Deskripsi Perkembangan Variabel

B. Deskripsi Perkembangan Variabel

1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Perkembangan nilai tukar selama periode penelitian ditunjukkan oleh gambar 4.1 dibawah ini.

Sepanjang tahun 2000 hingga triwulan 1 tahun 2001, rupiah mengalami depresiasi, dari rata-rata Rp 8.438 per dollar pada tahun 2000 menjadi Rp 10.255 per dollar pada tahun 2001. Kondisi tersebut diakibatkan masih kecilnya kepercayaan publik akibat menigkatnya ketidakpastian kondisi sosial politik, resiko ekonomi dan belum kuatnya kondisi fundamental perekonomian Indonesia pasca krisis. Nilai tukar rupiah sempat terapresiasi pada pertengahan tahun 2001 karena terpilihnya presiden baru sehingga meningkatkan sentimen positif dari pasar dan dukungan dari dalam negeri maupun dunia internasional terhadap presiden terpilih.

Sepanjang tahun 2002 hingga akhir tahun 2003, pergerakan nilai tukar rupiah relatif stabil pada level Rp 8.000-Rp 9.000 per dollar. Kondisi tersebut karena membaiknya kondisi perekonomian dan menurunnya faktor resiko serta adanya sentiment positif dari pasar.

Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Nilai Tukar Tahun 2000:Q1-2011:Q2 Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1, (Lampiran 1 hal: 97)

akibat capital outflow jangka pendek. Keluarnya modal asing mengakibatkan peningkatan permintaan valuta asing. Kondisi perekonomian internasional juga ikut mempengaruhi depresiasi nilai tukar rupiah pada saat itu. Depresiasi masih berlanjut pada tahun 2005 akibat masih tingginya permintaan valuta asing, melemahnya neraca pembayaran, serta adanya kenaikan harga minyak dunia. Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk meredam depresiasi nilai tukar. Kebijakan yang dikeluarkan tersebut antara lain: paket kebijakan stabilisasi nilai tukar, paket kebijakan bersama Bank Indonesia dan pemerintah, serta paket kebijakan lanjutan. Terbukti setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut, rupiah mengalami apresiasi dan bergerak stabil sampai dengan pertengahan tahun 2008.

Pada pertengahan tahun 2008, dampak krisis keuangan global mengakibatkan menurunnya kinerja ekspor, sehingga pasokan valuta asing berkurang. Di sisi lain, permintaan valuta asing terus meningkat akibat meningkatnya permintaan impor di dalam negeri sehingga nilai tukar mengalami depresiasi. Kondisi perekonomian global yang tidak menentu juga mengakibatkan terjadinya capital outflow sehingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar. Pada awal tahun 2009, nilai tukar rupiah mencapai level diatas Rp 11.000 per dollar. Bank Indonesia dan pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain: penerbitan tiga PERPPU tentang FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek), LPS (lembaga penjamin simpanan), JPSK (jaring pengaman sistem keuangan), serta membentuk KSSK (komite stabilitas sistem Pada pertengahan tahun 2008, dampak krisis keuangan global mengakibatkan menurunnya kinerja ekspor, sehingga pasokan valuta asing berkurang. Di sisi lain, permintaan valuta asing terus meningkat akibat meningkatnya permintaan impor di dalam negeri sehingga nilai tukar mengalami depresiasi. Kondisi perekonomian global yang tidak menentu juga mengakibatkan terjadinya capital outflow sehingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar. Pada awal tahun 2009, nilai tukar rupiah mencapai level diatas Rp 11.000 per dollar. Bank Indonesia dan pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain: penerbitan tiga PERPPU tentang FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek), LPS (lembaga penjamin simpanan), JPSK (jaring pengaman sistem keuangan), serta membentuk KSSK (komite stabilitas sistem

2. Perkembangan Selisih Laju Inflasi

Perkembangan selisih laju inflasi Indonesia dengan laju inflasi Amerika serikat selama periode penelitian ditunjukkan oleh gambar 4.2. dibawah ini:

Pada awal tahun 2000, selisih laju inflasi berada di bawah nol atau negatif dikarenakan laju inflasi Indonesia lebih kecil dari laju inflasi Amerika Serikat, yaitu -0,51% pada triwulan I dan 1,1% pada triwulan II, sedangkan rata- rata laju inflasi Amerika Serikat sebesar 3% pada triwulan yang sama.

Pada triwulan III hingga akhir tahun 2001, selisih laju inflasi mengalami peningkatan akibat naiknya laju inflasi di dalam negeri sedangkan laju inflasi

Gambar 4.2. Grafik Perkembangan Selisih Laju Inflasi tahun 2000:Q1-2011:Q2

Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 1 hal: 97) Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 1 hal: 97)

Pada awal tahun 2003 hingga tahun 2005, inflasi kedua negara bergerak stabil, sehingga selisih laju inflasi antar kedua negara relatif stabil di kisaran 6 hingga 7%.

Kenaikan harga BBM bersubsidi sebanyak dua kali mengakibatkan naiknya harga barang dan jasa pada pertengahan tahun 2005. Kenaikan harga tersebut terutama terjadi pada sektor transportasi sehingga laju inflasi mencapai 17,11%. Disisi lain, laju inflasi Amerika Serikat yang bergerak stabil di kisaran 3% mengakibatkan selisih laju inflasi antar kedua negara meningkat. Awal tahun 2006 hingga awal 2008, pergerakan selisih laju inflasi antar kedua negara menunjukkan tren yang menurun dan relatif stabil sebelum akhirnya meningkat kembali pada awal tahun 2008 akibat dampak dari krisis keuangan global.

Awal tahun 2009, selisih laju inflasi mengalami penurunan karena menurunnya laju inflasi Amerika Serikat akibat krisis keuangan yang yang berakibat pada melemahnya daya beli masyarakat di Amerika Serikat. Selama triwulan IV tahun 2008 hingga triwulan III tahun 2009, Amerika Serikat mengalami deflasi rata-rata 1%, sedangkan laju inflasi di dalam negeri juga mengalami penurunan dalam waktu yang sama, yaitu dari 11,49% pada triwulan

III tahun 2008 menjadi 2,7% pada triwulan III tahun 2009.

Perkembangan selisih tingkat suku bunga Indonesia dengan tingkat suku bunga Amerika serikat selama periode penelitian cenderung berfluktuatif yang dintujukkan oleh gambar 4.3. dibawah ini.

Selama tahun 2000 hingga tahun 2001, spread suku bunga antara kedua negara bergerak naik. Kenaikan tersebut bersumber dari naiknya suku bunga SBI karena meningkatnya laju inflasi dan melemahnya nilai tukar, serta adanya kenaikan suku bunga di luar negeri. Peningkatan suku bunga juga terjadi pada suku bunga Amerika Serikat yaitu dari 5,6% pada triwulan I tahun 2000 menjadi 6,4% pada triwulan IV tahun 2000. Namun memasuki awal tahun 2001, suku bunga Amerika Serikat cenderung mengalami penurunan, dan suku bunga SBI masing mengalami kenaikan hingga akhir tahun 2001, sehingga selisih tingkat suku bunga antar kedua negara semakin besar.

Gambar 4.3. Grafik Perkembangan Selisih Tingkat Suku Bunga Tahun 2000:Q1-2011:Q2 Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 1 hal: 97) Gambar 4.3. Grafik Perkembangan Selisih Tingkat Suku Bunga Tahun 2000:Q1-2011:Q2 Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 1 hal: 97)

Meningkatnya laju inflasi, melemahnya nilai tukar rupiah, serta naiknya harga minyak dunia pada tahun 2005 membuat Bank Indonesia menaikkan suku bunga guna menjaga stabilitas moneter di dalam negeri. Disisi lain, terdapat kebijakan uang ketat pada perekonomian global yang salah satunya tercermin dari suku bunga Amerika Serikat yang juga mengalami peningkatan. Kecenderungan meningkatnya suku bunga Amerika Serikat dan penurunan suku bunga SBI menyebabkan spread suku bunga antar kedua negara semakin kecil hingga pertengahan tahun 2007.

Selisih suku bunga kembali meningkat akibat penurunan suku bunga Amerika Serikat guna mendorong kegiatan perekonomiannya pasca terjadinya krisis finansial, sementara di Indonesia tingkat suku bunga bergerak stabil.Selisih tingkat suku bunga menunjukkan grafik yang stabil sepanjang tahun 2009 hingga akhir tahun 2010 dengan suku bunga Amerika Serikat bertahan pada tingkat suku bunga 0,13% dan Indonesia bertahan pada tingkat suku bunga 6,5%.

4. Perkembangan Neraca perdagangan Indonesia

Perkembangan neraca perdagangan Indonesia selama periode penelitian dintujukkan oleh gambar 4.4. dibawah ini.

Neraca perdagangan menggambarkan kinerja perdagangan internasional yaitu total ekspor dan impor barang suatu negara. Gambar 4.4. menunjukkan bahwa antara tahun 2000 hingga pertengahan tahun 2003 cenderung stabil dan surplus sebesar 5 hingga 6 miliar US Dollar meskipun pada akhir tahun 2003 mengalami penurunan. Pada tahun 2004 terjadi peningkatan nilai impor, terutama akibat naiknya harga minyak dunia sehingga menurunkan surplus neraca perdagangan. Hal tersebut berlangsung hingga pertengahan tahun 2005.

Pada awal tahun 2006, kinerja neraca perdagangan membaik karena meningkatnya permintaan ekspor, harga komoditas di pasar dan juga kestabilan nilai tukar rupiah yang terjaga. Menurunnya permintaan domestik terhadap barang-barang impor juga menyebabkan surplus neraca perdagangan semakin besar.

Gambar 4.4. Grafik Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2000:Q1-2011:Q2 Sumber: Hasil olahan E-Views 6.1 (Lampiran 1 hal: 97)

2008 berdampak pada kinerja neraca perdagangan. Surplus neraca perdagangan mengalami penurunan karena turunnya permintaan akan barang ekspor akibat perlambatan perekonomian global. Memasuki tahun 2009, kinerja neraca perdagangan menunjukkan perbaikan dengan meningkatnya permintaan ekspor barang pertambangan serta manufaktur seiring pemulihan kondisi perekonomian global.