Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat di RSU Kabanjahe

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL PERAWAT

DENGAN PERILAKU

CARING

PERAWAT

DI RSU KABANJAHE

SKRIPSI

Oleh:

Priskila Br Meliala 101101136

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat di RSU Kabanjahe”.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan, Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen pembimbing yang

telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Ibu Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS selaku dosen penguji yang telah memberikan saran yang berharga bagi penulis.

4. Ibu Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, sp. Mat selaku dosen penguji yang telah memberikan saran yang berharga bagi penulis.

5. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen Fakultas Keperawatan yang telah menguji validitas kuesioner kecerdasan emosional dan perilaku

caring serta memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.

6. Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen Fakultas Keperawatan yang telah menguji validitas kuesioner kecerdasan emosional dan memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.

7. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen Fakultas Keperawatan yang telah menguji validitas kuesioner kecerdasan emosional dan memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.

8. Ibu Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep, Ns, MNurs (MntlHlth) selaku dosen Fakultas Keperawatan yang telah menguji validitas kuesioner perilaku

caring dan memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.

9. Ibu Liberta Lumbantoruan, S.Kp, M.Kep selaku Ketua Komite Etik Keperawatan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah menguji validitas kuesioner perilaku caring dan memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.

10. Direktur RSU Kabanjahe dan Ibu Horde Herda br Bangun, S.Kep, Ners selaku Kepala Seksi Diklat RSU Kabanjahe yang telah memberikan informasi tentang RSU Kabanjahe serta izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di RSU Kabanjahe.

11. Direktur RSUD Sidikalang dan Ibu Frisda Turnip, SKM, M.Kes selaku Kepala Bagian Tata Usaha RSUD Sidikalang yang telah memberikan izin


(4)

kepada penulis untuk melakukan uji reliabilitas instrumen di RSUD Sidikalang.

12. Semua pasien dan perawat di ruang VIP, ruang Paviliun, ruang Kelas, ruang 5 dan ruang 6 RSU Kabanjahe yang telah bersedia menjadi responden penelitian.

13. Semua pasien dan perawat di RSUD Sidikalang yang telah bersedia menjadi responden dalam uji reliabilitas instrumen penelitian ini.

14. Orang tua penulis Alm. P. Meliala dan N. br Ginting serta keempat saudara laki-laki penulis yang selalu memberikan doa, dukungan, serta semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

15. Sahabat-sahabat penulis yang senantiasa memberikan dukungan, doa, serta semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya bidang keperawatan.

Medan, 08 Juli 2014 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... ii

PRAKATA... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

ABSTRAK... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang... 1

2. Pertanyaan Penelitian... 4

3. Hipotesis penelitian... 4

4. Tujuan penelitian... 5

5. Manfaat penelitian... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Kecerdasan Emosional... 7

1.1 Definisi kecerdasan emosional... 7

1.2 Komponen dasar kecerdasan emosional... 7

1.2.1 Kesadaran diri... 7

1.2.2 Pengaturan diri... 8

1.2.3 Motivasi... 9

1.2.4 Empati... 10

1.2.5 Keterampilan sosial... 11

1.3 Dimensi kecerdasan emosional... 13

1.4 Kecerdasan emosional dalam pekerjaan... 14

2. Perilaku Caring... 16

2.1 Konsep caring... 16

2.2 Faktor-faktor pembentuk caring... 17

2.3 Caring dalam praktik keperawatan... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP 1. Kerangka Konsep... 24

2. Definisi Operasional... 25

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian... 26


(6)

2. Populasi dan Sampel Penelitian... 26

2.1 Populasi penelitian... 26

2.2 Sampel penelitian... 26

3. Lokasi dan Waktu Penelitian... 27

4. Pertimbangan Etik Penelitian... 28

5. Instrumen Penelitian dan Pengukuran Validitas-Reliabilitas... 29

5.1 Instrumen penelitian... 28

5.2 Pengukuran validitas-reliabilitas... 31

6. Proses Pengumpulan Data... 33

7. Analisa Data... 33

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian... 36

1.1 Karateristik Responden... 36

1.2 Kecerdasan Emosional Perawat... 38

1.3 Perilaku Caring Perawat... 39

1.4 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat... 41

2. Pembahasan... 41

2.1 Kecerdasan Emosional Perawat... 42

2.2 Perilaku Caring Perawat... 44

2.3 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat... 47

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan... 49

2. Saran... 49

2.1 Pendidikan Keperawatan... 49

2.2 Penelitian Keperawatan... 49

2.3 Tenaga Perawat... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51

Lampiran-lampiran... 54

1. Lembar persetujuan menjadi responden penelitian... 55

2. Jadwal penelitian... 56

3. Taksasi dana... 57

4. Instrumen penelitian... 58


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi operasional hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe ... 25 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden

kecerdasan emosional... 37 Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden perilaku caring perawat ... 38 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden

kecerdasan emosional perawat ... 38 Tabel 5.4 Distribusi frekuensi jawaban perawat tiap indikator kecerdasan

emosional ... 39 Tabel 5.5 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden perilaku caring perawat ... 39 Tabel 5.6 Distribusi frekuensi jawaban pasien tiap indikator perilaku caring ... 40 Tabel 5.7 Hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring


(8)

DAFTAR GAMBAR

Skema 3.1 Kerangka konsep hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe ... 24


(9)

Judul Penelitian : Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku

Caring Perawat di RSU Kabanjahe Nama Mahasiswa : Priskila Br Meliala

NIM : 101101136

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademi : 2014

Abstrak

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menyadari dirinya, mengatur dirinya, memotivasi dirinya secara pribadi dan memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain (empati) serta terampil dalam hal-hal sosial. Pelayanan keperawatan sangat memerlukan perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasien secara biologis, psikologis, sosiologis, dan spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring

perawat di RSU Kabanjahe. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

purposive sampling sebanyak 46 orang perawat dan 78 orang pasien.

Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Maret 2014 sampai 03 Mei 2014 dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh perawat dan wawancara menggunakan kuesioner kepada pasien. Hasil analisa data menunjukkan tingkat kecerdasan emosional perawat 34.8% dalam kategori sedang dan 65.2% dalam kategori tinggi. Perilaku caring perawat 51.3% dalam kategori cukup baik dan 48.7% dalam kategori baik. Kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat dikorelasikan dengan menggunakan Spearman rho dengan nilai � = 0.109. Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe. Saran untuk penelitian selanjutnya agar meneliti tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat.


(10)

Judu l Penelitian : The Relationship of Emotional Intelligence and Caring Behavior of Nurses in RSU Kabanjahe

Researcher : Priskila Br Meliala

NIM : 101101136

Major : Bachelor of Nursing Academic Year : 2014

Abstract

Emotional intelligence is the ability of an individual to perceive, manage, and motivate his own self personally and understand the feeling, needs and interests of others (empathy) as well to be a sociable person. Nursing services really need a nurse who has a high emotional intelligence to meet the needs of the patients biologically, psychologically, sociologically, and spiritually. This study aims to identify the relationship between the emotional intelligence and caring behavior of nurses in RSU Kabanjahe (Kabanjahe Hospital). The sampling was done by using purposive sampling with the total of 46 nurses and 78 patients. The data were collected from March 17, 2014 until May 03, 2014 by using questionnaires filled by the nurses and by interviewing the patients by using those questionnaires. The results of the data analysis showed that 34.8% of the nurses have middle emotional intelligence and 65.2% have high emotional intelligence, 51.3% of nurses have fair caring behavior and 48.7% have good caring behavior. Emotional intelligence and caring behavior of the nurses are correlated by using the

Spearman rho with the value � = 0.109. The conclusion of this study is that there is a positive relationship between emotional intelligence and caring behavior of nurses in RSU Kabanjahe. Suggestion for further research is to examine the factors that can influence the emotional intelligence and caring behavior of nurses. Key words : Emotional intelligence, caring, nurses


(11)

Judul Penelitian : Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku

Caring Perawat di RSU Kabanjahe Nama Mahasiswa : Priskila Br Meliala

NIM : 101101136

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademi : 2014

Abstrak

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menyadari dirinya, mengatur dirinya, memotivasi dirinya secara pribadi dan memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain (empati) serta terampil dalam hal-hal sosial. Pelayanan keperawatan sangat memerlukan perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasien secara biologis, psikologis, sosiologis, dan spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring

perawat di RSU Kabanjahe. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

purposive sampling sebanyak 46 orang perawat dan 78 orang pasien.

Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Maret 2014 sampai 03 Mei 2014 dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh perawat dan wawancara menggunakan kuesioner kepada pasien. Hasil analisa data menunjukkan tingkat kecerdasan emosional perawat 34.8% dalam kategori sedang dan 65.2% dalam kategori tinggi. Perilaku caring perawat 51.3% dalam kategori cukup baik dan 48.7% dalam kategori baik. Kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat dikorelasikan dengan menggunakan Spearman rho dengan nilai � = 0.109. Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe. Saran untuk penelitian selanjutnya agar meneliti tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat.


(12)

Judu l Penelitian : The Relationship of Emotional Intelligence and Caring Behavior of Nurses in RSU Kabanjahe

Researcher : Priskila Br Meliala

NIM : 101101136

Major : Bachelor of Nursing Academic Year : 2014

Abstract

Emotional intelligence is the ability of an individual to perceive, manage, and motivate his own self personally and understand the feeling, needs and interests of others (empathy) as well to be a sociable person. Nursing services really need a nurse who has a high emotional intelligence to meet the needs of the patients biologically, psychologically, sociologically, and spiritually. This study aims to identify the relationship between the emotional intelligence and caring behavior of nurses in RSU Kabanjahe (Kabanjahe Hospital). The sampling was done by using purposive sampling with the total of 46 nurses and 78 patients. The data were collected from March 17, 2014 until May 03, 2014 by using questionnaires filled by the nurses and by interviewing the patients by using those questionnaires. The results of the data analysis showed that 34.8% of the nurses have middle emotional intelligence and 65.2% have high emotional intelligence, 51.3% of nurses have fair caring behavior and 48.7% have good caring behavior. Emotional intelligence and caring behavior of the nurses are correlated by using the

Spearman rho with the value � = 0.109. The conclusion of this study is that there is a positive relationship between emotional intelligence and caring behavior of nurses in RSU Kabanjahe. Suggestion for further research is to examine the factors that can influence the emotional intelligence and caring behavior of nurses. Key words : Emotional intelligence, caring, nurses


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Caring adalah pusat praktik keparawatan. Caring merupakan bentuk dasar dari praktik keperawatan dimana perawat membantu klien pulih dari sakitnya, memberikan penjelasan tentang penyakitnya, dan mengelola atau membangun kembali hubungan. Sikap keperawatan yang berhubungan dengan caring adalah kehadiran, sentuhan kasih sayang, dan selalu mendengarkan klien (Potter & Perry, 2009).

Hasil penelitian Amelia & Wahyuni (2008) menunjukkan masih rendahnya persentase pelaksanaan caring di RS Haji Adam Malik Medan, yaitu 58% dan tingkat kepuasan pasien 52%. Beberapa keluhan juga sering dilontarkan pasien RS Haji Adam Malik Medan tentang pelayanan perawatnya seperti: kurang ramah, tidak disiplin, tidak memperhatikan keluhan pasien. Dari hasil penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa masih ada perawat yang belum caring sehingga mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap klien. Hasil penelitian Malini, Sartika, Idianola (2009) juga ditemukan bahwa 65 orang perawat dari 82 orang perawat di RS Dr. M. Djamil penerapan perilaku caring masih buruk. Hal yang sama ditemuka n oleh Awaliyah (2012) saat melakukan survei di RSUD Solok bahwa 87 orang perawat pelaksana dari 90 orang perawat pelaksana di RSUD Solok masih kurang baik dalam menerapkan perilaku caring saat memberikan asuhan keperawatan.


(14)

Perilaku caring dipengaruhi oleh berbagai faktor dan salah satunya adalah motivasi diri. Namun dalam perkembangannya ditemukan bahwa perilaku caring

perawat tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, namun juga dipengaruhi oleh kecerdasan dasar (Malini dkk, 2009). Oleh para ahli psikologi kecerdasan pada diri manusia dibagi menjadi tiga yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual (Notoatmodjo, 2012).

Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengenali kondisi perasaannya secara pribadi dan perasan orang lain serta menggunakan perasaan itu dalam berpikir dan bertindak (Nurhidayah, 2006). Sedangkan Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosional penting dalam pekerjaan (Nurhidayah, 2006). Kecerdasan emosional menempati posisi pertama dalam menentukan peralihan prestasi puncak dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang menentukan suatu keberhasilan adalah kecerdasan emosional 80% dan kecerdasan intelektual sebesar 20% (Goleman, 2001). Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Martin (2003) bahwa para pekerja yang berhubungan dengan banyak orang yang menerapkan kecerdasan emosional dalam pekerjaan terbukti lebih sukses. Dengan kecerdasan emosional seseorang bisa mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sekerja maupun bawahan (Nurhidayah, 2006).


(15)

Kecerdasan emosional sangat dibutuhkan oleh perawat (Nurhidayah, 2006). Kecerdasan emosonal merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan perawat untuk berurusan dengan isu-isu lingkungan dan stres pekerjaan (Landa et al., 2007). Perawat juga selalu berhubungan dengan klien yang latar belakang budaya dan sifatnya berbeda. Perbedaan ini menuntut perawat mengenali perasaan dirinya maupun orang lain dalam hal ini pasien dan keluarganya (Nurhidayah, 2006). Empati dan keterampilan sosial merupakan bagian dari kecerdasan emosional individu yang akan tampak pada perilakunya kepada orang lain dalam hal ini perilaku caring terhadap pasien. Perawat juga harus melihat pasien secara holistik yaitu biopsikososiospiritual. Namun perawat akan dapat melihat dan memenuhi kebutuhan pasien secara biopsikososiospiritual jika biopsikososiospiritual perawat juga terpenuhi dengan baik.

Namun kenyataannya masih sering ditemukan perawat yang belum bisa mengelola emosionalnya. Hal tersebut dibuktikan oleh Waryanti (2011) melalui hasil penelitiannya bahwa dari hasil data yang didapat dari RSUD kota Semarang ditemukan sebagian besar perawat masih kurang bisa mengelola emosional mereka, yang berdampak pada pelayanan kepada pasien dan ditemukan adanya komplain pasien setiap minggunya. Semua komplain tersebut tertulis pada buku kritik dan saran yang dimiliki RSUD Semarang. Selain di RSUD Semarang, di RSUD Kabupaten Indramayu juga ditemukan bahwa masih banyak juga keluhan pasien dan keluarga yang dirawat di rumah sakit tersebut terhadap sikap dan perilaku perawat yang kurang ramah, kasar dan kurang tanggap, padahal


(16)

perawatlah yang 24 jam mendampingi dan mengetahui kondisi pasien (Rosalina, 2008).

Hal yang hampir sama juga ditemukan dari hasil survei awal dan pengalaman peneliti di RSU Kabanjahe yaitu masih ada ditemukan perawat yang kurang bisa mengelola emosional yang berdampak pada perilaku caring terhadap pasien. Hal yang ditemukan peneliti adalah perilaku perawat yang kurang tanggap terhadap kebutuhan pasien dan kurang ramah terhadap pasien dan keluarganya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tergerak untuk meneliti bagaimana hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.

2. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dari penelitian ini adalah:

2.1 Bagaimanakah kecerdasan emosional perawat di RSU Kabanjahe? 2.2 Bagaimanakah perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe?

2.3 Bagaimanakah hubungan antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe?

3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional perawat dan perilaku caring perawat.


(17)

4. Tujuan Penelitian

4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.

4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

a) Mengidentifikasi kecerdasan emosional perawat di RSU Kabanjahe. b) Mengidentifikasi perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.

c) Mengidentifikasi hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.

5. Manfaat Penelitian

5.1 Bagi Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat tentang pentingnya kecerdasan emosional dalam meningkatkan perilaku caring

pada praktik keperawatan. Bagi pihak pengelola rumah sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk memberikan pembinaan kepada perawat dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional yang akan mendorong perilaku caring perawat pada praktik keperawatan.


(18)

5.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi perawat pendidik untuk mengintegrasikan dalam pembelajaran terkait kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat.

5.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat serta menjadi pertimbangan maupun perbandingan dengan penelitian selanjutnya.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kecerdasan Emosional

1.1 Definisi kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengenali kondisi perasaannya secara pribadi dan perasan orang lain serta menggunakan perasaan itu dalam berpikir dan bertindak (Nurhidayah, 2006). Sedangkan Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

1.2 Komponen dasar kecerdasan emosional

Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki lima dasar kecakapan yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.

1.2.1 Kesadaran diri

Kesadaran diri dalam kecerdasan emosional melahirkan kecakapan kesadaran diri, penilaian diri secara teliti, dan percaya diri. Kecakapan kesadaran diri adalah kemampuan mengetahui emosi mana yang sedang dirasakan dan mengapa hal itu terjadi, menyadari keterikatan antara perasaan dengan yang dipikirkan, perbuat dan katakan, mengetahui bagaimana perasaan mempengaruhi kinerja, mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan tujuan. Kecakapan penilaian diri adalah kesadaran akan kekuatan dan


(20)

kelemahannya, menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima umpan persefektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri, mampu menunjukkan rasa humor dan melihat diri sendiri dengan pandangan yang luas. Sedangkan kepercayaan diri mencakup mereka yang berani tampil dengan keyakinan diri dan keberadaannya, berani mengemukakan pendapat dan mau berkorban, tegas dan mampu membuat keputusan yang baik walaupun dalam keadaan tertekan (Goleman, 2001; Uno, 2008).

1.2.2 Pengaturan diri

Pengaturan diri yaitu kemampuan mengelola atau mengendalikan diri, memiliki sifat yang dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas, dan inovasi. Pengendalian diri berarti mampu mengelola emosi dan sesuatu yang merusak dan menekannya secara efektif, tetap teguh, dan tetap positif walaupun dalam situasi yang paling berat. Sifat dapat dipercaya berarti memelihara norma kejujuran dan integritas diri, bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan orang, membangun kepercayaan, rendah hati untuk mengakui kesalahan dan berani menegur perbuatan orang lain yang salah, serta berpegang pada prinsip secara teguh walaupun akibatnya menjadi tidak disukai orang lain. Kewaspadaan berarti bertanggung jawab atas kinerja pribadi. Sifat bersungguh-sungguh atau kewaspadaan yaitu memenuhi komitmen dan menepati janji, bertanggung jawab dalam mencapai tujuan dan cermat dalam bekerja. Adaptibilitas berarti memiliki sikap terbuka dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Sikap yang termasuk adaptibilitas adalah terampil menangani beragamnya kebutuhan,


(21)

bergesernya prioritas, dan pesatnya perubahan, mau mengubah pendapat dan strategi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Sedangkan inovasi berarti mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi yang baru. Selain itu inovasi berarti selalu mencari gagasan baru dari berbagai sumber, mendahulukan solusi-solusi yang asli dalam pemecahan masalah, menciptakan gagasan-gagasan baru, serta berani mengubah wawasan dan siap menanggung risiko akibat gagasan baru tersebut (Goleman, 2001; Uno, 2008).

1.2.3 Motivasi diri

Motivasi merupakan suatu kecendrungan emosi yang membuat dan memudahkan meraih suatu tujuan. Motivasi terkait dengan dorongan prestasi, komitmen, inisiatif, dan optimisme. Dorongan berprestasi merupakan dorongan untuk menjadi lebih baik sesuai dengan standar keberhasilan. Ciri-ciri orang yang memiliki kecakapan dorongan berprestasi adalah berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai, memiliki semangat juang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar, menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil risiko yang mungkin terjadi, mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik, serta terus belajar untuk meningkatkan kinerja. Komitmen yaitu sikap setia kepada visi dan tujuan tempat bekerja dan menyesuaikan diri dengan visi dan tujuan tersebut. Inisiatif berarti kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. Karakter orang yang memiliki kecakapan dalam komitmen adalah mau berkorban demi pencapaian tujuan, merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar, menggunakan


(22)

nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan serta aktif mencari kesempatan untuk mencapai tujuan kelompok. Sedangkan Optimisme merupakan kegigihan dalam mencapai tujuan walaupun ada tantangan dan kegagalan. Keterampilan yang dimiliki orang yang memiliki kecakapan optimisme adalah tekun dalam mencapai tujuan meskipun banyak tantangan dan kegagalan, memilki harapan untuk sukses, tidak takut gagal serta memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat dikendalikan (Goleman, 2001; Uno, 2008).

1.2.4 Empati

Empati berarti ikut merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami pikiran orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyesuaikan diri dengan orang lain. Empati juga berfokus pada pelayanan, memahami orang lain, mengembangkan orang lain serta memanfaatkan keragaman. Berorientasi pelayanan berarti mampu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Orang yang memiliki kecakapan dalam orientasi pelayanan adalah orang yang memiliki keterampilan memahami kebutuhan orang lain dan menyesuaikan semua itu dengan pelayanan yang tersedia, mencari berbagai cara untuk meningkatkan kepuasan orang lain, dengan senang hati menawarkan bantuan yang sesuai, memahami pikiran orang lain, serta bertindak sebagai konselor yang dapat dipercaya. Memahami orang lain berarti mampu memperhatikan kondisi emosi orang lain dan mendengarkannya dengan baik, menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap pikirannya, serta membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.


(23)

Mengembangkan orang lain berarti mampu merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka. Sedangkan memanfaatkan keragaman berarti menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang. Hal yang lain yang terkait keterampilan dalam kecakapan memanfaatkan keragaman adalah mau bergaul dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, memahami beragamnya pandangan dan peka terhadap perbedaan antar kelompok, memandang keragaman sebagai peluang, menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua orang sama-sama serta berani menantang sikap membeda-bedakan (Goleman, 2001; Uno, 2008). 1.2.5 Keterampilan sosial

Keterampilan sosial dalam kecerdasan emosional meliputi pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator, perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi, dan kemampuan tim. Kecakapan pengaruh berarti mereka terampil dalam mempengaruhi orang lain, menyesuaikan presentasi untuk menarik hati pendengar, menggunakan strategi yang rumit seperti memberi pengaruh tidak langsung untuk memberi dukungan, serta memadukan dan menyelaraskan peristiwa-peristiwa dramatis agar menghasilkan sesuatu yang efektif. Orang yang memiliki kecakapan komunikasi adalah mereka yang memiliki kemampuan dalam memberi dan menerima, menyertakan komunikasi nonverbal, menghadapi masalah-masalah sulit tanpa ditunda, mendengarkan dengan baik, berusaha saling memahami, dan bersedia berbagi informasi secara utuh, serta mau berkomunikasi secara terbuka dan tetap bersedia menerima kabar buruk sebagaimana kabar baik. Orang yang memiliki kecakapan manajemen


(24)

konflik adalah orang yang mempunyai keterampilan menangani orang-orang sulit dan situasi tegang dengan diskusi, mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik, menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka, dan membantu mendinginkan situasi, menganjurkan diskusi secara terbuka untuk mendapatkan solusi menang-menang. Kecakapan kepemimpinan berarti mampu membangkitkan semangat untuk meraih visi serta misi bersama, melangkah di depan untuk memimpin apabila diperlukan, tidak peduli sedang dimana, memandu kinerja orang lain namun tetap memberikan tanggung jawab kepada mereka serta memimpin melalui teladan. Keterampilan katalisator perubahan adalah kecakapan dalam hal menyadari perlunya perubahan dan dihilangkan hambatan, menjadi penggerak perubahan dan mengajak orang lain ke dalam perjuangan itu serta membuat model perubahan seperti yang diharapkan oleh orang lain. Kecakapan membangun ikatan adalah kemampuan menumbuhkan dan memelihara jaringan tidak formal yang meluas, mencari hubungan yang saling menguntungkan, membangun hubungan saling percaya dan memelihara keutuhan anggota, serta membangun dan memelihara persahabatan pribadi di antara sesama mitra kerja. Kecakapan kolaborasi dan kooperasi adalah keterampilan menyeimbangkan fokus perhatian kepada tugas dengan perhatian kepada hubungan, kolaborasi, rencana, informasi dan sumber daya, mempromosikan suasana kerja sama yang bersahabat, serta mendeteksi dan menumbuhkan kesempatan untuk kolaborasi. Kecakapan dalam kemampuan tim adalah suatu kemampuan yang dimiliki mereka yang dapat menjadi teladan dalam kualitas tim seperti respek, kesediaan membantu orang lain dan juga mendorong setiap


(25)

anggota tim agar berpartisipasi secara aktif dan penuh antusiasme serta membangun identitas diri, semangat dan berkomitmen (Goleman, 2001; Uno, 2008).

1.3 Dimensi kecerdasan emosional

Notoatmodjo (2012) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional mempunyai berbagai dimensi, secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi lima, yakni: intrapersonal, interpersonal, adaptability, stress management, dan general mood.

Intrapersonal adalah kemampuan-kemampuan yang timbul dalam diri manusia. Kemampuan intrapersonal mencakup kemampuan menghargai dan menerima sifat dasar pribadi yang pada dasarnya baik (self regard), kemampuan mengenali perasaan sendiri (emotional self-awarness), kemampuan mengekspresikan perasaannya sendiri (assertiveness), kemampuan mengarahkan dan mengendalikan diri dalam berpikir dan bertindak (independence), serta kemampuan menampilkan kemampuan atau kapasitas potensi dirinya ( self-actualization).

Interpersonal adalah kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain. Kemampuan interpersonal mencakup kemampuan memahami, mengerti, dan menghargai perasaan orang lain (emphathy), kemampuan berperan sebagai anggota kelompok atau masyarakat terhadap kelompok atau masyarakat ( social-responsibility), serta kemampuan membentuk dan mempertahankan hubungan serta saling menguntungkan dengan orang lain atau kelompok lain.


(26)

Adaptability adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi atau kondisi dalam kehidupan, lingkungan, kelompok atau masyarakat. Kemampuan yang dimaksud mencakup kemampuan menghubungkan pengalaman dan kondisi lingkungannya secara nyata (reality testing), kemampuan menyesuaikan emosi, pemikiran dan sikap terhadap perubahan situasi di lingkungan atau kelompoknya (flexibility), serta kemampuan mengidentifikasi masalah untuk menemukan solusi yang tepat untuk masalah atau persoalan yang dihadapi (problem solving).

Stress management adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi persoalan di dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga, tempat tinggal, dan lingkungan kerja. Kemampuan yang dimiiki saat menghadapi kejadian dan situasi yang penuh tekanan dan menanganinya secara positif (stress tolerance), kemampuan untuk menunda keinginan, dan keinginan untuk bertindak (impulse control).

General mood adalah kemampuan seseorang dalam mempersepsikan

kehidupan sebagai hal yang positif, meskipun mengalami berbagai berbagai hambatan dan masalah. Kemampuan seseorang untuk melihat aspek yang baik dari kehidupan dan memelihara sikap positif, meskipun di saat yang tidak menyenangkan (optimisme) dan kemampuan untuk merasa puas akan kehidupan, menikmati kehidupan pribadi dan orang lain (happiness).

1.4 Kecerdasan emosional dalam pekerjaan

Martin (2003) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk


(27)

menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan bahwa sering kali kita tidak mampu menangani masalah-masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita.

Kelebihan orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dibandingkan orang lain di dunia kerja dapat tercermin dari fakta berikut:

a. Pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang, mereka lebih sukses bekerja. Terutama karena mereka lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain.

b. Pada salesmen, penyedia jasa, atau profesional lainnya yang memiliki kecerdasan emosional tinggi nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan sekerja dan atasannya.

c. Mereka lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional. Pendapat mereka dianggap selalu objektif dan penuh pertimbangan.

d. Mereka menanggung stres yang lebih kecil karena biasa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mereka mampu memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar.

e. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi mereka selalu mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan mudah beradaptasi.


(28)

f. Di saat lainnya menyerah, mereka tidak putus asa dan frustasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

2. Perilaku Caring 2.1 Konsep caring

Caring merupakan pusat praktik keperawatan. Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia berpikir, merasa, dan mempunyai hubungan dengan sesama. Caring mencerminkan apa yang berhubungan dengan individu dan menggambarkan hubungan yang luas, dari cinta orangtua sampai hubungan pertemanan, dari kepedulian terhadap teman sekerja sampai kepedulian terhadap binatang peliharaan (Potter & Perry, 2009).

Watson dan Smith (2002) mengemukakan bahwa caring adalah dasar dalam sebuah kesatuan nilai-nilai kemanusiaan yang universal (kebaikan, kepedulian, dan cinta terhadap diri sendiri dan orang lain). Caring digambarkan sebagai moral ideal keperawatan yang meliputi keinginan untuk merawat, kesungguhan untuk merawat, dan tindakan merawat. Tindakan caring adalah pembeda antara tindakan keperawatan dengan ilmu yan lain. Tindakan caring meliputi komunikasi, tanggapan yang positif, dukungan, atau intervensi fisik oleh perawat. Miller (1995, dalam Kozier, 2010) mendefinisikan caring sebagai tindakan yang disengaja yang dapat memberi rasa aman baik fisik maupun emosi serta keterikatan yang tulus dengan orang lain atau sekelompok orang. Sedangkan menurut Gadow (1984) dan Noddings (1984), caring dapat melibatkan tindakan


(29)

atau komunikasi verbal dan dapat juga tidak. Namun kebanyakan tindakan caring

berupa non tindakan, sebagaimana yang diinginkan klien (Kozier, 2010).

Caring adalah hal utama dalam hubungan perawat-klien dan daya untuk melindungi dan meningkatkan harga diri klien. Misalnya, perawat menggunakan sentuhan dan berkata jujur untuk menegaskan klien sebagai seorang manusia, bukan benda, dan membantu mereka menentukan pilihan dan menemukan makna dalam pengalaman sakit mereka (Kozier, 2010).

Madeline Leininger menggambarkan caring sebagai tindakan asistif, suportif, dan fasilitatif yang ditujukan bagi individu atau kelompok lain yang memiliki kebutuhan yang nyata atau telah diantisipasi. Caring bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kondisi manusia dan menekankan pada aktivitas yang sehat dan mudah dilakukan pada individu atau kelompok yang didasarkan pada metode bantuan yang telah disetujui secara budaya. Leininger juga menyatakan bahwa caring penting bagi perkembangan, pertumbuhan dan ketahanan hidup manusia. Caring dapat dilihat dan dirasakan dari perilaku caring

seperti kenyamanan, kasih sayang, kepedulian, perilaku koping, empati, memudahkan, memfasilitasi, minat, keterlibatan, tindakan konsultasi kesehatan, tindakan instruksi kesehatan, tindakan pemeliharaan kesehatan, kehadiran, sentuhan dan lain-lain (Kozier, 2010).

2.2 Faktor-faktor pembentuk caring

Watson (1988, dalam Potter & Perry, 2009) menekankan bahwa dalam sikap caring perawat ada sepuluh faktor karatif yang berasal dari nilai-nilai humanistik dan pengetahuan dasar dalam praktik keperawatan yaitu sebagai


(30)

berikut: membentuk sistem nilai humanistik-alturistik, menciptakan keyakinan dan harapan, meningkatkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain, membangun pertolongan, kepercayaan, hubungan caring manusia, meningkatkan dan mengungkapkan perasaan positif dan negatif, menggunakan proses caring

yang kreatif dalam penyelesaian masalah, mempromosikan proses belajar-mengajar yang interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual, membantu dalam pemenuhan kebutuhan manusia serta mengijinkan adanya kekuatan-kekuatan fenomena yang bersifat spiritual.

Membentuk sitem nilai humanistik-alturistik dalam praktik adalah menggunakan kebaikan dan kasih sayang serta sikap yang terbuka untuk meningkatkan persetujuan terapi pada klien. Nilai humanistik-alturistik dalam diri seseorang dapat dinilai dari usia dini. Serta nilai-nilai humanistik-alturistik itu bisa didapatkan dari orangtua dan dapat ditingkatkan melalui pengalaman hidup, paparan terhadap nilai-nilai di lingkungan dimana seseorang itu berada.

Menciptakan keyakinan dan harapan dilakukan dengan menciptakan suatu hubungan dengan klien yang menawarkan maksud dan petunjuk saat mencari arti dari suatu penyakit. Hal menciptakan keyakinan dan harapan tersebut sangat penting. Perawat perlu selalu berpikir positif dengan harapan pemikiran itu bisa menular kepada pasien untuk meningkatkan kesembuhan dan kesejahtraan pasien.

Meningkatkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain dapat terwujud dengan cara belajar menerima keberadaan diri sendiri dan orang lain. Perawat yang caring berkembang menjadi perawat perwujudan diri artinya


(31)

perawat harus terlebih dahulu menerima kelemahan dan kelebihan dirinya sehingga dia juga akan dapat menerima keberadaan orang lain.

Membangun pertolongan, kepercayaan, hubungan caring maksudnya adalah belajar membangun dan saling menolong dan percaya melalui komunikasi yang efektif dengan klien. Selain itu hubungan saling percaya juga digambarkan sebagai adanya hubungan yang jujur dan hangat.

Meningkatkan dan mengungkapkan perasaan positif dan negatif dalam praktik adalah mendukung dan menerima perasaan klien. Dalam berhubungan dengan klien, perawat menunjukkan kesiapan mengambil resiko atau rela berkorban dalam berbagi dengan sesama.

Menggunakan proses caring yang kreatif dalam penyelesaian masalah dilakukan dengan menerapkan proses keperawatan secara sistematis. Dan membuat keputusan pemecahan masalah dalam pelayanan yang berfokus kepada klien.

Mempromosikan proses belajar-mengajar yang interpersonal yaitu dengan cara perawat memberi informasi kepada klien dan memfasilitasi proses ini dengan memberikan pendidikan kesehatan yang dibuat supaya dapat memampukan klien memenuhi kebutuhan pribadinya. Klien juga bertanggung jawab untuk belajar dan mendapatkan keterampilan terkait kondisinya.

Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual yaitu dengan membuat pemulihan suasana pada semua tingkatan, baik fisik maupun non fisik. Hal ini dikerjakan


(32)

dengan meningkatkan kebersamaan, keindahan, kenyamanan, kepercayaan, dan kedamaian.

Membantu dalam pemenuhan kebutuhan manusia yaitu perawat membantu klien mendapatkan atau memenuhi kebutuhan dasar secara sengaja dan disadari. Misalnya kebutuhan eliminasi, nutrisi, rasa aman dan nyaman serta kebutuhan dasar yang lain.

Mengijinkan adanya kekuatan-kekuatan fenomena yang bersifat spiritual yaitu dengan cara perawat membantu klien untuk mengerti tentang kekuatan spiritual sehingga dapat memberikan pengertian tentang diri sendiri dan orang lain serta dapat memahami arti kehidupan dan kematian.

2.3 Caring dalam praktik keperawatan

Potter & Perry (2009) menyatakan bahwa caring merupakan hasil dari kultur, nilai-nilai, pengalaman, dan hubungan mereka dengan orang lain. Individu yang tidak pernah mengalami perawatan dalam kehidupannya sering mengalami kesulitan dalam mempraktikkan caring. Perawat melakukan caring menggunakan pendekatan pelayanan dalam setiap pertemuan dengan klien. Sikap keperawatan yang berhubungan dengan caring dinilai dari kehadiran, sentuhan, mendengarkan, dan memahami klien.

Kehadiran merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri dengan orang lain. Fredriksson (1999, dalam Potter & Perry, 2009) menjelaskan bahwa kehadiran berarti “ada di” dan “ada dengan”. “Ada di” berarti hadir secara fisik bagi klien, tetapi juga termasuk komunikasi dan pengertian. “Ada dengan” berarti hubungan


(33)

secara interpersonal yang berarti perawat memberikan dirinya selalu ada untuk klien.

Melalui kehadiran, kontak mata, bahasa tubuh, nada suara, mendengarkan, serta memiliki sikap positif dan bersemangat yang dilakukan perawat akan tercipta suatu suasana keterbukaan dan saling mengerti. Melalui pertemuan dengan klien, perawat dapat meningkatkan kemampuannya dengan belajar dari klien. Dan juga dapat memperkuat kemampuan perawat untuk menyelenggarakan pelayanan keperawatan yang sesuai dan adekuat (Potter & Perry, 2009).

Kehadiran perawat juga sangat penting dalam kondisi klien yang tertekan. Karena kehadiran perawat dapat membantu mengurangi tingkat kecemasan dan rasa takut klien karena tertekan. Memberikan penjelasan yang seksama tentang prosedur atau intervensi yang sedang diterima dan berada di samping klien merupakan bentuk kehadiran yang sangat berarti bagi klien (Potter & Perry, 2009).

Sentuhan merupakan salah satu cara pendekatan yang menenangkan dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan klien untuk memberikan perhatian dan dukungan. Sentuhan juga membawa perawat pada suatu hubungan dengan klien (Potter & Perry, 2009).

Fredriksson (1999, dalam Potter & Perry, 2009) menjelaskan bahwa sentuhan dapat berupa kontak dan non kontak. Sentuh kontak seperti kontak langsung kulit dengan kulit, sedangkan sentuhan non kontak adalah kontak mata. Sentuh kontak dan non kontak dapat dilihat dari tiga kategori yaitu sentuhan berorientasi tugas, sentuhan pelayanan, dan sentuhan perlindungan.


(34)

Sentuhan dapat memberikan banyak pesan, oleh sebab itu harus dilakukan dengan bijaksana. Namun, secara umum klien lebih menyukai sentuhan yang berorientasi tugas, karena sebagian besar individu memberikan izin kepada dokter dan perawat masuk ke dalam pribadinya untuk memberikan pelayanan (Potter & Perry, 2009).

Mendengarkan merupakan kunci, karena hal ini menunjukkan perhatian yang penuh dan bentuk ketertarikan perawat akan kondisi klien (Potter & Perry, 2009). Mendengarkan yang dimaksud bukan hanya sekedar mendengar tetapi mengerti apa yang sampaikan serta memberikan respon balik terhadap lawan bicara (Kemper, 1992 dalam Potter & Perry, 2009). Supaya mendengarkan menjadi efektif, pendengar perlu menenangkan dirinya, mengunci mulut dan terbuka serta penuh konsentrasi terhadap apa yang klien sampaikan (Fredriksson, 1999 dalam Potter & Perry, 2009).

Dengan aktif mendengar, perawat dapat memahami klien dan mengetahui apa yang mereka rasakan dan butuhkan (Bernick, 2004 dalam Potter & Perry, 2009). Meskipun belajar mendengarkan terkadang memang sulit, namun mendengarkan sangat berguna dalam rangka mendapatkan informasi dan memperkuat hubungan perawat dengan klien (Potter & Perry, 2009).

Memahami klien berarti perawat menghindari asumsi, fokus pada klien, dan ikut serta dalam hubungan caring dengan klien yang memberikan informasi dan petunjuk untuk dapat berpikir kritis dan memberikan penilaian klinis. Memahami klien sebagai inti suatu proses digunakan dalam membuat keputusan klinis (Potter & Perry, 2009).


(35)

Pemahaman klien merupakan pintu gerbang pelayanan, proses sosial yang menghasilkan suatu ikatan dimana klien menjadi lebih mengenal perawat (Lamb dan Stempel, 1994 dalam Potter & Perry, 2009). Ikatan tersebut dapat penting bagi perawat sehingga dapat membantu klien terlibat dalam pelayanan dan menerima bantuan saat diperlukan (Bulfin, 2005 dalam Potter & Perry, 2009).


(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah gambaran hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat.

Berdasarkan teori dan tujuan penelitian dalam penelitian ini maka kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut.

Skema 3.1 Kerangka konsep hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe

Kecerdasan emosional : 1. Kesadaran diri 2. Pengaturan diri 3. Motivasi diri 4. Empati 5. Keterampilan

sosial

(Goleman, 2001)

Perilaku caring berdasarkan faktor karatif :

1. Nilai humanistik-alturistik 2. Keyakinan dan harapan 3. Sensitifitas

4. Pertolongan dan kepercayaan 5. Ekspresi perasaan positif dan

negatif

6. Proses caring yang kreatif dalam penyelesaian masalah

7. Proses belajar-mengajar yang interpersonal

8. Lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual

9. Pemenuhan kebutuhan manusia 10. Kekuatan fenomena yang bersifat

spiritual

(Watson, 1985 dalam Potter & Perry, 2009)


(37)

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi operasional hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil Skala

Variabel independen: kecerdasan emosional perawat

Kemampuan perawat RSU Kabanjahe dalam menyadari dirinya, mengatur dirinya, memotivasi dirinya secara pribadi dan memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain (empati) serta terampil dalam hal-hal sosial.

Kuesioner dengan 35 pernyataan dengan pilihan jawaban: 4 = selalu 3 = sering 2= kadang-kadang

1 = tidak pernah

Hasil skor yang

didapat adalah: 106 – 140 71 – 105 35 - 70

Hasil yang didapat : 1. Tingkat kecerdasan emosional tinggi 2. Tingkat kecerdasan emosional sedang 3. Tingkat kecerdasan emosional rendah interval Variabel dependen: perilaku caring perawat

Perilaku caring adalah tindakan yang dilakukan perawat RSU Kabanjahe terhadap pasien yang meliputi sepuluh faktor karatif caring perawat yaitu nilai humanistik-alturistik, keyakinan dan harapan,

Kuesioner dengan 30 pernyataan dengan pilihan jawaban: 4 = selalu

Hasil yang didapat : 1.Perilaku caring perawat baik 2. Perilaku caring perawat interval


(38)

sensitifitas, pertolongan dan kepercayaan, perasaan positif dan negatif, penyelesaian masalah, proses belajar dan mengajar interpersonal,

lingkungan yang mendukung, melindungi, dan

memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual,

pemenuhan kebutuhan manusia, fenomena spiritual.

3 = sering 2 = kadang-kadang

1 = tidak pernah

Hasil skor yang

didapat adalah: 91 - 120 61 - 90 30 - 60

cukup baik 3. Perilaku

caring

perawat buruk


(39)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring

perawat di RSU Kabanjahe.

2. Populasi dan Sampel Penelitian

2.1 Populasi penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di RSU Kabanjahe dan seluruh pasien yang dirawat di ruang rawat inap RSU Kabanjahe. Setelah peneliti melakukan survei awal pada bulan Oktober 2013 ke RSU Kabanjahe, didapatkan data jumlah perawat di RSU Kabanjahe yaitu 64 orang. Sedangkan jumlah rata-rata pasien per bulan yang di rawat di ruang rawat inap RSU Kabanjahe dari bulan Januari sampai September 2013 yaitu 313 orang. 2.2 Sampel penelitian

Sampel adalah sebagian atau yang mewakili dari populasi yang diteliti (Wahyuni, 2011). Jumlah sampel ditentukan dengan perhitungan dari jumlah populasi dengan tingkat kesalahan 1%, 5%, 10% (Sugiyono, 2010). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 46 orang perawat dan 147 orang pasien. Jumlah sampel untuk pasien ditentukan berdasarkan tabel penentuan jumlah sampel yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2010) yaitu jumlah populasi 313 dengan derajat kesalahan 10% adalah 147 orang.


(40)

Namun jumlah sampel yang tercapai untuk perilaku caring perawat saat penelitian adalah 78 orang. Hal ini disebabkan adanya program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang terbentuk mulai bulan Januari 2014 yang juga berlaku di rumah sakit swasta di Kabanjahe, sehingga masyarakat Kabupaten Karo cenderung memilih perawatan di rumah sakit swasta yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan rumah sakit pemerintah seperti RSU Kabanjahe. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah pergantian pasien yang cukup lama karena lama rawat pasien di RSU Kabanjahe cukup lama, serta keterbatasan waktu peneliti.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling

dimana kriteria sampel yang diambil telah ditentukan. Kriteria sampel perawat adalah perawat yang bekerja di ruang rawat inap orang dewasa yaitu ruang VIP, ruang kelas, ruang paviliun, ruang 5, dan ruang 6. Kriteria sampel untuk pasien adalah pasien yang sudah dirawat di ruang rawat inap minimal selama 2 hari dan sudah berusia 18 tahun.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSU Kabanjahe yang berada di Jalan Kapten Selamat Ketaren Kabanjahe. Alasan Peneliti memilih RSU Kabanjahe sebagai lokasi penelitian meliputi: (1) RSU Kabanjahe dengan tipe C merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Karo, (2) penelitian tentang hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat belum pernah dilakukan di


(41)

daerah asal peneliti. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Juni 2014, sedangkan pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Maret 2014 sampai 03 Mei 2014.

4. Pertimbangan Etik Penelitian

Penelitian dilaksanakan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin dari direktur RSU Kabanjahe. Dalam pengumpulan data, terlebih dahulu peneliti menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian kepada responden yang memenuhi kriteria sampel. Calon responden diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian dan menanyakan kesediaan responden dalam menandatangani lembar persetujuan. Bagi responden yang tidak bersedia, peneliti tidak memaksa.

Peneliti tetap menjaga kerahasian (confidentiality) dari responden dan tidak mencantumkan nama (anonimity) responden namun hanya inisial atau kode di lembar kuesioner yang diisi oleh responden.

Selama proses pengambilan data, peneliti melindungi subjek dari semua kerugian baik material, nama baik dan bebas dari tekanan fisik dan psikologis yang timbul akibat penelitian ini. Penelitian ini juga telah melewati ethical clearance oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU.


(42)

5. Instrumen Penelitian dan Pengukuran Validitas - Reliabilitas

5.1 Instrumen penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan variabel yang diteliti, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu kepada tinjauan pustaka dan kerangka konsep penelitian. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang terdiri dari 3 bagian yaitu data demografi, kecerdasan emosional perawat dan perilaku caring perawat.

a) Kuesioner data demografi

Kuesioner data demografi yang digunakan untuk mengkaji data demografi responden dibagi dua yaitu data demografi perawat sebagai responden untuk meneliti variabel kecerdasan emosional dan data demografi pasien untuk meneliti variabel perilaku caring perawat. Data demografi perawat meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, dan agama. Data demografi pasien meliput i usia, jenis kelamin, pendidikan, dan lama rawat inap.

b) Kuesioner kecerdasan emosional

Kuesioner kecerdasan emosional bertujuan untuk mengidentifikasi kecerdasan emosional perawat. Kuesioner ini dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka yang menggambarkan kecerdasan emosional perawat. Kuesioner ini terdiri dari lima komponen dasar kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri (no 1, 3, 5, 9, 13, 15, 17), pengaturan diri (no 2, 4, 6, 7, 8, 10, 12), motivasi (11, 14, 16, 18, 20, 22, dan 35), empati (24, 26, 28, 30, 32, 33, 34), dan keterampilan sosial (19, 21, 23, 25, 27, 29, 31). Kuesioner ini terdiri dari lima pernyataan negatif (no 1, 15, 17, 19, 26 ) dan selebihnya pernyataan positif.


(43)

Pilihan jawaban pada kuesioner ini menggunakan skala Likert, yang terdiri dari empat penilaian jawaban yaitu tidak pernah, kadang-kadang, sering, dan selalu. Nilai untuk jawaban pernyataan positif yaitu tidak pernah bernilai 1, kadang-kadang bernilai 2, sering bernilai 3, dan selalu bernilai 4, sedangkan nilai untuk jawaban pernyataan negatif yaitu tidak pernah bernilai 4, kadang-kadang berniai 3, sering bernilai 2, dan selalu bernilai 1. Skor tertinggi adalah 140 dan skor terendah adalah 35. Wahyuni (2011) mengatakan bahwa untuk menentukan panjang kelas dipakai rumus:

P = rentang kelas/banyak kelas

P merupakan panjang kelas yaitu selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah dibagi banyak kelas. Nilai tertinggi adalah 140 dan nilai terendah adalah 35 sehingga didapat panjang kelas = (140 – 35) / 3 = 35. Jadi hasil penilaian total skor 35-70 dikategorikan kecerdasan emosional rendah, 71-105 kecerdasan emosional perawat sedang, 106-140 kecerdasan emosional tinggi.

c) Kuesioner perilaku caring perawat

Kuesioner perilaku caring bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku caring

perawat. Kuesioner ini dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka yang menggambarkan perilaku caring perawat. Kuesioner ini terdiri dari sepuluh faktor karatif caring yaitu membentuk nilai humanistik-alturistik (no 2, 3, dan 20), keyakinan dan harapan (no 8, 10, dan 13), sensitifitas (no 16, 17, dan 19), pertolongan dan kepercayaan (no 1, 4, dan 9), ekspresi perasaan positif dan negatif (no 5, 11 dan 14), proses caring yang kreatif dalam menyelesaikan masalah (no 6, 7, dan 23 ), proses belajar-mengajar yang interpersonal (no 12, 26,


(44)

dan 29), lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual (no 15, 18, dan 30), pemenuhan kebutuhan manusia (no 21, 22, dan 24), dan kekuatan fenomena yang bersifat spiritual (no 25, 27, dan 28).

Pilihan jawaban pada kuesioner ini menggunakan skala Likert, yang terdiri dari empat penilaian jawaban yaitu tidak pernah (bernilai 1), kadang-kadang (bernilai 2), sering (bernilai 3), dan selalu (bernilai 4). Skor tertinggi adalah 120 dan skor terendah adalah 30. Wahyuni (2011) mengatakan bahwa untuk menentukan panjang kelas dipakai rumus:

P = rentang kelas/banyak kelas

P merupakan panjang kelas yaitu selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah dibagi banyak kelas. Nilai tertinggi adalah 120 dan nilai terendah adalah 30 sehingga didapat panjang kelas = (120 – 30) / 3 = 30. Jadi hasil penilaian total skor 30-60 dikategorikan perilaku caring buruk, 61-90 perilaku caring cukup baik, 91-120 perilaku caring baik.

5.2 Pengukuran Validitas dan Reliabilitas

Sebelum kuesioner digunakan sebagai alat ukur penelitian perlu diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan alat ukur yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur tersebut dapat dipercaya (Notoatmodjo, 2010). Instrumen yang valid dan reliabel adalah instrumen yang mengukur apa yang seharusnya diukur dan akan menghasilkan data yang sama meski digunakan beberapa kali (Sugiyono, 2010).


(45)

Uji validitas yang digunakan peneliti adalah dengan menggunakan uji validitas isi (content validity). Dalam hal ini isi instrumen dibandingkan dengan teori yang terdapat pada tinjauan pustaka. Pengujian validitas dilakukan dengan memberikan konsep dan instrumen yang digunakan kepada masing-masing tiga orang ahli tiap instrumen yang dianggap ahli dibidangnya. Ahli yang diminta untuk melakukan uji validitas kuesioner kecerdasan emosional adalah Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd, Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, dan Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen Fakultas Keperawatan USU. Ahli yang diminta untuk melakukan validitas kuesioner perilaku caring adalah Ibu Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep, Ns, MNurs (MntlHlth) dan Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen Fakultas Keperawatan USU serta ketua Komite Etik Keperawatan di RSUP Haji Adam Malik Medan yaitu Ibu Liberta Lumbantoruan, S.Kp, M.Kep. Hasil uji validitas isi kuesioner kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat adalah 100% valid dengan nilai content validity indeks (CVI) adalah 1.

Setelah dilakukakan uji validitas maka dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas dilakukan di RSUD Sidikalang pada tanggal 22 Februari 2014 sampai 1 Maret 2014 kepada 20 responden dari perawat dan 20 responden dari pasien serta melakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik komputerisasi yaitu dengan uji cronbach alpha. Nilai reliabilitas untuk instrumen kecerdasan emosional perawat adalah 0.884, sedangkan nilai reliabilitas untuk instrumen perilaku caring perawat adalah 0.840. Hal ini diterima untuk instrumen yang baru, sesuai referensi Polit, Beck, Hungler (2005) yang menyatakan suatu instrumen


(46)

dikatakan reliabel jika nilai reliabilitasnya > 0.70. Alasan peneliti melakukan uji reliabilitas di RSUD Sidikalang adalah karena RSUD Sidikalang memiliki tipe yang sama dengan RSU Kabanjahe yaitu tipe C dan merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Dairi.

6. Proses Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dari RSU Kabanjahe. Peneliti menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian kepada calon responden yang memenuhi kriteria sampel. Calon responden diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian dan menanyakan kesediaan responden. Jika calon responden setuju maka peneliti memberikan lembar persetujuan menjadi responden dan kuesioner untuk diisi. Kuesioner kecerdasan emosional diisi sendiri oleh responden perawat, sedangkan kuesioner perilaku caring diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara terhadap pasien dengan menggunakan kuesioner. Responden yang tidak bisa berbahasa Indonesia maka peneliti menterjemahkan isi kuesioner ke dalam bahasa Karo. Setelah diisi, kuesioner dikumpulkan kembali oleh peneliti dan diperiksa kelengkapannya. Apabila ada yang tidak lengkap, dilengkapi saat itu juga dan selanjutnya data dikumpulkan untuk dianalisa.

7. Analisa Data

Peneliti melakukan pengolahan data atau analisa data setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data. Analisa data dilakukan melalui beberapa tahapan.


(47)

Pertama editing, yaitu memeriksa atau mengoreksi data yang telah dikumpulkan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan dan bersifat mengoreksi. Kuesioner kecerdasan emosional perawat dan perilaku caring perawat segera diperiksa kembali setelah kuesioner tersebut telah terkumpul. Hasilnya adalah kedua kuesioner tersebut telah terisi dengan lengkap. Kedua, coding, yaitu pemberian kode atau tanda berupa angka pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Peneliti menentukan beberapa kode pada kuesioner yaitu memberi kode “1” untuk pilihan jawaban “tidak pernah”, kode “2” untuk pilihan jawaban “kadang-kadang”, kode “3” untuk pilihan jawaban “sering”, dan kode “4” untuk pilihan jawaban “selalu”. Peneliti mengumpulkan semua data dalam tabel yang terdiri dari jumlah responden dan jumlah item pernyataan kuesioner, kemudian mengisi tabel tersebut dengan kode-kode yang telah ditentukan. Langkah selanjutnya yaitu pengolahan data, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik komputerisasi yaitu dengan menggunakan uji statistik deskriptif analisa frekuensi, mean dan standar deviasi untuk analisa univariat dan korelasi Spearman rho untuk analisis bivariat.

Hartono (2008) mengatakan bahwa salah satu cara menentukan tingkat normalitas data adalah dengan menggunakan skewness dan kurtosis. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai rasio skewness dan rasio kurtosis berada pada rentang nilai -2 sampai +2. Hasil normalitas data pada kecerdasan emosional perawat menggunakan nilai rasio skewness yaitu nilai skewness/standar error skewness adalah -1.32, dan nilai rasio kurtosis yaitu nilai kurtosis/standar error kurtosis adalah -2.71, sedangkan nilai normalitas pada


(48)

perilaku caring perawat didapat nilai rasio skewness yaitu nilai skewness/standar error skewness adalah 0.19, nilai rasio kurtosis yaitu nilai kurtosis/standar error kurtosis adalah -3.81. Hasil tersebut menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. Wahyuni (2011) mengatakan bahwa jika data tidak berdistribusi normal maka uji yang digunakan adalah uji Spearman rho. Koefisien korelasi untuk sampel dinotasikan dengan �. Batas-batas nilai koefisien korelasi diinterpretasikan sebagai berikut (Wahyuni, 2011):

1. 0.000-0.199 berarti korelasinya sangat lemah. 2. 0.200-0.399 berarti korelasinya lemah. 3. 0.400-0.599 berarti korelasinya sedang. 4. 0.600-0.799 berarti korelasinya kuat. 5. 0.800-1.000 berarti korelasinya sangat kuat.


(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian berdasarkan pengumpulan data pada tanggal 17 Maret sampai dengan tanggal 03 Mei terhadap 46 orang responden yaitu seluruh perawat yang bertugas di RSU Kabanjahe di ruang VIP, ruang kelas, ruang paviliun, ruang 5, dan ruang 6, serta terhadap 78 orang responden yaitu pasien yang dirawat di RSU Kabanjahe. Penyajian data meliputi karakteristik responden, deskripsi kecerdasan emosional perawat, deskripsi perilaku caring perawat, dan hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku

caring perawat di RSU Kabanjahe. 1.1 Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden untuk kecerdasan emosional perawat terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, agama, dan lama kerja. Karateristik responden untuk perilaku caring perawat terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan lama rawat. Data yang diperoleh untuk kecerdasan emosional perawat menunjukkan bahwa kategori umur responden terbanyak (41.3%) adalah dewasa akhir dengan rentang umur 36-45 tahun. Mayoritas (84.8%) jenis kelamin responden adalah perempuan. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir responden lebih dari setengah (56.5%) adalah tamatan akademi keperawatan. Berdasarkan agama responden hampir mayoritas (73.9%)

adalah Kristen Protestan. Kategori lama kerja responden terbanyak (30.4%) adalah antara 1 sampai 3 tahun.


(50)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Responden Kecerdasan Emosional Perawat (N=46)

No Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) 1 Usia

Remaja akhir (17-25) 8 17.4

Dewasa awal (26-35) 18 39.1

Dewasa akhir (36-45) 19 41.3

Lanjut usia awal (46-55) 1 2.2

2 Jenis Kelamin

Perempuan 39 84.8

Laki-laki 7 15.2

3 Pendidikan Terakhir

SPK 1 2.2

D3 26 56.5

S1 18 39.1

S2 1 2.2

4 Agama

Kristen Protestan 34 73.9

Islam 7 15.2

Katolik 5 10.9

5 Lama Kerja

Kurang dari 1 tahun 2 4.3

1-3 tahun 14 30.4


(51)

7-9 tahun 13 28.3

≥ 10 tahun 10 21.7

Deskripsi karakteristik responden untuk pasien menunjukkan bahwa kategori umur responden terbanyak (34.6%) adalah manula dengan rentang umur lebih dari 65 tahun. Berdasarkan jenis kelamin responden lebih dari setengah (67.9%) adalah perempuan. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir responden lebih dari sepertiga (35.9%) adalah tamatan SD. Lama rawat responden hampir mayoritas (73.1%) adalah 3 hari atau lebih.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Responden Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Persepsi Pasien (N=78)

No Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) 1 Usia

Remaja akhir (17-25) 3 3.8

Dewasa awal (26-35) 8 10.3

Dewasa akhir (36-45) 4 5.1

Lanjut usia awal (46-55) 18 23.1

Lanjut usia akhir (56-65) 18 23.1

Manula (>65) 27 34.6

2 Jenis Kelamin


(52)

Laki-laki 25 32.1 3 Pendidikan Terakhir

Tidak sekolah 10 12.8

SD 28 35.9

SMP 9 11.5

SMA 25 32.1

D3 3 3.8

S1 3 3.8

4 Lama Rawat

2 hari 21 26.9

3 hari atau lebih 57 73.1

1.2 Kecerdasan Emosional Perawat

Dari tabel 5.3 diperoleh data hasil penelitian bahwa sebanyak 30 orang responden (65.2%) memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi dan 16 orang responden (34.8%) memiliki tingkat kecerdasan emosional sedang.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Responden Kecerdasan Emosional Perawat (N=46)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Tinggi 30 65.2%

Sedang 16 34.8%


(53)

Distribusi frekuensi masing-masing indikator kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel 5.4

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jawaban Perawat Tiap Indikator Kecerdasan Emosional (N=46)

No Indikator Kecerdasan Emosional

Kecerdasan Emosional Tingg i

Kecerdasan Emosional Sedang

f % f %

1 Kesadaran diri 20 43.5 26 56.5

2 Pengaturan diri 29 63 17 37

3 Motivasi diri 27 58.7 19 41.3

4 Empati 25 54.3 21 45.7

5 Keterampilan sosial 25 54.3 21 45.7

1.3 Perilaku Caring Perawat

Dari tabel 5.4 diperoleh data hasil penelitian bahwa sebanyak 40 orang responden (51.3%) memiliki perilaku caring yang cukup baik dan 38 orang responden (48.7%) memiliki perilaku caring yang baik.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik Responden Perilaku Caring Perawat (N=78)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Baik 38 48.7%

Cukup baik 40 51.3%


(54)

Distribusi frekuensi masing-masing indikator perilaku caring dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Pasien Tiap Indikator Perilaku

Caring (N=78)

No Indikator Perilaku

Caring

Perilaku

Caring Baik

Perilaku

Caring Cukup Baik

Perilaku

Caring Buruk

f % f % f %

1. Nilai humanistik-alturistik

21 26.9 55 70.5 2 2.6

2. Keyakinan dan harapan 28 35.9 18 23.1 32 41.0

3. Sensitifitas 41 52.6 33 42.3 4 5.1

4. Pertolongan dan

kepercayaan

55 70.5 21 26.9 2 2.6 5. Ekspresi perasaan

positif dan negatif

39 50.0 35 44.9 4 5.1

6. Proses caring yang

kreatif dalam penyelesaian masalah

27 34.6 47 60.3 4 5.1

7. Proses belajar mengajar yang interpersonal

30 38.5 27 34.6 21 26.9

8. Lingkungan yang

mendukung,

melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual

72 92.3 5 6.4 1 1.3

9. Pemenuhan kebutuhan manusia

3 3.8 24 30.8 51 65.4 10. Kekuatan fenomena

yang bersifat spiritual


(55)

1.4 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat Sebelum menentukan uji korelasi untuk mengindentifikasi hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan metode analisis Skewness dan Kurtosis. Dari hasil uji, didapat bahwa variabel kecerdasan emosional dan variabel perilaku caring tidak terdistribusi normal, sehingga uji yang dilakukan untuk menganalisis kedua variabel adalah uji non-parametrik Spearman rho. Pada analisis data hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe didapati koefisien korelasi Spearman rho atau �=0.109 yang menunjukkan ada hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku caring perawat dengan kekuatan hubungan sangat lemah dan arah hubungan positif, yaitu semakin tinggi kecerdasan emosional perawat maka semakin baik pula perilaku caringnya terhadap pasien.

Tabel 5.7 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring

Perawat

Variabel Koefisien Korelasi Signifikan

Kecerdasan Emosional �=0.109 p=0.471

Perilaku Caring

2. Pembahasan

Dalam pembahasan ini peneliti mencoba membahas pertanyaan penelitian yaitu bagaimana kecerdasan emosional perawat, perilaku caring perawat, dan


(56)

hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe.

2.1 Kecerdasan Emosional Perawat

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah perawat memiliki kecerdasan emosional tinggi yaitu 30 orang (65.2%) dan 16 orang (34.8%) memiliki kecerdasan emosional sedang serta tidak ada perawat yang memiliki kecerdasan emosional dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perawat memiliki kemampuan yang cukup baik untuk mengenali perasaannya dan perasaan orang lain serta mampu memotivasi dan mengelola emosi dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain. Nurhidayah (2006) mengatakan bahwa perawat adalah sebuah profesi yang berpusat kepada pelayanan yang bersifat jasa yang memerlukan keterampilan dalam memanajemen emosional.

Hasil penelitian tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Akbar (2013) yaitu perawat di RSUD Banjarbaru memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggi sebesar 23.72% dan tingkat kecerdasan emosional sedang sebesar 42.37%. Rudyanto (2013) juga mendapatkan hasil yang hampir sama dalam penelitiannya yaitu tingkat kecerdasan emosional dalam kategori sedang sebesar 78%.

Salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya perawat di RSU Kabanjahe memiliki kecerdasan emosional rendah oleh karena dalam pengisian kuesioner diisi oleh masing-masing perawat artinya setiap perawat melakukan penilaian terhadap diri sendiri.


(57)

memiliki motivasi diri yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa perawat secara umum mampu menggunakan hasrat yang paling dalam menuju sasaran sehingga mampu bertahan dan tetap memiliki harapan meskipun ada halangan. Ardiana (2010) mengatakan bahwa perawat perlu memiliki kecakapan kecerdasan emosional memotivasi diri karena perawat yang mampu memotivasi diri cenderung lebih gigih ketika berhadapan dengan situasi sulit, aneh dan kritis serta mampu mencari solusi tanpa takut terhadap kegagalan.

Berdasarkan kemampuan memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain (empati) perawat didapatkan bahwa 25 orang perawat (54.3%) memiliki empati yang tinggi dan 21 orang perawat (45.7%) memiliki empati yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah perawat mampu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, dan mampu menumbuhkan hubungan saling percaya dengan bermacam-macam orang. Kecerdasan emosional dalam memahami perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain sangat penting bagi perawat. Hasil penelitian Ardiana (2010) menggambarkan bahwa perawat yang memiliki kecakapan memahami dan mendukung perasaan orang lain (empati) yang tinggi berpeluang 2.567 kali lebih berprilaku caring menurut persepsi pasien dibandingkan perawat yang memiliki kecakapan memahami dan mendorong perasaan orang lain (empati) yang rendah. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Nurhidayah (2006) bahwa perawat yang merupakan orang yang paling dekat dengan pasien perlu memiliki tingkat emosional yang baik karena akan dapat lebih mudah menyesuaikan diri dalam lingkungannya.


(58)

Berdasarkan keterampilan sosial perawat didapatkan bahwa 25 orang perawat (54.3%) memiliki tingkat keterampilan sosial yang tinggi dan 21 orang perawat (45.7%) memiliki keterampilan sosial yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah perawat mempunyai kemampuan membina hubungan (keterampilan sosial) yang tinggi, yang menunjukkan bahwa perawat secara umum telah mampu membina hubungan dengan pasien, keluarga pasien, dokter, dan rekan sejawat. Martin (2003) mengatakan bahwa seorang perawat harus dapat mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat, bawahan dan juga pasien.

2.2 Perilaku Caring Perawat

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah perawat memiliki perilaku caring yang cukup baik yaitu 40 orang (51.3%) dan 38 orang (48.7%) memiliki perilaku caring baik. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku

caring masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan karateristik perawat didapatkan mayoritas perawat (84.8%) adalah perempuan dan lebih dari setengah (67.9) pasien sebagai responden untuk menilai perilaku caring perawat juga adalah perempuan. Peneliti berasumsi bahwa persamaan jenis kelamin antara perawat dengan pasien menyebabkan pasien menilai perilaku caring lebih baik. Tingkat pendidikan perawat terbanyak (56.5%) adalah tamatan akademi keperawatan serta diikuti tamatan sarjana keperawatan (39.1%). Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut didapatkan bahwa perawat memiliki tingkat kognitif yang cukup baik. Hasil penelitian Prabowo, Ardiana, Wijaya (2014) menyatakan bahwa adanya


(59)

hubungan antara tingkat kognitif perawat dengan aplikasi praktik caring di ruang rawat inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso serta perawat yang memiliki tingkat kognitif yang baik akan berpeluang 4,4 kali lebih berprilaku caring.

Dalam rangka meningkatkan perilaku caring perawat perlu diperhatikan beberapa hal seperti peningkatan pengetahuan dan pengertian tentang caring

melalui pelatihan dan seminar dapat membantu perawat mulai mengenali dunia klien dan mengubah cara pendekatan pelayanan keperawatan mereka. Selain itu membuat lingkungan kerja yang dapat membuat perawat memperagakan perilaku

caring seperti memperkenalkan fleksibilitas dalam struktur lingkungan kerja, memberikan penghargaan untuk perawat berpengalaman, dan mengembangkan kepegawaian perawat yang dapat meningkatkan caring perawat. Membangun hubungan yang baik dan mengetahui banyak tentang klien dalam praktik sehari-hari dapat meningkatkan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan terhadap pasien (Watson, 2003 dalam Potter & Perry, 2009).

Berdasarkan faktor proses belajar mengajar yang interpersonal didapatkan bahwa 30 orang perawat (38.5%) memiliki perilaku yang baik, 27 orang perawat (34.6%) memiliki perilaku yang cukup baik, dan 21 orang perawat (26.9%) memiliki perilaku yang buruk. Hal ini menggambarkan bahwa perawat masih kurang memfasilitasi dan memberikan informasi kepada pasien terkait perawatan dan pengobatan yang dijalani, padahal faktor karatif ini adalah faktor penting yang membedakan caring dengan curing. Perawat berada pada posisi yang ideal untuk memberikan informasi, pendidikan, dan dorongan serta dukungan kepada


(60)

pasien dalam rangka memandirikan dan melibatkan pasien dalam mencapai kondisi kesehatannya (McQueen, 2000 dalam Ardiana, 2010)

Berdasarkan faktor lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial, dan spiritual didapatkan bahwa 72 orang perawat (92.3%) memiliki perilaku yang baik, 5 orang perawat (6.4%) memiliki perilaku yang cukup baik, dan 1 orang perawat (1.3%) memiliki perilaku yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian seluruh faktor karatif caring perawat didapatkan bahwa faktor lingkungan memiliki nilai yang terbaik. Hal ini berarti lingkungan RSU Kabanjahe merupakan lingkungan yang nyaman dan memberikan kepuasan bagi pasien serta sangat mendukung bagi pemulihan kesehatan pasien dan merupakan hal yang perlu dipertahakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tanjung (2012) tentang harapan pasien dalam kepuasan perilaku caring perawat di RSUD Deli Serdang yaitu faktor lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memperbaiki suasana mental, fisik, sosial dan spiritual adalah faktor karatif caring yang juga paling tinggi dan paling berkontibusi terhadap harapan caring perawat.

Berdasarkan faktor pemenuhan kebutuhan manusia didapatkan bahwa 3 orang perawat (3.8%) memiliki perilaku yang baik, 24 orang perawat (30.8%) memiliki perilaku yang cukup baik, dan 51 orang perawat (65.4%) memiliki perilaku yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa perawat masih kurang memperhatikan pemenuhan kebutuhan pasien. Dibuktikan dari hasil distribusi pernyataan dari pasien bahwa 87.2% perawat (lampiran peryataan perilaku caring nomor 21) tidak pernah membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari


(61)

seperti makan, minum, BAK, BAB, mandi dan lain-lain. Pernyataan yang lain juga yang mendukung adalah bahwa 66.7 % perawat tidak pernah membantu pasien memenuhi kebutuhan keagamaanya. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Ardiana (2010) tentang hubungan kecerdasan emosional yang menunjukkan 73% perawat tidak membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti mandi, BAK, BAB, dan lain-lain yang disebabkan oleh beban kerja perawat RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso tinggi. Hasil observasi peneliti didapatkan bahwa salah satu faktor perawat tidak membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari bukan karena beban kerja yang tinggi, namun karena adanya keluarga yang mendampingi pasien selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan segala kebutuhan sehari-hari pasien bahkan pemberian obat oral dikerjakan oleh keluarga pasien.

2.3 Hubungan Kecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat di RSU Kabanjahe

Hasil uji korelasi Spearman yang dilakukan pada penelitian hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi (�) sebesar 0.109. Hal ini menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat di RSU Kabanjahe sangat lemah dengan arah koefisien korelasi positif. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ardian (2010) tentang hubungan kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat pelaksana menurut persepsi pasien di ruang rawat inap RSU Dr. H. Koesnadi


(62)

Bondowoso. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara dimensi memahami dan mendukung emosi orang lain dengan perilaku caring perawat. Lokasi penelitian tersebut adalah di rumah sakit tipe B yang merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Bondowoso yang memiliki beban kerja perawat, sedangkan lokasi penelitian ini juga adalah rumah sakit rujukan di Kabupaten Karo namun tergolong rumah sakit tipe C.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001). Kecerdasan emosional penting dalam dunia kerja, karena dengan kecerdasan emosional seseorang dapat mengadakan hubungan yang baik dengan atasan, rekan sejawat maupun bawahan atau juga pelanggan (Martin, 2003).


(63)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan terhadap 46 orang perawat di RSU Kabanjahe dan 78 orang pasien yang di rawat di RSU Kabanjahe menggambarkan bahwa kecerdasan emosional perawat dalam kategori tinggi dan perilaku caring perawat dalam kategori cukup baik serta tidak ada ditemukan perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah dan perilaku caring yang buruk.

Hasil analisa statistik secara komputerisasi dengan menggunakan korelasi

Spearman rho diperoleh keeratan korelasi kecerdasan emosional perawat dengan perilaku caring perawat RSU Kabanjahe sangat lemah dengan arah hubungan positif.

2. Saran

2.1 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pendidikan keperawatan agar mampu mempersiapkan perawat yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi dan perilaku caring yang baik.

2.2 Penelitian Keperawatan

Penelitian ini hanya meninjau sebagian hubungan saja, sehingga bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan topik yang sama diharapkan dapat memperluas ruang lingkup serta memperhatikan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kecerdasan emosional maupun perilaku


(64)

kecerdasan emosional perawat diisi oleh perawat tanpa pendampingan dari peneliti, sehingga bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengontrol kelemahan tersebut.

2.3 Tenaga Perawat

Diharapkan para perawat dapat mempertahankan dan meningkatkan kecerdasan emosional dan perilaku caring terkhusus bagi perawat yang tingkat kecerdasan emosionalnya dalam kategori sedang dan perilaku caring yang cukup dan buruk misalnya dengan mengikuti kegiatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit, misalnya dengan mendatangkan motivator yang mampu mendorong motivasi perawat untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan perilaku caring


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S.N. (2013). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja pada Perawat. Jurnal Ecopsy, Volume 1. Diambil pada tanggal 17 Juli 2014 dar

Ardiana, A. (2010). HubunganKecerdasan Emosional Perawat dengan Perilaku Caring Perawat Pelaksana Menurut Persepsi Pasien di Ruang Rawat Inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Diambil pada tanggal 20 Juni 2014 dari

Amelia, R., & Wahyuni, A.S. (2008). Hubungan Pelaksanaan Caratif Caring pada Perawat dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap RS Haji Adam Malik

Medan. Diambil pada tanggal 20 September 2013 dari

http://repository.usu.ac.idxmlul/

Awaliyah, D. (2001). Pengaruh Pelatihan Perilaku Caring pada Perawat Pelaksana terhadap Kemampuannya Menerapkan Perilaku Caring di Ruangan Rawat Inap RSUD Solok. Diambil pada tanggal 27 September

2013 dari

Prabowo, B.S., Ardiana, A., & Wijaya, D. (2014). Hubungan Tingkat Kognitif Perawat tentang Caring dengan Aplikassi Praktek Caring di Ruang Rawat Inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso. Jurnal Pustaka Kesehatan, Volume 2. Diambil pada tanggal 17 Juli 2014 dari

Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi.

Jakarta: Gramedia Pustaka Umum

Hartono. (2008). SPSS 16.0 Analisa Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Synder, S.J. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC

Landa, J.M.A., Zafra, E.L., Martos, M.P.B., Carmen, M.D., & Luzon, A. (2007).

The Relationship Between Emotional Intelligence, Occupational Stress, and Health in Nurses: A Questionnaire Survey. International Journal of

Nursing. Diambil pada tanggal 11 September 2013 dari

Malini, H., Sartika, D., & Idianola. (2009). Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di RS DR. M. Djamil Padang. Diambil pada tanggal 23 Oktober 2013 dari http://repository.unand.ac.id/


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)