Status Bukti Pembayaran Petuk

2. Status Bukti Pembayaran Petuk

Hukum tanah di Indonesia pada masa penjajahan, masih bersifat pluralisme. Salah satunya, yaitu hukum tanah swapraja. Yang dimaksud dengan daerah atau tanah swapraja semasa Hindia Belanda adalah daerah raja atau zelfbestuurende Landschappen. Mengenai status tanah Puro Mangkunegaran sebelum Indonesia merdeka merupakan tanah swapraja yang berbentuk Domein Mangkunegaran atau sering dikenal dengan DMN. Domain

Mangkunegaran (DMN) artinya adalah daerah kekuasaan atau kepemilikan kerajaan atau Puro Mangkunegaran saja dan tidak dimiliki oleh pihak lain.

Awalnya permulaan abad ke-19 orang-orang asing sudah mulai mengadakan usaha di daerah Surakarta dan Yogyakarta, yang dulu disebut vorstenlanden. Di daerah-daerah tersebut semua tanah adalah milik raja. Rakyat hanyalah sekedar memakainya saja (anggaduh) (Boedi Harsono, 1999:90). Pada tahun 1948, Lembaga konversi yang berlaku di Karesidenan Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta dihapus. Untuk menghapuskan hak- hak itu, maka pada tahun 1950 dikeluarkan Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Ketentuan –Ketentuan Tambahan Dan Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 13 Tahun 1948. Secara tegas hak –hak konversi semuanya dihapuskan (Boedi Harsono, 1999:94).

Adapun status tanah dalam tesis Soegiatmanto menurut perkembangan sejarah dapat diuraikan sebagai berikut : (Soegiatmanto, tesis: 66)

a. semua pengelolaan atas tanah didasarkan pada suatu undang–undang yang disebut “Angger Gunung”. Serat ini merupakan pedoman pengurusan tanah yang sumbernya dikeluarkan oleh Keraton Surakarta.

b. Mulai tahun 1796 dan berikutnya diadakan penyempurnaan. Dalam tahun–tahun 1813, 1888, 1890 ditetapkan bahwa penggunaan tanah diatur guna kepentingan –kepentingan “siti lenggah” (hak pakai) bagi para putera, sentana, pegawai praja, legiun, sisanya untuk kepentingan praja.

c. Mulai tahun 1911 status siti lenggah dihapuskan. Semua hak siti lenggah diganti dengan pembayaran uang. Sedangkan penggunaan tanah diatur :

1) bagi kepentingan praja untuk menjamin kelangsungan usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan;

2) dengan ketentuan hak pakai;

3) dengan ketentuan hak bagi hasil dengan rukun;

4) dengan sistem atau ketentuan pamajegan. Setelah Indonesia merdeka dan telah dikeluarkan undang –undang baru yang

menyangkut status kedudukan tanah swapraja, yaitu Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 ditegaskan bahwa, hak –hak dan wewenang atas bumi, dan air dari swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1960, dihapus dan beralih kepada negara.

Tanah tersebut beralih kepada negara, dengan diberi peruntukan sebagian untuk kepentingan Pemerintah, sebagian lagi untuk mereka yang dirugikan secara langsung karena dihapuskannya hak swapraja atas tanah itu, dan sisanya untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Di wilayah Surakarta sendiri, yaitu yang dalam kekuasaan Puro Mangkunegaran, mempunyai wilayah pertanahan sendiri (domain Mangkunegaran), yang meliputi sebagian wilayah Surakarta, Karanganyar, dan Wonogiri. Sebelum adanya UUPA, pada tanah swapraja milik Puro Mangkunegaran dimiliki oleh Raja Mangkunegaran dan rakyat hanya sebagai pemakai saja. Pemakaian oleh rakyat tersebut, dalam bentuk hak anggaduh atau sewa yang dibuktikan dengan adanya petuk C dan untuk kepemilikan tanah dibuktikan dengan adanya pikukuh. Pikukuh adalah bukti kepemilikan tanah oleh rakyat. Sedangkan petuk hanya bersifat sebagai bukti pembayaran sewa atas tanah milik Puro Mangkunegaran.

Sebelum Indonesia merdeka, nama para pemegang pikukuh dan petuk telah terdaftar di Kantor Kadaster. Pemegang pikukuh telah terdaftar di Kantor Kadaster untuk mempertegas kepemilikan tanah yang bersangkutan. Dan pikukuh tersebut dapat dialihkan atau diwariskan kepada ahli warisnya. Sedangkan, petuk C juga terdaftar di Kantor Kadaster, tetapi bukan untuk mempertegas sebagai pemilik, melainkan untuk mengetahui siapa penyewa tanah yang bersangkutan.