasangan barrier untuk meredam bising

5. Memperbaiki pencahayaan baik menggunakan pencahayaan alami maupun buatan hingga sesuai dengan batas minimal pencahayaan yang baik sesuai dengan lokasi kerja (lobby 100 lux, ruang kerja 350 lux, laboratorium 500 lux, dan plant 200 lux).

6. Melakukan pergantian udara secara alamiah dan melakukan pemeliharaan AC secara periodik minimal satu tahun sekali agar sirkulasi udara berjalan dengan baik.

7. Meningkatkan komunikasi dengan pekerja mengenai cara penyelesaian pekerjaan untuk mengendalikan konflik peran yang dirasakan pekerja dan memberikan pelatihan untuk menjelaskan spesifikasi dan tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan pekerja.

8. Melakukan komunikasi yang efektif antara atasan dengan bawahan (manajer dengan supervisor atau supervisor dengan pekerja) untuk mengatasi hambatan kerja dan memperjelas peran dan tanggung jawab untuk mengendalikan ketaksaan peran.

9. Meningkatkan upaya kerja yang stabil, pembuatan kontrak kerja yang jelas serta menerapkan kebijakan yang jelas mengenai kepastian kerja untuk mengurangi kekhawatiran pekerja terhadap ketidakpastian pekerjaan yang mereka rasakan.

10. Meningkatkan keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah melalui rapat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kerja untuk meningkatkan kontrol pekerja terhadap pekerjaan.

11. Mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan kemampuan pekerja dengan tanggung jawab yang harus diemban dan berusaha mendelegasikan tanggung jawab kepada pihak lain yang memiliki pekerjaan lebih sedikit serta menyesuaikan pekerjaan dengan kapasitas pekerja, melakukan rotasi tingkat kesulitan dan tantangan dalam bekerja serta mengembangkan kemampuan dan performa dalam bekerja.

7.2.2 Bagi Pekerja

1. Melakukan manajemen stress dengan berpikir positif terhadap kemampuan diri dan mengembangkan keterampilan diri dalam bekerja serta membangun relasi dengan rekan kerja di perusahaan saat ini atau tempat lain untuk memudahkan mencari lowongan kerja yang baru.

2. Menyampaikan ketidaknyamanan suhu yang dirasakan kepada Departemen HSE ketika dilakukannya safety meeting mingguan agar Departemen HSE bersama pihak manajemen melakukan perbaikan kondisi lingkungan kerja yang tidak sesuai.

3. Mengatur waktu dengan baik antara menyelesaikan pekerjaan dengan kehidupan pribadi serta tidak memaksakan diri dalam bekerja.

7.2.3 Bagi Peneliti Lain

1. Meningkatkan jumlah sampel untuk penelitian multivariat.

2. Melakukan penelitian stress kerja hingga ke tahap stress kerja kronis.