Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Nilai Tukar

2. Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Nilai Tukar

Suku bunga adalah imbal hasil yang diterima hingga jatuh tempo (yield to maturity ) (Miskhin, 2008: 89), atau dapat juga dikatakan sebagai harga yang harus dibayar apabila terjadi pertukaran antara 1 rupiah sekarang dengan 1 rupiah nanti (misal 1 tahun lagi ) dimana dengan jangka waktu tersebut bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terkait dengan resiko seperti keterlambatan membayar kembali atau tidak membayar sama sekali, Inflasi yang dapat menyebabkan penurunan nilai mata uang, serta adanya biaya transaksi.

Hubungan tingkat suku bunga dengan nilai tukar dapat dijelaskan berdasarkan teori paritas suku bunga yang mengasumsikan bahwa dalam perekonomian terbuka dimana modal dapat mengalir dengan sempurna,

masyarakat domestik dapat membeli aset keuangan asing. Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan jumlah investasi di suatu negara. Perubahan itu berasal dari investor domestik maupun investor asing, khususnya pada jenis investasi pada aset keuangan dan portofolio yang umumnya berjangka pendek. Dalam sistim nilai tukar mengambang dengan sistem devisa bebas, perbedaan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi aliran modal (capital flow) dari luar negeri, dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang asing. Misalkan, tingkat suku bunga dalam negeri (IND) meningkat, sementara tingkat suku bunga luar negeri (USA) tetap konstan, maka para investor akan melihat adanya tambahan alasan untuk membeli aset keuangan domestik karena menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Kondisi ini, menyebabkan permintaan mata uang rupiah meningkat dan selanjutnya akan meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar US.

Namun, Lindert (1993: 373) mengemukakan bahwa kenaikan tingkat suku bunga suatu negara harus dilihat penyebabnya. Jika kenaikan suku bunga mencerminkan kebijakan uang ketat dari pemerintah, maka hal tersebut dapat meningkatkan nilai tukar mata uangnya di pasar valuta asing. Namun, jika kenaikan suku bunga karena tingginya tingkat harga atau pemerintah akan melakukan defisit anggaran yang lebih besar, maka ada keraguan untuk penguatan nilai tukar di masa depan.

Neraca perdagangan merupakan bagian dari neraca pembayaran yang menggambarkan total transaksi ekspor dan impor barang suatu negara dalam satu periode tertentu. Apabila nilai neraca itu positif berarti ekspor barang melebihi impornya, yang berarti terjadi surplus neraca perdagangan. Sebaliknya apabila negatif maka impor barang melebihi ekspornya, yang berarti defisit dalam neraca perdagangan.

Simorangkir (2004: 31) menyatakan bahwa hubungan neraca perdagangan dengan nilai tukar didasarkan pada konsep paritas daya beli (purchasing power parity), yaitu harga barang-barang ekspor dan impor suatu

negara dipengaruhi nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Bila mata uang suatu negara mengalami depresiasi, ekspornya bagi pihak luarnegeri menjadi makin murah, sedangkan impor bagi penduduk negara itu menjadi makin mahal. Apresiasi menimbulkan dampak yang sebaliknya, harga produk negara itu bagi pihak luar negeri makin mahal, sedangkan harga impor bagi penduduk domestik menjadi lebih murah (Krugman, 1994: 44).

Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan nilai tukar dapat memperbaiki neraca perdagangan dengan peningkatan volume ekspor karena terjadi penurunan harga barang ekspor di luar negeri. Sedangkan di sisi impor, penurunan nilai tukar menyebabkan penurunan volume impor akibat kenaikan harga barang impor di dalam negeri.

Kardoyo dan Kuncoro (2002), menganalisis kurs valas dengan pendekatan box-jenkins menggunakan model ARIMA. Hasil analisis regresi model kurs valas dengan pendekatan box-jenkins dalam analisis nilai tukar Rp/US$ selama periode 1983.2-2000.3 memperoleh kesimpulan antara lain: pertama, model kurs valas Frenkel-Bilson yang melibatkan variabel fundamental ekonomi jumlah uang beredar, tingkat pendapatan nasional, dan tingkat suku bunga, serta signifikansinya dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar Rp/US$, menghasilkan temuan bahwa teori paritas suku bunga (interest rate parity) berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi kurs Rp/US$. Kedua, model yang melibatkan variabel jumlah uang beredar, tingkat pendapatan nasional, dan tingkat inflasi, serta signifikansinya dalam menjelaskan fenomena kurs Rp/US$ memberikan hasil bahwa model tersebut layak diterapkan untuk menganalisis kurs Rp/US$. variabel tingkat inflasi Indonesia terhadap Amerika Serikat signifikan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs Rp/US$, menghasilkan temuan bahwa teori paritas daya beli (purchasing power parity) juga berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi kurs Rp/US$.

Esquivel dan Larraín (2002), melakukan penelitian dengan judul “The Impact of G-3 Exchange Rate Volatility on Developing Countries ”, yang meneliti tentang dampak volatilitas nilai tukar US dollar, yen Jepang, dan mark Jerman pada negara berkembang. Terdapat 28 negara berkembang, termasuk Indonesia yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, satu persen kenaikan volatilitas nilai tukar negara G-3 akan menurunkan

G-3 juga mempunyai efek negative pada FDI dan meningkatkan probabilitas terjadinya krisis nilai tukar pada negara berkembang.

Atmadja (2002), menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia dengan menggunakan model regresi OLS. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini mulai dari bulan Agustus 1997 hingga bulan Desember 2001 dengan variabel-variabel antara lain selisih inflasi antara Indonesia dan Amerika Serikat, selisih suku bunga riil antara Indonesia dan Amerika Serikat, selisih perubahan JUB antara Indonesia dan Amerika Serikat, selisih perubahan GDP riil antara Indonesia dan Amerika Serikat, serta surplus atau defisit BOP Indonesia. Hasilnya adalah, hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar, sedangkan variabel-variabel lainnya tidak. Dengan demikian, kesimpulan penelitian ini adalah kecuali jumlah uang beredar, sebagian besar pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditentukan oleh faktor-faktor lain, baik faktor ekonomi maupun non ekonomi.

Wibowo dan Amir (2005), menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah dengan metode residual. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan mulai dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan Juni 2005 dengan variabel-variabel antara lain kurs, WPI (Wholesale Price Index) Indonesia dan USA, jumlah uang beredar, PDB riil, tingkat suku bunga dan neraca perdagangan. Hasil dari penelitian ini adalah Wibowo dan Amir (2005), menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah dengan metode residual. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan mulai dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan Juni 2005 dengan variabel-variabel antara lain kurs, WPI (Wholesale Price Index) Indonesia dan USA, jumlah uang beredar, PDB riil, tingkat suku bunga dan neraca perdagangan. Hasil dari penelitian ini adalah

Lee and Boon (2007), melakukan penelitian dengan judul “Macroeconomic factors of exchange rate volatility: Evidence from four neighbouring ASEAN Economies ”, studi ini meneliti hubungan antara variabel

makroekonomi dengan volatilitas nilai tukar dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan menggunakan metode GARCH. Negara yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand, dengan variabel dependen yang digunakan antara lain penawaran uang (M2), pendapatan nasional, tingkat suku bunga, indeks inflasi, rasio nominal ekspor terhadap nominal impor, dan composite indeks. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh variabel makroekonomi terhadap volatilitas nilai tukar dalam jangka panjang pada semua perekonomian kecuali Thailand. Itu mengimplikasikan bahwa volatilitas nilai tukar dan variabel makroekonomi bergerak bersama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang untuk Malaysia, Indonesia dan Singapura. Dalam jangka pendek, variabel makroekonomi kelihatannya mempengaruhi volatilitas pada setiap negara. Hal itu mengimplikasikan bahwa seluruh variabel yang mempengaruhi volatilitas nilai

bermain mempengaruhi volatilitas nilai tukar dalam semua gejolak perekonomian. Yuliadi (2007), menganalisis nilai tukar rupiah dan implikasinya pada perekonomian Indonesia dengan pendekatan ECM. Variabel yang digunakan antara lain kurs Rp/US$, rasio tingkat bunga simpanan domestik terhadap tingkat bunga internasional, BOP, aliran modal, CPI, dan jumlah uang beredar (M1) serta memasukkan variabel dummy krisis. Periode data yang digunakan mulai dari triwulan I tahun 1990 sampai dengan triwulan II tahun 2004. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa rasio tingkat bunga simpanan domestik terhadap tingkat bunga internasional tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai tukar Rp/US$ dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Aliran modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rp/US$ dalam jangka pendek. Neraca pembayaran (BOP) berpengaruh signifikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Indeks harga konsumen (CPI) tidak berpengaruh secara signifikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jumlah uang beredar (M1) dalam jangka pendek berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rp/US$, sedangkan dalam analisis jangka panjang tidak berpengaruh secara signifikan. Dalam jangka panjang, keadaan krisis ekonomi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai tukar Rp/US$.

Triyono (2008), menganalisis perubahan kurs rupiah terhadap dollar amerika dengan pendekatan ECM. Analisis ini menggunakan variabel nilai tukar Rp/US$, jumlah uang beredar, tingkat suku bunga SBI, inflasi, dan nilai impor. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa berdasarkan hasil estimasi ECM dan Triyono (2008), menganalisis perubahan kurs rupiah terhadap dollar amerika dengan pendekatan ECM. Analisis ini menggunakan variabel nilai tukar Rp/US$, jumlah uang beredar, tingkat suku bunga SBI, inflasi, dan nilai impor. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa berdasarkan hasil estimasi ECM dan

Ozturk dan Kalyoncu (2009), melakukan penelitian dengan judul “Exchange Rate Volatility and Trade: An Empirical Investigation from Cross-

country Comparison ” , yang meneliti dampak volatilitas nilai tukar terhadap aliran perdagangan dari enam negara pada periode 1980-2005. Dampak dari volatilitas nilai tukar diuji menggunakan Engle-Granger residual-based cointegrating technique . Hasil utama menunjukkan bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar riil, mengindikasikan ketidakpastian nilai tukar, menemukan dampak negatif signifikan pada perdagangan Korea Selatan, Pakistan, Polandia dan Afrika Selatan dan dampak positif pada Turki dan Hunggaria dalam jangka panjang. Pergerakan penyimpangan standart dari pertumbuhan nilai tukar riil digunakan untuk mengukur volatilitas nilai tukar. Cointegration and error correction models berturut-turut digunakan untuk memperoleh estimasi hubungan kointegrasi dan pergerakan jangka pendek. Ditemukan bahwa volatilitas nilai tukar menurunkan eksport riil untuk Polandia, Pakistan, Korea Selatan, dan Afrika Selatan dan meningkatkan eksport riil untuk Hunggaria dan Turki. Mereka juga menemukan bahwa volatilitas nilai tukar tidak hanya berlaku pada eksport riil jangka panjang tetapi juga berlaku dalam jangka pendek untuk semua negara kecuali Korea Selatan dan Turki.

Kestabilan nilai tukar harus selalu dipertahankan dalam suatu perekonomian. Pergerakan nilai tukar akan berpengaruh terhadap berbagai variabel makro ekonomi dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Dalam hal ini, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa (disebut dengan inflasi) dan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain (disebut dengan nilai tukar atau kurs rupiah).

Berbagai penelitian yang dilakukan di dalam maupun luar negeri tentang fluktuasi nilai tukar, menjelaskan bahwa terdapat banyak variabel-variabel ekonomi makro yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, diantaranya tingkat harga atau laju inflasi, tingkat suku bunga, dan neraca perdagangan. Perubahan tingkat harga atau inflasi akan mempengaruhi penawaran dan permintaan mata uang asing melalui jalur perdagangan internasional atau ekspor dan impor. Selanjutnya perubahan tingkat suku bunga dalam negeri atau luar negeri akan mempengaruhi nilai tukar melalui jalur aliran modal (capital flow). Menurut teori uncovered interest rate parity , modal akan mengalir ke negara dengan tingkat imbalan atau suku bunga yang lebih tinggi, ceteris paribus. Surplus atau defisit neraca perdagangan juga merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tukar karena merupakan gambaran dari jumlah transaksi ekspor dan impor suatu negara.

berdasarkan teori paritas daya beli, teori paritas suku bunga, serta pendekatan perdagangan. Nilai tukar rupiah terhadap US dollar menjadi variabel dependen, dimana variabel-variabel independen yang digunakan untuk menjelaskan variabel dependennya, yaitu: 1) Selisih laju inflasi Indonesia dengan laju inflasi Amerika Serikat, 2) Selisih tingkat suku bunga Indonesia dengan tingkat suku bunga Amerika Serikat, 3) Neraca perdagangan Indonesia.

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian