Faktor faktor yang Mempengaruhi Stress K

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRESS KERJA PADA PEKERJA DI PT X TAHUN 2014 SKRIPSI

OLEH Asri Karima NIM : 1110101000069

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2014

Asri Karima

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juli 2014

Asri Karima, NIM: 1110101000069 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014

xiv + 196 halaman, 3 bagan, 23 tabel, 3 lampiran

ABSTRAK

Stress kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di PT X menunjukkan bahwa terdapat empat (36,4 %) dari sebelas pekerja yang mengalami gejala stress cukup tinggi. Stress kerja memiliki dampak yang beragam yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja maupun performa perusahaan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional . Sampel penelitian berjumlah 69 orang dari total populasi yang berjumlah 113 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode systematic random sampling . Analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan uji t- independen dan analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi linier ganda.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang masuk sebagai model akhir multivariat, yaitu jumlah beban kerja, kurangnya kesempatan kerja, konflik interpersonal, suhu, dan variasi beban kerja. Sedangkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja adalah jumlah beban kerja.

Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar dilakukannya langkah pengendalian bagi perusahaan berupa penurunan suhu udara dengan menggunakan ventilasi dilusi di plant, penyesuaian kualitas seragam, melakukan komunikasi yang efektif setiap meeting departemen mingguan dengan para pekerja serta menerapkan strategi manajemen konflik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antar pekerja, serta mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan jumlah beban kerja Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar dilakukannya langkah pengendalian bagi perusahaan berupa penurunan suhu udara dengan menggunakan ventilasi dilusi di plant, penyesuaian kualitas seragam, melakukan komunikasi yang efektif setiap meeting departemen mingguan dengan para pekerja serta menerapkan strategi manajemen konflik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antar pekerja, serta mendesain ulang pekerjaan untuk menyesuaikan jumlah beban kerja

Kata Kunci : Stress kerja, Pekerja, Jumlah beban kerja, Kurangnya Kesempatan Kerja

Daftar bacaan : 140 (1990-2014)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH MAJOR OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduate Thesis, July 2014

ASRI KARIMA, NIM: 1110101000069

Factors Associated with Job Stress in PT X ’s Workers Year 2014

xiv + 196 pages, 3 images, 23 tables, 3 attachments

ABSTRACT

Job stress is a physical and emotional disturbances as a result of mismatch between the capabilities, resources or needs of the worker which comes from the work environment. Based on the results of preliminary studies in PT X suggested that there were four (36.4%) of the eleven workers who experienced a quite high symptoms of stress. Job stress has various impact which can influence the worker’s health and the company's performance. Therefore, researcher conducted a study factors associated with job stress in workers at PT X in 2014.

This study was an descriptive analytical study with cross sectional design. Samples numbered 69 out of a total population of 113 people. Sampling was done by systematic random sampling method. Bivariate analysis were performed by Pearson correlation test and independent t-test and multivariate analysis was performed by multiple linear regression.

The result from this study showed that there were five factors that included to the final multivariate models such as the quantitative of workload, lack of employment opportunities, interpersonal conflict, temperature, and variations in workload. While the most influence factor associated with job stress was the quantitative of workload.

Therefore, the researchers suggested to perform the control measures by decreasing air temperature with dilution ventilation at the plant, adjustment the uniform material quality, implementing effective communication in weekly department meeting with employees and management strategies to resolve conflicts that occur between workers, and redesigning jobs to adjust the amount of workload Therefore, the researchers suggested to perform the control measures by decreasing air temperature with dilution ventilation at the plant, adjustment the uniform material quality, implementing effective communication in weekly department meeting with employees and management strategies to resolve conflicts that occur between workers, and redesigning jobs to adjust the amount of workload

Keyword : Job stress, Employee, Quantitative workload, Lack of job opportunity

References : 140 (1990-2014)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama

: Asri Karima

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir

: Depok, 9 Januari 1993

Alamat : Jalan Borneo Raya No 5 RT 10 RW 13

Depok Timur 16418

No. Handphone

E-mail

: riikarima.asri@live.com

Pendidikan Formal Tahun

Nama Institusi

2010 – 2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat

2007 – 2010 SMA Negeri 3 Depok 2004 – 2007

SMP Negeri 3 Depok 1998 - 2004

SD Negeri Mekar Jaya XVIII Depok

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji dan syukur saya ucapkan kepada Ilahi Rabbi yang selalu memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita. Atas segala kekuatan dan rahmat- Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi y ang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Kerja pada Pekerja di PT X Tahun 2014 ”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni usaha penulis melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa doa, motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini kepada:

1. Keluarga saya (ibu, bapak, kakak, dan adik) terima kasih atas segala doa dan dukungan selama penelitian.

2. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin Sp. And., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti M.Si selaku kepala program studi kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik.

4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dan keikhlasannya memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Yuli Amran SKM, MKM selaku dosen pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Fase Badriah Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

7. Ibu Raihana Nadra Alkaff MMA selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

8. Ibu Meilani Anwar M.Epid selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

9. Untuk kak Moch. Noval Mauludi terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan pertolongannya selama penyusunan skripsi. Thanks dear for helping me wholeheartedly.

10. Bapak Ruri selaku manajer HRGA yang sudah mengijinkan penulis melaksanakan penelitian ini.

11. Ibu Niken, Pak Himawan, Pak Cecep, Pak Jamal dan seluruh pekerja di PT X yang telah bersedia membantu penelitian ini.

12. Untuk teman-teman K3 2010, Kiki, Dewi, Sinta, Evi, Dini, Mono, Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbal, Zaki, dan Sony semoga silaturahmi kita tetap terjaga meski sudah jarang berjumpa. Semoga kita dapat meraih kesuksesan dengan jalan yang diridhoi Allah Swt.

13. Teman-teman di masa lalu, Kebabers dan Kesmas UIN angkatan 2010 yang sudah membantu selama perkuliahan dan penyusunan skripsi penulis.

Dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Juli 2014

Penulis

DAFTAR ISTILAH

CCOHS

: Canadian Centre of Occupational Health and Safety

CDC : Centre for Disease Control and Prevention EAP

: Employee Assistance Program HVAC

: Heating, Ventilation, and Air Conditioning ILO

: International Labour Organization NIOSH

: National Institute for Occupational Safety and Health

OSHA : Occupational Safety and Health Administration WHO

: World Health Organization

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial .................................................................. 14 Bagan 2.2 Kerangka Teori ......................................................................................... 60 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 62

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1970 disebutkan bahwa pelaksanaan keselamatan kerja dilakukan salah satunya untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik secara fisik, psikis, peracunan, infeksi dan penularan. Penyakit akibat kerja sendiri terjadi akibat paparan faktor risiko yang terdapat di tempat kerja, seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi (NIOSH, 1999b). Dampak yang timbul jika terjadi penyakit akibat kerja tentunya akan mempengaruhi produktivitas pekerja dalam bekerja. Hal ini tentunya juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang berdampak pada hasil produksi.

Stress akibat kerja merupakan gangguan fisik dan emosional sebagai akibat ketidaksesuaian antara kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja yang berasal dari lingkungan pekerjaan. Kondisi tersebut dapat memicu terjadinya stress karena beban kerja yang tidak sesuai, buruknya lingkungan sosial, konflik yang terjadi, lingkungan kerja yang berbahaya. Kondisi tempat kerja yang tidak nyaman tersebut menjadi peranan yang penting dalam menyebabkan terjadinya stress kerja. Padahal stress kerja secara langsung dapat mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja. Hal ini dikarenakan stress kerja dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan bahkan terjadinya kecelakaan kerja.

Menurut NIOSH, stress akibat kerja merupakan masalah umum yang saat ini terjadi di tempat kerja di Amerika. Berdasarkan hasil penelitian Northwestern National Life , satu dari empat pekerja di Amerika berpendapat bahwa pekerjaan merupakan penyebab stress nomor satu dalam hidup mereka. Dalam sebuah survei yang dilakukan Princeton Survey Research Associates disebutkan bahwa, tiga dari empat orang di Amerika mengatakan bahwa pekerja pada saat ini memiliki tingkat stress kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi beberapa tahun sebelumnya (NIOSH, 1999b). Tuntutan pekerjaan yang semakin tingginya tentunya memaksa pekerja untuk dapat bekerja secara cepat. Hal ini yang kemudian membuktikan bahwa pekerja semakin menyadari bahwa pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang seringkali terjadi dalam kehidupan mereka.

Selain itu, berdasarkan data CDC , jumlah kasus stress kerja yang terjadi di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 4409 kasus pada tahun 1998 menjadi 5659 kasus pada tahun 2001. Jumlah kasus ini bertambah khususnya pada pekerja yang berusia muda. Dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya stress kerja tidak dapat dipandang sebelah mata. Stress kerja dapat mengakibatkan terjadinya hari hilang kerja akibat kecelakaan kerja dan timbulnya kesakitan (CDC, 2004). Kerugian yang dialami perusahaan akibat stress kerja pun tidak sedikit. Setiap tahunnya industri di Amerika Serikat mengalami kerugian lebih dari US 300 miliar sebagai akibat dari kecelakaan, absenteisme, turnover pekerja, dan kompensasi asuransi akibat stress kerja yang dialami para pekerjanya (AIS, 2013).

Di Indonesia, berdasarkan data Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan menyatakan bahwa dari jumlah populasi orang dewasa di Indonesia sebesar 150 juta jiwa sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa kecemasan dan depresi. Meskipun data tersebut bukan merupakan data khusus mengenai stress akibat kerja tetapi dapat memberikan gambaran mengenai jumlah kasus gangguan mental yang saat ini terjadi di Indonesia. Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh program studi Magister Kedokteran Kerja FKUI sekitar tahun 1990-an menunjukkan bahwa sekitar 30 persen pekerja pernah mengalami stress di tempat kerja mulai dari keluhan ringan sampai berat. Data ini menunjukkan bahwa kejadian stress kerja pada era saat ini bisa jadi semakin mengalami peningkatan. Menurut Nurmiati Amir, dokter spesialis kejiwaan dari FKUI RSCM dalam (Hidayat, 2012) mengatakan bahwa insomnia menyerang 10 persen dari total penduduk di Indonesia. Total kejadian tersebut sekitar 10-15 persennya merupakan gejala insomnia kronis. Kejadian ini dapat disebabkan situasi masalah keluarga maupun pekerjaan.

PT X merupakan salah satu perusahaan pengolah bahan baku keramik dan kaca di Indonesia. PT X merupakan anak perusahaan dari regional Asia yang berpusat di Singapura. Produk utama yang dihasilkan dari PT X yaitu berupa pasir silika dan feldspar. PT X memiliki dua unit pengolahan yang terletak di Cikarang dan Cikupa serta satu unit pengolahan dalam tahap pembangunan yang terletak di Surabaya. Sedangkan lokasi penambangan PT X terletak di Capkala dan Belitung.

Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dalam menjalankan kegiatannya. Kegiatan administrasi dilakukan pada bagian kantor sedangkan kegiatan produksi dilakukan pada bagian plant. Para pekerja baik di kantor maupun plant memiliki tingkat paparan sumber stress yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi dan identifikasi bahaya di lapangan, perbedaan lokasi kerja membuat paparan bahaya dan risiko lingkungan fisik yang diterima oleh para pekerja pun berbeda di setiap lokasi pekerjaan terutama paparan bising dan debu yang memiliki intensitas paparan cukup tinggi. Selain itu, pekerja pada bagian kantor tidak memiliki shift kerja sedangkan pekerja pada bagian plant sebagian besar memiliki shift kerja karena harus memenuhi target produksi perusahaan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4%) mengalami gejala stress yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang dirasakan oleh pekerja.

Stress kerja yang dialami para pekerja memiliki efek yang beragam baik bagi kesehatan secara fisik, psikologis, perubahan perilaku maupun hubungan sosial. Efek stress kerja yang mereka alami bisa terjadi dalam jangka waktu yang singkat maupun lama. Dalam jangka waktu yang lama menurut Hardy et al (1998), stress dapat memicu terjadinya insomnia, kecemasan, depresi kronis, neurosis bahkan bunuh diri. Sedangkan menurut Sauter et al (1990), stress dapat Stress kerja yang dialami para pekerja memiliki efek yang beragam baik bagi kesehatan secara fisik, psikologis, perubahan perilaku maupun hubungan sosial. Efek stress kerja yang mereka alami bisa terjadi dalam jangka waktu yang singkat maupun lama. Dalam jangka waktu yang lama menurut Hardy et al (1998), stress dapat memicu terjadinya insomnia, kecemasan, depresi kronis, neurosis bahkan bunuh diri. Sedangkan menurut Sauter et al (1990), stress dapat

Menurut Stranks (2005), stress kerja yang dialami pekerja tidak hanya merugikan bagi pekerja tetapi juga perusahaan. Dampak stress kerja yang dialami oleh pekerja dapat mempengaruhi performa dalam mencapai target perusahaan. Selain itu, menurut WHO, organisasi yang tidak sehat tidak akan mendapatkan usaha terbaik yang diberikan para pekerjanya. Hal ini tidak hanya berdampak pada performa organisasi tetapi juga keberlangsungan organisasi ke depannya. Kerugian akibat stress kerja yang dapat dirasakan perusahaan, antara lain meningkatnya absenteisme pekerja, menurunnya komitmen terhadap perusahaan, meningkatnya jumlah turnover pekerja, dan meningkatnya angka kecelakaan kerja. Bahkan dalam tingkat yang lebih serius, stress kerja juga dapat berdampak pada meningkatnya komplain dari klien yang berujung pada rusaknya citra perusahaan.

Pengukuran stress kerja penting dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Sehingga perusahaan dapat mengevaluasi penyebab stress kerja yang dialami para pekerja mereka. Pengukuran ini juga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah dan mengendalikan stress kerja yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki Dalam kegiatan proses produksi, PT X memiliki lebih dari 100 pekerja yang terbagi dalam beberapa unit departemen. Setiap unit departemen memiliki

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 11 pekerja di PT X diketahui bahwa terdapat empat pekerja (36,4 %) mengalami gejala stress yang cukup tinggi. Sedangkan tujuh pekerja lainnya (63,6 %) juga merasakan adanya gejala stress tetapi dalam intensitas yang jarang dan dalam tingkat yang lebih ringan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan stress kerja yang dirasakan oleh pekerja. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) pekerja di PT X tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014?

4. Bagaimana gambaran faktor aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X tahun 2014?

5. Bagaimana gambaran faktor dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun 2014?

6. Apakah ada hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

7. Apakah ada hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

8. Apakah ada hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

9. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

10. Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

2. Diketahuinya gambaran faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) pada pekerja di PT X tahun 2014

3. Diketahuinya gambaran faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan, kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) pada pekerja di PT X tahun 2014

4. Diketahuinya gambaran aktivitas di luar pekerjaan pada pekerja di PT X tahun 2014

5. Diketahuinya gambaran dukungan sosial pada pekerja di PT X tahun 2014

6. Diketahuinya hubungan antara faktor individual (jenis kelamin, umur, status pernikahan, jumlah anak, masa kerja, kepribadian tipe A, dan penilaian diri) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

7. Diketahuinya hubungan antara faktor pekerjaan (kebisingan, pencahayaan, suhu, ventilasi, konflik peran, ketaksaan peran, konflik interpersonal, ketidakpastian pekerjaan,kurangnya kontrol, kurangnya kesempatan kerja, jumlah beban kerja, variasi beban kerja, tanggung jawab terhadap pekerja lain, kemampuan yang tidak digunakan, tuntutan mental dan shift kerja) dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

8. Diketahuinya hubungan antara aktivitas di luar pekerjaan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

9. Diketahuinya hubungan antara dukungan sosial dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

10. Diketahuinya faktor yang paling dominan berhubungan dengan stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014

1.5 Manfaat

1.5.1 Bagi Perusahaan

1. Sebagai gambaran tingkat stress kerja yang dialami oleh pekerja

2. Sebagai bahan evaluasi sumber stress yang terdapat di dalam maupun luar lingkungan kerja

3. Sebagai masukan untuk mencegah dan mengendalikan stress yang dialami oleh para pekerja guna meningkatkan produktivitas perusahaan

1.5.2 Bagi Pekerja

1. Sebagai gambaran faktor penyebab stress yang dialami baik pengaruh dari faktor pekerjaan maupun luar pekerjaan

2. Sebagai bahan evaluasi diri untuk dapat mengukur tingkat stress yang dialami pekerja

3. Sebagai langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat stress yang dialami pekerja dan mencegah dampak yang akan ditimbulkan

1.5.3 Bagi Peneliti

1. Sebagai bahan referensi penelitian mengenai stress kerja

2. Pengukuran stress kerja menggunakan kuesioner yang berbeda dari penelitian yang biasa dilakukan yaitu menggunakan NIOSH Generic Job Questionnaire

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stress kerja pada pekerja di PT X tahun 2014. Subjek penelitian ini adalah seluruh pekerja di PT X. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April-Juni 2014 di PT X. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer melalui pengisian kuesioner NIOSH Job Stress Questionnaire yang telah disalin ke dalam bahasa Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Pemilihan sampel penelitian akan dilakukan dengan cara systematic random sampling .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stress

Kata stress pertama kali diperkenalkan oleh Selye pada dunia psikologi dan kedokteran sekitar tahun 1930-an. Menurut Selye, stress merupakan reaksi organisme terhadap keadaan terancam dan tertekan. Selye menemukan bahwa stress dihasilkan dari reaksi rantai hormon neuroendokrin yang terjadi di dalam tubuh. Hal ini terjadi dengan diawalinya eksitasi pada jaringan otak yang diikuti peningkatan sekresi hormon dari kelenjar adrenal. Peningkatan sekresi hormon tersebut di dalam tubuh akan mempengaruhi peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Reaksi dalam tubuh ini biasa disebut dengan pengaturan ergotropik dan diidentikkan sebagai mekanisme dasar terjadinya stress di dalam tubuh seseorang (Kroemer & Grandjeai, 1997).

Perkembangan penelitian mengenai stress selama beberapa dekade terakhir telah mendorong munculnya beragam definisi stress baik dari segi psikologi, fisiologi, sosial dan ilmu perilaku. Berikut ini adalah definisi stress menurut para ahli:

a. Lazarus dan Foldman mendefinisikan stress sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang tersedia.

b. Cox mendefinisikan stress sebagai sebuah fenomena persepsi yang timbul dari adanya perbandingan antara permintaan dan kemampuan coping .

c. McGrath mendefinisikan stress sebagai hasil dari permintaan lingkungan yang tidak mampu dipenuhi oleh individu.

d. McEwen menyatakan bahwa stress merupakan sebuah peristiwa yang mengancam individu sehingga menghasilkan respon secara fisiologi dan perilaku (Oxington, 2005).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan ketidakseimbangan yang terjadi antara permintaan dan kemampuan individu sehingga menimbulkan respon baik secara fisiologi dan perilaku.

2.2 Stress Kerja

Stress kerja merupakan keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian antara tingkat permintaan dengan kemampuan individu untuk mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Hal ini bersifat subjektif dan selalu ada pada setiap individu yang tidak mampu mengatasi tuntutan yang terdapat di lingkungan kerja (Kroemer & Grandjeai, 1997). Stress yang diterima setiap individu berbeda tergantung dengan persepsi setiap individu yang mengalaminya. Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara permintaan dan tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketidaksesuaian dengan pengetahuan dan kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga pengetahuan dan kemampuan individu yang tidak digunakan dengan baik sehingga memicu timbulnya masalah bagi diri mereka (WHO, 2003).

Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya. Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya. Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis

Pekerjaan yang sehat seharusnya mampu menyesuaikan antara tekanan kerja dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu, kemampuan mengontrol pekerjaan dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan individu dapat menimbulkan terjadinya kondisi stress yang merugikan baik bagi pekerja maupun perusahaan. Di Eropa, stress berada pada urutan kedua sebagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa sekitar 22 persen pekerja di Eropa terkena dampak stress akibat kerja dan sejumlah pekerja lainnya mengalami kondisi yang berhubungan dengan stress akibat pekerjaan (WHO, 2003).

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales (2000) bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik dan psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu maupun level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales (2000) bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik dan psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu maupun level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat

Lingkungan Sosial dan Konteks Organisasi

Desain dan Manajemen Pekerjaan

Lingkungan Fisik Lingkungan Psikososial

Pengalaman dengan Kondisi Stress

Bahaya bagi kesehatan pekerja baik secara fisik, psikologis, dan sosial

Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths & Rial-Gonzales (2000) dalam WHO (2010)

Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial

2.2.1 Stress Akut

Stress akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut bisa berdampak positif jika terjadi dalam pajanan yang rendah dan ditanggapi sebagai suatu hal yang menantang oleh individu yang menerimanya. Akan tetapi, apabila stress akut ini terjadi dalam pajanan yang tinggi maka akan berdampak negatif bagi individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010).

Stress akut biasanya tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang sehingga tidak berisiko menimbulkan kerusakan pada tubuh dan pikiran. Stress akut biasanya hanya berupa reaksi singkat tubuh terhadap sumber stress yang datang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis, emosional, dan psikologis. Akan tetapi, gangguan yang terjadi akibat stress akut tersebut masih dapat diatasi apabila dikontrol dengan baik (Hiriyappa, 2013). Berikut ini adalah gangguan kesehatan akibat stress akut:

Tabel 2.1 Gejala Stress Akut

a. Wajah terasa

a. Tidak sabar panas

a. Nafsu

makan

menurun

b. Suka berdebat

b. Sakit kepala

b. Sedih berkepanjangan

c. Menyebabkan

c. Nyeri dada terjadinya

c. Sulit

kecelakaan kerja

d. Mulut kering

berkonsentrasi

d. Penggunaan

e. Napas pendek

d. Merasa tertekan

alkohol/obat- obatan

f. Tekanan darah

e. Pesimis

tinggi

e. Merokok

f. Merasa selalu

g. Nyeri otot

gagal

f. Mengabaikan tanggung jawab

h. Sembelit

atau

g. Selalu merasa

diare

ketakutan

i. Kelelahan

h. Gelisah ketika tidur

j. Insomnia

i.

Merasa kesepian

k.

Mudah sakit

Merasa orang-

m.

Jantung berdebar

n. Rahang kaku

l. Tidak

dapat

o. Berkeringat

menikmati hidup

banyak

m. Berbicara lebih

p. Nafsu makan

sedikit

menurun/bertamb

n. Merasa

tidak

ah

disukai orang-

q. Tangan gemetar

orang

Sumber: NIOSH Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat Sumber: NIOSH Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat

2.2.2 Stress Kronis

Stress kronis merupakan salah satu bentuk stress yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Stress kronis ini terjadi karena adanya situasi mengganggu yang sangat sulit untuk diatasi. Sehingga stress kronis ini lama kelamaan akan menimbulkan kerusakan bagi tubuh, pikiran dan kehidupan individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010) .

Di negara berkembang, menurut Cox et al (2000), stress yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kesehatan pekerja dan kesehatan organisasi pekerjaan itu sendiri. Hasil survei yang dilakukan oleh European Foundation for the Improvement of Working Conditions pada tahun 2000 menemukan bahwa sekitar 28 % pekerja melaporkan penyakit atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress terutama stress kronis. Hal ini menunjukkan bahwa stress merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi oleh para pekerja di dunia (Flin, O'Connor, & Crichton, 2008).

Stress kronis bersifat seperti racun yang membunuh seseorang secara perlahan. Dampak stress kronis yang dialami seseorang secara perlahan akan merusak kesehatan tubuhnya. Ketika hal ini terjadi maka akan muncul sejumlah penyakit dalam tubuh individu (Hiriyappa, 2013).

Menurut NIOSH, beberapa penyakit yang berkaitan dengan stress kronis, antara lain diabetes, hernia, tuberculosis, asma, darah tinggi, penyakit jantung, rematik, epilepsi, glukoma, paralysis, gangguan ginjal, gangguan pernapasan, stroke, anemia, gangguan hati atau pancreas, gangguan kelenjar tiroid, insomnia, gastritis, colitis, ulkus lambung, sakit punggung, dan alergi.

Stress kronis terjadi akibat perkembangan stress akut yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak mudah menemukan hubungan antara stress akut dengan stress kronis. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan penyebab awal munculnya dampak dari stress kronis tersebut dimana stress akut yang menyebabkan terjadinya stress kronis atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya stress kronis tersebut (Praag, Kloet, & Os, 2004).

2.3 Tahapan Stress

Stress merupakan respon tubuh baik secara fisiologi maupun perilaku terhadap keadaan terancam yang dihadapi oleh individu. Menurut Watts (1990) dalam (Casper, 2014) respon tubuh terhadap stress terdiri dari lima tahapan, yaitu:

a. Tahap alarm Tahapan awal ini merupakan tahap reaksi alarm dalam tubuh berupa mekanisme pertahanan tubuh. Untuk mengatasi stressor yang dihadapi, tubuh membutuhkan pengeluaran energi yang cukup tinggi. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan aktivitas kelenjar tiroid dan adrenal. Saraf simpatik kemudian meresponnya dengan meningkatkan sekresi hormon

kortikoid aldosterone dan antidiuretic hormone (ADH) dalam tubuh. Sekresi ini menghasilkan retensi natrium dan air di dalam tubuh yang kemudian menjadi indikasi terjadinya inflamasi. Pada tahap yang lebih lama akan menyebabkan terjadinya gastritis, diverculitis, kolitis, sinusitis artritis, dll. Pada tahapan ini juga terjadi peningkatan hormon stress, denyut jantung, penyempitan pembuluh darah, kadar gula darah, kadar kolesterol, pengeroposan tulang, pemecahan protein otot dan jaringan ikat, resistensi insulin, perasaan stress, takut, cemas, dan depresi. Tahap alarm ini juga menyebabkan penurunan memori jangka pendek, kemampuan berkonsentrasi, dan imunitas tubuh. Pada tahapan ini kebutuhan vitamin, seperti C, D, E, B1, B6, dan B12 serta kalsium, tembaga, kobalt, natrium, selenium dan seng mengalami peningkatan. Sehingga ketika individu kekurangan nutrisi tersebut maka kemampuannya untuk mengelola respon akan sulit dilakukan. Sisi positif dari tahapan ini adanya peningkatan refleks dan fokus mental. Hal ini dapat menjadikan tubuh merespon terhadap stress menuju efek yang baik atau buruk.

b. Tahap resisten Tahap ini terdiri dari tahapan lanjutan dari stimulasi saraf simpatik yang terjadi pada tahap alarm. Pada tahap ini tubuh berusaha mempertahankan homeostasis akibat adanya stressor dalam tubuh. Hormon kortisol disekresikan untuk mengendalikan inflamasi yang terjadi di dalam tubuh. Sekresi hormon kortisol ini menyebabkan terjadinya katabolisme dan meningkatkan gula darah sehingga disebut hormon glukokortikoid. Jika b. Tahap resisten Tahap ini terdiri dari tahapan lanjutan dari stimulasi saraf simpatik yang terjadi pada tahap alarm. Pada tahap ini tubuh berusaha mempertahankan homeostasis akibat adanya stressor dalam tubuh. Hormon kortisol disekresikan untuk mengendalikan inflamasi yang terjadi di dalam tubuh. Sekresi hormon kortisol ini menyebabkan terjadinya katabolisme dan meningkatkan gula darah sehingga disebut hormon glukokortikoid. Jika

c. Tahap pemulihan Pada tahap ini stress mulai dapat dikendalikan, perbaikan jaringan terjadi dan fungsi tubuh kembali normal. Dalam keadaan ini, sistem pencernaan, metabolisme dan fungsi sel mengalami perbaikan. Istirahat, pertumbuhan, dan aktivitas mental yang lebih tenang akan mengembalikan kesehatan individu pada level yang baik.

d. Tahap adaptasi Jika tubuh tidak mampu melalui tahap pemulihan, keadaan stress akan menjadi kronis. Pada tahapan ini, tubuh tidak dapat menyesuaikannya kondisinya terhadap keadaan stress yang dihadapi sehingga berbagai kondisi kronis mulai muncul, seperti menurunnya tingkat energi, menurunkan self-esteem, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, gangguan emosional, merasa sedih berkepanjangan, tidak mampu merasakan sakit, gairah seks menurun, konsentrasi menurun, serta hilangnya motivasi.

e. Tahap kelelahan Pada tahap ini tubuh semakin kehilangan kemampuannya untuk pulih dari kondisi kronis yang dihadapi. Sebagai akibat stress yang berkepanjangan, maka kelenjar tiroid dan adrenal mulai merasa kehilangan sumber energi dari dalam tubuh. Individu akan berusaha mencari sumber energi dari luar tubuh dengan mengkonsumsi alkohol, kopi, nikotin, dan obat-obatan. Pada e. Tahap kelelahan Pada tahap ini tubuh semakin kehilangan kemampuannya untuk pulih dari kondisi kronis yang dihadapi. Sebagai akibat stress yang berkepanjangan, maka kelenjar tiroid dan adrenal mulai merasa kehilangan sumber energi dari dalam tubuh. Individu akan berusaha mencari sumber energi dari luar tubuh dengan mengkonsumsi alkohol, kopi, nikotin, dan obat-obatan. Pada

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja

2.4.1 Karakteristik Pekerjaan

a. Kebisingan Kebisingan biasa didefinisikan sebagai suara yang tidak diinginkan yang dapat memicu timbulnya stress. Kebisingan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di tempat kerja. Tingkat kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling tinggi dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah kebisingan, sanitasi lingkungan, substansi berbahaya, pencahayaan dan suhu (ILO, 2003). Kebisingan dapat memicu terjadinya peningkatan ketidakseimbangan psikologi (Rose, 1994). Pajanan kebisingan di tempat kerja juga berhubungan dengan berbagai macam efek stress, seperti aktivitas neuroendokrin, peningkatan detak jantung, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan rendahnya motivasi kerja. Berdasarkan hasil penelitian Broadbent (1971), efek dari kebisingan yang tidak dapat diduga akan lebih parah dibandingkan dengan kebisingan yang dapat diduga.

Berdasarkan hasil penelitian Evans dan Johnson (1999) menemukan bahwa intensitas kebisingan yang rendah tidak memiliki dampak yang besar terhadap pekerja. Akan tetapi, dalam waktu pajanan kebisingan tersebut selama tiga jam akan memperlihatkan perubahan motivasi kerja dan peningkatan hormon stress dalam tubuh. Hasil penelitian Evans dan Johnson ini juga sejalan dengan penelitian sejenis bahwa pajanan kebisingan dapat meningkatkan kadar hormon neuroendokrin stress dalam tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan Lindvall (1995) dan Medical Research Council (1997) menemukan bahwa pajanan kebisingan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan beberapa penyakit lain yang berujung pada penyakit jantung koroner (Barling, Kelloway, & Frone, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ljungberg dan Neely (2007) menemukan bahwa individu yang mengalami pajanan kebisingan akan mengalami peningkatan hormon kortisol dengan tingkat stress yang bersifat subjektif (Perrewe & Ganster, 2010).

b. Pencahayaan Sumber stress lain yang berasal dari lingkungan kerja adalah tingkat pencahayaan. Menurut Poulton (1978), tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan b. Pencahayaan Sumber stress lain yang berasal dari lingkungan kerja adalah tingkat pencahayaan. Menurut Poulton (1978), tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan

Selain tingkat cahaya, kualitas cahaya yang dihasilkan juga penting. Sebagian besar individu lebih merasa bahagia ketika cahaya matahari pada siang hari yang terang. Cahaya matahari pada siang hari yang terang dapat mendorong terjadinya reaksi kimia dalam tubuh yang dapat menghasilkan perasaan senang secara psikologis. Sehingga peningkatan kualitas cahaya dapat meningkatkan kualitas lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dilakukan (Schroeder, 2013).

c. Suhu Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu, lingkungan kerja yang terlalu dingin juga dapat menurunkan tingkat ketangkasan dan motivasi dalam bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian kecelakaan. Berdasarkan hasil penelitian Ramsey menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan kualitas kerja dan meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya kecelakaan (Rose, 1994).

Menurut McCormick (1976), suhu lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan tingkat produktivitas kerja. Begitu juga Menurut McCormick (1976), suhu lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan tingkat produktivitas kerja. Begitu juga

Berdasarkan hasil penelitian Pilcher et al (2002), menemukan bahwa suhu yang terlalu dingin memiliki dampak negatif terhadap proses pembelajaran dan tugas yang membutuhkan memori. Sedangkan suhu yang terlalu panas berdampak negatif terhadap tugas yang membutuhkan perhatian dan persepsi. Akan tetapi, efek ini hanya terlihat pada durasi yang singkat karena pekerja biasanya sudah teraklimatisasi jika terpajan dalam durasi waktu yang lama (Perrewe & Ganster, 2010).

d. Ventilasi Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin d. Ventilasi Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin

Berdasarkan hasil penelitian Chandraseker (2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Ajala (2012) menunjukkan bahwa sistem ventilasi yang baik dapat meningkatkan produktivitas kerja serta menurunkan pajanan terhadap substansi udara yang berbahaya sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit akibat hubungan kerja, absenteisme, dan turnover pekerja (Ajala, 2012).

e. Konflik Peran Konflik peran biasanya terjadinya pada individu ketika tingginya harapan perusahaan terhadap diri mereka. Akan tetapi, tingginya harapan tersebut mempersulit pencapaian tugas yang diberikan. Konflik peran merupakan bentuk umum stressor yang terjadi di tempat kerja. Konflik ini biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu:

1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik

2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda

3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan

4. Banyaknya peran yang harus dilakukan

5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (Hubbard, 1998)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada manajer di Singapura menunjukkan bahwa secara signifikan konflik peran berhubungan dengan munculnya stress kerja (Quah & Campbell, 1994). Konflik peran yang terjadi di perusahaan akan berdampak pada tingginya angka absenteisme dan turnover pekerja.

f. Ketaksaan Peran Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga berhubungan dengan ketidakjelasan dalam memberikan tugas kepada pekerja. Sehingga hal ini dapat menimbulkan terjadinya frustasi dan sulitnya bagi pekerja untuk mencapai kepuasan dalam bekerja. Hasil survei yang dilakukan Kahn et al (1964) menunjukkan bahwa 35 persen pekerja merasa bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada mereka tidak jelas sehingga mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan (Cardwell & Flanagan, 2005).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran