Metode Analisis

E. Metode Analisis

1. Uji Pemilihan Bentuk Fungsi Model

Dalam penelitian empiris, sebaiknya model yang akan digunakan diuji terlebih dahulu, apakah sebaiknya menggunakan bentuk linear atau log-linear. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam pemilihan bentuk fungsi model empirik antara lain metode transformasi Box-Cox, metode yang dikembangkan MacKinnon, White, dan Davidson atau lebih dikenal dengan MWD test , metode Bara dan McAleer atau dikenal dengan B-M test dan metode yang dikembangkan Zarembka (Rahayu, 2007: 80). Penelitian ini akan menggunakan metode yang dikembangkan oleh MacKinnon, White, dan Davidson (MWD test) untuk memilih bentuk fungsi model empirik.

Untuk dapat menerangkan uji MWD, maka langkah pertama adalah membuat dua model regresi dengan asumsi:

Model regresi 1: ECM Linear Berganda

DKURS = β 0 + β 1 DS_INF t + β 2 DS_IR t + β 3 DTB t + β 4 BS_INF t-1 + β 5 BS_IR t-1 + β 6 BTB t-1 + β 7 ECT1 ...........................................(3.1)

Keterangan: DKURS

= KURS t – KURS (t-1)

DS_IR t

= S_IR t – S_IR (t-1)

DTB t

= TB t – TB (t-1)

ECT1

= (S_INF (t-1) + S_IR (t-1) + TB (t-1) – KURS (t-1) )

Model regresi 2: ECM Log-Linear

DLKURS = β 0 + β 1 DS_INF t + β 2 DS_IR t + β 3 DLTB t + β 4

BS_INF t-1 + β 5 BS_IR t-1 + β 6 BLTB t-1 + β 7 ECT2 ........................(3.2)

Keterangan: DLKURS

= LKURS t – LKURS (t-1)

DS_INF t = S_INF t – S_INF (t-1)

DS_IR t

= S_IR t – S_IR (t-1)

DLTB t

= LTB t – LTB (t-1)

ECT2

= (S_INF (t-1) + S_IR (t-1) + LTB (t-1) – LKURS (t-1) )

Dimana: LKURS t = Nilai tukar rupiah terhadap US$

LKURS (t-1) = Nilai tukar rupiah terhadap US$ periode

sebelumnya S_INF t = Selisih tingkat inflasi Indonesia dan Amerika

Serikat (%) S_INF (t-1) = Selisih tingkat inflasi Indonesia dan Amerika

Serikat periode sebelumnya(%)

S_IR t

= Selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika

Serikat

Serikat periode sebelumnya

LTB t

= Neraca perdagangan Indonesia (juta US $) LTB (t-1) = Neraca perdagangan Indonesia periode sebelumnya

(juta US$) ECT2 = Error Correction Term β 0 = Intersep β 1 –β 7 = Koefisien regresi

Dari persamaan (3.1) dan (3.2) di atas, selanjutnya akan diterapkan MWD test . Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Melakukan regresi terhadap persamaan (3.1) kemudian kita dapatkan nilai fitted dari KURS dan kita namai dengan KURSF.

b. Melakukan regresi terhadap persamaan (3.2) kemudian kita dapatkan nilai fitted dari LKURS dan kita namai dengan LKURSF.

c. Mencari nilai Z1 dengan cara mengurangkan nilai log dari KURSF dengan LKURSF.

d. Mencari nilai Z2 dengan cara mengurangkan nilai antilog dari LKURSF dengan KURSF.

e. Melakukan regresi dengan persamaan (3.1) dengan menambahkan variabel Z1 sebagai variabel penjelas. DKURS = β 0 + β 1 DS_INF t + β 2 DS_IR t + β 3 DTB t + β 4 BS_INF t-1 + β 5

BS_IR t-1 + β 6 BTB t-1 + β 7 ECT1+ Z 1 ...................(3.3)

Z1 tidak signifikan, maka tidak menolak Ho.

f. Melakukan regresi dengan persamaan (3.2) dengan menambahkan variabel Z2 sebagai variabel penjelas.

DLKURS = β 0 + β 1 DS_INF t + β 2 DS_IR t + β 3 DLTB t + β 4 BS_INF t-1 + β 5 BS_IR t-1 + β 6 BLTB t-1 + β 7 ECT2 + Z 2 ...............(3.4) Bila Z2 signifikan secara statistik maka kita menolak Ha (model log- linier), bila Z2 tidak signifikan, maka tidak menolak Ha.

2. Uji Stationeritas

a. Uji Akar-Akar Unit

Uji ini dimasuksudkan untuk mengamati stationer tidaknya suatu variabel. Keadaan stasioner adalah keadaan dimana karakteristik proses stokastik atau random tidak berubah selama kurun waktu yang berjalan. Hal ini diperlukan untuk membentuk persamaan yang mampu menggambarkan keadaan variabel di masa lalu dan di masa yang akan datang. Pengujian akar- akar unit dilakukan dengan menggunakan Dickey-Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test . Model otoregresif dengan ordinary least square (OLS) adalah (Insukindro, 2000):

DX t =a o +a 1 BX t +

Bi DX t .................................(3.5)

DX t =c o +c 1 T +c 2 BX t +

Bi DX t .....................(3.6)

Dimana:

DX t =X t –X t-1

BX t =X t-1

X t = variabel yang diamati

B = kelambanan (backward lag operator)

Nilai DF dan ADF untuk uji hipotesis bahwa a 1 = 0 dan c 2 = 0. Nilai tersebut ditunjukkan oleh nisbah t pada koefisien regresi BX t pada persamaan (3.5) dan (3.6), selanjutnya nisbah t dibandingkan dengan nilai kritis DF (ADF) untuk mengetahui ada atau tidaknya akar-akar unit.

b. Uji Derajat Integrasi

Uji derajat integrasi dimasudkan untuk mengetahui pada derajat atau order ke berapa data yang diamati akan stasioner (Insukindro, 2000). Pengujian ini dilakukan apabila uji akar-akar unit mengemukakan fakta bahwa data yang diamati tidak stasioner.

Model otoregresif dengan OLS untuk melakukan uji derajat integrasi adalah (Insukindro, 2000):

D2X t =e o +e 1 BDX t +

Bi D2X t .............................(3.6)

D2X t =g o +g 1 T +g 2 BDX t +

Bi D2X t .................(3.7)

Jika e 1 dan g 2 sama dengan satu, maka variabel X t dikatakan stasioner pada diferensi pertama, atau berintegrasi pada derajat satu atau I (1). Sebaliknya, jika e 1 dan g 2 tidak berbeda dengan nol, maka variabel X belum stasioner pada diferensi pertama.

Pengujian ini merupakan kelanjutan dari akar-akar unit dan uji derajat integrasi. Untuk dapat melakukan uji kointegrasi harus diyakini dahulu bahwa variabel-variabel ini memiliki derajat integrasi yang sama atau tidak. Hipotesis nol dalam uji ini adalah tidak adanya kointegrasi.

Insukindro (2000) menyatakan bahwa suatu himpunan variabel runtut waktu X dikatakan berkointegrasi pada derajat d, b atau ditulis CI (d,b) bila setiap elemen X berintegrasi pada derajat d atau I(d) dan terdapat satu vektor k yang tidak sama dengan nol, sehingga W = k’X~I (d,b), d > 0, dan k merupakan vektor kointegrasi.

Terdapat tiga pendekatan yang umumnya digunakan dalam uji ini, yaitu uji CRDW (Cointegration Regresion Durbin Watson), DF (Dickey-Fuller), dan ADF (Augmented Dickey-Fuller). Untuk menghitungnya, maka digunakan penaksir regresi kointegrasi dengan metode kuadrat terkecil (OLS) sebagai berikut:

Y t =m o +m 1 X 1t +m 2 X 2t +E t .............................(3.8) Dimana: Yt

= Variabel tak bebas (dependent variable) X1 dan X2

= Variabel bebas (independeni variables)

E = Variabel gangguan (residual)

Kemudian menaksir regresi berikut dengan OLS:

DE t

=p 1 BE t .................................................(3.9)

DE t

=p 1 BE t +q 1 BE’DE t ..............................(3.10) =p 1 BE t +q 1 BE’DE t ..............................(3.10)

4. Error Correction Model ( ECM )

Pemilihan terhadap Error Correction Model (ECM) didasarkan pada pertimbangan bahwa data yang dianalisis adalah deret waktu (time series). Alat analisis ini menjadi lebih relevan jika variabel (data) yang digunakan sebagai penentu variabel dependen kebanyakan bersifat tidak stasioner. Jika analisis regresi terhadap data deret waktu yang tidak stasioner dipaksakan, maka akibat yang timbul antara lain akan diperoleh koefisien regresi penaksir yang tidak efisien dan peramalan berdasarkan persamaan regresi menjadi tidak valid lagi. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa penyimpangan terhadap stasioner mengakibatkan prosedur pengujian hipotesis yang didasarkan pada uji t, uji F, uji chi square serta berbagai bentuk uji lain tidak valid atau mendapat hasil yang menyesatkan (Gujarati, 2004: 107).

Dengan berbagai kelemahan yang terdapat pada variabel ekonomi deret waktu yang kebanyakan mempunyai sifat yang tidak stasioner, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan koreksi kesalahan (ECM). Sebelum melakukan estimasi dengan menggunakan ECM, maka dilakukan uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Kemudian setelah data yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka dilakukan estimasi regresi kointegrasi untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan jangka panjang dalam model dengan Dengan berbagai kelemahan yang terdapat pada variabel ekonomi deret waktu yang kebanyakan mempunyai sifat yang tidak stasioner, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan koreksi kesalahan (ECM). Sebelum melakukan estimasi dengan menggunakan ECM, maka dilakukan uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Kemudian setelah data yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka dilakukan estimasi regresi kointegrasi untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan jangka panjang dalam model dengan

a. Keunggulan Pendekatan ECM

Secara umum dapat dikatakan bahwa ECM sering dipandang sebagai salah satu model dinamik yang sangat populer dan banyak digunakan dalam studi empiris, terutama sejak kegagalan model persamaan parsial (PAM) pada tahun 1970-an dalam menjelaskan perilaku dinamik permintaan uang serta munculnya pendekatan kointegrasi dalam analisis deret waktu.

Insukindro (1999) menyatakan bahwa ECM relatif lebih unggul jika dibandingkan dengan PAM, karena kemampuan yang dimiliki ECM dalam mencakup lebih banyak variabel untuk menganalisis fenomena jangka pendek dan jangka panjang. ECM juga dapat mengkaji konsisten tidaknya model empiris dengan teori ekonometrika, serta dalam upaya mencari pemecahan masalah variabel deret waktu yang tidak stasioner, regresi lancung atau korelasi lancung pada analisis ekonometrika. Dalam análisis ekonomi, ECM dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa pelaku ekonomi menghadapi adanya ketidakseimbangan dalam konteks bahwa fenomena yang diinginkan oleh pelaku ekonomi belum tentu sama dengan kondisi aktualnya sehingga penting untuk melakukan penyesuaian sebagai akibat adanya perbedaan fenomena aktual yang dihadapi antar waktu. Dengan menggunakan ECM dapat dianalisis secara teoritis dan empiris model yang dihasilkan konsisten dengan teori atau tidak.

Penurunan model dinamik dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu yang pertama menggunakan pendekatan autoregressive distributed lag (ADL) dan yang kedua menggunakan fungsi biaya kuadratik (quadratic cost function ) atau sering disebut dengan pendekatan teori ekonomi terhadap model dinamik. Pendekatan ADL dilakukan dengan cara memasukkan variabel kelambanan dalam model, sedangkan pada pendekatan fungsi biaya kuadrat menganggap bahwa dalam model terjadi ketidakseimbangan dan biaya penyesuaian. Fungsi biaya kuadrat itu sendiri terdiri atas fungsi biaya kuadrat tunggal dan biaya kuadrat majemuk.

Dalam kaitanya dengan fungsi biaya kuadrat, fungsi biaya kuadrat tunggal merupakan fungsi biaya yang paling sesuai dibandingkan dengan fungsi biaya kuadrat majemuk untuk menggambarkan masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan unsur kelembagaan dan struktur ekonomi yang masih bersifat khusus seperti pasar uang yang belum maju, informasi yang langka, jangka waktu perencanaan yang pendek dan masih banyaknya aktiva keuangan yang tidak mudah untuk saling menggantikan, akibatnya terjadi biaya ketidakseimbangan dan biaya penyesuaian (Insukindro, 1999).

Model ECM untuk penelitian ini mengacu pada model yang dikembangkan oleh Domowitz-Elbadawi (1987) yang diturunkan dari fungsi biaya kuadrat tunggal (single period quadratic cost function). Adapun tahapan

(Insukindro, 1999):

1. Membuat hubungan persamaan dasar untuk menggambarkan hubungan antara kurs sebagai variabel dependen dan selisih inflasi, selisih suku bunga serta neraca perdagangan sebagai variabel independen. Maka hubungan variabel tersebut akan dirumuskan sebagai berikut:

KURS* t = α 0 +α 1 INF t + α 2 IR t +α 3 TB t ...........................(3.11) Dimana: KURS* t = Nilai tukar Rp/US$ yang diharapkan pada tahun t INF t = Selisih inflasi Indonesia dan Amerika Serikat pada tahun t IR t = Selisih suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat pada tahun t TB t = Neraca perdagangan Indonesia pada tahun t

2. Membentuk fungsi biaya dalam formulasi ECM. Fungsi biaya tersebut mengacu pada fungsi biaya kuadrat tunggal Domowitz-Elbadawi yang dirumuskan sebagai berikut:

C t =e 1 (X t –X t * ) 2 + e 2 [(1 – B) X t –f t (1 – B) Z t ] 2 ........(3.12) Dimana :

= Biaya kuadrat periode tunggal

e 1 (X t –X * t ) 2 = Biaya ketidakseimbangan

e 2 [(1- B) X t –f t (1 – B) Z t ] 2 = Biaya penyesuaian

B = Backward-lag operator (t –1)

Z t = Vektor variabel yang menentukan kurs, dimana Z t = Vektor variabel yang menentukan kurs, dimana

3. Meminimasi fungsi biaya kuadrat tunggal persamaan (3.12) terhadap variabel KURS t sehingga didapatkan:

Minimum C t 

=0 …...........................................(3.13) 2e 1 (KURS t –KURS * t ) + 2e 2 [(1 – B) KURS t -f t (1 – B) Z t ]=0

e 1 (KURS t - KURS * t )+e 2 [(1 – B)KURS t –f t (1 – B) Z t ]=0

e 1 KURS t –e 1 KURS * t +e 2 KURS t –e 2 BKURS t -e 2 f t (1- B) Z t =0

e 1 KURS t +e 2 KURS t =e 1 KURS * t +e 2 BKURS t +e 2 f t (1 – B) Z t

(e 1 +e 2 ) KURS t =e 1 KURS * t +e 2 BKURS t +e 2 f t (1- B) Z t

KURS t =(

 )KURS t * +(

 )BKURS t +(

 )f t (1 – B) Z

t ...(3.14)

Persamaan (3.14) di atas identik dengan: KURS t = eKURS * t + (1- e) BKURS t + (1 - e ) f t (1- B) Z t. ...(3.15) Dimana:

KURS t

= KURS aktual pada tahun t

KURS * t = KURS yang diharapkan pada tahun t BKURS t

= KURS t – KURS t-1 = KURS t – KURS t-1

KURS t = e (α 0 +α 1 INF t +α 2 IR t +α 3 TB t ) + (1- e) BKURS t + (1 - e)f t (1-

B) (INF t , IR t , TB t )

KURS t =α 0 e+α 1 e INF t +α 2 e IR t +α 3 e TB t + (1- e) KURS t-1 + (1 - e)f t

[(INF t - INF t-1 ) + (IR t - IR t-1 ) + (TB t - TB t-1 )]

KURS t = α 0 e + α 1 e INF t + α 2 e IR t + α 3 e TB t + (1- e)KURS t-1 + (1-e)f 1

(INF t - INF t-1 ) + (1 - e)f 2 (IR t - IR t-1 ) + (1 - e)f 3 (TB t - TB t-1 ) KURS t =α 0 e+α 1 e INF t +α 2 e IR t +α 3 e TB t + (1- e) KURS t-1 + (1 - e)f 1

INF t - (1 - e)f 1 INF t-1 + (1 - e)f 2 IR t - (1 - e)f 2 IR t-1 + (1 - e)f 3 TB t -

(1 - e)f 3 TB t-1

KURS t =α 0 e + [α 1 e +(1- e)f 1 ] INF t + [α 2 e +(1- e)f 2 ] IR t + [α 3 e +(1- e)f 3 ] TB t - (1 - e)f 1 INF t-1 - (1 - e)f 2 IR t-1 - (1 - e)f 3 TB t-1 Persamaan tersebut dapat diringkas menjadi: KURS t =c 0 +c 1 INF t +c 2 IR t +c 3 TB t +c 4 INF t-1 +c 5 IR t-1 +c 6 TB t-1 +

c 7 KURS t-1 …...........................................(3.16)

5. Persamaan (3.16) di atas disebut sebagai Model Linear Dinamis (MLD), yang meliputi variabel independen sebagai fungsi dari variabel dependen 5. Persamaan (3.16) di atas disebut sebagai Model Linear Dinamis (MLD), yang meliputi variabel independen sebagai fungsi dari variabel dependen

1 + IR t-1 + TB t-1 – INF t-1 – IR t-1 – TB t-1 +c 7 INF t-1 +c 7 IR t-1 + c 7

TB t-1 –c 7 INF t-1 –c 7 IR t-1 –c 7 TB t-1 ...................................... (3.17)

Hasil dari pengurangan persamaan (3.16) dengan (3.17) yaitu:

KURS t - KURS t-1 =c 0 +c 1 INF t -c 1 INF t-1 +c 2 IR t -c 2 IR t-1 +c 3 TB t -c 3 TB t-

1 +c 4 INF t-1 +c 1 INF t-1 +c 7 INF t-1 - INF t-1 +c 5 IR t-1 +

c 2 IR t-1 +c 7 IR t-1 -IR t-1 +c 6 TB t-1 +c 3 TB t-1 +c 7 TB t-1 - TB t-1 + INF t-1 + IR t-1 + TB t-1 –c 7 KURS t-1 –c 7 INF t-1 +

c 7 IR t-1 + c 7 TB t-1 .............................................(3.18)

Persamaan di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:

KURS t – KURS t-1 =c 0 +c 1 (INF t – INF t-1 )+ c 2 (IR t – IR t-1 )+c 3 (TB t – TB t-

1 ) + (c 4 +c 1 +c 7 – 1) INF t-1 + (c 5 +c 2 +c 7 – 1) IR t-1 + (c 6 +c 3 +c 7 – 1) TB t-1 + (c 7 +c 4 +c 7 – 1) + (1- c 7 ) (INF t-1 + IR t-1 + TB t-1 + KURS t-1 ) .....................(3.19) Bentuk akhir dari persamaan ECM adalah: DKURS t =c 0 +c 1 DINF t +c 2 DIR t +c 3 DTB t +c 4 INF t-1 +c 5 IR t-1 +c 6 TB t-1 +c 7 ECT1 .................................................................(3.20) Keterangan: KURS

= Nilai tukar rupiah per dollar US (Rp)

INF = Selisih inflasi Indonesia dan Amerika Serikat (%) IR

= Selisih suku bunga Indonesia dan Amerika Serikat (%)

Dimana: DKURS t

= KURS t – KURS t-1

DINF t = INF t – INF t-1

DIR t = IR t – IR t-1 DTB t = TB t – TB t-1

ECT1

= INF t-1 + IR t-1 + TB t-1 - KURS t-1

c 0 = Intersep

c 1 ,c 2 ,c 3 = Koefisien asli regresi ECM dalam jangka pendek

c 4 ,c 5 ,c 6 ,

= Koefisien regresi ECM dalam jangka panjang

c 7 = Koefisien regresi error correcton term (ECT) Bentuk persamaan model koreksi kesalahan (ECM) di atas dikenal sebagai ECM yang baku (standard error correction model). Model koreksi kesalahan (ECM) digunakan untuk menguji spesifikasi model, kesesuaian antara teori dengan kenyataan dan menguji apakah pengumpulan data yang dilakukan sudah sesuai. Apabila nilai ECT (error correction term) signifikan secara statistik dan mempunyai nilai antara 0 dan 1, maka spesifikasi model dalam penelitian ini telah sesuai dengan teori. Hal itu menunjukkan bahwa model ECM dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang kurs Rp/US$ selama periode penelitian, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa proporsi ketidakseimbangan perubahan pada kurs Rp/US$ dalam satu periode telah dikoreksi pada periode berikutnya oleh equilibrium term , sehingga arah pengaruh dari variabel independen dalam c 7 = Koefisien regresi error correcton term (ECT) Bentuk persamaan model koreksi kesalahan (ECM) di atas dikenal sebagai ECM yang baku (standard error correction model). Model koreksi kesalahan (ECM) digunakan untuk menguji spesifikasi model, kesesuaian antara teori dengan kenyataan dan menguji apakah pengumpulan data yang dilakukan sudah sesuai. Apabila nilai ECT (error correction term) signifikan secara statistik dan mempunyai nilai antara 0 dan 1, maka spesifikasi model dalam penelitian ini telah sesuai dengan teori. Hal itu menunjukkan bahwa model ECM dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang kurs Rp/US$ selama periode penelitian, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa proporsi ketidakseimbangan perubahan pada kurs Rp/US$ dalam satu periode telah dikoreksi pada periode berikutnya oleh equilibrium term , sehingga arah pengaruh dari variabel independen dalam

5. Uji Statistik

a. Uji-t

Merupakan pengujian variabel-variabel independen secara individu, dilakukan untuk melihat signifikansi dari variabel independen sementara variabel yang lain konstan (Gujarati, 2004: 129).

Langkah pengujian :

1) Uji-t untuk pengaruh variabel selisih inflasi dan pengaruh variabel neraca perdagangan dalam jangka pendek.

Hipotesis : Ho : β 1 =0 Ha : β 1 >0

t tabel = t

2 /  / n-k

Kriteria pengujian :

Gambar 3.1. Daerah Kritis Uji t Sumber: Statistik Induktif, 1998.

Keterangan:

Ho diterima, Ha ditolak jika t hitung < + t

2 /  / n-k

Ho ditolak, Ha diterima jika t hitung > + t

2 /  / n-k

2) Uji-t untuk pengaruh variabel selisih tingkat suku bunga dan pengaruh variabel neraca perdagangan dalam jangka panjang.

t /2:n-k

Ho ditolak Ho diterima

Ha : β 1 <0 t tabel = -t

2 /  / n-k

Kriteria pengujian :

Gambar 3.1. Daerah Kritis Uji t

Sumber: Statistik Induktif, 1998. Keterangan:

Ho diterima, Ha ditolak jika t hitung > - t

2 /  / n-k

Ho ditolak, Ha diterima jika t hitung < - t

2 /  / n-k

3) Nilai t hitung diperoleh dengan rumus:

T hitung =

1 se b

Dimana :

b 1 = koefisien regresi se (b 1 ) = standar error koefisien regresi

Bila t hitung > t

2 /  / n-k pada confidence interval tertentu, Ho ditolak. Penolakan terhadap Ho ini berarti bahwa variabel independen tertentu yang

diuji secara nyata berpengaruh terhadap variabel dependen.

-t /2:n- k

Ho ditolak Ho diterima

Merupakan pengujian bersama-sama variabel independen yang dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Gujarati, 2004: 140).

Langkah pengujian :

1) Menentukan Hipotesis

a) H 0 :  1 =  2 =  3 =  4 =0

Berarti semua variabel independen secara individu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

b) H a :  1  2  3  4 0

Berarti semua variabel independen secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen.

2) Melakukan penghitungan nilai F sebagai berikut:

a) Nilai F tabel =F α;K-1;N-K . ...............................................(3.21) Keterangan: N

= jumlah sampel/data

= banyaknya parameter

b) Nilai F hitung =

Keterangan: R 2

= koefisien determinan

= jumlah observasi atau sampel

= banyaknya variabel

Ho diterima Ho ditolak

F( ; K-1; N-K)

Gambar 3.2. Daerah Kritis Uji f Sumber: Statistik Induktif, 1998.

4) Kesimpulan

a) Apabila nilai F hitung < F tabel , maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen secara signifikan.

b) Apabila nilai F hitung > F tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara bersama-sama mampu mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

c. Koefisien Determinasi (R 2 )

Untuk mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisa regresi dimana hal ini ditujukan oleh besarnya koefisien determinasi antara nol dan satu. R 2 merupakan koefisien determinasi yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar variasi perubahan variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel independen (Gujarati, 2004: 84).

Sedangkan R merupakan koefisien korelasi ( R =

2 R 2 yang digunakan untuk mengetahui kuat/ lemahnya hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.

a. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya lebih dari satu hubungan linear pasti di antara beberapa atau semua variabel independen dari model regresi (Gujarati, 2004: 341), disamping itu masalah ini juga timbul jika antara variabel independen berkorelasi dengan variabel pengganggu. Uji Klein dilakukan untuk menguji ada tidaknya

multikolinearitas. Metode yang digunakan yaitu membandingkan nilai (r 2 ) dengan nilai R 2 . apabila nilai R 2 > (r 2 ), berarti tidak terjadi gejala multikolinearitas. Sedangkan apabila nilai R 2 < (r 2 ) berarti terjadi gejala multikolinearitas.

b. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien, baik dalam sampel kecil maupun sampel besar (tetapi masih tetap tidak bias dan konsisten) (Gujarati, 2004: 387).

Salah satu cara untuk mendeteksi kasus heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan uji White, yaitu (Widarjono, 2005: 161):

1) Melakukan regresi atas model yang digunakan dengan OLS dan dapatkan nilai residualnya (e i ).

2) Melakukan regresi auxiliary:

e i 2 =  0 +  1 X i +  2 X 2 i +ν i

Dari persamaan di atas, kita mendapatkan nilai koefisien determinasi (R 2 ).

kemudian membandingkannya dengan nilai χ 2 kritis. Jika nilai χ 2 hitung lebih kecil dari nilai χ 2 kritis, maka tidak terdapat masalah heteroskedastisitas, dan sebaliknya jika nilai χ 2 hitung lebih besar dari nilai χ 2 kritis, maka terdapat masalah heteroskedastisitas.

c. Uji Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian obeservasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang (Gujarati, 2004: 442). Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi diantara rangkaian variabel yang diperoleh. Pengujian terhadap gejala autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji statistik Durbin- Watson, yaitu dengan membandingkan angka Durbin-Watson yang diperoleh dari perhitungan analisa regresi dengan angka Durbin-Watson dalam tabel dengan derajat kebebasan (N-k) dan tingkat signifikan tertentu. Angka Durbin- Watson dalam tabel menunjukkan nilai distribusi antar batas bawah (dL) dan batas atas (dU).

Tetapi untuk model dinamis, seperti ECM, uji Durbin-Watson tidak bisa digunakan untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi, karena DW statistic secara asimtotik akan bias mendekati nilai 2. Oleh karena alasan tersebut, maka digunakan Langrange Multiplier Test, yakni berupa regresi atas semua variabel lag t dari nilai residual regresi ECM.

Dari model akan didapat nilai R 2 , kemudian nilai ini dimasukkan dalam rumus sebagai berikut : (n-1) R 2 , dimana n adalah jumlah observasi,

kemudian dilakukan pengujian dengan hipotesis sebagai berikut:

Ho: ρ = 0 berarti tidak ada masalah autokorelasi Ha: ρ ≠ 0 berarti ada masalah autokorelasi

Selanjutnya nilai (n-1) R 2 dibandingkan dengan χ 2 . Dimana χ 2 adalah nilai kritis Chi Square yang ada dalam tabel statistik Chi Square. Jika (n-1) R 2 lebih besar dari χ 2 , maka terdapat autokorelasi, dan jika sebaliknya maka tidak terjadi autokorelasi.