BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini semakin banyak wanita yang memilih berprofesi sebagai dosen, awalnya disebabkan profesi dosen dianggap sebagai profesi yang memiliki
fleksibiltas waktu, tuntutan yang tidak terlalu tinggi dan kesejahteraan yang memadai sehingga akan lebih mudah bagi dosen untuk menjalankan peran ganda Saptari
Holzner, 1997. Namun seiring berjalannya waktu, tuntutan akan kualitas dosen semakin tinggi sejalan dengan tugas Tridharma Perguruan Tinggi Pengajaran,
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, serta sertifikasi dosen yang harus dipenuhi. Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen
dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik professional dan ilmuan yang memiliki tugas untuk mentranformasi; mengembangkan; dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan;
teknologi dan seni melalui pendidikan; penelitian dan pengabdian masyarakat. Ada beberapa alasan mengapa wanita bekerja, seperti ingin memiliki
penghasilan sendiri, ingin mandiri khususnya dalam hal finansial dari suami, ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Primastuti, 2000. Kondisi ini sering kali
menimbulkan tekanan tersendiri yang bersumber dari konflik dalam memenuhi tuntutan perannya baik di pekerjaan, keluarga maupun masyarakat. Wanita dituntut
1
untuk memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang baik, sehingga hal ini dapat menjadikan wanita yang bekerja memiliki perasaan bersalah hingga menimbulkan
tekanan yang pada akhirnya menimbulkan burnout. Burnout berdampak pada performa kerja, baik di pekerjaan maupun dalam keluarga Zamralita, 2007.
Nagel, Liza, Sheri 2003 melakukan penelitian mengenai kerentanan terhadap burnout pada pengajar. 33 subjek penelitian menyatakan bahwa menjadi
pengajar memberikan tekanan yang berat dan 30 menyatakan akan bertahan sebagai pengajar 5 tahun saja. Sedangkan Joseph Rusell 2000 membandingkan
tekanan pada pengajar, pekerja sosial, dan pelayan. Hasilnya menunjukkan pengajar menempati posisi teratas ingin keluar dari pekerjaannya dan mengalami tekanan yang
mengarah pada burnout. Selanjutnya, Kahn Quinn, 1970 melakukan penelitian mengenai tekanan kerja yang dikaitkan dengan aspek psikososial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan diantara tekanan dengan keadaan fisikal, emosional dalam diri individu.
Pines dan Maslach 1993 menjelaskan bahwa burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental yang termasuk di dalamnya berkembang
konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi serta perilaku kerja yang negatif. Burnout berbentuk kelelahan fisik, mental, emosional yang terjadi dalam waktu yang
cukup lama. Schaufelli 1993 membagi burnout menjadi 3 dimensi, yaitu: kelelahan emosional yang berakibat pada perasaan tidak karuan pada mental dan emosi,
depersonalisasi merupakan hal yang dapat membuat seseorang berperilaku tidak menyenangkan, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.
Adanya harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan serta tidak adanya penghargaan membuat banyak dosen merasakan kelelahan hingga menyebabkan
burnout. Studi yang dilakukan oleh Wood 1981 menjelaskan bahwa pengajar cenderung ditekan untuk melakukan pekerjaan yang lebih dan pada saat yang
bersamaan mereka menerima reward yang tidak sesuai dengan usaha mereka. Selanjutnya, Huburmen Vandenberghe 2006 menambahkan bahwa burnout
merupakan stress-related pada pekerja dengan profesi yang berhubungan dengan orang lain interpersonal.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Leiter Maslach 1997 ditemukan bahwa terdapat faktor yang menyebabkan work overload dan role conflict pada
pengajar. Adanya ukuran kelas, keberagaman siswa gender, etnis, bahasa, kemampuan akademis, sosioekonomi yang dapat menyebabkan burnout. Menurut
Leiter Maslach 1997 burnout juga disebabkan lingkungan sosial pekerjaan. Struktur dan fungsi dari tempat kerja mempengaruhi bagaimana interaksi dengan
orang lain dan berdampak pada hasil kerja mereka. Dedikasi pada pekerjaan, jam kerja yang panjang dan berlebihan menimbulkan adanya potensi konflik dengan
orang lain. Untuk mengurangi konflik tersebut, mereka justru menarik diri dari lingkungannya dan fokus pada pekerjaan.
Selanjutnya, Togia 2005 menjelaskan bahwa beban kerja yang tinggi dan tugas rutin yang berulang juga dapat menyebabkan burnout. Adanya konflik yang
terjadi antara tuntutan di pekerjaan yang berlebihan serta tuntutan dari keluarga yang tidak teratasi dengan baik dapat menyebabkan terjadinya burnout pada pekerja
wanita. Leiter Maslach 1997 menyatakan konflik biasanya berhubungan dengan tuntutan keluarga dan pekerjaan yang datang pada waktu bersamaan, banyaknya
tanggung jawab yang harus dipenuhi dalam menjalankan peran sebagai istri, ibu dan juga pekerja serta waktu yang tidak dapat dibagi dengan baik. Sianturi dan Zulkarnain
2013 menjelaskan konflik ini terjadi karena tuntutan peran yang berasal dari satu domain pekerjaan atau keluarga tidak sesuai dengan tuntutan peran yang berasal
dari domain yang lain keluarga atau pekerjaan yang. Konflik ini disebut dengan Work family conflict Greenhaus Beutell, 1985.
Work family conflict dapat memberikan efek pada performansi kerja dan keluarga. Adanya harapan dari peran yang berbeda dapat menyebabkan inter-role
conflict ketika tekanan untuk dapat memuaskan keluarga maupun pekerjaan menuntut waktu, tenaga, dan komitmen. Ketidakseimbangan terjadi ketika partisipasi yang
dilakukan pada pekerjaan lebih dibandingkan pada keluarga, dan sebaliknya Yang, 2000. Menurut American National Institute for Occupational Safety and Health
NIOSH, work family conflict termasuk dalam 10 stressor yang paling signifikan dalam bekerja.
Greenhaus dan Beutell 1985 membagi work-family conflict dalam tiga dimensi, yaitu 1 Time-based conflict, terjadi ketika waktu yang dibutuhkan untuk
menjalankan salah satu tuntutan keluarga atau pekerjaan dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya keluarga atau pekerjaan. 2 Strain-based
conflict, terjadi ketika tuntutan dari satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya. 3 Behavior-based conflict, terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara perilaku
dengan yang diinginkan oleh kedua bagian keluarga atau pekerjaan. Netmeyer, Mc Murrian dan Boles 1996 mengemukakan bahwa terdapat
beberapa penelitian yang menyatakan wanita cenderung menghabiskan banyak waktunya dalam mengurus rumah tangga, sehingga hal ini menimbulkan konflik
terhadap pekerjaan family interference with work, sedangkan pria cenderung lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja sehingga hal ini menimbulkan konflik
dengan keluarga work interference with family. Pada wanita, keterlibatan dan komitmen waktu pada keluarga yang didasari tanggung jawab terhadap tugas rumah
tangga, mengurus suami dan anak membuat para wanita lebih sering mengalami konflik keluarga-pekerjaan Simon, 1995. Tingkat konflik ini lebih parah pada
wanita yang bekerja secara formal karena mereka umumnya terikat dengan aturan organisasi tentang jam kerja, penugasan atau target penyelesaian pekerjaan. Keadaan
di tempat kerja seperti kurangnya dukungan membuat pekerja menimbulkan afeksi negatif terhadap pekerjaan Cox, Kuk, Leiter 1993. Hal ini menimbulkan dampak
pada keluarga yang lama kelamaan menimbulkan burnout.
Tekanan akibat konflik yang terjadi membuat seseorang merasa lelah baik secara fisik, mental yang menimbulkan burnout pada diri seseorang sehingga tidak
mau terlibat penuh dan tidak memiliki rasa antusias pada perannya Pines Maslach, 1993. Adanya fenomena di atas membuat peneliti ingin mengetahui peranan work
family conflict terhadap burnout dikalangan dosen wanita.
B. Perumusan Masalah